Membongkar Paradoks Wujudul Hilal untuk Mendorong Semangat Tajdid Muhammadiyah


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementrian Agama

 

 

Ketidaknyamanan hari raya yang berbeda di suatu lokasi semakin disuarakan masyarakat. Siapa yang dipersalahkan? Pemerintah dan ormas-ormas Islam yang dianggap kurang dalam upaya mempersatukan ummat. Sebenarnya upaya untuk mempersatukan kalender hijriyah yang menjadi dasar penentuan Ramadhan terus dilakukan, namun masih ada ganjalan penolakan dari Muhammadiyah. Semua ormas Islam sudah bersepakat dengan kriteria imkan rukyat. Walau belum sepenuhnya memenuhi kriteria astronomi, kriteria yang disepakati telah mempersatukan kalender hijriyah di antara sebagian besar ormas Islam dan Taqwin Standar Indonesia yang dijadikan rujukan resmi pemerintah.

Penyakit kronis superioritas di kalangan warga Muhammadiyah membangun ego organisasi yang menghambat penyatuan ummat dalam mewujudkan sistem kalender hijriyah yang mapan. Salah satu superioritas yang senantiasa diusung adalah kesan seolah hanya Muhammadiyah yang bisa menentukan hari raya jauh-jauh hari, bahkan untuk sekian tahun ke depan. Superioritas itu senantiasa diucapkan untuk merendahkan metode rukyat (pengamatan) hilal yang seolah dianggap hanya mampu menentukan awal bulan setelah melihat hilal. Superioritas itu telah menutup mata atas kenyataan metode hisab dan rukyat (perhitungan dan pengamatan) hilal yang sesungguhnya setara.

Pemahaman hisab-rukyat yang benar bukan sekedar untuk menyeragamkan penentuan hari raya, tetapi lebih penting dari itu adalah untuk membangun sistem kalender Hijriyah yang mapan. Sistem kalender yang bisa memberikan kepastian waktu ibadah (terutama mengawali Ramadhan, mengakhirinya dengan Idul Fitri, dan Idul Adha) dan kepastian untuk administrasi negara dan bisnis. Keseragaman hari raya tentu memberikan kenyamanan bagi masyarakat, karena hari raya bukan sekadar terkait dengan ibadah, tetapi juga fenomena sosial budaya yang bersifat massal. Keseragaman dan perbedaan hari raya bisa menjadi cermin yang kasat mata atas kesatuan ummat.

Penentuan awal bulan qamariyah dilakukan dengan dua metode (cara): dengan metode rukyat (pengamatan) dan metode hisab (perhitungan). Metode hisab dulu dianggap sulit, karenanya kadang orang beranggapan metode hisab lebih superior daripada metode rukyat. Hisab terus berkembang, dari yang paling sederhana dengan hisab urfi (periodik 29 dan 30 hari), kemudian hisab taqribi (pendekatan, aproksimasi), sampai hisab hakiki (posisi bulan-matahari yang sesunguhnya). Saat ini hisab sudah dimudahkan dengan beragam software astronomi, sehingga hisab hanyalah menggunakan beberapa klik di tombol komputer. Namun metode hisab hakiki sebenarnya hanya menghasilkan angka-angka terkait dengan posisi bulan dan matahari. Untuk menentukan masuknya awal bulan, ahli hisab harus menggunakan kriteria (batasan).  Kriteria pun berkembang, dari kriteria paling sederhana wujudul hilal (asal bulan sudah di atas ufuk) sampai pada kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal atau ketampakan hilal). Kriteria imkan rukyat pun terus berkembang, dari kriteria yang paling sederhana (sekadar ketinggian minimal 2 derajat) sampai yang makin canggih (mencakup berbagai parameter hilal dan kontrasnya terhadap cahaya syafak/senja). Kriteria imkan rukyat adalah kriteria yang mempersatukan metode hisab dan rukyat.

Banyak saudara-saudara kita di Muhammadiyah berhenti hanya sampai kriteria paling sederhana wujudul hilal. Kalau pun ada yang mengklaim bahwa sebelumnya Muhammadiyah menggunakan kriteria imkan rukyat, itu pun kriteria imkan rukyat lama pra-1969. Saat ini kriteria imkan rukyat terus berkembang sesuai dengan perkembangan astronomi. Banyak orang masih menganggap seolah kriteria imkan rukyat hanyalah kriteria ketinggian 2 derajat. Itu hanyalah kriteria kesepakatan sementara yang masih bisa berubah. Saat ini banyak parameter digunakan untuk menggambarkan kemungkinan terlihatnya hilal, misalnya umur hilal, ketinggian hilal, jarak bulan-matahari, beda waktu terbenam bulan-matahari, dan lebar sabit hilal. Inti semua parameter itu adalah gambaran fisis yang memungkinan cahaya hilal yang sangat tipis dan redup dapat mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) di ufuk Barat. Perlu difahami, hasil penelitian astronomi tentang kriteria imkan rukyat yang beragam untuk implementasinya perlu dipilih dan disepakati bersama untuk diberlakukan pada sistem kalender hijriyah nasional maupun global. Pemilihan harus didasarkan pada kemudahan dilaksanakan oleh semua ahli hisab.

Kriteria wujudul hilal yang masih dipegang oleh Muhammadiyah mempunyai banyak kelemahan, baik dari segi tafsir astronomis pada dalilnya sampai pada logika astronomisnya (Lihat https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/).  Kali ini saya ingin membongkar paradox wujudul hilal yang logikanya secara astronomi aneh.

Apa yang disebut wujudul hilal menurut Muhammadiyah? Ada dua syarat: (1) ijtimak (newmoon atau bulan baru astronomi, segarisnya bujur bulan dan matahari) terjadi sebelum maghrib dan (2) bulan terbenam sesudah matahari. Dari sudut pandang hisab, “bulan terbenam sesudah matahari” adalah “piringan atas bulan masih di atas ufuk saat piringan atas matahari menyentuh ufuk (horizon). Piringan atas bulan masih di atas ufuk itulah yang disebut secara keliru sebagai “hilal sudah wujud”. Benarkah hilal sudah wujud?  Ahli hisab yang hanya menghafal rumus sulit untuk memahami kerancuan logika astronominya konsep “wujudul hilal”. Oleh karenanya saya ingin mengajak melihat fenomena gerhana matahari menjelang maghrib. Pada gambar di atas, lengkungan di atas piringan matahari adalah bulan yang menghalangi cahaya matahari. Gambaran skematis posisi bulan (bulatan hitam) digambarkan pada gambar berikut ini.


Terlihat dengan jelas posisi piringan atas bulan dan piringan atas matahari. Di manakah posisi hilal? Hilal sebagai pantulan cahaya matahari yang berada di piringan bulan terdekat dengan titik pusat piringan matahari (ditunjukkan dengan ujung  segitiga putih). Gerak semu (akibat rotasi bumi) matahari dan bulan di ufuk Barat adalah ke arah bawah. Sementara gerak sejati bulan mengitari bumi tampak perlahan menuju ke atas dari ufuk Barat. Saat matahari terbenam ditandai dengan masuknya piringan matahari secara penuh ke bawah ufuk, yaitu piringan atas matahari menyentuh ufuk. Pada saat itulah dihitung ketinggian piringan atas bulan. Ketika masih di atas ufuk, itulah yang dianggap “wujudul hilal”. Benarkan hilal masih wujud saat itu? TIDAK BENAR! Gambar di atas secara jelas menunjukkan saat matahari terbenam, hilal pun terbenam, artinya hilal sudah tidak wujud lagi. Inilah PARADOX WUJUDUL HILAL, dikatakan “wujudul hilal” padahal hilalnya sudah terbenam.

Apakah logika aneh semacam ini yang masih ingin  dipertahankan Muhammadiyah, apalagi mengatasnamakan astronomi atau ilmu falak? Seharusnya tidak. Semangat tajdid (pembaruan) Muhammadiyah semestinya merombaknya dan secara bersama-sama dengan ormas Islam lainnya mendialogkan kriteria baru yang secara astronomi dapat diterima dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i. Astronomi dapat membantu mempersatukan ummat dengan memberikan pemahaman yang tepat atas dalil-dalil syar’i, yang mempersatukan metode rukyat dan hisab yang selama ini dianggap berbeda. Rukyat dan hisab akan setara dengan menggunakan kriteria imkan rukyat.

287 Tanggapan

  1. mantab…’ilustrasi-gambar’-nya..cukup jelas…smoga tambah..lagi

  2. dari ilustrasi tersebut tergambar secara jelas bahwa yang wujud itu bukan hilal, tapi hanya piringan atas bulan saja, jadi istilah “wujudul hilal” salah dong ……..

  3. Alhamdulillah… sepertinya ada titik terang…

    Bagaimana kalau Muhammadiyah “mengalah” dan ormas / Instansi lain nya seDunia juga “mengalah”…
    Ntar ketemunya di Kriteria WH Ummul Quro…

    Terus gunakan Matlak Global…
    Matlak-matlak lokal mah tinggalin aja… udah usang banget, lagian tidak ada contohnya dari Nabi…

    Mau yah ?… Mau yah ?…
    Udah ngebet nih pingin pake Kalender Hijriyah Global… 🙂

    • Saya setuju agar segera bisa digunakan kalender global, mas Ivan. Tapi tentu saja mekanismenya bukan sekedar “mengalah” seperti itu. Kebenaran dalam hal ini tidak bisa diukur dengan adanya pihak yang sudah “mengalah”, tetapi benar-benar harus melalui kesepakatan semua pihak.
      Dan lagi, di dunia ini konsep kalender global bukan hanya dari Ummul Qura, masih ada beberapa yang lain, yang semua berasal dari luar negeri, karena semua ormas di Indonesia masih menggunakan matlak lokal. Sebenarnya, Muhammadiyah sudah membuka diri untuk meninggalkan matlak lokal, karena Muhammadiyah juga mendukung terwujudnya kalender hijriyah internasional

    • mudah2an Kalender Hijriyah Global, segera terwujud…

      Merintis Lebaran Internasional, dengan 2HA-RI (Hisab Hakiki – Rukyat Internasional)
      http://kanzunqalam.wordpress.com/2011/09/12/merintis-lebaran-internasional-dengan-2ha-ri-hisab-hakiki-rukyat-internasional/

  4. Memang mantab sekali penjelasan Pak Djamaluddin. Terus terang baru kali ini membaca tulisan seorang ignorant yang bergelar profesor. Sepertinya tujuannya sangat jelas: mengajak orang yang tidak begitu paham dengan wujudul hilal untuk menyalahkannya dengan cara memberi informasi yang tidak akurat dan menyodorkan cara berlogika yang absurd. Sungguh sayang sekali. Saya berharap ada dikusi di blog ini, tapi yang ada hanyalah “kuliah” yang tidak begitu berbeda dengan sampah buat sebagian orang (termasuk saya).

    Hanya berbekal imkanu rukyat, dan mengatakan jaminan terciptanya kalender Hijriyah yang mapan yang memberikan kepastian untuk transaksi bisnis ==> bohong. Jelas-jelas kalender Hijriyah mendefinisikan ulang konsep hari (dari maghrib ke maghrib). Cukup naive kalau menganggap pembagian waktu 24 jam, 1440 menit, 86400 (+1) detik bisa dipakai untuk keperluan pencatatan transaksi bisnis secara akurat (lihat komentar saya di tulisan sebelummnya).

    • Sebetulnya diskusi di sini sepertinya antara :
      ‘Kriteria WH yang sudah efektif digunakan’ vs ‘Kriteria IR yang masih baru wacana’…

      Yang namanya “wacana” itu selalu lebih hebat… 🙂

      Tapi mudah-mudahan… semakin Kriteria WH diperbincangkan, semakin orang mengetahui kelebihan Kriteria WH… 🙂

      Btw, Kubu Pendukung Rukyat Murni tidak terlihat di diskusi di sini yaa… Tidak ada yang mengusung Kelebihan Rukyat Murni…
      Apa mereka sembunyi di balik nama kriteria IR ya ?…
      Atau apa mungkin mereka tidak mengerti apa yang sedang didiskusikan di sini ?… 🙂

      Padahal sejatinya selain Muhammadiyah… ormas / instansi lain itu sejatinya adalah pendukung Rukyat Murni…

      Mau tahu buktinya ?…

      Buktinya Mereka selalu menetapkan Awal Bulan dengan menunggu dulu laporan Rukyat… 🙂

      • Masalah kriteria (batasan) adalah masalah hisab. Karenanya tidak pernah melibatkan rukyat murni. Kriteria IR adalah kuantifikasi data rukyat yang diupayakan bisa memberikan batasan bagi hisab untuk menentukan hilal mungkin atau tidak untuk dirukyat. Keritria IR bukan lagi wacana, tetapi sudah diaplikasikan. Contoh kriteria IR yang paling sederhana adalah ketinggian minimal 2 derajat, krietria lain yang lebih rumit tetapi juga mulai diaplikasikan silakan baca di http://www.icoproject.org/pdf/2006_cri.pdf

  5. Uraian diawal tulisan disebutkan kriteria Wujudul Hilal tapi uraian selanjutnya terutama diakhir tulisan tidak pake kriteria Wujudul Hilal tapi diatasnamakan Wujudul Hilal…. hehehehehe

  6. Ass wr wb. Maaf pak Djamaluddin, dlm syarat 1 yaitu : Ijtimak (newmoon atau bulan baru astronomi, segarisnya bujur bulan dan matahari) terjadi “sebelum magrib”, mohon ditambah penjelaskan dilihat dari wilayah mana. Bukankah pd saat ijtimak ada wilayah2 dipermukaan bumi ini yg sdg berada pd wkt pagi, siang, sore, malam hari dll selain “sebelum magrib”. Terimakasih. Wass wr wb.

    • Dalam kaidah hisab-rukyat selalu ditentukan markaz-nya, artinya titik acuannya. Muhammadiyah sering menggunakan Yogyakarta sebagai markaz. Kementerian Agama sering menggunakan arkaz-bya Pelabuhan Ratu. Maka hisab dihitung untuk markaz tersebut, apakah ijtimak di titik tersebut terjadi sebeleum maghrib atau sesudahnya. Demikian juga untuk syarat ketinggian bulan. Saat ini banyak juga dilakukan tinjauan global dengan membuat garis tanggal. Contohnya di situs ICOP untuk garis tanggal Syawal 1432 lalu. Garis tanggal WH adalah perbatasan wilayah merah dan putih. Garis tanggal IR adalah perbatasan wilayah putih dan biru. http://www.icoproject.org/icop/shw32.html

    • Ass wr wb.
      Pak Djamaluddin, terimakasih atas pencerahannya. Setelah saya simak kedua peta yg disajikan oleh situs ICOP maka yang saya pahami adalah bahwa peta tersebut merupakan hasil hisab global dimana diprediksi garis perubahan hari/tgl bln hijriyah berada diantara warna putih dan biru karena diwilayah warna merah imposible dan diwilayah warna putih posible. Jadi penampakan hilal diprediksi akan dimulai pada garis perubahan hari/tgl tersebut.
      Dan pada saat ditindaklanjuti dengan rukyat global, untuk efisiensi seharusnya wilayah yang wajib melakukan rukyat hanyalah wilayah2 yang berada pada warna biru saja. Apabila pelaksanaan rukyat tsb sukses (ada penampakan hilal) maka dimulai dr garis perubahan hari/tgl tsb ke barat secara berturut2 wilayah2 yg ada akan memasuki awal bln hijriyah saat magrib diwilayah masing2 pada tgl 29-8-2011 utk wilayah disebelah timur grs perubahan hari/tgl internasional (bujur 180 derajat) dan pada tgl 30-8-2011 utk wilayah disebelah barat grs perubahan hari/tgl internasional.
      Pemahaman saya seperti itu karena sebagai pemeluk agama Islam yang melaksanakan Rukun Iman (dimana diantaranya adalah Iman kpd Kitab Suci Al Qur’an) maka saya harus senantiasa mengIMANi isi kandungan Al Qur’an yg antara lain adalah Firman Allah SWT yang menyatakan bahwa sebagai tanda awal bln hijjriyah adalah penampakan HILAL..
      Demikian yg saya pahami, mohon konfirmasi apakah pemahaman saya ini sudah benar.
      Terimakasih.
      Wass wr wb.

    • Ass wr wb.
      Maaf, ada kesalahan ketik :
      TERTULIS : diwilayah putih “posible”
      SEHARUSNYA : diwilayah putih “not posible”
      Wass wr wb..

  7. Ass. Prof. TD.
    Tidak bosan-bosannya prof mengkritisi WHnya MD, sampai saya sendiri kadang bosan membaca komen2 bantahan miring dari orang-orang yang tak punya ilmu astronomi. Herannya Prof masih mau nanggapi. Maaf prof jika saya belum begitu paham dan minta penjelasan (syukur jika ada ilustrasinya) mengenai piringan atas bulan yang dijadikan parameter dalam hisab WH, dan bukan piringan bawah seperti hisab yang menggunakan kriteria “hilal”? Terima kasih.

    • Insya-allah saya tidak bosan untuk mengedukasi masyarakat terkait dengan hisab-rukyat, agar penyatuan ummat bisa terwujud. Ilustrasinya ada pada artikel di atas. Kalau belum jelas, silakan tanyakan secara spesifik bagian yang belum jelas.

      • sedikit diluar tema prof. semangat penyatuan umat memang perlu terus digelorakan.. tp tdk cukup dengan hanya berfokus pd penyatuan “hari yg sama” saja. Umat akan bersatu manakala semua aspek kehidupan dan standar penilaian mereka juga memiliki acuan yang sama, ya tidak lain umat akan bersatu ketika aturan yang diterapakanya sama, aturan islam dengan pemerintahan yang sama, khilafah Islammiyah.

    • Wujudul hilal menghitung piringan atas bulan, karena pada dasarnya yang dihitung adalah “bulan terbenam setelah matahari” yang terjadi konjungsi sebelumnya. Konsep wujudul hilal tidak berhubungan dengan hilal yang terlihat, meskipun informasi dari Pak Djamaluddin selalu mengajak pembacanya untuk mempertanyakan di mana “hilal”-nya. Tentu saja ini pertanyaan yang tidak akurat dan menyesatkan. Meskipun sudah berulang-ulang dikomentari mengenai hal ini, sepertinya Pak Djamaluddin memang sengaja untuk “menyesatkan” pembacannya. Ini mirip dengan kesalahan logis yang sering disebut “begging the question”. Untuk lebih jelasnya silakan baca “Pedoman Hisab Muhammadiyah” (silakan cari di Internet), karena di dalamnya terdapat penjelasan yang gamblang mengapa wujudul hilal menggunakan kriteria seperti ini. Tentu aja anda boleh tidak setuju dan melakukan kritik terbuka, tidak akan ada yang keberatan asal anda benar-benar mengritik wujudul hilal sesuai definisi dari Muhammadiyah, bukan “wujudul hilal” versi sendiri seperti yang selalu dipakai Pak Djamaluddin dalam tulisannya.

      Kalau hanya keberatan dengan istilah, coba ganti “wujudul hilal” menjadi “wujudul qomar” atau apa saja yang cocok menurut anda. Selama definisi yang sama masih dipertahankan saya kira tidak akan ada perbedaan yang berarti . Kemudian silakan lihat lagi argumentasi “paradoks”-nya Pak Djamaluddin, masih hubungan antara kesimpulannya dengan “wujudul qomar” tersebut?

      • Kalau tidak mau disebut ada paradox dari kacamata “hilal” dalam pengertian bulan sabit, dan mengatakan bhw WH memang tidak menghisab bulan sabit, maka akan jatuh pada paradox yang lain.

        Paradox yang lain itu lebih parah lagi, sebab masuk pada tataran syar’i. Ayat yang menyebut pensyariatan hilal sebagai acuan waktu (AlBaqarah 189) sama sekali tidak disinggung di dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah. Akan tetapi sebaliknya, perintah Rasulullah untuk meru’yah hilal masih dijadikan konsiderasi dalam penentuan awal hari.

      • Terimakasih pak Agus atas penjelasan Anda yang “memperjelas” tulisan prof.TD. Dan sayapun setuju 100% dengan istilah WUJUDUL QOMAR, karena itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk menyimpulkan kriteria yang telah ditetapkan MD. Kalau MD sudah tak pakai istilah HILAL, barangkali kritikan mulai berkurang, sekalipun hal itu tak akan menyelesaikan masalah perbedaan penentuan awal bulan. Trims.

      • Kriteria IR tidak ada bedanya dengan Kriteria WH Muhammadiyah…

        Yang namanya Kriteria Imkan Rukyat pun… ketika dipatok suatu angka-angka tertentu (katakanlah kriteria Mabims atau Lapan)… akan ada posisi hilal yang menurut kriteria itu Hilal sudah dianggap masuk posisi Bulan Baru… padahal menurut suatu penelitian yang lebih lengkap (seperti yang dilakukan M Ilyas, Astronom Malaysia) belum termasuk Hilal yang Mungkin Terlihat…

        Kalau sudah begitu kasus nya… Kriteria Imkan Rukyat seperti itu pun Tidak Pantas dikait-kaitkan dengan Visibilitas Hilal…

        Kita itu aneh… mencari “jalan sulit” ketika “jalan mudah” tersedia… 🙂

  8. Pada kenyataannya wujudul hilal memang tidak menghisab hilal yang tampak. Apakah ada alasan seseorang memaksakan definisi lain yang tidak sesuai dengan kenyataannya?

    Boleh anda mengatakan itu lebih parah, tapi itu bukan bentuk paradoks, apalagi agama bukan ranah ilmiah. Itu “sekedar” bentuk ijtihad. Buat saya mendiskusikan itu masih jauh lebih baik daripada berdiskusi dengan kedok logika dan ilmu astronomi, tetapi isinya sarat dengan ketidakjujuran dan penyesatan.

    • Kenyataannya memang dalam buku tsb hilal tidak didefinisikan secara definitif. Dan banyak warga Muhammadiyah menyangka bhw hisab wujudul hilal itu menghisab hilal. Padahal faktanya 3 syarat dalam WH tidak hanya tidak mampu memastikan eksisnya hilal yang tampak, ia juga tidak mampu memastikan eksisnya hilal yang tidak tampak, seperti pada peristiwa gerhana matahari menjelang maghrib tsb. Pada saat matahari terbenam masih ada bagian dari rembulan yang berimpit dengan matahari. Pada kondisi seperti ini bahkan hilal yang tidak tampak pun belum eksis.

      Nah, kalau memang WH tidak menghisab hilal baik yang tampak maupun tidak tampak, lalu bagaimana mendefinisikan “wujudul hilal” ?

      Pertanyaan atau kritikan mengenai ambiguisitas atau paradox definisi / ta’rif hilal itulah yang harus dijawab oleh pengurus Muhammadiyah sebagai pertanggungjawaban publik atas ijtihad WH.

      Salam,
      Rois.

      • Nah, kalau memang WH tidak menghisab hilal baik yang tampak maupun tidak tampak, lalu bagaimana mendefinisikan “wujudul hilal” ?

        Wujudul hilal adalah kriteria awal bulan baru Hijriyah dengan syarat yang kurang lebih: telah terjadi konjungsi dan matahari terbenam lebih dulu dibanding bulan. Ini adalah definisi, dan saya kira sudah sangat jelas.

      • Maaf Pak Agus, kalau begitu berarti WH telah mendefinisikan ulang cara penentuan awal bulan Hijriyah dengan TIDAK lagi menggunakan keberadaan Hilal sebagai mana yang terdapat dalam Al-Qur’an (AlBaqarah 189) dan Hadist Rasullullah SAW yang memerintahkan kita untuk melihat hilal, tetapi menggunakan HANYA keberadaan Bulan sebagai titik awalnya, apakah memang demikian Pak Agus? Mohon penjelasannya, terima kasih.

      • Kalau bicara masalah pertanggungjawaban publik atas ijtihad…

        Kriteria Penetapan Awal Bulan Hijriyah dengan CUMA Ijtima’ Qoblal Ghurub pun… Asal kita yakin… Itu Sudah Cukup Bisa Dipertanggungjawabkan…

        Sedangkan Kriteria WH Muhammadiyah itu adalah Kriteria yang sudah lebih dari cukup untuk menetapkan Awal Bulan Hijriyah…

        Kalau Pak Rois masih meragukan pertanggungjawaban Kriteria WH Muhammadiyah…
        Coba beri tahu saya… Sejak kapan Umat Islam (Ulama dan Ahli Falaknya)… mengenal konsep Visibiltas Hilal dalam penentuan Awal Bulan berdasarkan Hisab ?…
        Apakah sejak zaman Nabi / Sahabat / Tabi’in / Tabi’ut Tabi’in atau kapan ?…

        Saya juga ingin tanya kepada Pak Rois…

        Kalau secara syar’i… ada kasus laporan saksi hilal di Arab Saudi yang bersumpah atas nama Allah swt bahwa dia telah melihat hilal…

        Kemudian atas dasar keyakinan, otoritas pemerintah di sana menetapkan awal bulan berdasarkan laporan itu…

        Yang ternyata posisi Hilal pada saat itu menurut Perhitungan Astronomi yang Akurat adalah MASIH DI BAWAH UFUK ( di bawah 0° )

        Menurut Pak Rois, penetapan itu Sah tidak secara Syar’i ?…

      • Muhammadiyah itu pernah memakai ru’yah. Pernah juga memakai imkaanur-ru’yah. Sekarang ini memakai hisab wujudul hilal. Muhammadiyah juga menyatakan bhw kedudukan ru’yat dan hisab adalah setara. Dalam perkembangannya, ternyata WH diketahui telah mengabaikan ayat 189 AlBaqarah yang secara jelas menyebut hilal sebagai acuan masuknya bulan baru. Pengabaian inilah yang harus dijelaskan ke publik. Mengapa Muhammadiyah bukan hanya menolak meru’yat hilal, tetapi juga menolak untuk menjadikan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru. (kalau memang betul bhw WH benar benar meninggalkan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru).

        Jadi tidak ada alasan yang prinsipil untuk mempertahankan WH. Bahkan, dengan meninggalkan wujudul hilal kebersamaan berhari raya akan bisa terwujud. Madharat mempertahankan WH lebih besar daripada manfaatnya. Kebersamaan melalui penyatuan kalender itulah yang diperjuangkan Prof. Thomas, sama halnya dengan klaim Muhammadiyah selama ini tentang upaya penyatuan kalender hijriyah internasional.

      • Yang Muhammadiyah PERJUANGKAN itu… menurut saya adalah KeMauan kita umat Islam untuk menetapkan jauh-jauh hari Awal Bulan Hijriyah dengan Perhitungan Astronomi yang Akurat…

        Kalau diajak sepakat dengan Kriteria IR kemudian Ternyata pada prakteknya Tetap Menunggu Laporan Rukyat…
        Saya pikir Kesepakatan itu hanya akan berhasil bila yang diajak musyawarahnya adalah “Orang Gaptek yang kurang Gaul”…

      • Dalam perkembangannya, ternyata WH diketahui telah mengabaikan ayat 189 AlBaqarah yang secara jelas menyebut hilal sebagai acuan masuknya bulan baru

        Apakah Ulama terdahulu menafsirkan Al Quran lebih tidak berilmu daripada anda ?…

        Para Ulama terdahulu ketika ada yang memperbolehkan penggunaan Hisab dalam penetapan Awal Bulan Hijriyah… Tidak pernah menjadikan faktor Visibilitas Hilal (yang menurut anda sebagai tafsiran yang benar thd QS AlBaqoroh 189) sebagai Parameter Perhitungan…
        Mereka hanya cukup menyandarkan nya pada Proses Ijtima’…

      • @Pak Syarif,
        Mungkin karena adanya anggapan bahwa penjelasan Pak Djamaluddin tentang wujudul hilal sudah lebih dari cukup untuk memahami konsep wujudul hilal, sehingga banyak orang yang tidak merasa perlu untuk membacanya sendiri. Karenanya saya cukup ambil kutipan yang saya kira cukup jelas menjawab pertanyaan Pak Syarif:

        Pedoman Hisab Muhammadiyah, hal. 81-82

        Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru. Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan kamariah berjalan.

        Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru.

        Penggunaan posisi bulan terhadap matahari dipahami sebagai abstraksi perintah untuk melihat hilal. Sudah ada pergeseran definsi tentang kriteria awal bulan Hijriyah. Karenanya saya selalu mengingatkan Pak Djamaluddin untuk jujur dan adil dalam mengungakapkan fakta tentang wujudul hilal, tetapi sayang sekali tidak pernah digubris.

      • Pak Agus, terima kasih atas penjelasannya.

        Saya memahami Wujudul Hilal (WH) sebagai berikut (mohon koreksinya): WH menggunakan dua kejadian sebagai patokan waktu dimulainya bulan Hijriyah, yaitu (a) Konjungsi yang merupakan awal bulan dalam siklus peredaran bulan, dan (b) terbenamnya matahari yang merupakan awal dimulainya bulan Hijriyah, dimana ufuk sebagai batas perhitungan terbenamnya matahari.

        Kemudian dibuat suatu ketentuan dimana, apabila bulan berada diantara waktu (a) dan (b) maka awal bulan Hijriyah dimulai, sedangkan bila bulan berada di luar waktu antara (a) dan (b) maka bulan Hijriyah belum dapat dimulai. Sehingga dari sini dapat dipahami mengapa WH menggunakan perhitungan piringan atas sebagai batas terbenamnya bulan.

        Sedangkan kedua paragraf yang disampaikan oleh Pak Agus tersebut adalah dasar rujukan (alasan) dalam membuat kriteria WH. Kalau boleh saya simpulkan maka paragraf pertama menjelaskan tentang pergerakan bulan dan pergerakan semu matahari terhadap bumi. Sedangkan paragraf kedua menjelaskan tentang visibilitas hilal (ketampakan hilal).

        Menurut saya, dasar rujukan inilah yang dikritik oleh Pak Thomas, terutama dasar/alasan yang terdapat pada paragraf kedua yang secara jelas menghubungkan keberadaan bulan dengan visibilitas (ketampakan) hilal. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah dasar/alasan keberadaan piringan atas bulan yang menyembul di atas ufuk saat matahari terbenam merupakan abstraksi dalam perintah melihat hilal (rukyat) sedangkan diketahui ternyata pada saat tersebut hilal dapat saja tidak terlihat (seperti yang dicontohkan oleh Pak Thomas)?

        Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan tidak berkenan. Mohon koreksinya. Terima Kasih.

      • @Pak Syarif,

        Kemudian dibuat suatu ketentuan dimana, apabila bulan berada diantara waktu (a) dan (b) maka awal bulan Hijriyah dimulai, sedangkan bila bulan berada di luar waktu antara (a) dan (b) maka bulan Hijriyah belum dapat dimulai.

        Maaf, saya justru tidak paham dengan maksud kalimat di atas. Konjungsi adalah definisi teoritis yang dipakai untuk menyimpulkan bahwa bulan sudah cukup umur. Posisi bulan pada saat konjungsi tidak mempengaruhi kriteria awal bulan karena konjungsi bisa terjadi kapan saja, tetapi posisi bulan pada saat matahari tenggelam yang perlu dihitung, apakah sudah di atas ufuk atau belum.

        Dua kalimat di bawah memang yang sedikti membingungkan, tetapi sebenarnya tidak ada kaitan erat dengan sebab-akibat dengan kriteria visibilitas hilal.

        Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk.

        Saya tulis ulang menjadi:
        Bulan di bawah ufuk ==> hilal tidak mungkin terlihat
        Hilal telah terlihat ==> bulan pasti sudah di atas ufuk
        Dua pernyataan di atas masih benar, tetapi sekedar penjelasan bahwa dalam taraf tertentu masih terdapat kompatibilitas dengan kriteria sebelumnya (visibilas hilal melalui rukyat) dengan kriteria awal bulan yang diabstraksikan menggunakan parameter posisi bulan. Alasan penggunaan abstraksi menggunakan posisi bulan bukan karena alasan sederhana dua pernyataan di atas. Lihat penjelasan di buku yang sama, halaman 79-81. Sedang pertanyaan Pak Syarif seakan-akan wujudul hilal juga mengatakan:
        Bulan di atas ufuk ==> hilal sudah terlihat
        Saya kira itu hanya persepsi pembaca yang dari awal sudah mempunyai asumsi bahwa hisab selalu menghitung keberadaan hilal, bukan bulan.

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

        Maksud dari kalimat saya tersebut adalah keberadaan bulan berdasarkan dua waktu kejadian yaitu (a) konjungsi dan (b) terbenamnya matahari. Apabila posisi bulan berada setelah waktu (a) konjungsi dan saat waktu (b) terbenamnya matahari bulan masih di atas ufuk sebagai batasnya (atau diantara waktu (a) dan (b)), maka bulan Hijriyah dimulai menurut WH.

        waktu konjungi < posisi bulan hilal sudah terlihat. Bukan begitu Pak Agus?

        Zaki A. Al-Mostafa (2005) dalam tulisannya yang berjudul “Lunar Calenders: The New Saudi Arabian Criterion” menyimpulkan bahwa Ummu Quro bergantung kepada “probability of seeing the crescent” artinya terlepas apakah dalam perhitungannya hanya menghitung keberadaan bulan, tetapi tetap mendasarkan/berpatokan kepada keberadaan/ketampakan hilal itu sendiri (“seeing the crescent”).

        Jadi saya agak kurang paham kalau menurut Pak Agus tidak ada kaitan erat antara kriteria WH yang didasari oleh kriteria visibilitas/ketampakan hilal, padahal paragaraf kedua tersebut jelas menghubungkan kriteria WH dengan ketampakan hilal lengkap dengan contoh perhitungannya (hal 82).

        Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan tidak berkenan. Mohon koreksinya. Terima Kasih.

      • Untuk Pak Agus, maaf sepertinya ada postingan yang terpotong…(saya biasa menulis dulu di word dan di copy paste ke blog ini)

        pada kalimat:
        <blockquotewaktu konjungi < posisi bulan hilal sudah terlihat. Bukan begitu Pak Agus?

        Seharusnya:

        waktu konjungsi < posisi bulan hilal sudah terlihat. Bukan begitu Pak Agus?

        Demikian, mohon maaf dengan kesalahan saya tersebut, dan ketidaknyamanan dalam membaca tulisan saya. Terima kasih.

      • Maaf maksud saya seharusnya:

        waktu konjungsi < posisi bulan hilal sudah terlihat. Bukan begitu Pak Agus?

      • @Pak Syarif,
        Mungkin saya bisa membayangkan maksud pak Syarif. Hanya saja, karena waktu dan ruang mempunyai dimensi yang berbeda, membandingkan dua variabel dalam dimensi yang berbeda dengan menganggap seakan-akan keduanya di atas satu sumbu linear susah untuk dicerna.

        Zaki A. Al-Mostafa (2005) dalam tulisannya yang berjudul “Lunar Calenders: The New Saudi Arabian Criterion” menyimpulkan bahwa Ummu Quro bergantung kepada “probability of seeing the crescent” artinya terlepas apakah dalam perhitungannya hanya menghitung keberadaan bulan, tetapi tetap mendasarkan/berpatokan kepada keberadaan/ketampakan hilal itu sendiri (“seeing the crescent”).

        Kalender Ummul Qura dan kalender yang berdasar wujudul hilal mempunyai kriteria yang kurang lebih sama (meskipun ada perbedaan basis tempat perhitungan), tetapi mempunyai tujuan yang berbeda. Ummul Qura adalah kalender administrasi dimana merupakan pendekatan (aproximasi) terhadap penetapan tanggal Hijriyah secara syar’i oleh pemerintah Saudi di kemudian hari. Kalender mengakui hanya rukyatul hilal sebagai satu-satunya yang mempunyai landasan syar’i dalam menetapkan tanggal awal bulan baru. Pada akhirnya menggunakan kriteria yang sama dengan wujudul hilal adalah karena: (1) kalender berbasis visibilitas hilal adalah keniscayaan dikarenakan banyak faktor yang tidak bisa diprediksi sebelumnya secara akurat (seperti kondisi cuaca dan keberadaan saksi); (2) kecenderungan adanya klaim terhadap visibilitas hilal meskipun dalan kondisi yang sulit (namun susah untuk ditolak); (3) Hanya bulan di bawah ufuk saja parameter pasti untuk menolak kesaksian hilal.
        Berbeda dengan maksud kalender Ummul Qura, Muhammadiyah memposisikan wujudul hilal sebagai kriteria generalisasi penampakan hilal melalu rukyat, dan kalender berdasar kriteria ini penentu hari-hari khusus dalam agama. Dalam posisi ini, ketika hilal tidak (mungkin) tampak pun, selama bulan sudah di atas ufuk maka bulan baru Hijriyah sudah bisa diawali. Meskipun kriteria penetapan sama, tapi keduanya tidak identik dalam perumusannya, latar belakang, maupun argumentasi yang melandasinya. Hanya karena suatu alasan dipakai untuk menjustifikasikan kalender Ummul Qura, tidak berarti alasan yang sama juga pasti dipakai sebagai justifikasi wujudul hilal.

        Mengomentari contoh di Pedoman Hisab Muhammadiyah, halaman 82:

        Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru. Sebagai contoh tinggi Bulan pada sore hari ijtimak Senin tanggal 29 September 2008 saat matahari terbenam adalah 00° 51¢ 57″, artinya Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, dan oleh sebab itu bulan berjalan digenapkan 30 hari sehingga 1 Syawal jatuh hari Rabu 1 Oktober 2008. Pada sore Selasa (hari ke-30) Bulan sudah berada di atas ufuk (tinggi titik pusat Bulan 09o 10¢ 25″).

        Sekali lagi bagian yang Pak Syarif anggap penting (tapi sebenarnya sekedar tambahan fakta) hanya mengatakan bahwa: “bulan di bawah ufuk ==> hilal tidak mungkin terlihat”. Itu tidak berarti bahwa “hilal tidak terlihat ==> tidak bisa memulai bulan baru”. Pertanyaan Pak Syarif mengasumsikan pernyataan terakhir ini sebagai implikasi dari konsep wujudul hilal. Padahal, menurut wujudul hilal, ketika sudah terjadi konjungsi (cukup umur bulan) dan bulan sudah “mendahului” matahari (ufuk sebagai garis start), terlepas apakah hilal ada atau tidak ada, bulan baru Hijriyah sudah mulai.

      • Pemahaman Pak Agus mengenai wujudul hilal yang sama sekali mengabaikan hilal harus diklarifikasi kepada MTT PP Muhammadiyah. Dan kalau memang demikian halnya, bahwa WH sudah mengabaikan sama sekali hilal yang disyariatkan sebagai acuan waktu masuknya bulan baru, ini harus dijelaskan kepada awam, khususnya warga Muhammadiyah.

        Mengapa ? Karena selama ini yang difahami oleh kebanyakan warga Muhammadiyah mengenai WH hilal adalah “hilal telah wujud” tetapi tidak bisa dilihat oleh mata; dan bukan sekedar “bulan telah wujud di atas ufuk” atau “matahari telah terbenam mendahului bulan”.

        Pun demikian, ketika mengumumkan awal puasa dan hari raya, PP Muhammadiyah selalu menggunakan istilah “tinggi hilal” dan bukan “tinggi rembulan” dalam konsiderasi keputusannya. Ini perlu diperjelas sebab publik berasumsi bhw hilal itu adalah “bulan sabit”, yaitu bagian dari rembulan yang tersinari oleh matahari yang tampak dari bumi berbetuk sabit.

        Di sinilah sekali lagi tampak ambiguisitas dari WH :
        1. Memakai istilah “wujudul hilal” tetapi tidak menghisab hilal.
        2. Memakai parameter “tinggi hilal” tetapi tidak mengukur ketinggian hilal melainkan tinggi titik tertinggi dari rembulan saat matahari terbenam.

        Di sinilah yang saya maksud dengan pertanggungjawaban publik MTT PP Muhammadiyah atas pemilihan WH sebagai kriteria penentuan awal bulan. Publik haru dijelaskan, benarkah bhw WH telah mengabaikan hilal yang jelas jelas disebut di ayat 189 ALBaqarah sebagai acuan waktu awal bulan ? Kalau memang benar, mengapa masih memakai istilah “hilal” dalam “wujudul hilal” dan masih menyebut parameter “tinggi hilal”.

        Sekali lagi, saya tidak melihat adanya alasan yang prinsipil yang bisa digunakan untuk mempertahankan WH.

      • @Pak Rois,
        Terima kasih, Pak Rois sudah lebih proporsional membahas tema wujudul hilal.

        Pemahaman Pak Agus mengenai wujudul hilal yang sama sekali mengabaikan hilal harus diklarifikasi kepada MTT PP Muhammadiyah.

        Penjelasan tentang wujudul hilal dapat diakses dengan mudah, terutama lewat media Internet. Sebelum mewujudkan berhasrat untuk melakukan klarifikasi, sebainya kita mengerjakan PR kita lebih dulu untuk mencoba mempelajari informasi yang sudah diberikan.

        Penggunaan kata hilal sendiri memang membutuhkah kritik, dikarenakan bagi orang yang tidak mengerti konsep wujudul hilal akan menganggapnya sebagai definisi umum hilal sebagai bulan sabit (crescent) yang terlihat setelah maghrib di waktu-waktu (jamak) awal bulan. Pak Syamsul Anwar menjelaskan pengunaan kata ilal ini sebagai gaya bahasa prolepsis. Dia mencontohkan kata “miladul hilal” dalam bahasa Arab yang hanya berarti konjungsi atau ijtimak, dan tidak berhubungan sama sekali dengan hilal seperti definisi umum. Setiap istilah sering membutuhkan definisi khusus yang sesuai dengan konteks, seperti:
        – tinggi hilal: bagian apa yang di ukur? Titik pusat bulan (padahal titik pusat bulan bukan bagian dari hilal) atau bagian terbawah dari penampakan hilal?
        – bulan masih di atas ufuk: untuk wujudul hilal berarti piringan atas bulan masih di atas ufuk (ketinggian lebih dari 0 derajat)
        – bulan tenggelam setelah matahari: untuk konsep kalender Ummul Qura, itu berarti piringan bahwa bulan masih di atas ufuk ketika matahari tenggelam, ketika dipakai dalam wujudul hilal maksudnya adalah definisi “bulan masih di atas ufuk” di atas.

        Ketika wujudul hilal benar-benar ingin lebih dekat dengan definisi hilal pada umumnya, saya kira kriteria kalender Ummul Qura lebih mudah diterima oleh umat Islam yang membutuhkan definisi syar’i tentang hilal (dalam kasus ini, “hilal sudah wujud” adalah hilal yang sudah ada (dan memang pasti ada) tetapi belum tentu bisa diamati jika terlalu tipis).

        Di sinilah yang saya maksud dengan pertanggungjawaban publik MTT PP Muhammadiyah atas pemilihan WH sebagai kriteria penentuan awal bulan. Publik haru dijelaskan, benarkah bhw WH telah mengabaikan hilal yang jelas jelas disebut di ayat 189 ALBaqarah sebagai acuan waktu awal bulan ?

        Sebuah ijtihad selalu ada penjelasan dan argumentasi. Dan penjelasan sudah ada. Setiap orang boleh tidak setuju ketika argumentasi dianggap kurang kuat sesuai apa yang diimani. Dan saya kira ada sebagian anggota Muhammadiyah yang tidak menggunakan wujudul hilal sebagai acuan awal bulan Hijriyah (seperti yang disinggung dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah). Inilah tempat yang perlu didiskusikan, bukan melalui klaim dan tuduhan tidak pada tempatnya (kritik terhadap objek didefinisikan berbeda) dengan alasan ilmu astronomi dan logika, apalagi dengan disertai dengan spekulasi dan asumsi tidak bisa dijustifikasikan.

      • Sama sama Pak Agus.

        Ada dua pokok bahasan utama di sini:

        1. Pemahaman bhw WH sama sekali mengabaikan hilal, dan tidak lagi menjadikan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru. Hal ini diindikasikan dari:
        a.Tidak disebutkannya ayat 189 AlBaqarah di dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah. Padahal, justru ayat itulah yang secara spesifik menyebut hilal sebagai acuan penanda waktu bagi manusia, khususnya waktu ibadah (haji dan puasa).
        b. Apa yang disebut sebagai “tinggi hilal” dalam perhitungan hisab WH sebagaimana yang dijelaskan di buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, sesungguhnya bukanlah hilal dalam pengertian bulan sabit, melainkan tinggi posisi rembulan pada saat matahari terbenam. Lebih tepatnya adalah tinggi titik tertinggi dari piringan rembulan bagian atas.

        Pertanyaannya: benarkah pemahaman tersebut ?

        Saya sendiri memahami bhw pemahaman seperti itulah yang bisa diambil dari buku Pedoman HIsab Muhammadiyah; dan sepertinya Pak Agus juga memahami seperti itu. Akan tetapi, bukankah pemahaman seperti ini sebenarnya hanyalah tafsir dari pembacaan buku Pedoman Hisab Muhammadiyah yang kedudukannya sama saja dengan pemahaman Prof Thomas atau orang orang lain yang tidak setuju kalau dikatakan bhw WH telah mengabaikan hilal dan ayat yang mensyariatkan hilal sebagai acuan waktu ? Bukankah dari namanya saja “wujudul hilal” itu berarti WH masih menggunakan hilal ? Demikian pula perhitungan parameter tinggi bulan masih disebut sebagai “tinggi hilal” ?

        Kalau Pak Agus mengkritik Prof Thomas telah melakukan penyesatan karena telah mengkritik WH dengan tidak berdasarkan hakekat atau definisi WH yang benar, bukankah Pak Agus sebenarnya juga sedang melakukan hal yang sama, yaitu melakukan akuisasi/klaim bhw WH yang benar telah sama sekali mengabaikan hilal ?

        Di sinilah sekali lagi, pemahaman pengabaian hilal oleh WH tsb. harus diklarifikasikan kepada MTT PP Muhammadiyah.

        2. Tujuan dari kritik dan diskusi mengenai wujudul hilal.
        Apa sesungguhnya tujuan dari semua debat dan diskusi ini ? Tujuannya jelas: mengupayakan terciptanya penyatuan kalender hijriyah, terutama untuk penyatuan pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya.
        Prof. Thomas telah menunjukkan keistiqomahan beliau dalam upaya ini. Lebih dari 10 tahun beliau berusaha keras melobi ormas ormas Islam untuk bersama sama mewujudkan hal itu. Beliau itu bukan hanya faham mengenai astronomi, tetapi beliau juga faham mengenai kefahaman dan perilaku ormas ormas yang beraneka ragam dalam hal penentuan puasa dan hari raya.
        Tahun 2008, beliau sudah menawarkan langkah penyatuan dengan mengajak para ormas untuk mendefinisikan hilal agar tercipta penyatuan atau paling tidak mengurangi perbedaan. Artinya apa ? Beliau faham betul bhw akar perbedaan penentuan hari raya itu bukan pada hisab vs ru’yat, melainkan pada definisi hilal. Nah, bukankah diskusi panjang kita berujung pada kesimpulan yang sama ?; yaitu bhw terjadi perbedaan definisi hilal (hilal yang harus diru’yat oleh mata (ru’yah murni), hilal yang dihisab bisa diru’yat oleh mata (hisab imkaanur-ru’yat), dan hilal yang diihisab tidak bisa diru’yat oleh mata (Wujudul Hilal)). Dan bahkan, jika pemahaman bhw WH sama sekali mengabaikan hilal adalah benar, perbedaan itu bukan lagi pada definisi hilal, tetapi lebih jauh lagi yaitu apa yang dissyariatkan sebagai acuan masuknya bulan baru; apakah hilal, ataukah ijtima’, ataukah moonset after sunset ?

        Intinya, kembali ke tujuan di atas, penyatuan hanya akan terwujud jika semua fihak bersedia beranjak/bergeser dari posisinya masing masing saat ini. Penyampaian kritik atas WH hendaknya difahami dalam konteks tsb; bhw WH bukanlah sesuatu yang sakral, yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Selama masih ada keyakinan bhw WH-lah yang paling benar dari berbagai aspek, maka penyatuan kalender hijriyah tidak bakal terlaksana. Jika terbuka kemungkinan beberapa opsi kriteria, mengapa tidak dipilih saja kriteria yang paling memungkinkan untuk terwujudnya penyatuan atau paling tidak meminimalkan perbedaan ? Agar pemilihan tsb tidak sekedar “kompromi”, maka harus dikembalikan ke AlQur’an dan As-sunnah secara menyeluruh; dimulai dari pendiefinisian hilal yang jelas jelas disebut sebagai acuan waktu di ayat 189 Surat AlBaqarah.

        Demikian yang saya sempaikan, semoga bermanfaat bagi kita semua, amiin.

        Wassalam,
        Rois

      • @Pak Rois,

        b. Apa yang disebut sebagai “tinggi hilal” dalam perhitungan hisab WH sebagaimana yang dijelaskan di buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, sesungguhnya bukanlah hilal dalam pengertian bulan sabit, melainkan tinggi posisi rembulan pada saat matahari terbenam. Lebih tepatnya adalah tinggi titik tertinggi dari piringan rembulan bagian atas.

        Meskipun saya sering menemukan istilah tinggi hilal dalam maklumat PP Muhammaidyah, saya tidak menemukan istilah ini dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah, dan yang ada hanyalah “tinggi bulan”. Mungkin Pak Rois bisa menunjukkan bagian mana buku tersebut menuliskan “tinggi hilal”? Karena Pak Rois ingin melakukan klarifikasi, tentu saja harus hati-hati dalam membaca sumber informasi tersebut.

        Kalau Pak Agus mengkritik Prof Thomas telah melakukan penyesatan karena telah mengkritik WH dengan tidak berdasarkan hakekat atau definisi WH yang benar, bukankah Pak Agus sebenarnya juga sedang melakukan hal yang sama, yaitu melakukan akuisasi/klaim bhw WH yang benar telah sama sekali mengabaikan hilal ?

        Pemahaman saya tentang wujudul hilal tentu saja ada kemungkinan salah. Hanya saja, pemahaman saya tersebut sejalan dengan semua referensi yang bisa saya dapati termasuk dari Pedoman Hisab Muhammadiyah, tulisan-tulisan dari Pak Syamsul Anwar, Pak Susiknan Azhari, maupun Pak Oman Fathurohman. Tidak ada dalam referensi tersebut yang bisa menjustifikasikan argumentasi Pak Djamaluddin yang melakukan penilaian wujudul hilal dalam kerangka visibilitas hilal. Sedang Pak Djamaluddin sendiri, meskipun sudah dikritik berkali-kali, tidak pernah bisa memberikan referensi yang bisa mendukung argumentasinya mengenai hal ini. Bahkan 3 rangkaian tulisan Pak Susiknan di Facebook yang menjawab tulisan Pak Djamaluddin tidak pernah mendapat jawaban yang layak.

        2. Tujuan dari kritik dan diskusi mengenai wujudul hilal.
        Apa sesungguhnya tujuan dari semua debat dan diskusi ini ? Tujuannya jelas: mengupayakan terciptanya penyatuan kalender hijriyah, terutama untuk penyatuan pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya.

        Saya tidak pernah memposisikan diri berlawanan dengan maksud dan tujuan ini. Justru saya sebenarnya mendukung pernyatuan kalender Hijriyah. Yang saya kritik adalah bagaimana Pak Djamaluddin menggunakan cara penyajian informasi yang tidak akurat dan bentuk penyesatan terhadap tema wujudul hilal. Saya melihat bahwa banyak tulisan yang hanya bertujuan menggiring opini publik untuk menyalahkan wujudul hilal, tanpa adanya kritik-kritik yang benar-benar bisa dijustifikasikan. Bahkan ada beberapa tulisan justru hanya berisi spekulasi, tidak logis, dan tanpa kandungan ilmiah. Apapun tujuannya, saya tidak pernah bisa menyetujui cara-cara seperti ini dengan mengatasnamakan ilmu astronomi ataupun logika, apalagi atas nama agama dan ummat.

      • Pak Agus, terima kasih banyak atas penjelasannya. Mohon maaf, sepertinya ada permasalahan dalam kode HTML pada tulisan saya sebelumnya, sehingga ada yg terpotong. Tetapi saya melihat penjelasan oleh Pak Agus sudah mencakup dari yang saya tanyakan pada tulisan yang terpotong tersebut.

        Juga untuk Pak Agus dan Pak Rois terima kasih atas diskusinya yang menarik, sehingga menambah wawasan saya mengenai perbedaan konsep WH dan konsep IR.

        Saya melihat ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan lebih jauh, sudah tercakup dalam tulisan Pak Rois, mungkin untuk sementara saya menyimak dahulu jawaban Pak Agus atas pertanyaan tersebut, supaya diskusi (mudah-mudahan) menjadi lebih fokus.

        Terima kasih.

      • Terima kasih, Pak Agus.

        Nah, itulah yang saya maksud: yang muncul di maklumat PP “tinggi hilal”, yang difahami awam “tinggi hilal”, tetapi di buku pedoman hisab Muhammadiyah adalah “tinggi bulan” atau tepatnya “tinggi bulan mar’i”.

        Saya garisbawahi, saya sendiripun juga mempunyai pemahaman yang sama dengan Pak Agus, bahwa WH telah mengabaikan hilal. Akan tetapi saya tidak berani mengatakan bhw pemahaman itulah yang benar, yang hanya saya peroleh dari semata mata membaca buku pedoman hisab Muhammadiyah saja (edisi 2009).

        Harap diingat WH sendiri sesungguhnya mengalami evolusi. 3 kriteria WH yang kita kenal saat ini tidak muncul dalam satu waktu sekaligus, tetapi muncul secara bertahap. Aspek historis konsep WH ini harus kita fahami kalau kita ingin memahami hakekat konsep WH.

        Dan Prof. Thomas sudah menjelaskan pemahaman beliau mengenai WH di tahun 2004 (bukan tahun 2008 seperti yang saya sampaikan di atas), ketika mengajukan solusi untuk medefinisikan hilal.

        Silakan baca tulisan beliau di blog ini juga yang berjudul redefinisi-hilal-menuju-titik-temu-kalender-hijriyah.

        Di situ beliau menjelaskan pemahaman beliau mengenai WH, terutama dari aspek kronologinya; yang sebenarnya (menurut pemahaman beliau), masih bermula dari upaya menghisab “hilal”. Sehingga, beliau pun masih memasukkan WH sebagai hisab thd hilal, dan beliau tidak mengatakan bhw WH sudah tidak lagi menghisab hilal seperti yang Pak Agus fahami. Lagipula, dari mana asal penamaan hilal dalam “wujudul hilal” kalau yang dihisab bukan hilal ?

        Jadi, sekali lagi point saya adalah: janganlah kita ini gegabah mengatakan bhw seseorang telah melakukan penyesatan dst; apalagi jika pada saat yang bersamaan kita sendiri secara tidak sadar telah melakukan klaim atas sesuatu hal sesungguhnya kita bukan hanya tidak benar benar faham thd hal tsb, tetapi kita juga tidak berkompeten menjelaskannya. Kalau kita tidak faham, mana yang benar mana yang salah, bagaimana kita tahu bhw pemahaman orang lain adalah salah ?

        Biarlah fihak MTT PP Muhammadiyah yang menjawab, apakah betul bhw sesungguhnya WH tidak lagi menghisab hilal, dan telah mengabaikan hilal serta mengabaikan ayat yang menyebut pensyariatan hilal sebagai acuan waktu (ALBaqarah 189).

        Demikian, semoga bermanfaat.

        Salam,
        Rois

      • Ustadz Rois, Ustadz Agus,

        Mohon izin bertanya. Coba periksa himpunan putusan tarjih muhammadiyah cetakan tahun 2009, halaman 293, Kitab Beberapa Masalah, poin nomor 11. Atau kalau di edisi elektronik ada di halaman 149-150. Saya tulis terjemahan Indonesianya saja di bawah ini:

        11. Masalah Hisab Dan Ru’yah
        Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari. “Dialah yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta
        menentukan gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan tahun dan hisab.” (Al-Quran surat Yunus ayat 5).

        Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataan ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar. Menilik hadits dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:”Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh
        mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

        Saya ingin menggarisbawahi “Berpusa dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab”, serta kalimat “Majlis Tarjih memutuskan bahwa ru’yahlah yang mu’tabar.”

        Ini maksudnya apa ya? Menurut saya ini bisa disebut paradoks juga ketika Dewan Hisab menekankan penggunaan kriteria wujudul hilal, sementara dalam putusan tarjih sendiri (yang saat ini belum direvisi, CMIIW) disebutkan ru’yah diutamakan.

        Mohon pencerahannya barangkali saya salah memahami kalimat tersebut.

      • Pak Rois,

        Mari kita berbicara secara objektif.

        Dalam prinsipnya, sebuah tuduhan, ketika disertai bukti dan argumentasi yang menguatkannya, maka itu adalah tindakan yang bisa dijustifikasikan. Semua kritik dari Pak Djamaluddin, selama ada agumentasi dan referensi yang bisa menguatkannya, maka tidak ada masalah secara ilmiah maupun logika. Masalahnya, kasusnya tidak seperti itu. Apa yang dikritik tidak pernah sejalan dengan referensi yang bisa diambil dari Majelis Tarjih & Tajdid. Sebuah konsep memang bisa berevolusi, toh Pak Djamaluddin tidak mengritik sejarah konsep, tapi konsep aktual yang dipakai sekarang. Meksipun saya selalu berusaha hati-hati untuk tidak melakukan tuduhan tanpa dasar, kualitas tulisan Pak Djamaluddin akhir-akhir ini saya nilai benar-benar di bawah standar seorang peneliti, apalagi seorang profesor riset. Tulisan yang Pak Rois tautkan justru masuk dalam kategori referensi yang menguatkan tuduhan saya.

        Selain dari Pedoman Hisab Muhammadiyah, saya kutipkan penjelasan dari Pak Syamsul Anwar dan Pak Susiknan Azhari yang saya anggap menguatkan pemahaman saya (sengaja tidak mengikutkan tautan karena sepertinya akan dimoderasi).

        – Tulisan dari Pak Syamsul Anwar ketika polemik penetapan Idul Fitri dipicu oleh tulisan dan tindakan Pak Djamaluddin:

        Mengenai dasar penetapan Idulfitri jatuh Selasa 30 Agustus 2011 adalah hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria (1) Bulan di langit untuk bulan Ramadan telah genap memutari Bumi satu putaran pada jam 10:05 Senin hari ini, (2) genapnya satu putaran itu tercapai sebelum Matahari hari ini terbenam, dan (3) saat Matahari hari ini nanti sore terbenam, Bulan positif di atas ufuk. Jadi dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi. Kriteria ini tidak berdasarkan konsep penampakan. Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu, yaitu tiga parameter yang disebutkan tadi.

        – Tulisan dari Pak Susiknan Azhari terhadap “tuduhan” Pak Djamaluddin (HAK JAWAB ATAS ARTIKEL THOMAS DJAMALUDDIN bagian ketiga (Astronomi Islam 23))

        Selama ini ada kesalahan menilai wujudul hilal dalam kerangka visibilitas hilal. Sehingga nampak wujudul hilal tidak sejalan dengan imkanur rukyat yang dianggap sesuai sunnah. Para pemburu hilal pun juga terkungkung dengan teori visibilitas hilal akibatnya ketika melakukan observasi mereka terbebani akan kehadiran hilal. Dengan kata lain jika posisi hilal di bawah ambang batas visibilitas hilal yang diyakini maka dengan mudah menyimpulkan hilal tidak mungkin terlihat.

        Kehadiran teori wujudul hilal merupakan sintesa-kreatif dan tidak perlu ditakuti. Kata kuncinya adalah menakar wujudul hilal dengan menggunakan kacamata positif sehingga hasilnya objektif. Namun jika menggunakan kacamata negatif tentu hasilnya sangat subjektif. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran metodologis sekaligus kebenaran yang berjalan. Setiap saat bisa berubah sesuai metode yang digunakan. Artinya untuk menguji kesahihan wujudul hilal jangan diukur menggunakan parameter visibilitas hilal. Sebaliknya untuk menguji kesahihan visibilitas hilal jangan diukur menggunakan parameter wujudul hilal. Kalau cara berpikir seperti ini yang dikembangkan sampai kiamat tidak akan bertemu.

        Yang kemudian dalam penutupnya disebutkan:

        Semangat si penulis artikel mewujudkan persatuan. Tetapi cara-cara yang digunakan justeru bertolak belakang dan menimbulkan kebencian dan perpecahan di kalangan masyarakat. Seorang peneliti hendaknya menulis berdasarkan hasil penelitian. Jangan sekedar asumsi dan spekulasi. Apalagi terlalu fulgar dalam melakukan kritik tanpa didukung data yang akurat. Berhati-hatilah mengutip sebuah data dan melontarkan statemen. Agar kelak tidak dikutuk sejarah.

        Ketika Pak Rois ingin mengonfirmasi pemahaman Pak Djamaluddin kepada Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah, maka pertanyaan akan kembali kepada Pak Syamsul Anwar, Pak Susiknan Azhari, dan tokoh di sekitarnya. Dalam kenyataanya, keduanya justru sudah mengritik cara kritik Pak Djamaluddin yang tidak pada tempatnya.

        Sekarang saya menungu argumentasi dan referensi yang benar-benar bisa menguatkan kritik Pak Djamaluddin. Atau, kalau boleh, saya ingin tahu alasan Pak Rois untuk lebih percaya kepada Pak Djamaluddin tentang wujudul hilal, dibanding Pak Syamsul Anwar dan Pak Susiknan Azhari, meskipun dua orang terakhir ini dianggap paling mengerti konsep wujudul hilal dalam Muhammadiyah.

      • @Pak Nugraha,
        Saya bukan ustadz, dan ketika diskusi sudah menginjak wilayah fiqih, saya tidak mempunyai kompetensi untuk membahasnya. Saya juga tidak ingin menutupi fakta ini, bahwa anda sebenarnya jauh lebih tahu dan menguasai hal ini.
        Hanya saja menurut yang saya pahami, pegangan yang Pak Nugraha tersebut di atas sudah direvisi melalui keputusan Musyawarah Nasional Tarjih tahun 2000 dan diperkuat tahun 2003 yang kurang lebih mengatakan bahwa laporan rukyat pada posisi hilal masih di bawah ufuk harus ditolak. Jadi kedudukan hisab menjadi lebih kuat karena bisa menganulir hasil rukyat ketika rukyat dinilai mengandung kesalahan.

      • Pak Agus,

        Saya berasumsi bhw Pak Agus ini bukan seorang astronom seperti Prof Thomas, dan bukan pula seorang pengurus atau anggota MTT PP Muhammadiyah seperti Prof Syamsul dan Prof. Susiknan. Kalau asumsi saya benar, maka Pak Agus tidak punya kompetensi baik dari sisi astronomi maupun sisi wujudul hilal.

        Saya berasumsi bahwa Pak Agus ini orang awam seperti saya, orang awam yang baru saja tertarik belajar dan berdiskusi mengenai kalender hijriyah.

        Sebagai sesama pembelajar, saya mengingatkan Pak Agus untuk menjaga adab pembelajar: bertanyalah, jangan menghakimi. Dari diskusi terbatas ini saja sudah diketahui bahwa Pak Prasojo dan Pak Syarif tidak sependapat dengan Pak Agus dalam hal klaim bhw WH telah mengabaikan hilal.

        Berikut beberapa pertanyaan yang saya sarankan untuk bersama sama kita cari jawabnya:
        1. Dari mana asal kata hilal dalam terminologi wujudul hilal ?
        2. Apa maksud kata hilal dalam terminologi wujudul hilal ?
        3. Bagaimana sesungguhnya sejarah kriteria wujudul hilal ? Benarkah bhw sejak awal WH tidak menghisab hilal ? Ataukah wujudul hilal itu bagian dari sejarah ilmu hisab thd hilal ?
        4. Mengapa ayat 189 yang menyebut pensyariatan hilal sama sekali tidak disebut di dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah ?
        5. Mengapa kata “tinggi hilal” yang sering muncul di maklumat PP Muhammadiyah justru sama sekali tidak muncul di buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dan yang ada adalah istilah “tinggi bulan” ?

        Salam pembelajar,
        Rois
        NB: Saya sarankan Pak Agus membaca paper Muhammad Ilyas berjudul “Crescent Visibility Criterion and Islamic Calender”, terutama di bagian tentang sejarah hisab hilal.

      • @Pak Rois,
        Sayang sekali diskusi saya dengan Pak Rois sudah mulai menjauh dari yang positif. Pak Rois tidak melihat dan menimbang apa argumentasi dan referensi yang saya ajukan, tetapi mengomentari siapa yang mengeluarkan argumentasi tersebut. Saya tidak jarang menemui cara seperti ini dalam diskusi bertema agama, yang menunjukkan bahwa tipe dikusi seperti ini memang cenderung mengesampingkan logika dan kaidah ilmiah.

        Saya bukan astronom, hanya saja saya melihat prinsip umum astronomi yang berhubungan dengan kalender Hijriyah cukup mudah untuk saya pahami. Saya mempunyai dasar logika yang cukup kuat, termasuk ketika dibandingkan dengan orang-orang berbakat yang pernah saya temui dari dalam maupun luar negri.

        Sebelum menutup ulir ini (saya tidak merasa perlu untuk meneruskannya), mungkin tidak ada salahnya untuk mengemukanan sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Dalam tulisan dalam blog ini, Pak Djamaluddin mengajak pembaca untuk melihat satu kasus dimana logika wujudul hilal diklasifikasikan sebagai sebuah paradoks. Sebuah paradoks terjadi ketika sebuah asumsi pada akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan yang bertentangan dengan asumsi tersebut. Dalam kasus contoh yang diajukan Pak Djamaluddin,
        (1) asumsi: wujudul hilal memberi kriteria dimana hilal sudah wujud
        (2) kesimpulan: dalam kasus tertentu, hilal tidak wujud karena terlanjur terbenam

        Agar menjadi sebuah paradoks, (1) sebagai asumsi perlu diperjelas dengan,
        (1) asumsi: wujudul hilal memberi kriteria dimana hilal sudah wujud, dalam arti (a) hilal adalah crescent, bulan sabit yang (mungkin bisa) terdeteksi; (b) hilal tersebut harus berada di atas ufuk ketika matahari tengelam

        Sekarang, apakah ada bukti yang bisa menyatakan asumsi (1) benar adanya? Padahal,
        – (Pedoman Hisab Muhammadiyah) bulan baru telah wujud: pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk
        – (Syamsul Anwar) “Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu.”
        – (Susiknan Azhari) “Selama ini ada kesalahan menilai wujudul hilal dalam kerangka visibilitas hilal.”
        – (Oman Fathurohman) “Mengisyaratkan bahwa hilal merupakan fase pertama (fase paling kecil) Bulan dalam siklus peredaran bulanannya. … Mengisyaratkan bahwa fase pertama (fase paling kecil) Bulan dalam siklus peredaran bulanannya itu dicapai pada saat matahari terkejar oleh Bulan.”

        Logika yang sehat akan mempertanyakan validitas asumsi (1) mengingat referensi dari sumber yang mendefinisikan wujudul hilal memberi informasi yang tidak sesuai dengan asumsi tersebut. Saya tidak akan menyalahkan anda yang mempercayai Pak Djamaluddin meskipun tanpa alasan logis, saya akan mengganggap itu sekedar bagian dari iman anda.

      • Pak Agus,

        Saya merasa sedang mengalami “de javu”. Saya pernah mengalami posisi seperti Pak Agus ini. Berdiskusi dalam satu hal, saya merasa telah benar memahami sesuatu. Semua kawan diskusi saya seolah olah “menyerah” dan tidak ada yang bisa membantah argumentasi saya. Saya merasa bhw pemahaman saya yang paling benar. Sampai akhirnya saya bertemu dengan seseorang yang begitu sabar meladeni argumentasi saya, dan akhirnya saya sadar bhw pemahaman saya ternyata salah, dan pemahaman kawan diskusi saya yang benar.

        Untuk ke sekian kalinya saya katakan, bahwa secara substansi tentang WH, saya juga mempunyai pemahaman yang sama dengan Pak Agus bhw WH tidak lagi menghisab hilal. Bahkan saya sudah menyampaikan hal ini di komentar saya di tulisan Prof Thomas berjudul “Hisab Wujudul Hilal Muhammadiyah menghadapi masalah dalil dan berpotensi menjadi pseudosains”. (#comment-3105).

        Tetapi saya tidak yakin 100% bhw pemahaman bhw WH sama sekali telah mengabaikan hilal adalah benar. Alih alih mengklaim bhw WH betul betul tidak menghisab hilal, saya memilih untuk lebih berhati hati untuk tidak mengklaim seperti itu, dan memilih untuk bertanya dan mencari konfirmasi atas pemahaman seperti itu, seperti dengan pertanyaan pertanyaan yang saya ajak untuk kita cari jawabnya tsb di atas.

        Saya tidak mau mengulangi kesalahan saya yang saya ceritakan di depan itu; dan karena saya melihat potensi kesalahan itu ada pada diri Pak Agus, saya menasehati pak Agus agar: “bertanyalah, jangan menghakimi.”

        Secara substansi pun saya sudah mengajak pak Agus untuk memahami pula dari aspek sejarah dan aspek pemilihan istilah hilal pada sebutan “wujudul hilal”. Ini saya sampaikan sebagai pembanding dari pemahaman bhw WH telah mengabaikan hilal dan tidak lagi menghisab hilal, meskipun indikasi itu tampak jelas dari tidak disebutkannya sama sekali ayat 189 surat AlBaqarah yang jelas jelas mensyariatkan hilal sebagai acuan waktu, dan sama sekali tidak digunakannya istilah tinggi hilal dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” (meskipun PP Muhammadiyah dalam maklumatnya selalu (?) menggunakan istilah “tinggi hilal”).

        Tetapi rupa rupanya Pak Agus tidak bisa menangkap nasehat saya dengan jernih, dan terlalu bernafsu mengatakan bhw Prof Thomas telah melakukan penyesatan karena telah mendefiniskan WH berbeda dari WH yang Pak Agus fahami.

        Ya sudah kalau begitu, saya hanya bisa berharap Pak Agus mencermati kembali diskusi di blog ini dan mengambil manfaat sebesar besarnya untuk diri pak Agus dan umat Islam secara umum.

        Saya mohon ampun kepada Allah atas kemungkinan kesalahan pada tulisan dan jalan fikiran saya.

        Salam,
        Rois

  9. kalau menurut kriteria wujudul hilal gerhana bulan kemaren itu jatuhnya tanggal 16, masalahnya kalau tgl 15 itu lbh pas, bagaimana penjelasanya? koq bisa? ayo bagi yang mendukung WH tolong di jelaskan. Ato yang mengkritik WH gimana menanggapi nya?

    • Purnama dan gerhana bulan bisa terjadi tanggal 13, 14, 15, atau 16. Itu tidak menjadi masalah. Namun, banyak pendukung WH menjadikan purnama sebagai pembenaran WH ketika muncul kontroversi penetapan 1 Syawal lalu. Maka, ketika saat gerhana kali ini jatuh pada tanggal 16 menurut WH, semua bungkam, termasuk maklumat Muhammadiyah pun tidak lagi mencantumkan tanggal hijriyah untuk gerhana bulan 10 Desember lalu.

  10. mungkin komen saya tidak substantif, tapi menggunakan judul “Membongkar..” rasanya bukanlah kata yang sesuai dalam persuasi untuk tujuan besar menyatukan umat.
    Semoga kita bersatu dan saling menghormati, walaupun dalam perbedaan.

  11. Hisab itu bid’ah.

    Keutamaan Amalan Kontinyu

  12. Saya kira MHD tdk meninggalkan ayat tentang hilal. Hilal bisa dipahami secara kasat mata dan secara ilmu. Jd WH tidak bertentangan dengan Alquran.

    Hanya saya punya pemikiran yang sedikit berbeda. Pada saat bulan baru (new moon), bulan bergerak turun ke bawah ufuk (bukan ke atas ufuk seperti matahari terbit). Seyogyanya, bulan dianggap bulan baru jika saat matahari terbenam, badan bulan telah minimal separoh badan berada di atas ufuk. Ini lebih meyakinkan. Berbeda dengan matahari terbit, ia bisa dihitung sejak piringan atas nyembul di atas ufuk timur karena ia bergerak ke atas ufuk.

    Saya kira kriteria WH perlu pendefinisian ulang (minimal separuh badan bulan di atas ufuk) untuk disebut bulan baru. Tanpa harus memperhatikan ketampakan hilal. Ini sangat-sangat meyakinkan. Ketampakan hilal itu sesuatu yang dinamis, tidak boleh digunakan sebagai patokan. Dulu orang bisa melihat hilal pada ketinggian 6 derajat. Sekarang sudah bisa melihat hilal pada ketinggian 2 derajat. Esok mungkin orang bisa melihat hilal pada ketinggian 1 derajat. Dan akhirnya orang akan bisa melihat hilal pada tinggi 0 derajat (separoh badan bulan di atas ufuk). Jadi IR pada akhirnya akan mencapai WH. Saat inilah…..PERSATUAN UMMAT tercapai. Tetapi persatuan ummat bisa saja tercapai sebelum IR = WH jika ummat islam sudah melek iptek

    • Pak Prasojo,
      Jika keberadaan hilal menjadi syarat utama, saya kira separuh bulanpun masih kurang meyakinkan. Alasannya adalah, hilal yang sudah wujud tersebut kemungkinan terpotong karena sebagian hilal sudah di bawah ufuk. Jalan tengahnya adalah menggunakan kriteria kalender ummul qura: piringan bawah bulan masih di atas ufuk ketika matahari tenggelam. Itu menjamin semua komponen hilal di atas ufuk, meskipun dalam prakteknya tidak bisa diamati karena hilal yang terlalu tipis.

    • Maaf, mbok coba dicerna lagi. Ayat yang menunjukkan hilal sebagai penanda awal bulan itu yang mana ya … ??? Apa yang dimaksud adalah ayat yas’aluunaka ‘anil-ahillah, qul hiya mawaqitu lin-nasi wal-haj …? Itukah yang dimaksud? Benarkah itu dimaksudkan untuk menunjukkan hilal sebagai tanda awal bulan? Menurut saya kok tidak ya. Itu menunjukkan phase-phase muka bulan yang berganti-ganti sebagai tanda waktu melakukan ibadah haji, bukan menunjuk pada syarat pergantian bulan baru.

      • Pak Abu Faza,

        Dari mana pemahaman anda itu berasal ? Apakah dari kira kira atau ra’yu Pak Abu saja ? Atau ada rujukan kitab tafsir yang bisa kita baca bersama ? Kalau hanya dari ra’yu atau kira kira saja, saya sarankan Pak Abu beristighfar. Kalau dari kitab tafsir atau rujukan lain yang shahih, mohon sekiranya bisa di share di sini.

        Salam,
        Rois

      • Nggak tahu nih pak Abu…

        Seenaknya saja main tuduh (fitnah ?.. 🙂 ) bahwa Muhammadiyah telah mengabaikan ayat-ayat Al Quran…

        Kalau penafsiran orang lain beda dengan kita… jangan gampang saja memfitnah orang lain itu mengabaikan Al Quran…
        Lihat juga dong Asbabun Nujul ayat tersebut…

        Padahal… Asbabun Nujul ayat di atas itu dalam riwayat adalah untuk menjelaskan Pertanyaan seorang sahabat mengapa bentuk Penampakan Bulan berubah-ubah…

        Jadi Mengapa tiba-tiba harus dipahami bahwa Penampakan Bulan tgl 1 harus terlihat mata ?…
        ( Memang susah kalau sudah Terbelenggu Penampakan Bulan tgl 1 harus terlihat mata mah… 😦 )

        Saya sering bertanya… “sejak kapan Konsep Visibiltas Hilal dikenal dan digunakan umat Islam dalam Penetapan Awal Menggunakan Hisab ? “…
        Tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan…

        Ketika berbicara mengenai Penetapan Awal Menggunakan Hisab… INI KAITANNYA adalah dengan Kriteria Awal Bulan…

        Nah ketika Ulama-ulama Besar Terdahulu ada yang membolehkan Penggunaan Hisab dalam penetapan awal bulan…

        Kita akan tahu bagaimana cara Para Ulama Besar Terdahulu tersebut menafsirkan ayat Al Quran yang ada kaitannya dengan Hilal…
        adalah dengan cara mengetahui Kriteria Awal Bulan yang dijadikan patokan pada waktu itu…

        Dan setahu saya… Penghitungan Hisab pada waktu itu hanya berpatokan pada Peristiwa Ijtima’ saja…

        Itu artinya Para Ulama Terdahulu tidak pernah menafsirkan ayat :
        “yas’aluunaka ‘anil-ahillah, qul hiya mawaqitu lin-nasi wal-haj”…
        sebagai ayat yang menjelaskan bahwa Penampakan Bulan tgl 1 harus terlihat mata…

      • Loh, saya ini bertanya malah balik ditanya, lah sampeyan bisa apa tidak menjelaskan mengapa al-ahillah di situ dimaknai sebagai hilal penunjuk waktu pergantian bulan lama ke bulan baru? Dari sabab nuzulnya, kayaknya jauh deh dari pengertian itu, seperti yang disampaikan mas Ivan.

      • Mungkin pak Rois sebaiknya memberikan Informasi… Penafsir siapa saja kah dan di kitab apakah (kalau bisa disampaikan di sini kutipan terjemahannya Indonesia nya 🙂 )… yang menyatakan bahwa kata al-ahillah di ayat “yas’aluunaka ‘anil-ahillah, qul hiya mawaqitu lin-nasi wal-haj” itu… dimaknai sebagai hilal penunjuk waktu pergantian bulan lama ke bulan baru…

        Kemudian Pak Rois juga jelaskan mengapa Penafsiran Ulama yang bukan Nabi itu bisa lebih benar dari Asbabun Nujul…

      • Maaf Ketinggalan… 🙂

        Sekalian, Penafsiran ulama tersebut tahun hijriyah berapa dikeluarkan nya ?…

      • Di banyak kitab tafsir disebutkan dengan jelas bhw ahillah itu bentuk jama’ dari hilal. Yang dimaksud dengan hilal adalah penampakan rembulan pertama kali berbentuk bulan sabit. Tidak ada satu literatur pun yang pernah saya baca bhw hilal adalah fase rembulan. Yang benar adalah hilal itu bagian dari fase/penampakan rembulan, tepatnya fase awal rembulan. Oleh karenanya ada literatur yang menyebutkan bhw hilal itu bukan hanya hari pertama, tetapi juga hari kedua dan ke tiga.

        Ayat tsb memang turun dilatarbelakangi oleh pertanyaan mengapa bentuk bulan sabit bisa berubah. Ada dua maksud dari perubahan tsb: Petama, bulan sabit suatu bulan berbeda bentuk dari bulan sabit bulan yang lain; kadang tipis kadang tebal, kadang rendah kadang agak tinggi, kadang di sebelah kanan matahari dan kadang di sebelah kiri matahari. Kedua, perubahan mengapa bulan sabit berubah bentuknya seiring dengan berjalannya waktu; semakin membesar hingga menjadi badar (bulan purnama) di tengah bulan, kemudain mengecil dan lenyap di akhir bulan.

        Pertanyaannya adalah mengenai kaifiyah/mekanisme perubahan hilal. Tetapi jawabannya adalah mengenai kegunaan hilal. Beberapa mufassir menjelaskan hikmah dari hal ini: yaitu bhw yang lebih penting adalah fungsi dari hilal tsb, dan bukan kaifiyah perubahan hilalnya. Alih alih menjawab hal yang bersifat teknis, Allah jsutru menjawab dengan penegasan tentang pensyariatan hilal sebagai acuan waktu bulan baru.

        Kemudian mengenai kata mawaaqiitu. Kata mawaaqiitu adalah bentuk jama’ dari miiqaat yang berarti penanda waktu. Kata waktu sendiri dalam bahasa Arab berbeda maknanya dari kata zaman. Kata waktu lebih spesifik dari kata zaman. waktu adalah bagian dari zaman; mempunyai awal dan akhir. Hari, pekan, bulan dan tahun adalah contoh dari kata waktu, untuk membedakannya dari kata zaman yang lebih umum.

        Nah, penampakan bulan pertama kali berupa hilal adalah penanda satuan waktu bernama satu bulan. Setiap satu bulan diawali dengan pertama kali munculnya hilal. Oleh karena itulah Rasulullah SAW bersabda, “Allah menjadikan hilal sebagai penanda waktu. Berpuasalah ketika kalian melihat hilal, dan berhari rayalah (hentikanlah puasa) ketika kalian melihat hilal.” Tanda datangnya bulan ramadhan adalah kemunculan hilal, dan tanda datangnya bulan syawwal (sekaligus tanda bagi berkahirnya bulan ramadhan) adalh kemunculan hilal.

        Apakah kemunculan hilal sebagai penanda datangnya bulan baru itu harus dengan kesaksian mata telanjang ? Tidak. Jika bulan berjalan sudah berumur 30 hari, maka ilmu hisab sejak jaman Rasul pun sudah bisa memastikan penampakan hilal tsb dan tidak diperlukan kesaksian hilal untuk mengakhiri bulan berjalan.

        Hilal dalam pengertian penampakan bulan berbentuk bulan sabit yang pertama kalli muncul inilah yang mati matian dihisab / dikperkirakan oelh para ilmuwan muslim sehingga Islam menjadi pelopor astronomi dan front-runner ilmu astronomi selama berabad abad. DI wikipedia disebutkan: “Determining the most likely day that the hilal could be observed was a motivation for Muslim interest in astronomy, which put Islam in the forefront of that science for many centuries.”.

        Metode atau model yang digunakan dalam memperkirakan hilal secara umum dilakukan dalam dua pendekatan: pendekatan empiris dan pendekatan teoritis. Pendekatan empiris lebih didasarkan pada data data pengamatan dan pengukuran hilal. Sedangkan pendektan teoritis lebih didasarkan pada teori. Pendekatan teoritis dipelopori oleh Albattani yang di era modern dilanjutkan oleh Bruin dst. Sedangkan pendekatan empiris dipelopori oleh AlBiruni yang di era modern dilanjutkan oleh Maunder dst.

        Dari perspektif sejarah dan parameter yang digunakan, perkembangan hisab thd hilal dibagi menjadi 6 fase; mula dari fase ke-0 yang hanya menggunakan rata rata sinodik bulan dan menjadikan umur bulan berselang seling antara 29 dan 30 hari, kemudian meningkat menjadi adanya jarak minimum antara bulan dan matahari (danjon limit) hingga fase terakhir di ilmu astronomi modern yang menggunakan enam hingga 9 variabel hilal, seperti jarak separasi bulan dan matahari, jarak azimuth bulan dan mathari, umur bulan, selisih waktu terbenam bulan dan matahari, tinggi rembulan, lebar hilal, persen iluminasi, dst.

        Dalam konteks sejarah hisab thd hilal tsb, tampak sekali bhw kirteria yang disebut sebagai “wujudul hilal” sesungguhnya merupakan bagian dari sejarah ilmu hisab thd hilal, tepatnya berada di fase kedua dan ketiga. Dengan demikian memang dari perspektif sejarah hisab thd hilal kriteria WH memang sudah obsolete atau usang. WH baru merupakan syarat perlu untuk penampakan hilal, dan belum merupakan syarat cukup.

        Demikian sedikit yang saya fahami, mohon koreksi bila ada kesalahan.

        Referensi:
        http://altafsir.com/Tafasir.asp?tMadhNo=1&tTafsirNo=5&tSoraNo=2&tAyahNo=189&tDisplay=yes&Page=1&Size=1&LanguageId=1
        http://altafsir.com/Tafasir.asp?tMadhNo=1&tTafsirNo=1&tSoraNo=2&tAyahNo=189&tDisplay=yes&UserProfile=0&LanguageId=1
        http://altafsir.com/Tafasir.asp?tMadhNo=7&tTafsirNo=54&tSoraNo=2&tAyahNo=189&tDisplay=yes&UserProfile=0&LanguageId=1
        http://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_calendar
        http://adsabs.harvard.edu/full/1994QJRAS..35..425L
        http://www.maktabah.org/component/content/article/73-fiqhgeneral/763-cesarean-moon-births-by-hamza-yusuf.html
        http://www.staff.science.uu.nl/~gent0113/islam/islam_lunvis.htm

        Wassalam,
        Rois

      • Saya lanjutkan mengenai makna mawaaqiitu.

        Di dalam AlQur’an disebutkan bhw sholat itu bagi mu’minin adalah “kitaaban mauquutan” yang di terjemahan Depag diartikan “fardhu yang ditentukan waktunya”. Ditentukan waktunya itu artinya ada awal dan akhirnya, ada start dan finish-nya. Dan penyebutan “ditentukan waktunya” itu hanya disebut dengan satu kata “mauquutan” Kata mauquut sendiri adalah bentuk maf’ul dari kata waqata. Sehingga, adanya start dan finish itu menyatu pada kata waqtu itu sendiri.

        Selanjutnya, kita dapati bahwa ada tanda tanda waktu untuk sholat lima waktu yaitu fenomena fenomena alam seperti terbitnya fajar, terbitnya matahari, terbenamnya matahari, hilangnya syafaq merah dst. Fenomena fenomena tsb dikatakan sebagai “mawaaqiitu” atau tanda waktu untuk sholat.

        Nah, sekarang kita kembali ke frase “qul hiya mawaaqiitu linnaas” dalam ayat 189 surat ALBaqarah. Hilal hilal itu adalah tanda waktu bagi manusia. Bagaimana hilal bisa dijadikan tanda waktu bagi manusia ? Untuk waktu apa ? Hilal dijadikan tanda satuan waktu bernama satu bulan (month). Mulainya sebuah bulan baru ditandai dengan penampakan hilal. Setiap satu bulan baru memiliki hilal-nya masing masing. Kata month dalam bahasa Arab adalah “syahr(un)” dan dari literatur Arab kita dapati bhw penamaan “syahr” yang berarti “terang”, terkenal, tersebar, diumumkan dst itu terkait erat dengan penampakan hilal.

        Kalau kata ahillah diartikan “fase fase rembulan”, maka paling tidak ada tiga kesalahan pokok:
        1. Dari sisi bahasa Arab tidak ada dasarnya sama sekali.
        2. Dari sisi makna “mawaaqiitu” tidak applicable sama sekali. Bagaimana mau menjadikan fase fase bulan sebagai tanda waktu kalau dalam satu bulan ada lebih dari satu hilal ?
        3. Dari sisi syar’i jelas jelas bertentangan dengan praktek dan perintah Rasulullah SAW di seputar tentang pemaknaan hilal dan penggunaan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru.

        Demikian yang bisa saya tambahkan, semoga bermanfaat.

        Saya berlindung kepada Allah dari kemungkinan kesalahan pada tulisan dan jalan fikiran saya.

        Salam,
        Rois

      • Terima kasih atas penjelasan panjang lebarnya. Secara bahasa memang al-ahillah bentuk jamak dari kata al-hilal.
        Tapi, apakah benar yang dimaksud di situ adalah hilal-hilal awal bulan yang muncul 12 kali di awal syahr setiap tahun? Jika begitu, bagaimana hubungannya dengan ibadah haji, yang sesungguhnya menjadi core dalam ayat itu? Adakah hubungan antara al-ahillah dengan al-hajj, dua kata penting dalam ayat itu? Ataukah keduanya tidak berhubungan sama sekali? Sependek pengetahuan saya, dalam banyak kajian fikih, ayat ini masuk dalam kajian ibadah haji.
        Ataukah, sebenarnya al-ahillah yang dimaksud adalah bentuk-bentuk muka bulan sebagai pertanda waktu-waktu ibadah dalam rangkaian ibadah haji? Hilal hari pertama, tentu berbeda bentuknya dengan hilal hari kedua, hilal hari kedua, berbeda pula bentuknya dengan hilal hari ketiga, dan terus berbeda sampai bentuk purnama dan kembali lagi ke bentuk sabit bulan. Perbedaan bentuk itulah yang dijadikan acuan untuk beribadah haji. Kalau sekarang, mungkin tidak ada lagi orang yang beribadah haji menggunakan bentuk muka bulan sebagai penanda waktunya, karena semua sudah pakai penanggalan dan jam.
        Adapun mengenai awal puasa, sudah terang benderang dijelaskan bahwa syahr Ramadan itu yang harus dipastikan. Dengan apa dipastikan, ya dengan rukyat di masa Nabi saw. Mengapa dengan rukyat, karena cara yang biasa digunakan orang-orang di luar Islam waktu itu sangat diragukan kepastiannya. Apa cara yang digunakan orang di luar Islam waktu itu, ya visibilitas hilal. Dan sekarang, ada cara baru yang bisa digunakan untuk memastikan masuknya syahr Ramadan itu, yakni hisab hakiki wujudul hilal. Di masa depan, mungkin saja ada cara baru yang lebih terjamin presisinya, ya kita pindah ke cara itu.

      • Pak Abu Faza,

        Saya ingatkan sekali lagi agar Bapak menunjukkan sumber atau rujukan pemahaman ahillah sebagai “bentuk bentuk muka rembulan” seperti yang Bapak sampaikan. Kalau itu hanya karangan Bapak saja, saya sarankan untuk segera beristighfar.

        Ibadah haji itu, sebagiamana halnya dengan ibadah lain seperti sholat dan puasa, telah ditentukan waktunya, ada start dan finishnya. Lebih khusus lagi, ibadah haji mengenal dua miqat, yaitu miqat zamaniy dan miqat makaniy. Miqat zamaniy adalah ketentuan start dan finish berkenaan dengan waktu(zaman), sedangkan miqat makaniy adalah ketentuan start dan finish berkenaan dengan tempat.

        Di dalam AlQur’an disebutkan bhw ibadah haji itu berlangsung pada bulan bulan yang telah ditentukan. Bulan yang ditentukan itu adalah syawwal, dzulqa’dah dan dzulhijjah. Artinya, ibadah haji harus dilakukan di dalam batasan bulan bulan tsb. Start ibadah hajinya sendiri disebut dengan niat ihram dengan melafalkan talbiyah; sedangkan finish-nya disebut dengan tahallul. Niat Ihram itu harus dilaksanakan di dalam kurun waktu bulan syawwal, dzulqa’daah dan dzulhijjah, dan di tempat yang telah ditentukan. Niat ihram sudah bisa dilaksanakan sejak tanggal satu bulan syawwal. Dan karena salah satu rukun haji adalah wuquf di arafah, maka ihram harus dilakukan sebelum hari ke sembilan bulan dzulhijjah, hari di mana wuquf dilaksanakan.

        Nah, hilal dalam arti penampakan bulan pertama kali di awal bulan tsb digunakan untuk menentukan awal bulan syawwal, awal bulan dzulqa’dah dan awal bulan dzulhijjah. Kemudian, dari awal bulan dzulhijjah ditentukanlah hari wuquf, yaitu hari kesembilan; dihitung sejak hari pertama tampaknya hilal untuk bulan dzulhijjah.

        Ketentuan bulan syawwal, dzulqa’dah dan dzulhijjah ini juga digunakan untuk memastikan bhw tidak ada bulan tambahan (an-nasii’, intercalation month) diantara 3 bulan tsb. Sebelum turun ayat yang menghapus intercalation month, yang berlaku adalah kalender lunisolar, dimana setiap dua atau 3 tahun diselipkan satu bulan tambahan. Ini dimaksudkan agar bulan bulan haji selalu jatuh di sekitar bulan september-oktober, saat di mana iklim tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, cocok untuk traveling, dan saat dimana musim panen telah usai. Penambahan bulan ke-13 tsb dilakukan dengan mengulang satu bulan tertentu, misalnya bulan dzulqa’dah. Setelah dzulqa’dah selesai, maka bulan berikutnya adalah bulan dzulqa’dah lagi, dan setelah itu baru dzulhijjah. Dengan demikian, waktu ibadah haji yang seharusnya hanya kurang lebih dua setengah bulan, bisa menjadi tiga setengah bulan karena bulan dzulqa’dah di ulang dua kali. Nah, intercalation month ini kemudian dihapus dengan turunnya ayat

        Jadi jelas sekali bhw hilal yang dimaksud sebagai acuan waktu ibadah haji adalah bulan sabit yang pertama kali muncul di awal bulan, sebab durasi waktu ibadah haji adalah dalam hitungan bulan sebagaimana yang disebut di dalam ayat 197 surat AlBaqarah. Dan kemudian disempurnakan dengan turunnya ayat yang memerintahkan penghentian praktek an-nasii’ (intercalation month) sekaligus mengakhiri penggunaan sistem kalender luni-solar. (Attaubah 37)

        Oleh karena itu, pemahaman bhw hilal adalah fase fase penampakan rembulan dan ada hilal untuk setiap hari yaitu hilal hari ke-1, hilal hari ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-7, ke-8, ke-9 dst adalah pemahaman yang tidak berdasar sama sekali. Apalagi mengatakan bhw ibadah haji dilakukan dengan mengacu pada hilal yang ada di setiap hari, ini adalah sebuah kesalahan besar yang hanya berasal dari karangan atau angan angan Pak Abu Faza saja. Kecuali kalau Pak Abu Faza bisa menunjukkan sumber atau referensi yang shahih dari pemahaman tsb.

        Demikian, semoga bermanfaat dan mohon koreksi bila ada kesalahan.

        Saya mohon ampun kepada Allah atas kemungkinan kesalahan pada tulisan dan jalan fikiran saya.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois,

        Yang benar adalah hilal itu bagian dari fase/penampakan rembulan, tepatnya fase awal rembulan. Oleh karenanya ada literatur yang menyebutkan bhw hilal itu bukan hanya hari pertama, tetapi juga hari kedua dan ke tiga.

        Komentar Pak Rois malah semakin mendukung Ketepatan Muhammadiyah Tidak menggunakan dalil QS Albaqoroh 2 : 189 dalam Kriteria Penetapan Awal Bulan dengan Hisab… 🙂

        Dari Asbabun Nujul nya… QS 2 : 189 itu adalah jawaban bagi pertanyaan Mengenai bentuk bulan yang berubah-ubah… Bukan mengenai pertanyaan mengenai ‘Tanda Waktu Bulan Tgl 1’…

        Kalau Pak Rois tetap Memaksa bahwa QS 2 : 189 itu Harus dipahami sebagai ‘Tanda Waktu Bulan Tgl 1’…
        Bagaimana Bisa ?…
        Hilal nya itu sendiri seperti yang Pak Rois sampaikan… Bisa tgl 1, 2 dan 3…
        Hilal tgl 2 dan 3 itu ‘Tanda Waktu’ apa pak ?… Awal Bulan Hijriyah ?… Sejak Kapan bulan Hijriyah dimulai dari tgl 2 dan 3 ?… 🙂

        Jadi karena tidak mungkin tgl 2 dan 3 adalah Tanda Waktu Awal Bulan… Kita akan akan bertanya “Tanda Waktu apa dong ? “…

        Jawaban yang sangat mungkin adalah ‘Tanda Waktu yang Spesifik’… :
        – Bentuk bulan tgl 1 adalah tanda waktu tgl 1…
        – Bentuk bulan tgl 2 adalah tanda waktu tgl 2…
        – Bentuk bulan tgl 3 adalah tanda waktu tgl 3…
        Begitu pun bentuk-bentuk bulan tgl lainnya… makanya Bentuk bulan yang berubah-ubah itu pun bisa menjadi Tanda Waktu Ibadah Haji…

        Kalau saya sih meyakini Kehebatan Kualitas Ayat Al Quran sebagai Informasi dari Sang Maha Pencipta dan Pemelihara alam semesta… termasuk Ayat-ayat Informasi Iptek…

        Sejatinya QS 2 : 189 itu adalah Jawaban bagi Pertanyaan mengenai ‘Moon Phase’…
        Yang Jawab adalah Allah swt… Bukan Nabi Muhammad saw… Nabi hanya menyampaikan Jawaban Nya saja…

        Jadi kalau menurut kita, Jawaban Allah swt itu tidak sesuai (tidak nyambung) dengan Pertanyaan…
        Atau menurut kita Jawaban Nya adalah mengenai Hal yang Lain yang lebih berguna bagi manusia…

        Bukan Jawaban Nya yang tidak nyambung… Tapi Pemikiran kita yang belum nyambung…
        Jawabannya Allah swt itu Pasti Menjawab apa yang ditanyakan dan apa yang tidak ditanyakan yang ada kaitannya…
        Ayat-ayat Al Quran sangat Hebat Kualitas Bahasanya… Kalimat singkat tapi Mengandung Informasi yang Padat…

        Tapi ya sudahlah… Pak Rois kan sepertinya rada anti sama ra’yu… 🙂
        Yang penting adalah Tepat bahwa Muhammadiyah tidak menjadikan QS 2 : 189 sebagai dalil Kriteria Awal Bulan dengan Hisab…

      • Pak Ivan,

        Topik diskusinya adalah maksud dari “ahillah” (hilal – hilal) sebagai “mawaaqiitu” (penanda/acuan waktu). Fokus diskusinya adalah apa makna “ahillah”, dan bagaimana “ahillah” itu difungsikan sebagai mawaaqiitu.

        Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, menurut semua literatur yang saya baca, yang dimaksud sebagai hilal yang dijadikan mawaaqiitu adalah penampakan bulan pertama kali berbentuk bulan sabit. DI hari kedua, bentuk penampakan rembulan masih mirip dengan penampakan hari pertama. Demikian pula hari ketiga. Akan tetapi, setelah itu tidak lagi berbentuk “crescent” atau “bulan sabit”. Dan orang Arab tidak lagi menyebutnya sebagai “hilal” melainkan “qamar”. Dan ketika bentuknya sempurna disebut “badar” atau bulan purnama.

        Saya juga telah menjelaskan bhw maksud dari ahillah yang dijadikan mawaaqiitu tsb adalah hilal (bulan sabit) yang pertama kali tampak, yang dijadikan tanda waktu memulai siklus waktu yang disebut bulan.

        Sebagai kontras dari maksud yang saya sampaikan tsb adalah penafsiran “ahillah” bukan sebagai hilal (bulan sabit) melainkan “fase fase rembulan”. Saya sudah tegaskan bhw penafsiran ini mengandung kesalahan paling tidak dari 3 aspek: aspek linguistik (tidak ada dasarnya sama sekali dari bahasa Arab), aspek aplikabilitas (tidak bisa diaplikasikan sebagai mawaaqiitu/acuan waktu), dan aspek syar’i (tidak sesuai dengan praktek dan perintah Rasulullah SAW).

        Fakta bhw penampakan rembulan untuk hari ke dua dan ketiga juga disebut sebagai hilal, sama sekali tidak bisa digunakan untuk mendukung penafsiran bhw ahillah adalah fase fase rembulan. Justru sebaliknya, hilal hari kedua dan hilal hari ketiga itu menegaskan bhw siklus rembulan dimulai dari hilal hari pertama. Mengapa ? Sebab tidak akan ada yang kedua dan ketiga jika tidak dimulai dari yang pertama.

        Jadi, hilal yang dijadikan sebagai acuan waktu itu adalah hilal/bulan sabit yang tampak pertama kali yang dijadikan acuan hitungan siklus waktu bernama bulan (syahr, month). Begitu hari pertama sudah ditentukan, maka hari hari berikutnya tinggal melanjutkan hitungan hari: ke-2, ke-3, ke-4 dst.; tidak perlu mengamati bentuk rembulan dan secara spesifik mendeskripsikan bentuk tertentu sebagai penanda untuk hari tertentu. Hitungan hari itu akan berlangsung selama 29 atau 30 hari, tergantung penampakan hilal untuk bulan selanjutnya.

        Demikian, semoga jelas.

        Salam,
        Rois.

      • Pak Rois,

        Jadi, hilal yang dijadikan sebagai acuan waktu itu adalah hilal/bulan sabit yang tampak pertama kali yang dijadikan acuan hitungan siklus waktu bernama bulan (syahr, month)

        ‘Hilal bulan sabit yang tampak pertama kali’ itu ketika dicoba di”terjemah”kan dalam Penghitungan Astronomi… para Ahli Astronomi (Falak) sendiri berbeda-beda… belum ada kesepakatan mengenai angka-angka dan parameternya…

        Menurut Pak Rois, bagaimana “terjemahan” (Kriteria IR) yang tepat itu seharusnya ?…

        Apakah Kriteria Lapan, Mabims, Danjon atau mungkin Kriteria Babilonia yang usia nya sudah ribuan tahun ?…

        Terus kalau sudah ada “terjemahan” yang Tepat (Kriteria IR yang tepat)… Perlu tidak Penetapan Awal Bulan dengan Hisab, menunggu dulu Laporan Rukyat ?…

        Terus terang saya belum juga menemukan Informasi bagaimana Para Ulama dan Ahli Falak Islam terdahulu (sebelum zaman Danjon dll) “menerjemahkan” ‘Hilal bulan sabit yang tampak pertama kali’ dalam Penghitungan Astronomi nya…

        Apakah Kriteria Penetapan Awal Bulan dengan Hisab itu merujuk kepada Kriteria Babilonia… atau cuma merujuk kepada Ijtima’ saja, seperti Kriteria Ijitma’ Qoblal Ghurub ?…

        Dari zaman Hisab Urfi sampai adanya Kriteria Danjon itu kan ada masa yang panjang… Sementara kita yakin bahwa Ilmu Hisab itu di kalangan Umat Islam pernah berkembang pesat… Dan sebelum Islam pun sudah ada Kriteria Babilonia…

        Kalau ternyata Bahwa dalam Kriteria yang dikembangkan dan dipergunakan umat Islam pada zaman keemasan dahulu… Hanya mempergunakan Kriteria-kriteria yang Sederhana… semisal Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub…
        Ini memberi pelajaran bagi kita umat Islam sekarang…
        Sepertinya Para Ulama dan Ahli Falak Islam terdahulu Sudah tahu Kriteria Imkan Rukyat itu SANGAT SUBJEKTIF, bisa selalu berubah-ubah terus sesuai penemuan-penemuan terbaru dan penambahan parameter yang ada… SEHINGGA para Ulama dan Ahli Falak Islam terdahulu TIDAK PERNAH MENGGUNAKANNYA, sebab akan Menyulitkan… Sementara dalam Islam itu konsep Ajaran nya adalah Mempermudah…

      • Pak Ivan,

        Pertanyaan pertanyaan bapak sudah bergeser dari topik diskusi mengenai “ahillah” yang disyariatkan sebagai “mawaaqiitu” menjadi topik yang lebih bersifat teknis mengenai ilmu hisab thd hilal.

        Sebelum berbicara mengenai hal yang bersifat teknis perhitungan hisab thd hilal, sangat penting untuk memastikan adanya kesefahaman (mutual understanding) mengenai definisi hilal yang akan dihisab.

        DI samping itu, kesefahaman ini penting sekali jika tujuan utama diskusi kita adalah mencari titik temu menuju penyatuan kalender hijriyah di Indonesia dan khususnya penyatuan waktu puasa dan hari raya.

        Kesefahaman ini juga menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan diskusi mengenai hakekat WH, yang oleh Pak Agus diyakini tidak lagi menghisab hilal dalam pengertian penampakan bulan pertama kali berbentuk bulan sabit yang dijadikan sebagai acuan masuknya bulan baru. Atau, kalau tidak mau dikatakan bhw WH tidak lagi menghisab hilal, maka paling tidak telah terjadi perbedaan penafsiran mengenai maksud dan definisi hilal menurut WH. Perbedaan penafsiran ini harus dicari kejelasannya terlebih dahulu, harus dikonfirmasikan kepada MTT PP Muhammadiyah.

        Nah, kalau diskusi mengenai pengertian “ahillah” yang disyariatkan sebagai “mawaaqiitu” itu sudah mengerucut pada kesimpulan yang bisa diterima bersama, barulah kita bisa melanjutkan diskusi di tataran teknis ilmu hisab thd hilal.

        Sebagai tambahan penjelasan mengenai ayat 189 yang merupakan pensyariatan hilal sebagai acuan waktu memasuki bulan baru, beberapa mufassir menggarisbawahi pensyariatan tsb dengan menunjukkan ayat ayat yang dimulai dengan “yas’aluunaka ‘an … ” (mereka bertanya kepadamu tentang …. (sesuatu hal)).

        Di dalam surat Albaqarah ada 6 ayat yang dimulai dengan atau mengandung frase “yas’aluunaka ‘an …”. Dan semua jawaban dari pertanyaan di enam ayat tsb mengandung jawaban yang berupa pensyariatan akan sesuatu hal terkait dengan yang ditanyakan. Enam ayat tsb adalah ayat – ayat: 189, 215, 217, 219, 220 dan 222.

        Penjelasan ini dimaksudkan untuk mempertegas pensyariatan “ahillah” sebagai “mawaaqiitu” sebagaimana yang ditermaktub di dalam ayat 189 tsb. Menjadikan hilal sebagai acuan waktu hukumnya adalah wajib. Dan penjelasan teknis dari pelaksanaan kewajiban tsb adalah praktek dan perintah Rasulullah dalam menjadikan hilal (bulan sabit yang pertama kali tampak di awal bulan) sebagai acuan waktu memasuki bulan baru.

        Nah, kembali ke pernyataan saya di paragraf kedua diatas mengenai pentingnya kesefahaman mengenai definisi dari hilal, definisi hilal itu harus mengacu pada ayat yang mensyariatkan hilal sebagai acuan waktu, dan harus mengacu pada praktek dan perintah Rasulullah SAW berkenaan dengan ayat tsb.

        Pertanyaannya adalah:
        1. Apakah unsur penampakan (bisa terlihat) berupa bulan sabit itu harus ada di dalam definisi hilal ?
        2. Apakah kesaksian penampakan hilal dengan mata telanjang adalah satu satunya cara untuk mengetahui hilal dan memulai bulan baru ?

        Untuk pertanyaan pertama, menurut pemahaman saya, jawabnya adalah : YA.
        Sedangkan untuk pertanyaan kedua, menurut pemahaman saya, jawabnya adalah: TIDAK.

        Bisa terlihat oleh mata berupa bulan sabit adalah unsur intrinsik yang melekat pada definisi hilal. Kalau tidak bisa dilihat oleh mata telanjang berupa bulan sabit, maka perintah Rasulullah untuk meru’yat hilal tidak mungkin bisa terlaksana di masa beliau. Padahal, syariat itu harus berlaku secara universal, harus bisa dilaksanakan oleh semua umat di semua zaman. Lebih jauh lagi, praktek dan perintah Rasulullah adalah merupakan bagian dari syariat itu sendiri.

        Akan tetapi, meskipun bisa terlihatnya oleh mata berbentuk bulan sabit itu menjadi unsur intrinsik dari definisi hilal, kesaksian hilal dengan mata telanjang bukanlah merupakan satu satunya cara yang bisa digunakan dalam mengetahui keberadaan atau kemunculan hilal. Kepastian kemunculan hilal ini bisa diperoleh melalui ilmu hisab.

        Bahkan, ilmu hisab sejak jaman Nabi pun sudah digunakan untuk memastikan penampakan hilal ketika bulan berjalan telah berumur 30 hari. Jika bulan berjalan telah berumur 30 hari, maka tidak diperlukan kesaksian hilal dengan mata telanjang, dan Rasulullah SAW tidak memerintahkan ru’yat pada hari tsb sebab kepastian penampakan hilal sudah bisa diperoleh melalui ilmu hisab.

        Singkat kata, hisab itu BOLEH, BISA, dan bahkan – pada beberapa kasus – HARUS digunakan untuk mengetahui dan memastikan masuknya bulan baru. Akan tetapi hendaknya yang dihisab adalah hilal yang telah disyariatkan oleh Allah di dalam AlQur’an dan harus didefinisikan sesuai dengan praktek dan perintah Rasulullah SAW.

        Demikian yang saya fahami, mohon koreksi bila ada kesalahan.

        Salam,
        Rois

        NB: Mohon maaf belum menjawab pertanyaan Pak Ivan. Insya Allah saya akan menjawab pertanyaan Pak Ivan jika sudah ada kesefahaman mengenai “ahillah” yang disyariatkan sebagai “mawaaqiitu” dan ada kesefahaman mengenai definisi/ta’rif dari hilal.

      • Ini ada satu hadis, riwayat Muslim, yang menunjukkan bahwa hilal TIDAK HANYA muncul di awal bulan. Maaf hanya terjemahnya:
        Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Hushain dari Amru bin Murrah dari Abu Al Bakhtari ia berkata; Suatu ketika, kami keluar untuk menunaikan umrah. Ketika kami singgah di Bathn Nakhlah, kami melihat hilal, maka sebagian dari rombongan pun berkata, “Itu adalah malam ketiga.” Kemudian sebagian yang lain mengatakan, “Itu adalah malam kedua.” Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami pun berkata padanya, “Kami telah melihat hilal, lalu sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah malam ketiga, sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah malam kedua.” Maka Ibnu Abbas bertanya, “Pada malam apakah kalian melihatnya?” kami menjawab, “Kami melihatnya pada ini dan ini…” ia pun berkata; Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membentangkannya untuk dapat dilihat. Karena itu, mulailah pada malam kamu melihatnya.”

      • Terima kasih Pak Abu Faza.

        Hadits tsb menegaskan kembali pemahaman saya yang telah saya uraikan di komentar komentar saya sebelumnya, dan menegaskan kembali bahwa penerjemahan hilal sebagai “fase rembulan” seperti yang Pak Abu Faza sampaikan adalah sama sekali tidak ada dasarnya alias hanya karangan atau angan angan Pak Abu Faza saja.

        Salam,
        Rois

      • Dalam hadis itu sangat jelas disebutkan bahwa di hari kedua dan ketiga pun masih disebut sebagai hilal. Artinya, hilal tidak hanya berarti bentuk muka Bulan pada awal/ pergantian bulan, tetapi juga bentuk muka bulan yang kedua, ketiga dan seterusnya.
        Oya, kemarin subuh saya nengok ke langit timur. Di sana ada muka bulan berbentuk lengkung sabit. Apakah itu dinamakan hilal atau bukan?

      • Lho, bukankah hal itu sudah saya katakan di komentar saya sebelumnya ? Dan itu menegaskan bhw hilal itu artinya adalah bulan sabit, bukan “fase rembulan” atau “bentuk muka rembulan” seperti yang Pak Abu angan angankan. Bulan sabit itulah yang diperintahkan untuk digunakan sebagai acuan waktu memasuki bulan baru. Bagaimana caranya ? Caranya dengan menjadikan hari di mana bulan sabit pertama kali tampak sebagai hari pertama dari siklus waktu bernama bulan (month, syahr).

        SIlakan dibaca lagi keseluruhan komentar saya.

        Salam,
        Rois

      • Nah, itulah …
        Jadi bentuk muka Bulan awal bulan itu namanya “hilal”, hari kedua juga “hilal”, hari ketiga juga demikian, tengah bulan disebut “purnama”, hari ke-27 juga “hilal”. Itulah makna “al-ahillah”, bentuk-bentuk muka Bulan selama satu bulan, bukan hilal awal bulan yang jumlahnya 12 dalam setahun

      • He he he …. 🙂

        Salam,
        Rois

    • Ini ada satu hadis, riwayat Muslim, yang menunjukkan bahwa hilal TIDAK HANYA muncul di awal bulan. Maaf hanya terjemahnya:
      Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail dari Hushain dari Amru bin Murrah dari Abu Al Bakhtari ia berkata; Suatu ketika, kami keluar untuk menunaikan umrah. Ketika kami singgah di Bathn Nakhlah, kami melihat hilal, maka sebagian dari rombongan pun berkata, “Itu adalah malam ketiga.” Kemudian sebagian yang lain mengatakan, “Itu adalah malam kedua.” Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami pun berkata padanya, “Kami telah melihat hilal, lalu sebagian orang mengatakan bahwa itu adalah malam ketiga, sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah malam kedua.” Maka Ibnu Abbas bertanya, “Pada malam apakah kalian melihatnya?” kami menjawab, “Kami melihatnya pada ini dan ini…” ia pun berkata; Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah membentangkannya untuk dapat dilihat. Karena itu, mulailah pada malam kamu melihatnya.”

  13. Kesimpulan nya…………. :
    Biar gampang dicerna… Penamaan Kriteria WH Muhammadiyah nantinya mungkin bisa dirubah menjadi Kriteria Wujudul Qomar… 🙂

    Dengan begitu Kriteria-kriteria Penetapan Awal Bulan dengan Hisab… di antara nya adalah seperti ini :

    1. Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub
    2. Kriteria Ijtima’ Qobal Fajr
    3. Kriteria Moonset after Sunset
    4. Kriteria Wujudul Qomar (Muhammadiyah)
    5. Kriteria Wujudul Hilal (Ummul Quro)

    6. Kriteria Imkan Rukyat (banyak versi nya… para ahli Astronomi sendiri sepertinya belum ada kesepakatan mengenai Angka-angka nya…
    dan kemungkinan penambahan parameter penghitungan selalu terbuka, sebab dalam kriteria Imkan Rukyat, semakin banyak faktor yang dihitung semakin baik dan ilmiah hasilnya…
    Bisa jadi mungkin nantinya selain Model Atmosfer, faktor usia pemantau dan apakah memakai kacamata atau tidak pun dimasukkan (sebab faktor tersebut pasti ada pengaruhnya kepada keberhasilan Hilal terlihat)… 🙂 )

    7. Kriteria Kesepakatan (contohnya Kriteria Mabims dan Kriteria Istambul)

    Nah, dari banyaknya kriteria-kriteria Penetapan Awal Bulan (mudah-mudahan nantinya ada 1 yang disepakati Umat Islam seDunia)…
    Semua Kriteria itu menjadi tak ada artinya… Apabila Tetap saja Penetapan Awal Bulan Hijriyah harus Selalu menunggu dulu Laporan Rukyat…
    Ini yang menurut saya seharusnya kita sadari bersama…

    Dan Bagi yang tetap Ngotot penetapan awal bulan hijriyah Harus menunggu dulu Laporan Rukyat… saya berharap jadilah orang yang istiqomah…
    Metoda ‘Menunggu Dulu Laporan Rukyat’ jangan hanya digunakan untuk bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah saja ya…
    Harus digunakan di seluruh bulan Hijriyah… Tidak peduli Kalender Ibadah atau Kalender Administrasi…

    (Mudah-mudahan Pemerintahan Arab Saudi ada yang mengerti bahasa Indonesia dan membaca ini…
    Sehingga mereka pun Istiqomah untuk menggaji PNS tiap bulan dengan terlebih dahulu merukyat bulan… kalau bulan tidak berhasil dirukyat, gajian mundur 1 hari… 🙂 )

  14. hehehe, pak ivan bisa aja,,, ma kasih atas pencerahnnya ya mas Agus.. Pak Rois kok kabur ya?…Komentar-komentar/tanggapan pak Thomas kayaknya udah mulai kepada jalan yang benar, keakuannya udah mulai berkurang,, 🙂

    • Bung Agus, bung Abu faza, bung Ivan, bung Prasojo, bung Ahmad dll.. Mari kita rapatkan barisan..
      Tetap teguh dan istiqomah..
      Bisakah kita berteman di fb?..
      Saya terus bersabar memonitor kejiwaan pak djamal yg lagi happy ini..

  15. Ass wr wb. Bagi mukminin, pengamalan Rukun Iman yg salah satunya adalah Iman kpd Kitab Suci Al Qur’an merupakan ukuran kadar ke-Iman-an. Karena itu mukminin pasti meng-Iman-i Firman Allah SWT ttg penampakan hilal sebagai tanda masuknya awal bln hijriyah dan tidak akan mau menerima teori2 lain karangan manusia. Kandungan Al Qur’an itu ILMIAH, ada ilmu ekonomi, perdagangan, ilmu sosial. ilmu politik, ketatanegaraan dll dan tentunya ILMU FALAK spt penetapan awal bln hijriyah. Wass wr wb

    • Menurut rujukan KBBI,

      il・mi・ah a bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan

      Karenanya, Alquran itu tidak ilmiah, karena kandungannya tidak semuanya memenuihi kaidah ilmu pengetahuan (sains). Yang ada adalah: umat Islam mengimani (percaya) bahwa kandungan Alquran tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

  16. Ass wr wb. Maaf pak Ivan, kalau ada gajian PNS mundur satu hari, saya rasa yg salah bukan pemanpakan hilal-nya yg merupakan sunatullah. Tetapi yg salah justru manusianya yg menyusun kalender dg menggunakan metodha hisab yg tidak akurat. Karena itu orang beriman pasti akan meng-Iman-i rukyat penampakan hilal dan tdk sepenuhnya percaya pd hisab yg dilakukan manusia. Manusia adalah gudangnya salah dan dosa dan kesempurnaan hanya milik ALLAH SWT. Semoga jd bahan renungan. Wass wr wb.

    • Pak Bambang tahu nggak dengan riwayat perbedaan awal puasa antara Abdullah bin Abbas ra di Medinah dengan Muawiyah di Syam (Suriah) ?…

      Hilal pada saat itu sudah tinggi dan terlihat jelas oleh penduduk Syam pada malam Jumat…
      Tapi di Madinah karena faktor cuaca, hilal baru terlihat malam Sabtu…

      Menurut pak Bambang… dengan Pengaturan dan Pemeliharaan Alam Semesta yang sangat sempurna dari Allah swt…
      Bisa tidak… Hilal yang saat itu sudah tinggi posisinya dari atas ufuk di Syam… tiba-tiba pas di wilayah Madinah, posisinya menjadi turun di bawah ufuk ?…

  17. Ass wr wb. Pak Agus, terimakasih atas tanggapannya. Sepanjang yg saya ketahui, salah satu kandungan Al Qur’an yaitu HUKUM ISLAM (hukum perkawinan, hukum waris dll) menjadi salah satu mata kuliah di Fakultas Hukum. Apabila seorang mahasiswa membuat “tulisan ilmiah” spt paper, makalah, skripsi dan bahkan disertasi ttg hal yg bekaitan dg Hukum Iskam maka dia akan menggunakan Al Qur’an sbg rujukan dan dicantumkan dlm daftar pustaka. Demikian yg saya pahami. Wass wr wb.

  18. Ass wr wb. Contoh lain adalah Bank Syari’ah yg mengedepankan ajaran Al Qur’an “anti riba”, Madrasah2 (MTs, MIbd, MA) dan lembaga2 pendidikan Islam lainnya dr tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kesemuanya itu merupakan hasil eksistensi dr ilmuwan2 muslim yg tidak mau terbius dan menyerah pd provokasi ilmiah dr ilmuwan anti Islam, mereka berjuang dibidang masing2 secara ilmiah menegakkan kandungan Al Qur’an yg kita Iman-i bersama. Krn itu bid falak pun hrs begitu. Semoga. Wass wr wb.

  19. Ass. Baru tidak berkunjung ke blognya prof.TD dua hari saja, saya sudah banyak tertinggal informasi, komen diskusinya sangat dinamis dan terbuka. Mohon maaf, pertanyaan saya yg lalu saya perjelas lagi prof. ***Mengapa WH hanya menghisab piringan atas bulan? Prof. telas menulis: “Saat matahari terbenam ditandai dengan masuknya piringan matahari secara penuh ke bawah ufuk, yaitu piringan atas matahari menyentuh ufuk. Pada saat itulah dihitung ketinggian piringan atas bulan. Ketika masih di atas ufuk, itulah yang dianggap “wujudul hilal”. Hal ini juga telah dijelaskan oleh pak Agus di atas. Namun setahu saya metode hisab apapun terutama yang tahqiqi/kontemporer, apakah WH atau IR semua memakai teknis perhitungan yang standarnya sama, bedanya WH tidak perlu melihat ketinggian hilal(yg penting sunset before moonset), sedangkan IR masih perlu menghitung kemungkinan hilal untuk terlihat. Jadi mohon maaf, saya secara teknis belum paham, bagaimana bisa dibedakan, yang dihisab WH piringan atas sedangkan IR (& WH Ummul Qura’, menurut komen teman2 di atas) menghisab piringan bawah hilal? Bagaimana perbedaan teknisnya, mohon pencerahan! Trmksh.

  20. @ pak nugraha
    kalo sepemahaman saya sih maksudnya bahwa ru’yat lebih mu’tabar, apabila ada orang yang bersedia disumpah ketika dia melihat hilal, padahal secara astronomi bisa diterima, maka hal tersebut harus diterima, seperti kasus cakung kemarin yang menyatakan bahwa sudah melihat hilal walaupun secara hisab belum bisa diru’yat

    • maaf maksudnya apabila secara hisab astronomi belum bisa diterima

    • Menurut saya… pada akhirnya… Kita akan lebih mempercayai Penghitungan Astronomi yang terbukti Akurat… Daripada Laporan Rukyat yang sangat bersifat Subjektif…
      ( …Kita harus ingat, Penglihatan Manusia itu mudah tertipu… )

      Sehingga pada akhirnya… Penetapan Awal Bulan itu tidak perlu menunggu Harus ada laporan rukyat dahulu…

  21. Pak Agus, mohon maaf saya membuat diskusi baru tentang pemahaman konsep penampakan terkait dengan gaya bahasa prolepsis yang dimaksud oleh Pak Syamsul Anwar.

    Pada salah satu tulisannya, beliau mengatakan:

    Adapun penggunaan kata “hilal” dalam istilah wujudul hilal, bukanlah suatu kesalahan. Itu adalah soal gaya bahasa, yaitu menggunakan apa yang dalam Ilmu Stilistika disebut gaya bahasa prolepsis(gaya antisipasi, at-tawaqqu‘/ i‘tibaru ma sayakun). Dalam bahasa Indonesia kita sering mengatakan “dia masak nasi di dapur” dan kita tidak pernah mengatakan “masak beras” pada hal sesungguhnya yang kita masak bukan nasi, tetapi beras. Namun kita tetap mengatakan ‘masak nasi’. Maksudnya masak sesuatu yang diantisipasi akan menjadi nasi. Inilah gaya bahasa prolepsis. Begitu pula halnya dalam ungkapan wujudul hilal, meskipun saat itu hilal belum nampak, namun kita mengatakan wujudul hilal, yakni wujud sesuatu yang diantisipasi akan menjadi hilal.

    Kita ketahui bahwa sesaat setelah terjadinya konjungsi, hilal sudah dapat terlihat, ini dapat dibuktikan dari hasil observasi Thierry Legault dan Martin Elsasser. Dari saat konjungsi sampai dengan saat matahari terbenam, sebenarnya hilal pun sudah ada (bahkan mungkin hanya sekedar sebuah photon), tetapi karena cahaya hilal kalah oleh cahaya matahari maka hilal belum dapat terlihat secara jelas dari bumi (konsep penampakan). Artinya kalau kita berbicara diluar konsep penampakan, maka dari saat konjungsi sampai dengan saat matahari terbenam harus sudah meyakini bahwa hilal sudah ada.

    Kembali ke alasan Pak Syamsul mengenai gaya bahasa proplepsis, ada dua titik acuan dimana gaya bahasa tersebut kemungkinan dapat dikatakan gaya bahasa prolepsis, (1) saat konjungsi dan (2) saat matahari terbenam. Kalau titik (1) digunakan maka telah ada nama lain yang digunakan yaitu “miladul hilal” dan bukan “wujudul hilal”. Sedangkan apabila titik (2) dijadikan acuan, hal tersebut bukan lagi antisipasi sesuatu yang akan menjadi hilal, karena hilal-nya sendiri telah terbentuk sebelum matahari terbenam, apabila kita berbicara diluar konsep penampakan hilal.

    Kalau Pak Syamsul Anwar beralasan bahwa “hilal” merupakan gaya bahasa prolepsis, artinya menurut saya, beliau berpedoman kepada konsep penampakan hilal, yaitu dari sesuatu yang tidak ada/tidak tampak/belum terjadi diantisipasi menjadi ada/tampak/sudah terjadi. Sedangkan apabila beliau mengatakan bahwa konsep wujudul hilal tidak berpedoman pada konsep penampakan, maka alasan gaya bahasa prolepsis menjadi tidak signifikan.

    Jadi pemahaman saya, kalau konsisten dengan pemahaman diluar konsep penampakan, alasan penggunaan gaya prolepsis menjadi tidak tepat karena sesuatu yang diantisipasi akan terjadi sesungguhnya telah terjadi walaupun tidak tampak. Bagaimana menurut Pak Agus?

    Mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan tidak berkenan, mohon koreksinya. Terima kasih.

    • Pak Syarif,

      Anda menggunakan kata hilal untuk tiga konteks yang berbeda. Untuk memudahkan pengungkapan pendapat, saya akan menggunakan penulisan seperti di bawah:
      – crescent: penampakan bulan sabit di fase sebelum dan sesudah konjungsi
      – hilal: penampakan bulan sabit setelah matahari tenggelam, setelah konjungsi, sebagai kriteria bulan baru berdasar rukyat
      – “hilal”: penggunaan kata hilal yang tidak mengacu kepada definisi hilal di atas.

      Selama tidak terjadi gerhana bulan total atau cincin, sebelum dan sesudah konjungsi crescent sudah ada, tetapi hilal belum tentu terjadi (crescent bisa saja sudah dibawah ufuk ketika matahari tenggelam, jadi keberadaan crescent bukan keberadaan hilal lagi).

      Penggunaan “hilal” dalam wujudul “hilal” tidak seluruhnya mengacu kepada hilal, jadi lebih cenderung sebatas kriteria dimana “hilal” sudah dianggap wujud (sekali lagi, yang wujud bukan hilal, tetapi “hilal”) [catatan: dari segi historis mungkin saja tidak tepat karena Muhammadiyah juga mempunyai periode memprioritaskan rukyat, hanya saja definisi yang aktual sekarang mengatakan demikian]. Meksipun tidak seutuhnya sama, kasus ini masih setara dengan penggunaan istilah miladul “hilal”, karena yang lahir bukan hilal, jadi jelas “hilal” disini tidak mengacu ke hilal. Dalam prakteknya, “hilal” dalam wujudul “hilal” lebih mengacu ke kondisi bulan yang sudah di atas ufuk (kondisi bulan di atas ufuk adalah sesuatu yang diantisipasi(*) menjadi hilal). Sedang “hilal” dalam miladul “hilal” tidak mengacu ke arti apa-apa selain fakta bahwa kata gabungan miladul “hilal” mengacu ke definisi konjungsi/ijtima’.

      (*) antisipasi
      n 1 perhitungan tentang hal-hal yang akan (belum) terjadi; bayangan; ramalan; 2 penyesuaian mental terhadap peristiwa yang akan terjadi; 3 (Ling) perubahan bunyi oleh alat ucap yang menyediakan posisi yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi berikutnya;

    • Pak Agus terima kasih atas penjelasannya.

      Pada tulisan yang sama, menyusul paragraf tersebut, Pak Syamsul Anwar juga mengatakan:

      Penggunaan kata hilal pada saat belum tampak sudah sangat lumrah dalam bahasa Arab di bidang ilmu falak. Misalnya istilah “miladul hilal” (kelahiran hilal). Salah satu syarat validitas kalender global yang disepakati adalah bahwa kalender tersebut tidak mengakibatkan suatu kawasan masuk bulan baru qabla miladi al-hilal (sebelum kelahiran hilal). Yang dimaksud dengan kelahiran hilal itu adalah saat ijtimak. Kita semua tahu bahwa saat ijtimak itu hilal belum nampak, tetapi tetap dikatakan kelahiran hilal. Jadi sekali lagi ini adalah gaya bahasa prolepsis.

      Jadi kalau menurut saya, paragraf tersebut menjelaskan bahwa penggunaan kata “hilal” mengacu kepada tiga konteks yang berbeda yang disebutkan oleh Pak Agus. Bahkan dalam paragraf ini, lebih dijelaskan lagi bahwa kata “hilal” yang digunakan berdasarkan kepada konsep penampakan.

    • Pak Syarif,
      Saya menyarankan untuk tidak terpaku dengan penggunaan istilah. Seperti yang tegaskan di komentar sebelumnya, pengguanan istilah hilal dalam wujudul hilal memang perlu dikritisi karena membingungkan dan memberikan persepsi yang tidak tepat bagi yang tidak memahami dengan konsep ini. Hanya saja, kita tidak bisa menilai arti sebuah konsep hanya dari pemilihan istilah; apalagi konsep tersebut sudah didefinisikan dengan jelas. Setiap istilah bisa mempunyai banyak arti (dan ini adalah hal yang alami dalam bahasa), dan itu tidak akan membawa masalah yang berarti ketika konteks pengguannya sudah sangat jelas.
      Mengaitkan pemilihan istilah dengan definisi tanpa adanya landasan yang kuat akan cederung jatuh ke bentuk spekulasi, karena menghubung-hubungkan dua kasus yang belum tentu ada hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, marilah kembali ke definisi. jika perlu ditambah dengan konfirmasi secara faktual apakah Muhammadiyah sudah menggunakan konsep itu sesuai dengan definisinya atau tidak.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

      Maaf Pak Agus, bukankah permasalahan muncul karena perbedaan pemahaman dalam mengartikan istilah yang digunakan. Pak Agus sendiri mempermasalahkan istilah “tinggi hilal” yang ditanyakan oleh Pak Rois, walaupun istilah tersebut tidak ada di Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, tetapi istilah tersebut sering disampaikan dalam maklumat PP Muhammadiyah. Artinya harus ada definisi yang sama dalam istilah tersebut, serta konsistensi dalam penggunaannya, sehingga pemahaman kita menjadi sama.

      Kedua paragraf yang saya tuliskan adalah kutipan dari tulisan Pak Syamsul Anwar saat membahas pertanyaan dari K.H. Maman Abdurahhaman (anggota Dewan Hisab Rukyat PP PERSIS),tentang sebutan Wujudul Hilal (selebihnya dapat dilihat pada tulisan beliau yang berjudul “Penyatuan Kalender Islam Secara Global Bagai Pungguk Merindukan Bulan?”).

      Pada pembahasan awal, Pak Syamsul membahas berdasarkan konsep non penampakan, termasuk pernyataan bahwa sesuatu yang wujud tidak selalu terlihat. Tetapi pada saat membahas tentang kata “hilal”, beliau membahasnya menggunakan konsep penampakan. Pernyataan bahwa wujudul hilal adalah wujud sesuatu yang diantisipasi akan menjadi hilal mengindikasikan bahwa hilal diyakini belum terjadi/belum ada dan diantisipasi akan terjadi. Padahal kalau kita berbicara berdasarkan konsep non penampakan, Pak Agus sendiri mengatakan bahwa selama tidak terjadi gerhana matahari total atau cincin, sebelum dan sesudah konjungsi (tambahan: bahkan saat konjungsi) sudah terdapat hilal, atau oleh Pak Agus diistilahkan sebagai crescent (saya kurang paham apa perbedaan crescent dan hilal, selain daripada bahasa inggris dan bahasa arab). Artinya kalau kita berbicara menggunakan konsep non penampakan, hilal itu sudah ada dari mulai konjungsi sampai matahari terbenam, karena berapapun sudut yang terbentuk antara matahari dan bulan terhadap bumi, sudah ada cahaya matahari yang dipantulkan walaupun hanya sebesar photon. Sedangkan, kalau kita berbicara menggunakan konsep penampakan, maka hilal belum dapat terlihat (tampak) karena pada saat setelah konjungsi sampai dengan matahari terbenam cahaya hilal dikalahkan oleh cahaya matahari dan/atau cahaya senja yang menuju bumi.

      Permasalahan yang timbul akibat perbedaan pemahaman mengenai konsep wujudul hilal, dapat diakibatkan oleh kurangnya konsistensi dalam penggunaan istilah serta definisi yang jelas mengenai istilah tersebut.

      Kesimpulan Pak Agus yang mengatakan bahwa WH telah mengabaikan hilal dalam penentuan awal bulan baru tidak tersirat secara jelas dalam Buku Pedomam Hisab Muhammadiyah. Justru pencantuman kalimat

      Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk

      menurut pemahaman saya adalah upaya WH untuk menghubungkan antara kondisi keberadaan bulan terhadap ufuk dengan keberadaan hilal, artinya tidak sama sekali mengabaikan hilal. Sekiranya WH sungguh-sungguh mengabaikan hilal, seharusnya kalimat tersebut dihilangkan dari paragraf yang terdapat pada hal 82 tersebut.

      Mungkin (mohon koreksinya) konsep WH didasari oleh penjelasan Syeikh az-Zarqa (hal 16-17:Pedoman Hisab Muhammadiyah) yang menjelaskan bahwa rukyat hilal bukan sebab syar’i dimulainya puasa, melainkan masuknya bulan baru. Kapan dimulainya bulan baru, yaitu pada saat telah terjadinya konjungsi (ijtima’). Karena matahari terbenam merupakan awal mula hari baru, maka konsep ini mendekati konsep ijtima qablal ghurub. Ini kalau konsisten awal bulan Hijriyah ditandai dengan masuknya bulan baru (berdasarkan peredaran bulan) sehingga sama sekali mengabaikan keberadaan hilal.

      Penggunaan ufuk sebagai kriteria berikutnya, mengembalikan konsep awal bulan hijriyah berdasarakan masuknya bulan baru (berdasarkan peredaran bulan) kembali kepada konsep rukyat. Seperti yang dijelaskan dalam paragraf kedua hal 24 (Pedoman Hisab Muhammadiyah). Dimana dikatakan

      …Keberadaan Bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat…

      artinya, disini pembaca diberikan pemahaman bahwa WH tidak sama sekali mengabaikan hilal karena keberadaan bulan di atas ufuk dapat dihubungkan dengan keberadaan hilal yang dapat di rukyat. Apabila dihubungkan dengan konsep rukyat, maka artinya dihubungkan dengan konsep penampakan hilal dengan pendekatan keberadaan bulan di atas ufuk.

      Kemudian pada Bab IV buku tersebut yang membahas tentang penentuan awal bulan, diawali dengan keterangan perintah melakukan rukyat pada zaman Nabi SAW. Tentunya yang di rukyat adalah hilal. Dijelaskan bahwa perintah tersebut dikarenakan keadaan umat pada saat itu yang belum dapat melakukan hisab. Pemahaman saya, apabila perintah awal adalah melakukan rukyat terhadap hilal, tentunya logis kalau penggunaan hisab adalah dengan menghisab parameter keberadaan hilal tersebut, terlepas apakah itu hanya berupa keberadaan bulan seperti yang dijelaskan oleh Zaki A. Al-Mostafa (2005) bahwa konsep Ummul Quro bergantung kepada “probability of seeing the crescent”. Kesimpulan Pak Agus bahwa WH mengabaikan keberadaan hilal, tentunya telah menjauhkan dari perintah awal pada saat zaman Nabi SAW dalam penentuan awal bulan yaitu rukyat hilal.

      Demikian pemahaman saya saat membaca tulisan Pak Syamsul Anwar dan buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, mohon maaf sekiranya ada yang salah dalam pemahaman saya tersebut, mohon koreksinya dari Pak Agus. Terima kasih

      • Bapak-bapak, pernahkah terlintas di pikiran kita sebuah pertanyaan sederhana; mengapa Nabi saw memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa setelah melihat hilal? Jika pernah, pernahkah pula terlintas di pikiran kita sebuah jawaban; karena Nabi saw ingin umat Islam berpuasa pada waktu yang tepat, sesuai dengan semangat ayat “fa man syahida minkum asy-syahra fal-yasumhu”?
        Ya, kala itu, rukyat adalah cara yang paling dapat memberi kepastian akan masuknya bulan baru. Mengapa yang paling? Ya, karena kala itu, sebenarnya sudah ada cara kuno nan lapuk yang sudah digunakan bangsa Arab untuk menentukan awal bulan, mengikuti warisan zaman Babylonia secara turun temurun. Mau tau cara apa itu? Ya, visibilitas hilal. Jadi, sejatinya rukyat itu diperintahkan Nabi saw untuk mengganti imkan rukyat.
        Dan sekarang, wujudul-hilal dapat memberi kepastian secara lebih presisi akan masuknya bulan baru, sehingga dapat menggantikan posisi rukyat, karena yang dimaui Nabi saw adalah ketepatan waktu memasuki bulan baru.

      • Jadi, sejatinya rukyat itu diperintahkan Nabi saw untuk mengganti imkan rukyat

        Maaf Pak Abu…
        Sepertinya untuk kali ini saya belum sependapat… 🙂

        Nabi menggunakan Rukyat karena memang umat Islam pada waktu itu sangat terbelakang dalam ilmu hitung Astronomi…

        Terbukti pada Zaman Khalifah Umar bin Khattab pun Umat Islam baru hanya bisa Hisab Urfi…
        Hisab yang sangat sederhana… karena perhitungannya tidak mencerminkan posisi bulan yang faktual… sehingga kalender nya bisa sudah masuk tgl 1 padahal posisi bulan masih di bawah ufuk, atau kalender masih bulan lama padahal hilal tgl 1 sudah jelas terlihat…

        Hanya ini yang selalu jadi pertanyaan saya…

        Ketika Ulama Terdahulu seperti ulama Tabiin terkenal Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy-Syikhkhir (w. 95/714) memperbolehkan penggunaan Hisab dalam Penetapan Awal Bulan… ( Pedoman Hisab Muhammadiyah hal 6 )
        Kriteria Penetapan Bulan nya merujuk kepada apa ?…

        Untuk sementara ini, saya masih beranggapan bahwa Kriteria pada waktu itu adalah hanya melihat Ijtima’ nya saja…
        Sebab dari zaman Ilmu Hisab berkembang di dunia Islam sampai zaman sekarang… setahu saya yang berkembang itu adalah Kriteria berdasarkan Ijtima’…
        baru kemudian pada tahun 1939, Ahmad Muhammad Syakir (1892-1951) memperkenalkan Kriteria ‘Moonset after Sunset’… ( Pedoman Hisab Muhammadiyah hal 22 )

        Kriteria Imkan Rukyat baru dikenal belakangan ini oleh Umat Islam… (Walaupun di luar umat Islam, menurut mereka Kriteria Imkan Rukyat telah digunakan oleh manusia… contoh nya kriteria Babilonia seperti ini :
        1. Moon Age > 24 jam
        2. Moonset setelah Sunset > 48 menit
        Diklaim juga sebagai Kriteria Imkan Rukyat…
        Padahal kalau kriteria seperti ini, apa bedanya dengan kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub ?… cuma beda-beda tipis, sama-sama tidak ada derajat-derajat nya … 🙂 )

        Nah… untuk yang telah menuduh Muhammadiyah telah mengabaikan Ayat Alquran mengenai Hilal…

        Saya mohon dengan sangat… untuk bisa membuktikan Tuduhannya dengan cara menyampaikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan… bahwa pada saat itu (zaman Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn asy-Syikhkhir)… Kriteria yang digunakan adalah Kriteria Imkan Rukyat seperti yang berkembang sekarang ini…

      • Jangan terlalu sempat menganggap kriteria IR hanya dengan batasan derajat. Inti dari kriteria IR adalah kontras cahaya hilal atas chaya syafak. Kriteria bermacam-macam. Ada yang dinyatakan dengan ketinggian, jarak bulan-matahari, umur bulan, lebar sabit, prosentasi iluminasi, beda waktu terbenam matahari dan bulan, dan beberapa lainnya. Kriteria Babilonia setara dengan kriteria lainnya. Bila umurnya lebih dari 24 jam, artinya hilal sudah cukup tinggi dan sabitnya semakin tebal, sehingga cahaya hilal mampu mengatasi cahaya syafak. Beda waktu terbenam juga bermakna ketinggian hilal cukup tinggi. Bila kriteria sekadar ijtimak qoblal ghurub, itu maknanya umur bulan > 0, setara dengan WH. Umur hilal dihitung sejak ijtimak sampai maghrib. Kalau ijtimaknya hanya beberapa menit sebelum maghrib, itu tidak mungkin bisa dirukyat.

      • Ya, silakan saja, bebas kok setuju atau tidak, yang penting kan cara penyampaiannya santun, tidak sombong, tidak merasa paling benar sendiri, seperti yang empunya blog ini. Apa yang saya sampaikan ini juga belum tentu benar kok.
        Memang waktu itu jumlah umat Islam belum banyak, tata cara peribadatan pun masih ada yang serupa-rupa dengan tata cara agama sebelumnya. Maklum karena waktu itu memang tahap paling dasar dalam membangun satu agama, agama Islam yang sempurna. Masa Nabi saw adalah masa proses pembangunan agama Islam.
        Karena jumlah yang sedikit itulah sangat mungkin belum ada orang yang pintar berhisab yang masuk agama Islam. Sementara itu, masyarakat Arab hampir tidak mungkin tidak mengerti cara menentukan awal bulan baru, karena sebelum masa Nabi saw pun orang sudah mengenal ada nama-nama bulan hijriyah itu. Hanya saja, cara mereka menentukan awal bulan itu yang mengandung keraguan, karena menggunakan visibilitas hilal.
        Oleh sebab itulah, karena visibilitas hilal dianggap kurang akurat untuk memenuhi perintah berpuasa (tepat) di bulan Ramadan, baik awal maupun akhirnya, maka Nabi saw memerintahkan untuk melakukan rukyat, sebuah cara sederhana, dapat dilakukan oleh siapa saja, hanya butuh pengalaman di alam. Dan masa itu, bukan sesuatu yang sulit untuk bisa melakukan rukyat, di samping situasi negeri Arab yang relatif mendukung, belum banyak pula pengaruh polusi udara dan cahaya-cahaya lain selain cahaya matahari.

    • Pak Syarif,

      Maaf Pak Agus, bukankah permasalahan muncul karena perbedaan pemahaman dalam mengartikan istilah yang digunakan.

      Saya kira itu saya bisa menemukan banyak kebenaran pernyataan pak Syarif di atas ketika audincenya masyarakat umum. Hanya saja, ketika tema tersebut didiskusikan oleh seorang peneliti secara logis dan ilmiah, kemungkinan kesalahan seperti itu seharusnya sangat minim. Dalam tulisan ilmiah yang sudah mendapat peer review, kemungkinnya bisa dikatakan mendekati angka nol. Dalam tulisan ilmiah, sering kita harus memberikan definisi atau batasan secara jelas istilah yang akan digunakan dalam tulisan tersebut, agar tidak ada kesalah pahaman dalam membaca maksud dari tulisan tersebut. Mengingat konsep wujudul hilal sudah terdefinisi secara jelas dan berbeda dengan perspesi umum terhadap arti kata wujud dan hilal, seorang penulis akan berpikir seribu kali untuk melakukan menafsirkan kembali definisi istilah wujudul hilal tersebut menggunakan definisi ataupun anggapan umum.

      Ini yang dilakukan oleh Pak Djamaluddin dalam tulisan di atas, yang mengasumsikan bahwa wujudul hilal memberikan kriteria terbentuknya (wujud) hilal (crescent) di atas ufuk ketika matahari tenggelam, kemudian sampai ke kesimpulan bahwa logika wujudul hilal adalah bentuk paradoks. Padahal Pak Djamaluddin tidak sepenuhnya menggunakan logika wujudul hilal, karena telah meredefinisikan konsep wujudul hilal, sehingga menjadikannya sebuah premis yang tidak akurat lagi. Kesimpulan bahwa logika wujudul hilal adalah paradoks, justru dikarenakan dari pertama sudah berlaku asumsi bahwa wujudul hilal adalah kiriteria yang kuno, usang, dan ketinggalan zaman.

      Pak Agus sendiri mempermasalahkan istilah “tinggi hilal” yang ditanyakan oleh Pak Rois, walaupun istilah tersebut tidak ada di Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, tetapi istilah tersebut sering disampaikan dalam maklumat PP Muhammadiyah.

      Saya sebenarnya hanya mempertanyakan pernyataan Pak Rois bahwa tinggi hilal dijelaskan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah, padahal tidak ada istilah itu dalam buku tersebut. Meskipun penafsirkan “tinggi hilal” yang disebut dalam maklumat PP Muhammadiyah sebagai istilah yang mengacu kepada tinggi bulan adalah hal yang paling logis dalam konteks wujudul hilal, hanya saja ini masih sebatas asumsi karena tidak adanya penjelasan yang eksplisit mengenai istilah ini (saya sendiri menganggap istilah ini juga rancu, dan menganggap tinggi hilal = tinggi bulan). Saya ingin selalu membedakan mana yang fakta dan mana yang masih berupa asumsi. Sedang menyamakan penafsiran tinggi hilal ini sebagai tinggi hilal dalam konteks imkanu rukyat (sebagai tinggi bulan sabit yang terlihat) adalah sepenuhnya spekulasi, karena memang tidak ada argumentasi valid yang bisa mendasari anggapan ini.

      Argumentasi yang Pak Syarif demonstrasikan adalah bentuk tarik ulur dasar-dasar yang melatarbelakagi konsep wujudul hilal dengan ru’yatul hilal. Kalau dilihat level seperti ini, tentu saja wujudul hilal berhubungan dengan hilal yang dirukyat, sama halnya wujudul hilal juga berhubungan dengan Nabi Muhammad. Apakah wujudul hilal mengabaikan Nabi Muhammad? Tergantung konteks, secara objektif bisa dikatakan ya dan tidak, secara emosional keagamaan: tentu saja tidak. Sekali lagi yang saya ingin kemukakan adalah, kriteria awal bulan menurut wujudul hilal sesuai dengan *DEFNISI* tidak membutuhkan penampakan hilal (crescent setelah maghrib, terlihat atapun yang tidak terlihat).

      • Pak Agus, terima kasih atas penjelasannya. Untuk menanggapi penjelasan Pak Agus, saya coba kembali mengutip paragraf yang terdapat pada buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (hal 82):

        Menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan kamariah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk. Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk. Jadi kadar minimal prinsip yang dapat diabstraksikan dari perintah rukyat dan penggenapan bulan 30 hari adalah keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai kriteria memulai bulan baru. Sebagai contoh tinggi Bulan pada sore hari ijtimak Senin tanggal 29 September 2008 saat matahari terbenam adalah 00° 51′ 57″, artinya Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, dan oleh sebab itu bulan berjalan digenapkan 30 hari sehingga 1 Syawal jatuh hari Rabu 1 Oktober 2008. Pada sore Selasa (hari ke-30) Bulan sudah berada di atas ufuk (tinggi titik pusat Bulan 09° 10′ 25″).

        Di dalam paragraf tersebut ada tiga definisi yang harus dapat dipahami dan disepakati bersama, yaitu definisi dari (1) bulan, (2) hilal dan (3) rukyat. Berikut pemahaman saya mengenai definisi dari ketiganya (mohon koreksi dari Pak Agus sesuai dengan pemahaman Bapak):

        Bulan = benda planet yang mengitari bumi dan tidak memiliki dan memancarkan cahaya sendiri.

        Hilal = pantulan sinar matahari yang mengenai sebagian wilayah (permukaan) bulan dan berbentuk sabit atau disebutkan dalam surat Yasin (39) berbentuk seperti tandan tua.

        Rukyat = perintah melihat hilal (BUKAN perintah melihat bulan) seperti yang dijelaskan dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (hal 74-75).

        Saya tidak tahu apakah kita sepakat degan definisi tersebut atau tidak. tetapi saya coba menaggapi dari penjelasan Pak Agus berikut ini:

        …Meskipun penafsirkan “tinggi hilal” yang disebut dalam maklumat PP Muhammadiyah sebagai istilah yang mengacu kepada tinggi bulan adalah hal yang paling logis dalam konteks wujudul hilal, hanya saja ini masih sebatas asumsi karena tidak adanya penjelasan yang eksplisit mengenai istilah ini (saya sendiri menganggap istilah ini juga rancu, dan menganggap tinggi hilal = tinggi bulan). Saya ingin selalu membedakan mana yang fakta dan mana yang masih berupa asumsi. Sedang menyamakan penafsiran tinggi hilal ini sebagai tinggi hilal dalam konteks imkanu rukyat (sebagai tinggi bulan sabit yang terlihat) adalah sepenuhnya spekulasi, karena memang tidak ada argumentasi valid yang bisa mendasari anggapan ini.

        Dari penjelasan tersebut Pak Agus, dikatakan tinggi hilal = tinggi bulan. Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hilal = bulan? kembali ini terkait dengan kesepakatan definisi terhadap istilah. Apakah kata “hilal” pada kata “tinggi hilal” juga merupakan gaya bahasa prolepsis? Apakah dengan alasan gaya bahasa prolepsis maka dengan mudahnya kata “hilal” dan “bulan” dapat dicampur adukan menjadi satu dalam beberapa tulisan sehingga dapat membingungkan para pembacanya? Kemudian kapan kita diberikan pemahaman bahwa kata hilal yang digunakan pada suatu tulisan adalah menggunakan gaya bahasa prolepsis atau tidak?

        Mengapa penafsiran “tinggi hilal = tinggi bulan” oleh Pak Agus disebut sebagai “asumsi” tetapi penafsiran “tinggi hilal” oleh Pak Thomas disebut “spekulasi”? Karena dengan definisi seperti yang saya pahami di atas, maka penafsiran “tinggi hilal” sesuai dengan yang dibuat oleh Pak Thomas menjadi valid, karena dalam astronomi definisi bulan TIDAK SAMA dengan hilal.

        Dalam paragraf hal 82 di atas, juga tidak dijelaskan apakah hilal yang dimaksud memang hilal, atau hilal dalam gaya bahasa prolepsis. Tetapi menurut saya (mohon koreksinya) hilal dalam paragraf tersebut memang betul-betul yang dimaksud adalah hilal dalam artian pantulan cahaya matahari yang mengenai permukaan bulan. Kalau kita melihat contoh perhitungan pada paragraf tersebut, disimpulkan bahwa Bulan masih di bawah ufuk dan karena itu mustahil dirukyat, tentu artinya apabila bulan dibawah ufuk maka hilal tidak dapat terlihat (mustahil di rukyat). Bagaimana sekiranya contoh tersebut menujukkan bulan yang berada di atas ufuk, bagaimanakah kesimpulan yang dapat diartikan dari posisi tersebut? berikut spekulasi dari yang saya pahami, kalau sekiranya saya menuliskan kembali kesimpulannya:

        Bulan di bawah ufuk ===> mustahil di rukyat

        Bulan di atas ufuk ===> tidak mustahil di rukyat (seperti halnya bulan pada sore Selasa (hari ke-30) pada paragraf tersebut). Ini juga tersirat pada buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (hal 24) dimana disebutkan

        Bulan yang terlihat pastilah di atas ufuk saat matahari terbenam dan bulan pasti berada di atas ufuk saat matahari terbenam apabila bulan kamariah berjalan digenapkan 30 hari.
        Hanya saja dalam hisab imkan rukyat yang menuntut keberadaan bulan harus pada posisi yang bisa dirukyat menimbulkan kesukaran untuk menentukan apa parameternya untuk dapat dirukyat, sehingga terdapat banyak sekali pendapat mengenai ini.

        Kembali ada kerancuan pemahaman istilah dalam hal ini definisi rukyat, apakah rukyat hilal atau rukyat bulan? Apabila yang dimaskud adalah rukyat hilal, maka ini adalah argumen valid terhadap kesimpulan kalau bulan di atas ufuk maka hilal tidak mustahil di rukyat. Akan tetapi, ternyata tidak selamanya bulan di atas ufuk mengakibatkan hilal dapat di rukyat, apalagi seandainya penetapan bulan di atas ufuk berdasarkan piringan atas bulan, seperti yang dijelaskan oleh Pak Thomas dalam tulisannya pada blog ini di atas.

        Kalau dalam penjelasan buku (hal 74-76) dikatakan bahwa perintah melakukan rukyat (melihat hilal) adalah perintah karena adanya ilat atau disebabkan oleh umat yang masih ummi, maka pendekatan yang logis adalah dengan menggunakan ilmu hitung (hisab) yang sudah maju, maka yang dihitung adalah penampakan hilal yang zaman dahulu diperintahkan untuk di rukyat. Bagaimana menghitung penampakan hilal, yaitu dengan menghitung parameter-parameter keberadaan hilal tersebut yang tentunya tidak hanya berupa keberadaan bulan di atas ufuk. Ini pemahaman saya, mohon koreksinya.

      • Pak Syarif,
        Karena pembicaraan masih berkutat masalah pengunaan istilah, bukan definisi dari istilah, saya mencoba melakukan pendekatan dengan perspektif yang berbeda dalam menanggapi kritik Pak Djamaluddin. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan istilah dan kata yang lebih konsisten terhadap konsep tema wujudul hilal. Tolong diperhatikan bahwa saya akan menggunakan beberapa asumsi yang menurut saya logis, tapi belum tentu tepat dan benar dalam mendefinisikan konsep wujudul hilal. Argumentasi yang ingin saya kemukakan bukan bermaksud mengatakan bahwa itu adalah pemahaman tentang wujudul hilal yang benar, tetapi untuk mengajukan pernyataan: apakah dengan cara pemahaman dan pendefinisian konsep wujudul hilal seperti ini, paradoks yang dikemukakan oleh Pak Djamaluddin masih berlaku?

        Saya tidak akan menggunakan kata hilal kecuali sebagai fenomena penampakan bulan sebagai bulan sabit setelah matahari tenggelam. Wujudul hilal saya ganti menjadi wujudul qomar. Tinggi hilal tidak dipakai, kalaupun perlu akan menggunakan tinggi bulan di atas ufuk, dimana relatif terhadap posisi matahari. Sesuai dengan definisi, wujudul qomar adalah kriteria awal bulan baru hijriyah yang berdasarkan pada: pada saat matahari tenggelam, (1) sudah terjadi ijtima’ sebelumnya; (2) piringan atas bulan sudah di atas ufuk.
        Alasan-alasan yang mendasari formulasi kriteria ini adalah:
        – hilal pada dasarnya adalah penampakan fase-fase pertama bulan dalam siklus peredarannya terhadap bumi
        – perintah rukyatul hilal dari Nabi sebagaimana yang dipahamai menurut konteks waktu (ummat yang ummi) bisa ditafsirkan sebagai bentuk perintah observasi terhadap bulan, mengingat fenomena hilal hanyalah akibat dari peredaran bulan itu sendiri.
        – ijtima’ adalah konsep astronomi yang bisa mendefinisikan siklus bulan berdasar posisi matahari-bulan-bumi dan bidang edarnya. Konsep ini memberikan kriteria yang ideal dan pasti, hanya saja dinilai kurang mempunyai korelasi dengan dengan prinsip syari’at lain yang mendasarkan konsep satuan hari yang berawal dari saat matahari tenggelam.
        – fase paling kecil dari peredaran bulan berdasar penampakan bulan (catatan: bukan hilal), adalah ketika bulan (atau sebagaian dari bulan) sudah di atas ufuk ketika matahari tenggelam. Ini yang menjadi kriteria tambahan sebagai penyempurnaan kriteria penentuan awal bulan Hijriyah.

        Anggap semau poin di atas adalah premis yang benar, paling tidak relatif terhadap penafsiran tertentu terhadap nash dan hadits. Sekarang, dengan pehamaman di atas, apakah Pak Syarif masih menemukan paradoks seperti yang dikemukakan oleh Pak Djamaluddin?

        Kalau konsep di atas dianggap konsisten dan logis (terlepas apakah landasan ijtihadnya diterima atau tidak), sekarang pertanyaannya saya balik: ketika ada bentuk pemahaman yang konsisten dan logis, apakah argumentasi dan referensi Pak Djamaluddin yang meyakini bahwa konsep yang tidak logis adalah pemahaman yang benar terhadap wujudul hilal?

        Mengapa penafsiran “tinggi hilal = tinggi bulan” oleh Pak Agus disebut sebagai “asumsi” tetapi penafsiran “tinggi hilal” oleh Pak Thomas disebut “spekulasi”? Karena dengan definisi seperti yang saya pahami di atas, maka penafsiran “tinggi hilal” sesuai dengan yang dibuat oleh Pak Thomas menjadi valid, karena dalam astronomi definisi bulan TIDAK SAMA dengan hilal.

        Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, kesimpulan yang saya ambil saya golongkan sebagai asumsi karena mempunyai beberapa argumentasi dan alasan yang mendasarinya: (1) dalam maklumat tersebut “tinggi hilal” dipakai sebagai dasar “hilal sudah wujud” atau belum; (2) “hilal sudah wujud” dalam konsep wujudul hilal adalah kondisi ketika tinggi bulan > 0 di atas ufuk setelah ijtima’, bukan tinggi penampakan hilal; (3) metode hisab wujudul hilal seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah menghisab posisi bulan, bukan posisi (kemungkinan) penampakan hilal.
        Penafsiran “tinggi hilal” dalam konteks imkanu rukyat menjadi tidak beralasan, karena pada dasarnya wujudul hilal memang kritera yang tidak berdasar kepada penampakan hilal (sangat jelas dari definisi), jadi sudah keluar dari konteks pembicaraan konsep wujudul hilal itu sendiri. Penarikan kesimpulan seperti ini saya golongkan sebagai spekulasi karena memang tidak ada alasan dan argumentasi kuat yang bisa melandasinya.

        Kalau dalam penjelasan buku (hal 74-76) dikatakan bahwa perintah melakukan rukyat (melihat hilal) adalah perintah karena adanya ilat atau disebabkan oleh umat yang masih ummi, maka pendekatan yang logis adalah dengan menggunakan ilmu hitung (hisab) yang sudah maju, maka yang dihitung adalah penampakan hilal yang zaman dahulu diperintahkan untuk di rukyat. Bagaimana menghitung penampakan hilal, yaitu dengan menghitung parameter-parameter keberadaan hilal tersebut yang tentunya tidak hanya berupa keberadaan bulan di atas ufuk.

        Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif. Anggap rukyatul hilal sebagai perintah non-kontekstual sebagai satu-satunya dasar kriteria memulai bulan baru. Ketika dibaca sebagai praktek apa adanya, pada dasarnya penampakan hilal adalah sebatas permasalahan persepsi mata manusia. Apakah mata bisa menangkap keberadaan hilal ditentukan oleh: (1) keberadaan cahaya hilal; (2) sampai tidaknya cahaya tersebut ke mata; (3) kemampuan mata mendeteksi cahaya yang masuk sebagai hilal.
        Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat, karena panampakan hilal sangat dipengaruhi kondisi fisik atmosfer ketika observasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk jauh-jauh hari. Hisab penampakan hilal terpaksa menggunakan dengan asumsi-asumsi faktor external utama ini dieliminasi dalam taraf tertentu (seperti mendefinisikan dengan kondisi cerah, meskipun belum bisa merumuskan batasan kriteria kuantitatif tertentu). Pada kenyataannya, faktor kondisi atmosfer ini yang paling berpengaruh terhadap hasil rukyat, menjadikan hasil hisab sebagai kriteria “kemungkinan hilal bisa dilihat”, bukan jaminan hilal untuk terlihat. Kriteria imkanu rukyat yang diajukan oleh Pak Djamaluddin kemudian dilebarkan dengan mengatakan ketika hilal tercatat pernah bisa dilihat dengan parameter yang sama, maka meskipun hilal tidak bisa dirukyat dalam waktu tertentu masih bisa dianggap terlihat dengan dengan konsep “rukyat jangka panjang”. Sebenarnya ini kurang logis dari sudut pandang hukum awal: bahwa hilal adalah sesuatu yang terlihat oleh mata, bukan sesuatu yang “ada” atau “mungkin terlihat dalam kondisi sama”. Memang konsep ini bisa berlindung dengan prinsip ketika hilal terhalang, maka hilal bisa diperkirakan. Hanya saja, ketika hal ini dipakai untuk pembenarannya, dari segi hukum tidak ada kelebihan imkanu rukyat dibanding hisab yang lain. Contoh, hisab menggunakan kriteria kalender Ummul Qura bisa memastikan bahwa hilal sudah benar-benar ada di atas ufuk. Dalam kondisi yang cerah, meskipun mengalami penurunan intensitas dikarenakan hamburan oleh atmosfer, cahaya hilal sudah sampai ke mata. Hanya saja, dalam kasus ketinggian hilal rendah, ada kemungkinan mata tidak bisa mendeteksi keberadaan cahaya hilal ini dikarenakan cahaya senja. Dengan landasan hukum yang sama, ketika hilal tidak terlihat oleh mata, hilal bisa dianggap telah ada karena memang sudah ada di atas ufuk. Menimbang sifat dua cara hisab ini, kriteria Ummul Qura juah lebih logis untuk dipakai dibanding kriteria imkanu rukyat, karena kepastian dari semua parameternya, terlebih tidak memerlukan faktor “kesepakatan” yang cenderung non-ilmiah seperti yang terjadi dengan imkanu rukyat sekarang.

  22. Ass wr wb. Pak Ivan, cerita lama yg tidak didukung dg penjelasan rinci dan valid akan menimbulkan berbagai penafsiran. Jadi utk menanggapi pertanyaan pak Ivan ttg perbedaan pemberlakuan awal bln hijriyah di Syam dg di Madinah, saya sampaikan penafsiran yg paling sederhana yaitu : Bahwa rotasi dan revolusi bulan dan bumi adalah sunatullah shg hilal di Madinah pd wkt itu sebetulnya jg sdh tinggi, ttp tdk terlihat krn tertutup awan shg awal bln hijriyah ditetapkan berlaku esok harinya. Wass wr wb.

    • Itu artinya :

      Secanggih seakurat apa pun Kalender Hijriyah Hasil Perhitungan Ilmu Hisab… Tidak ada artinya ketika Hilal tgl 1 tidak terlihat mata karena tertutup Awan…

      Dengan kata lain :

      Pengaturan Sempurna dari Allah swt terhadap alam semesta ini dianulir oleh penglihatan manusia yang menurut pa Bambang sendiri adalah gudangnya salah dan dosa… 😦

      Eh, iya Perbedaan Awal Puasa Abdullah bin Abbas ra dan Muawiyah itu bukan sekedar cerita lama Pak…
      Para Ahli Astronomi bahkan sudah sampai bisa menghitung segala, tahun hijriyah berapa saat kejadian itu berlangsung… 🙂

  23. Ass wr wb. Pak Ivan, sayang sekali penjelasan rinci dr cerita itu tdk bpk paparkan, jadi obrorlan kita masih tetap dlm scope yg sederhana. Walaupun demikian saya mencoba bermain logika utk mencari pembenaran kandungan Al Qur’an yaitu dg menyimpulkan cerita itu dr sisi yg lain bahwa kejadian dlm cerita itu menjadi bahan pelajaran bagi umat muslim setelah itu utk tdk melakukan rukyat penampakan hilal di tempat yg cuacanya tdk mendukung (berawan). Wass wr wb,

  24. Pak Agus….maksud saya separoh badan bulan di atas ufuk, bukan separoh hilal. Ini saya asumsikan dg ‘tergelincirnya matahari’. Matahari tergelincir jika separoh badan matahari telah melewati garis bujur di atas kepala. Kalau baru ‘piringan depan matahari’ yang menyentuh garis bujur di atas kepala, ini belum masuk kategori tergelincir.

    Lalu orang pada ribut soal hilal. Pertanyaannya : mengukur tinggi hilal itu patokannya apa? Garis ufuk barat kan? Itu artinya, terlihat atau tidak terlihat, sepanjang sudah di atas ufuk ya sudah bulan baru donk….. Kecuali patokan mengukur tinggi hilal itu garis ‘ketampakan hilal’ (visibility crescent). Tapi ini justru menjadi paradoks…soalnya begitu esoknya hilal terlihat, tinggi hilal diukur dari garis ufuk. TIDAK KONSISTEN blasssss…..! Kalau mau konsisten ya ukurlah tinggi hilal dari garis visibility crescent.

  25. Menjadikan HILAL (bulan sabit yg terlihat) sbg patokan awal bulan baru menurut saya tidak logis. Soalnya patokan terbit-terbenamnya benda langit (khususnya matahari dan rembulan) adalah garis ufuk. Adalah aneh jika misalnya pada akhir Sya’ban menjelang matahari terbenam, tinggi bulan 0~37’42” (di atas ufuk) dan berdasarkan rukyat di seluruh Indonesia, hilal belum terlihat (bulan Sya’ban digenapkan 30 hari), dan esoknya misalnya tinggi hilal 3~30’27” dan ada yang berhasil melihat hilal (bulan baru dimulai). Nah, pengukuran tinggi hilal 3~30’27” ini menjadi rancu (PARADOKS) sebab pengukurannya berbasis ufuk. Di mana logika ilmiahnya? Kalau mau jujur (Pak Thomas dan penganut IR), tinggi hilal tersebut harus dikurangi tinggi visibility crescent. Dan, pada akhirnya, ini akan menjadi kacau balau, sebab matahari terbenam batasnya ufuk bukan visibility crescent. Kita mesti KONSISTEN menggunakan PATOKAN, apakah UFUK atau GARIS VISIBILITY CRESCENT. Jika kita menggunakan patokan Ufuk, ya semua harus didasarkan pada ufuk, bukan yang lain. Ayo donk…kita berfikir logis dan konsisten. Justru IR itu yang ambigu.

    • Pak Prasojo, tolong dijelaskan apa maksud dengan istilah “Garis Visibility Crescent” yang Bapak tulis.

      Salam,
      Rois

    • Ayolah belajar lagi hisab rukyat. Inti dari imkan rukyat (visibilitas hilal) adalah kontras antara hilal yang sangta tipis dan redup dengan cahaya syafak (cahaya senja). Semakin dekat dengan matahari dan dengan ufuk cahaya syafak semakin kuat. Sementara cahaya hilal (iluminias hilal) semakin kecil ketika posisinya makin dekat dengan matahari. Maka harus ada batasan (kriteria) agar hilal terlihat, mengalahkan cahaya syafak. Itulah kriteria imkan rukyat. Kriteria itu terus disempurnakan. Keriteria “2,3,8” adalah salah satu kriteria lama yang semestinya juga harus diubah, tetapi sementara itu yang disepakati dengan alasan agar tidak terlalu jauh dengan Muhammadiyah yang masih menggunakan wujudul hilal.

  26. Ralat : pada akhir sya’ban saat matahari terbenam (bukan menjelang matahari terbenam)

    Buat pak thomas :
    Saya yakin hati anda sebenarnya bimbang memahami logika IR. Sbg pakar astronomi, mendefinisikan matahari terbenam dg patokan ufuk, tapi mendefinisikan bulan baru (hilal) dg patokan garis visibility crescent. Ini kontradiksi logika berfikir. WH tidak bertentangan dg surat Al-Baqarah, hanyalah pemahaman manusia yg terkadang tdk (belum) mampu mengikuti alquran, atau manusia yg belum mampu memahami nash. Sesungguhnya semua ayat alquran yg terkait dg bumi, matahari dan bulan itu sangat ilmiah dan tidak bertentangan dg logika manusia. Jika logika manusia blm sejalan dg makna ayat, berarti manusia blm mampu menangkap makna ayat itu. Konsistensi logika berfikir itu penting dan mutlak. IR itu logika berfikir yang tidak konsisten. Lebih baik kita kembali kpd rukyat murni daripada IR. Jika kita masih bicara ketampakan hilal, lebih syar’i kita kembali ke rukyat murni sambil mengembangkan teknologi optik. Ini lebih afdhol.

  27. Menurut saya, yg paling logis menentukan terbit-terbenamnya benda2 langit itu adalah posisi benda2 langit terhadap ufuk. Oh…ternyata kemudian diketahui, matahari terbit sudah terlihat duluan sebelum POSISI matahari nongol di atas ufuk? Tidak masalah. Ini bisa dikoreksi dan kita bisa memilih mau pakai yang mana, apakah ufuk real atau ufuk pengaruh pembiasan cahaya matahari itu. Jika kita memilih ufuk real, maka posisi bulan (bukan hilal) harus didasarkan pada ufuk real itu. Sebaliknya, jika kita mau memakai ufuk pengaruh faktor pembiasan cahaya matahari, maka posisi bulan (sekali lagi bukan hilal) bisa dikoreksi. Oh…jarak bumi – matahari berbeda dg jarak bumi – bulan? Ah…itu mudah dihitung. Ilmu sekarang sudah mampu menghitung itu. Yang terpenting KONSISTENSI definisi dan patokan (ufuk). Bukan sesuatu yg terus berubah seperti ketampakan hilal. Soal hisab dan rukyat setara, saya setuju. Dalam konteks hilal (bulan sabit), suatu saat akan tercapai hasil rukyat = WH (wujudul qomar berdasar posisi). Jika belum tercapai dan kita melompat langsung ke WH (berdasarkan posisi matahari dan rembulan), ini jauh lebih tepat karena toh pada akhirnya cepat atau lambat semua akan menuju ke WH.

    • Pak Prasojo, mohon ijin untuk menanggapi tulisan Bapak. Ada satu hal yang saya belum paham dengan penggunaan ufuk sebagai patokan seperti yang Pak Prasojo sebutkan.

      Pak Syamsul Anwar dalam tulisannya selalu mengatakan bahwa WH adalah konsep penentuan awal bulan non penampakan, akan tetapi (menurut pemahaman saya) bukan berarti mengabaikan keberadaan hilal. Hilal sudah terbentuk dari sebelum, sesudah bahkan saat terjadinya konjungsi (kecuali saat gerhana matahari) ini sudah dibuktikan dari hasil observasi Thierry Legault dan Martin Elsasser. Berbicara mengenai konsep non penampakan, artinya meyakini bahwa hilal sudah ada dari mulai terjadinya konjungsi (ijtimak) sampai saat matahari terbenam. karena berapapun sudut yang terbentuk antara matahari dan bulan terhadap bumi, sudah ada cahaya matahari yang dipantulkan walaupun hanya sebesar photon. Sebagai pembanding, dapat dilihat juga magnitude bulan setelah konjungsi sampai dengan saat matahari terbenam dengan menggunakan software Stellarium. Mungkin kriteria Ijtimak qabla al-ghurub lebih mendekati pemahaman terhadap konsep non penampakan.

      Berbicara tentang konsep penampakan, seperti yang selalu dijelaskan oleh Pak Thomas, maka kita berbicara tentang kontras cahaya. Cahaya hilal yang sudah ada masih kalah kuat dengan cahaya matahari dan/atau cahaya senja, sehingga hilal tidak tampak karena cahaya yang sampai ke mata manusia adalah cahaya langsung dari matahari, bukan cahaya yang dipantulkan oleh bulan.

      Penggunaan ufuk sebagai kriteria, mengembalikan WH ke dalam konsep penampakan ini seperti yang dijelaskan dalam paragraf kedua hal 24 (Pedoman Hisab Muhammadiyah):

      …Keberadaan Bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi SAW melakukan rukyat…

      artinya keberadaan bulan diatas ufuk adalah inti dari pelaksanaan rukyat, sedangkan rukyat itu sendiri pasti berpedoman dengan konsep penampakan. Disini yang saya pahami dengan penggunaan ufuk dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah.

      Alasan lain penggunaan ufuk menurut buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, dapat dilihat pada hal 81, yaitu:

      …Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur (perjalanan semu bagi matahari)…

      bahkan ada yang mengistilahkan bahwa ufuk adalah sebagai garis start, dimana saat matahari terbenam apabila bulan di atas ufuk maka bulan telah mendahului matahari, akan tetapi apabila bulan berada di bawah ufuk, maka bulan belum dapat mendahului matahari.

      Tetapi, pada halaman 80 buku tersebut, juga menyebutkan

      …Dalam perjalanan keliling itu bulan dapat mengejar matahari sebanyak 12 kali dalam satu tahun, yaitu saat terjadinya ijtimak, yaitu saat Bulan berada antara matahari dan bumi. Saat terjadinya ijtimak menandai Bulan telah cukup umur satu bulan karena ia telah mencapai titik finis dalam perjalanan kelilingnya…

      Mohon maaf Pak Prasojo, ini yang belum dapat saya pahami. Apabila ufuk adalah garis start sedangkan ijtimak adalah garis finish, maka apakah yang terjadi terhadap posisi matahari dan bulan diantara waktu ijtimak sampai dengan saat terbenam matahari tersebut? Misalkan Ijtimak pada tanggal 29 Agustus 2011 terjadi pada jam 10:00 WIB sedangkan matahari terbenam terjadi pada pukul 18:00 WIB, apakah selama 8 jam matahari dan bulan berjalan beriringan sebelum mereka kemudian terpisahkan oleh ufuk (bulan di atas ufuk atau bulan di bawah ufuk) pada saat matahari terbenam? Mohon penjelasan dari Pak Prasojo yang mungkin lebih paham dengan penggunaan ufuk sebagai kriteria WH.

      Mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. Terima kasih.

  28. Pak Rois dan Pak Syarif…..mestinya kita ini menggunakan kaidah ”posisi” benda2 langit (bukan keterlihatan benda2 langit). Sebab jika kita pakai kaidah ”keterlihatan” maka kasihan benda2 langit ukuran kecil (atau posisinya sangat jauh dari bumi) yang tidak cukup signifikan memantulkan sinar matahari. Benda2 langit ukuran kecil (atau benda langit ukuran besar tapi sangat jauh dari bumi) ini menjadi ”tidak akan pernah terbit” di langit meskipun berada di atas ufuk hanya lantaran pantulan sinarnya tidak terlihat dari bumi. Inilah konsep yang salah. Makanya konsep IR menurut saya sangat tidak logis.

    Lalu soal keterlihatan hilal (atau dalam konteks WH = rembulan/qomar/badan bulan). Begini, kaidah ”keterlihatan” suatu benda itu ada dua, 1) dalam posisi garis lurus dengan mata (observer), 2) memantulkan cahaya. Untuk kriteria 1) patokannya ufuk. Jika di bawah ufuk maka kaidah itu tidak terpenuhi. Nah, WH menggunakan kaidah no 1) ini, bukan yang nomor 2). Sesungguhnya kaidah no 2) pun patokannya ufuk, hanya sayangnya khusus untuk rembulan, pada saat di dekat garis ufuk cahaya rembulan dikalahkan cahaya matahari senja. Ini saja perbedaannya. Nah kalau rembulan sudah di atas ufuk tapi karena pantulan cahayanya belum dapat ditangkap oleh mata lantas dianggap belum terbit, ini konsep yang tidak konsisten. Kita mesti kembali kepada konsep awal terbitnya benda langit, jangan bergantung pada cahaya yang dipantulkan benda langit tsb. Jika kita berpedoman pada cahaya yang dipantulkan, betapa ribuan benda langit (karena ukuran kecil atau ukuran besar tapi sangat jauh dari bumi) dianggap tidak pernah terbit. Ini pemahaman yang diskriminatif. Padahal kita tahu, jagad raya ini terdiri dari jutaan bahkan milyaran benda langit. Alangkah naifnya hanya karena pantulan cahayanga tidak sampai ke bumi lantas kita menganggap tidak pernah terbit bahkan dianggap tidak pernah ada. Kemampuan mata melihat sangat terbatas.

    Garis visibility crescent? IR telah mendefinisikan itu secara jelas. Ini yang lagi diperjuangkan pak Thomas. Silakan cermati sendiri.

    • Pak Prasojo, terima kasih atas tanggapannya. Ada beberapa point yang ingin saya sampaikan menanggapi pernyataan Pak Prasojo.
      Pertama: Pertanyaan saya terhadap Bapak menggunakan kaidah “posisi” belum mendapatkan penjelasan dan jawaban dari Bapak. Berikut pertanyaan saya tersebut:

      Mohon maaf Pak Prasojo, ini yang belum dapat saya pahami. Apabila ufuk adalah garis start sedangkan ijtimak adalah garis finish, maka apakah yang terjadi terhadap posisi matahari dan bulan diantara waktu ijtimak sampai dengan saat terbenam matahari tersebut? Misalkan Ijtimak pada tanggal 29 Agustus 2011 terjadi pada jam 10:00 WIB sedangkan matahari terbenam terjadi pada pukul 18:00 WIB, apakah selama 8 jam matahari dan bulan berjalan beriringan sebelum mereka kemudian terpisahkan oleh ufuk (bulan di atas ufuk atau bulan di bawah ufuk) pada saat matahari terbenam? Mohon penjelasan dari Pak Prasojo yang mungkin lebih paham dengan penggunaan ufuk sebagai kriteria WH.

      Kedua: Saya kira kita berdiskusi dalam konteks hilal, artinya benda langit selain bumi yang mempengaruhi keberadaan hilal hanyalah matahari dan bulan, tidak ada hubungannya dengan benda-benda langit yang lain. Jadi tidak ada pemahaman yang diskriminatif. Pemahaman ini juga tertuang dalam Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah hal: 4

      Pada zaman modern, Muhammad Ahmad Sulaiman mendefinisikan ilmu falak sebagai “imu yang mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta berupa benda-benda langit di luar atmosfer bumi, seperti matahari, bulan, bintang, sistem galaksi, planet, satelit, komet, dan meteor dari segi asal usul, gerak, fisik, dan kimia, dan bahkan biologi.” Oleh karena itu untuk membedakan ilmu falak dalam arti astronomi dengan ilmu falak yang khusus mengkaji gerak matahari dan bulan untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan arah kiblat, maka ilmu falak yang terakhir ini disebut ilmu falak syar’i.

      Ketiga: Pemahaman ufuk yang dituliskan oleh Pak Prasojo dimana merupakan bagian dari kaidah “keterlihatan”, meyakinkan saya, bahwa kriteria ufuk lebih mendekati konsep penampakan dibandingkan konsep non penampakan. Pemahaman saya, bahkan bulan yang di bawah ufuk pun dapat berada dalam posisi garis lurus dengan mata observer, hanya saja semua cahaya matahari yang dipantulkan oleh bulan terhalang oleh ufuk. Contoh sederhana, misalkan ufuk itu adalah sebuah tembok, maka objek yang di balik tembok berada pada satu garis lurus dengan mata observer, tetapi tidak dapat terlihat karena terhalang oleh tembok tersebut.

      Keempat: Kaidah “keterlihatan” suatu benda yang saya pahami: (1) ada cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut dan diterima oleh mata, (2) berada pada wilayah pandang (field of view) dari mata. (3) tidak ada yang menghalangi cahaya pantulan dari benda tersebut ke mata.

      Kalau kembali ke konteks tentang hilal, maka ada 4 parameter yang dapat menghalangi cahaya hilal sampai ke mata (konsep penampakan): (1) ufuk, (2) cahaya senja, (3) kondisi atmosfer (polusi) dan (4) awan. Parameter (1) dan (2) adalah parameter tetap, karena kita tidak dapat merubah parameter terbebut, sedangkan parameter no (3) dan (4) adalah parameter tidak tetap karena keberadaan parameter ini dapat berubah-ubah. Kalau kita berbicara menggunakan konsep non penampakan, maka tentunya tidak perlu lagi repot-repot memperhitungkan ke-4 parameter tersebut. Karena dengan konsep non penampakan, seharusnya telah dapat diketahui dan diyakini bahwa hilal sudah wujud, tanpa perlu dibuktikan lagi apakah bulan dan hilal berada di atas ufuk atau di bawah ufuk.

      Kelima: Dalam salah satu pernyataan Pak Prasojo, Bapak menuliskan:

      Kalau kita merujuk pada hadits, perintahnya melihat ”bulan” bukan ”hilal”. Silakan direnungkan.

      Mohon dapat dijelaskan oleh Bapak, darimana Pak Prasojo dapat mengambil kesimpulan tersebut. Pada buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (hal 75) dijelaskan:

      Pada zamannya, Nabi SAW dan para sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis butir c di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat…

      Kemudian apakah hadis pada butir c tersebut? ini dapat dilihat pada halaman sebelumnya (hal 74) yang merupakan Hadis al-Bukhari dan Muslim, dimana kalau saya kutip arti dari hadis tersebut seperti dalam buku:

      Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah

      Artinya sangat jelas bahwa perintah rukyat adalah perintah melihat hilal dan bukan perintah melihat bulan. Mohon koreksinya.

  29. Ada pertanyaan yang menggelitik pikiran saya, mudah2an bisa menjadi pencerahan kita semua. Misalnya, pengamat di stasiun ruang angkasa menemukan planet baru (kecil atau sangat jauh) dan telah diketahui lintasan orbitnya. Dengan software astronomi, tentu planet ini bisa disimulasikan kapan terbit dan terbenamnya. Tetapi lantaran pantulan cahaya planet ini tidak sampai menembus atmosfir bumi (tidak pernah terlihat oleh mata atau teleskop), lantas manusia di bumi akan tetap menganggap planet itu tidak ada dan menganggap tidak pernah terbit/terbenam? Wah…kalau konsep ketampakan (dari bumi) yang akan terus dipakai, maka kacau balau. Upaya para astronot di ruang angkasa itu menjadi sia2 bagi manusia di bumi.

  30. Ass wr wb. Dlm kandungan Al Qur’an terdpt DASAR2 ilmu falak atau astronomi shg perputaran dan peredaran matahari, bumi dan bulan dikatakan sbg sunatullah. Akibat rotasi bumi (bumi berputar pd sumbunya) , matahari dan bulan terlihat se-olah2 beredar mengelilingi bumi, keduanya TERBIT di UFUK timur dan terbenam di ufuk barat. Pd jam 9.00 pagi pasti matahari sdh TERBIT, ttp kalau langit tertutup mendung tebal maka matahari tdk TERLIHAT. Jadi dlm hal ini TERBIT berbeda dg TERLIHAT. Wass wr wb.

  31. Pemahaman (kesimpulan) saya begini. Rukyat murni itu syar’i banget. Hisab WH sbg ranah ijtihadi juga syar’i banget. Justru yang paradoks dan banci adalah IR. Kemungkinan terlihat itu tak ada landasan hukumnya. Kalau mau lihat (rukyat) ya lihat saja, nggak usah pakai kemungkinan. Kalau mau hisab ya hisab saja yaitu WH atau apapun namanya (wujudul qomar, dll). Persoalannya, rukyat menimbulkan problem pada kalender hijriyah jangka panjang, maka ummat islam musti beralih ke hisab WH. Muhammadiyah telah berada pada rel yang benar. Jika mayoritas ummat islam masih menggantungkan rukyat dlm penetapan puasa, hari raya dan ibadah haji, itu yang perlu diedukasi. Insyaallah ke depan, ummat islam akan semakin sadar dan akan mengikuti kalender WH Muhammadiyah. Indikasi ke arah ini adalah, semakin banyak ummat islam yg membatalkan puasa (atau sengaja tdk puasa) manakala terjadi perbedaan penetapan hari raya, meski mereka menunda shalat ied (pada hari esoknya). Sebagian malah sudah berani ikut shalat dg warga Muhammadiyah. Maju terus Muhammadiyah…!

    • Bukankah namanya sudah menggunakan nama HILAL yaitu “WUJUDUL HILAL”. Jadi sudah sesuai dengan ayat 189 Al Baqarah (walaupun dalam Nama), bukankah begitu kang Prasojo?

      Benar benar cerdik cara MD mengeliminasi ayat Qur’an!

      • Hilal yang artinya cahaya bulan berbentuk lengkung tipis hasil pantulan matahari… SUDAH TERBENTUK SEJAK IJTIMA’ sekalipun…
        Makanya seperti kata pak Agus, dalam bahasa Arab kata Konjungsi / Ijtma’ pun disebut Miladul Hilal…

        Bahkan Astronom sudah ada yang berhasil memotret Penampakan Bulan saat Konjungsi dengan peralatan khusus… Dari hasil Potretnya, Bisa terlihat saat Konjungsi sekali pun (selama tidak terjadi Gerhana) Hilal itu sudah Terbentuk…

        Baik Kriteria WH dan IR itu sebenarnya salah satu tujuan nya adalah sebagai “Jembatan” antara Rukyat dan Hisab…

        Kalau Umat Islam semuanya sudah Melek Teknologi… Sudah bisa bebas dari Kejumudan Berpikir… Sebetulnya tidak perlu “Jembatan” itu…
        Dulu Umat Islam sudah maju… sehingga bisa ada Kriteria Ijtima Qoblal Ghurub…

        Sayang nya Umat Islam mengalami Kemunduran Peradaban (karena salahnya umat Islam sendiri)…

        Umat Islam sekarang tertatih-tatih hendak mencoba bangkit kembali dari Keterpurukan Peradaban…

        ‘Tertatih-tatih’ tidak bisa Cepat (seperti bangkitnya Islam pada zaman Nabi dan Khalafur Rasyidin kemudian Khalifah-khalifah sesudahnya)… Karena belum bebas dari Kejumudan…

        Contohnya masih tertatih-tatih nya kita Umat Islam untuk bisa membuat sebuah Kalender Hijriyah Global…

  32. Ass wr wb. Pd wkt menjelang awal bln hijriyah, bulan mati (bulan tanpa cahaya) TERBIT wkt pagi di ufuk timur beriringan dg matahari dan bergerak semu menuju ufuk barat namun krn pendaran cahaya matahari yg sangat tajam maka piringan bulan mati TIDAK TERLIHAT. Saat magrib, pendaran cahaya matahari yg sdh terbenam tdk tajam lagi shg piringan bulan mati yg masih berada diatas ufuk barat mulai TERLIHAT. Jika disertai dg penampakan cahaya sabit tipis di bag bawah piringan bulan, berarti sdh tgl 1. Wass

  33. Ali…..surat Al-Baqarah 189 itu terjemahannya begini (versi Depag) ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari belakangnya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

    Itulah terjemahan versi Depag. Saya sbg org yg awam dalam masalah nash, rasanya tdk menemukan kalau bulan sabit itu sbg tanda ”masuknya tanggal 1”. Kalau dimaknai seperti ini, tentunya menjadi rancu karena hilal itu sejak kelihatan pertama sampai hari ke 6 atau 7 masih berbentuk bulan sabit. Kecuali bentuk hilal itu hari pertama berbentuk sabit, hari kedua berbentuk segitiga, hari ketiga berbentuk segi empat dst…..kita bisa meyakini kalau bentuknya bulan sabit pasti tanggal 1. Nah ini sampai hari ke 5 masih sabit. Bahwa tanggal 1 qomariah itu bulan berbentuk sabit…IYA. Tapi jangan dibalik…Kalau berbentuk sabit itu tanggal 1. Bisa tanggal 2, 3, 4, 5. Bagaimana kita memahaminya? Coba cermati ayat itu. Saya kira MD sdh benar.

    Kalau kita merujuk pada hadits, perintahnya melihat ”bulan” bukan ”hilal”. Silakan direnungkan.

  34. Ass wr wb. Orang ber-IMAN disamping meng-Iman-i Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 189 juga akan meng-Iman-i HADIST Nabi Muhammad SAW yaitu H.R.Bukhari-Muslim 653 yg cuplikannya a.l. : Laa tashuumuu hatta tarowul hilaal (jangan puasa shg kalian melihat hilal). Krn itu orang beriman akan menentukan awal bln hijriyah(awal puasa) dg pedoman penampakan hilal sesuai perintah dlm Al Qur’an dan Hadist. Tgl 1 bln sabit sangat tipis dan tgl 2 dst akan bertambah tebal secara teratur hingga purnama. Wass
    http://m.yahoo.com?tsrc=samsunghp

  35. Pertanyaan saya : Dg software astronomi, apakah dlm simulasi tsb kondisi penyinaran matahari (dan bulan) menggambarkan penyinaran sebagaimana kondisi di alam nyata? Artinya, dlm simulasi tsb apakah sinar matahari senja (syafak) juga muncul dan mempengaruhi pantulan sinar bulan? Pertanyaan ini penting, soalnya ada 2 alternatif solusi.

    Jika YA, maka solusinya adalah, software di-create supaya tampilan matahari dan tampilan bulan bisa di on-off bergantian, sehingga memudahkan melihat posisinya. Dg cara ini, akan sangat membantu.

    Jika TIDAK, maka sesungguhnya posisi bulan di dekat ufuk pun sudah dapat diketahui (dilihat) dalam simulasi. Jika secara simulasi pada saat matahari terbenam posisi bulan (apakah berbentuk badan bulan ataupun berbentuk sabit) maka kita sudah cukup yakin terjadi BULAN BARU meskipun dalam prakteknya belum bisa dirukyat. Saya kira simulasi sangat membantu dan ini lebih dari cukup untuk kita yakini tanpa harus menunggu hasil rukyat.

    Dan, menurut saya, kita nggak usah capek2 mewacanakan IR. Kriteria WH dapat dipakai dan disepakati dengan 3 alternatif kesepakatan utk penentuan bulan baru. Alternatif itu sbb :

    Alternatif pertama, saat matahari terbenam, cukup piringan atas bulan di atas ufuk. Atau,

    Alternatif kedua, saat matahari terbenam, minimal separoh badan bulan (bukan hilal) berada di atas ufuk. Atau,

    Alternatif ketiga, saat matahari terbenam, seluruh badan bulan harus berada di atas ufuk.

    Barangkali alternatif ketiga inilah yang bisa diterima semua kalangan (hilal berpotensi terbentuk, bukan terlihat)dan lebih pasti ketimbang IR. Dengan catatan, semua harus ”rela” menggunakan hisab dan cukup melihat simulasi software astronomi. Sidang itsbat cukup menyaksikan simulasi yang digelar di Kemenag. Insyaallah, dg cara ini ummat islam akan bisa bersatu dan juga tidak akan berbeda dg kalender hijriyah yang disusun dlm jangka panjang. Sekali lagi, IR tak perlu diwacanakan krn tidak lebih memberi kepastian.

    • S/W simulasi seperti Stellarium berupaya memodelkan hamburan cahaya matahari oleh atmosfer. Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari ada fasilitasnya.
      Logika astronomi sangat mudah, mensimulasikan ketampakan sesungguhnya. Jadi, upaya untuk merekayasa ala WH yang diusulkan akan semakin menjauhkan dari logika astronomi. Mungkin para ahli hisab non-astronom ada yang berminat untuk mengutak-atik kriteria baru untuk pembenaran WH, tetapi hasilnya akan menjauhkan dari astronomi. Itulah yang terjadi dengan astrologi (imu nujum), pseudosains yang kira berbasis astronomi, sesungguhnya tidak. Nah, mencari pembenaran bagi WH akan terjebak pada pseudosains seprti itu. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/

    • Kalau saya berharap… 🙂

      Konsep “Kebolehan meminjam Hilal wilayah lain”
      seperti yang diriwayatkan Hadits Nabi yang menyatakan Nabi membatalkan puasa tgl 30 ketika ada rombongan khafilah dari luar daerah yang melaporkan melihat hilal, sementara di tempat beliau tidak terlihat Hilal…
      Bisa dipertimbangkan dan dikaji oleh para Ulama dan Ahli Falak Indonesia (terutama Muhammadiyah)…

      Kemudian Secepatnya Mendukung Kalender Ummul Quro (dg Kriteria WH nya)… untuk menjadi Kalender Hijriyah Global yang bisa dipergunakan seluruh muslim di seluruh wilayah dunia dari 180° Bujur Timur sampai 180° Bujur Barat…

      Harapan saya juga… Bila kita sudah mampu Menolak Laporan Rukyat atas dasar Keyakinan kita kepada Keakuratan Perhitungan Hisab…
      Sebaiknya keyakinan itu juga digunakan untuk Menetapkan Awal Bulan dengan Hisab Tanpa harus menunggu dulu Laporan Rukyat…

      Sidang Isbat cukup 5 tahun sekali… sebagai sarana silaturahmi antar Ahli Falak perwakilan Ormas-ormas saja… 🙂

      Dan Rukyat (walaupun tidak digunakan lagi dalam Penetapan Awal Bulan mempergunakan Hisab)…
      Harus sesering mungkin dilakukan ketika Posisi Hilal mudah dilihat dan diukur, sebagai salah satu cara mengecek Keakuratan Perhitungan Hisab…

      Dengan begitu Pemburu Rukyat tersalurkan hobi nya… Kalender Hiriyah Global (sebagai Alternatif pengganti Kalender Masehi) juga bisa terwujud…
      Akhirnya semua Happy Ending… 🙂

      • Kalau WH ingin dipertahankan, selamanya kalender dan hasil rukyat bisa sering berbeda, terutama untuk posisi bulan rendah. Di Arab Saudi sering berbeda antara kalender UQ dan pengumuman Majlis AlQadha Al-‘ala, salah satunya karena tidak memperhatikan IR pada pembuatan kalender, selain karena Majlis lebih percaya pada kesaksian hilal walau secara astronomi tidak mungkin (seperti kasus 1 Syawal 1432). Mengapa sidang itsbat masih diperlukan? Selama hisab dan rukyat masih berpotensi terjadi perbedaan, maka “hakim” (yaitu pemerintah yang diwakili Menteri Agama) tetap harus memutuskan satu keputusan negara di antara pendapat yang berbeda itu, sesuai kaidah fikih bahwa keputusan hakim menghilangkan ikhtiaf (perbedaan pendapat). Kalau nanti hisabnya berdasarkan pada IR yang akurat (bukan IR kesepakatan saat ini yang kurang akurat) dan disepakati oleh semua pihak, sehingga hasil rukyat yang akurat akan sama dengan hasil hisab yang akurat (yang tercantum di dalam kalender), maka bisa saya sidang itsbat sama sekali dihilangkan, karena tidak ada lagi penetapan (itsbat) pemerintah. Kalau diperlukan penegasan, Menteri Agama mewakili pemerintah hanya mengumumkan jatuhnya awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang sebenarnya sudah tercantum di dalam kelender.

  36. Lalu, apakah IR tidak berguna? Jawabnya : tetap berguna. IR lebih berfungsi untuk menetapkan kawasan mana yang memulai bulan baru (new moon) terlebih dulu dibanding kawasan lainnya. Penetapan kawasan ini tentu berdasarkan kemungkinan di kawasan mana hilal pertama kali terlihat. Kawasan dimana hilal pertama kali terlihat itulah yang dijadikan kawasan/titik memulai bulan baru. Berdasar peta yang ditampilkan pak Thomas, terlihat jelas kawasan mana yang dapat ditetapkan sebagai kawasan memulai bulan baru. Untuk selanjutnya, penetapan bulan baru dan penyusunan kalender jangka panjang, disusun dengan metode WH yang disepakati (apakah PIRINGAN ATAS, SEPAROH BADAN BULAN atau SELURUH BADAN BULAN) di atas ufuk dengan basis kawasan yang memulai bulan baru itu. Jika kawasan yang ditetapkan memulai bulan baru itu Mekah (Arab Saudi), maka Arab Saudi diberi mandat menyusun kalender jangka panjang dengan alternatif kesepakatan di atas (piringan atas, separoh badan bulan atau seluruh badan bulan) di atas ufuk berdasarkan hisab WH. Cara ini lebih praktis dan meyakinkan.

    • Baik IR maupun WH sama-sama bisa menghasilkan garis tanggal. Menggunakan dua garis tanggal malah membingungkan. Justru upaya penyatuan kalender hijriyah global diarahkan agar hasil hisab yang tercantum di dalam kalender terbukti berdasarkan rukyat yang sesungguhnya. Dengan demikian, hasil penetapan kalangan yang menghendaki rukyat dan kalangan yang menghendaki hisab sama-sama teraokomdasi secara setara. Garis tanggal mana yang bisa mengakomodasi keduanya? Garis tanggal WH berpotensi menyebabkan perbedaan saat bulan rendah. Garis tanggal yang mempertemukan kedua kelompok tersebut adalah garis tanggal IR. Jadi, IR berfungsi untuk membuat kalender yang sekali sebagai panduan bagi para perukyat untuk memperkirakan kemungkinan rukyat (imkan rukyat).

  37. Bambang Supriadi….postingan sebelumnya ada yang komentar….”hilal bisa terjadi sebelum konjungsi dan setelah konjungsi”. Katanya sudah ada ahli yang berhasil memotret. Semoga ini benar. Oleh karena Nabi saw tidak mengajarkan secara detil “hilal” yang mana yang dimaksud Nabi, maka tugas manusia berakal untuk mendefinisikan. Kemampuan akal mendefinisikan sesuatu perintah yang belum dipahami secara pasti (mutlak) inilah yang disebut ranah ijtihadi. Kita diperintah untuk berlomba2 dalam kebaikan. Ijtihad itu termasuk kategori kebaikan.

    Nash menyangkut soal alam ini mesti direinterpretasi secara terus menerus, karena ilmu pengetahuan alam memang terus berkembang. Saya cenderung berpendapat, tafsir ayat yang menyangkut alam (bumi dan langit) itu belum final pada jaman tabi’in. Ummat islam sekarang dan sampai akhir zaman mempunyai hak dan kewajiban untuk terus menafsirkan nash2 yang menyangkut soal alam. Kalau nash2 yang terkait dg ibadah barangkali ulama2 dulu memang pakar2nya (haknya). Itupun sebenarnya masih dimungkinkan untuk ditafsir ulang. Saya ambil contoh, misalnya musafir. Sebagian ulama mengatakan, musafir (yang boleh membatalkan puasa) itu kalau menempuh perjalanan 88 km. Sekarang orang sudah bisa melakukan perjalanan hampir 1000 km dengan nyaman, ber-AC (seperti menggunakan pesawat dari Jakarta ke Surabaya). Rasanya tak ada halangan atau alasan untuk membatalkan puasa. Mengapa demikian? Karena sebagian ibadah itu memang berhubungan erat dengan alam. Sholat pun berhubungan dengan alam. Makanya KH. Ahmad Dahlan gencar memberi pencerahan soal arah kiblat. Dulu, ummat islam (Indonesia) sholat yang penting mengarah ke barat. Dewasa ini, itu tidak cukup, karena arah kiblat sudah dapat diketahui dengan mudah, dengan berkembangnya ilmu bumi (geografi) dan ditemukannya alat penunjuk arah.

  38. Bambang Supriadi….saya ambil contoh lagi. Waktu dhuhur itu jika matahari telah tergelincir ke barat. Definisi tergelincir itu seperti apa sih? ini debatable lho!. Andai disuruh memilih di antara pilihan2 di bawah ini, anda akan pilih yang mana?

    1). piringan depan matahari menyentuh garis bujur di atas kepala.
    2). titik pusat matahari telah lewat sedikit dari garis bujur di atas kepala
    3). piringan belakang matahari tepat berimpit dengan garis bujur di atas kepala
    4). piringan belakang matahari telah sejengkal meninggalkan garis bujur di atas kepala

    Dari empat pilihan di atas, mungkin pilihan anda dengan pilihan saya berbeda. Nah, inilah yang namanya wilayah ijtihadi dan orang yang berijtihad dengan sungguh2 itu kalau benar nilainya 2 dan kalau salah nilainya 1. Ini penjelasan para ulama.

  39. Bambang Supriadi….nah kalau anda sudah menetapkan (memilih) kriteria tergelincir matahari sebagaimana saya uraikan di atas, barulah ditetapkan waktunya. Misalnya, anda di Semarang (WIB) dan patokan WIB itu Jakarta. Jika di Jakarta tergelincir matahari itu ditetapkan jam 12.01 dan selisih waktu (real time) Semarang – Jakarta itu 4 menit (misalnya), maka waktu tergelincir matahari di Semarang adalah jam 11.57 WIB. Inilah waktu dzuhur Semarang. Begitu lho…..(maaf jika keliru)

  40. Jadi sesungguhnya penetapan waktu2 sholat itu menggunakan metode hisab. Ini disebabkan karena pembagian zona2 waktu itu meliputi wilayah yang cukup luas, sementara satu zona waktu itu pasti ada titik pangkalnya (patokan).

  41. Ass wr wb. Pak Prasojo, salam kenal. Terimakasih atas ajakan ngobrolnya, Mengenai metodha hisab, yg saya pahami adalah bhw hasil hisab itu merupakan hitungan manusia yg hrs dibuktikan dr ilmalyaqin (kebenayan ilmiah) menjadi ainalyaqin (kebenaran penglihatan). Krn itu hisab awal bln hijriyah yg akurat adalah yg terbukti stlh dilakukan rukyat. Shuumuu liru’yati wa aftiruu li ru’yati puasalah kalian krn melihat hilal dan berharirayalah kalian krn melihat hilal (H.R.Bukhari-Muslim 656). Wass wr wb.

  42. Ass wr wb. Mengenai hilal sblm ijtimak memang ada, TERBIT di ufuk timur lebih dulu dr matahari terbit dan akan bergerak semu meninggalkan ufuk timur hingga TIDAK TERLIHAT krn tajamnya pendaran cahaya matahari pagi. Peristiwa ini terjadi saat menjelang bulan mati atau saat bln hijriyah yg lalu blm berakhir. Jadi hilal yg mengakhiri bln hijriyah adalah yg TERLIHAT diatas ufuk barat pd wkt magrib dan terjadi setelah ijtimak. Wass wr wb.

  43. Ass wr wb, Ttg kandungan Al Qur’an yg kita Iman-i sebagian besar berisi ISYARAT ILMIAH dan penjelasannya diuraikan dlm Hadist Nabi Muhammad SAW yg jg kita Iman-i. Jadi saya juga sependapat dg pak Prasojo ttg kecerdasan manusia yg mengembangkan iptek utk dpt menguak tabir ISYARAT ILMIAH tsb. Terus menerus menafsirkan nash ttg alam semesta adalah kewajiban, namun bagi umat Islam hrs ttp bersandar pd Al Qur’an dan Hadist, tdk menyerah pd propaganda ilmiah anti Islam. Wass wr wb.

  44. Ass wr wb. Mengenai arah kiblat, saya sependapat dg uraian pak Prasojo. Sedangkan ttg wkt sholat dzuhur pemahaman saya adalah dimulai pd saat titik pusat piringan matahari tlh lewat sedikit dr garis bujur diatas kepala (pilihan no.2). Dan mengenai pembagian zona waktu (WIB, WITeng, WIT) itu kesepakatan yg ditetapkan oleh otoritas(Pemerimtah), padahal sejatinya setiap langkah dipermukaan bumi ini berbeda waktu. Wass wr wb.

  45. @Pak Rois,
    Saya sengaja langsung bertanya kepada Hal yang bersifat teknis perhitungan hisab thd hilal…

    Itu untuk langsung melihat bagaimana Kemudahan penerapan masing-masing kriteria dalam Prakteknya…
    Ajaran Islam itu Mudah dan Allah swt menghendaki Kemudahan bagi kita…

    Untuk kesepahaman mengenai ‘Ahillah” di QS 2 : 189 dan mengapa Muhammadiyah tidak menggunakannya sebagai dalil Kriteria Awal Bulan, memang perlu dikonfirmasikan kepada MTT PP Muhammadiyah…

    Saya mah bagaimana baiknya saja… hanya yang pasti Hilal itu artinya bukan Hanya Bulan Sabit tgl 1 saja… 🙂

    Di bawah ini hanya Perbandingan antara Konsep Rukyat dan Hisab sebatas yang saya pahami… 🙂

    .

    Konsep Penetapan Awal Penanggalan dengan Rukyat :

    – Penanggalan dimulai dari :
    Sejak Munculnya Hilal yang terlihat pertama kali…

    Hilal secara bahasa yang dikenal, artinya adalah Bulan Sabit…
    Dari Riwayat Hadist… Yang disebut Hilal itu adalah Tidak Hanya Bulan Sabit hari ke 1 saja… Tapi Bulan Sabit hari ke 2 dan 3 pun disebut Hilal…

    Dalam Penanggalan Hasil Rukyat… Tgl 1 nya Tidak Harus Bulan Sabit hari ke 1 saja…
    Tgl 1 nya adalah Bulan Sabit hari ke 2 atau ke 3 pun Tidak menjadi masalah… bila yang pertama kali terlihat adalah Bulan Sabit tersebut…

    Lho mengapa bisa ya ?…
    Jawaban nya ada di point bawah : 🙂

    – Bila Hilal tidak terlihat, penanggalan digenapkan menjadi 30 hari…

    Sehingga pada Penanggalan Hijriyah di musim-musim yang ufuk barat nya sering gelap tertutup awan… Bisa jadi beberapa bulan berturut-turut, Penanggalan nya selalu digenapkan 30 hari tiap bulan…

    Dan sangat mungkin terjadi pada suatu saat… pada saat Magrib di permulaan malam yang dianggap tgl 30… ketika langit di ufuk barat kebetulan cerah, Posisi Hilal ternyata terlihat sudah sangat tinggi sehingga ada kemungkinan sudah memasuki Bulan Sabit hari ke 3… (seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Muslim yang disampaikan pak Abu)…
    Apakah ini menjadi masalah ?… ya tentu Tidak… Cukup malam yang dianggap tgl 30 itu diketok palu ditetapkan menjadi tgl 1… 🙂

    .

    Perbandingan Kriteria-kriteria Hisab

    Agar lebih mudah membandingkan…
    Bulan (benda nya) yang sudah memasuki Periode Sinodis Baru (melewati titik NewMoon / Ijtima’ ), kita sebut saja :
    ‘Bulan Ba’da Ijtima’

    Kapan ‘Bulan Ba’da Ijtima’ terlihat sebagai Bulan Sabit ?…

    Dari Hasil Observasi Astronom…
    ‘Bulan Ba’da Ijtima’ Sudah terlihat sebagai Bulan Sabit… dari Sejak Konjungsi (bila tidak terjadi gerhana),

    Permasalahan bahwa Cahaya nya masih terlalu redup sehingga belum bisa mengalahkan Cahaya Syafak/ senja… Tetap tidak bisa menutup Fakta bahwa Cahaya ‘Bulan Ba’da Ijtima’ sudah berbentuk Sabit…

    Dan Penghitungan Magnitudo nya sudah bisa membuktikan bahwa ‘Bulan Ba’da Ijtima’ setipis apa pun, bila dihitung dari Bumi, sudah termasuk Benda Langit yang lebih terang dari bintang Vega…
    .

    Konsep Penetapan Awal Penanggalan dengan Hisab :

    1. Konsep Penetapan Awal Penanggalan menurut Konjungsi (Ijtima’),

    – Periode Bulan Baru dimulai dari :
    Sejak Konjungsi (Itima’)…
    Jika Konjungsi terjadi jam 15.00 wib (misalnya), maka jam 15.01 wib sudah memasuki Periode Bulan Baru…
    Aplikasi dalam Penanggalan :
    Karena Pergantian Hari dimulai dari Magrib… maka Penanggalan mulai dihitung sejak Magrib…
    Dikenal dengan Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub…

    2. Konsep Penetapan Awal Penanggalan menurut Posisi ‘Bulan Ba’da Ijtima’ terhadap Ufuk,

    – Penanggalan dimulai dari :
    Sejak Munculnya Lingkaran Atas ‘Bulan Ba’da Ijtima’ di Ufuk Barat pada saat Sunset (Magrib)… ==> Kriteria Muhammadiyah
    Sejak Munculnya Lingkaran Bawah ‘Bulan Ba’da Ijtima’ di Ufuk Barat pada saat Sunset (Magrib)… ==> Kriteria Ummul Quro

    3. Konsep Penetapan Awal Penanggalan menurut Kriteria Imkan Rukyat,

    – Penanggalan dimulai dari :
    Sejak Munculnya “Bulan Ba’da Ijtima’ yang Diperkirakan (dihitung) Sudah Bisa Terlihat Mata” pada saat Sunset (Magrib)…

    .

    Sekarang kita Bandingkan Kriteria-kriteria Hisab di atas :

    – Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub (IQG) ==> Jelas Parameter Penghitungan nya…
    – Kriteria Muhammadiyah ==> Jelas Parameter Penghitungan nya…
    – Kriteria Ummul Quro ==> Jelas Parameter Penghitungan nya…
    – Kriteria Imkan Rukyat ==> Belum Jelas Parameter Penghitungan nya…

    Belum Jelasnya Parameter Penghitungan dalam Kriteria Imkan Rukyat… Menyebabkan Kriteria ini, belum ada ORMAS yang Percaya Diri untuk mau menggunakannya dalam ‘Penetapan Jauh-jauh Hari Awal Bulan Hijriyah dengan Hisab’…

    Kalau diibaratkan Software mah…
    Kriteria IQG – MD – UQ adalah kategori Alpha ( α ) sudah Stabil , sedangkan kriteria IR mah kategori Beta ( β ) masih tahap uji coba dan butuh perbaikan…
    (yang entah sampai kapan dapat sertifikat Alpha nya)… 🙂

    Jadi… Penetapan Jauh-jauh Hari oleh Muhammadiyah terhadap Awal Bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah… Adalah Bukan “Penyakit kronis superioritas di kalangan warga Muhammadiyah”…
    seperti yang ditulis dalam Artikel pak Thomas di atas…

    Tapi ini Murni masalah Keyakinan kepada Keakuratan Perhitungan Astronomi dan Telah Stabilnya Kriteria yang dianut…

    Perbedaan Muhammadiyah dengan Otoritas Saudi Arabia :
    Kriteria Ummul Quro telah Stabil… Otoritas Saudi Arabia Tidak Yakin kepada Keakuratan Perhitungan Astronomi…

    .

    Kriteria Imkan Rukyat Mempersulit Diri Sendiri

    Sudah umum diketahui… Terbit dan Tenggelam nya benda-benda langit itu patokan nya adalah Garis Ufuk…

    Tapi dengan menggunakan Kriteria Imkan Rukyat yang patokan nya adalah Penglihatan Mata Manusia…
    Patokan Terbit “Bulan Ba’da Ijtima yang sesuai Kriteria” menjadi sangat kompleks dan suka berubah-ubah ketika “diterjemahkan” ke dalam Angka Penghitungan Astronomi …

    Mochammad Ilyas, astronom dari Malaysia, yang hasil observasinya menghasilkan kesimpulan hubungan antara beda azimuth matahari dan bulan dengan tinggi hilal yang mungkin dirukyat seperti ini :

    Beda azimuth Bulan & Matahari = 0°, maka tinggi IR hilal = 10,5°
    Beda azimuth Bulan & Matahari = 10°, maka tinggi IR hilal = 9,2°
    Beda azimuth Bulan & Matahari = 20°, maka tinggi IR hilal = 6,4°
    Beda azimuth Bulan & Matahari = 30°, maka tinggi IR hilal = 4,5°
    Beda azimuth Bulan & Matahari = 40°, maka tinggi IR hilal = 4,2°
    Beda azimuth Bulan & Matahari = 60°, maka tinggi IR hilal = 4,0°

    Itu baru Faktor beda Azimuth… mau lebih lengkap ( baca: mempersulit diri sendiri… 🙂 ) ?… tinggal tambahin :
    – sudut elongasi
    – moonage
    – lebar Hilal
    Bahkan bisa saja nanti nya ternyata ada Parameter baru yang juga harus dimasukkan agar tercapai hasil yang akurat…
    misalnya Jarak bumi terhadap matahari, Apakah Posisi Perihelion (jarak terdekat), Aphelion (jarak terjauh) atau posisi di antaranya…
    sebab perbedaan posisi ini pun tidak menutup kemungkinan ada pengaruhnya kepada Tingkat Cahaya Syafak / senja…
    Atau mungkin juga faktor Polusi Udara ?… atau faktor Tingkat Pencahayaan Tempat Pemantauan ?… atau… banyak lagi yang lainnya… 🙂

    .

    Pertanyaan :

    Kriteria Imkan Rukyat Siapakah yang paling Tepat dan Stabil… yang sudah bisa dikatakan Kategori Alpa ( α ) ?… 🙂

    • @Pak Ivan,
      Koreksi minor: dalam software engineering, biasanya “alpha” adalah produk non-stabil, “beta” adalah produk stabil tetapi mungkin masih terdapat bug, sedang “release” adalah produk resmi dengan telah melewati QA cycle, kadang masih dengan bug yang telah diketahui.

      • Pak Agus, terima kasih koreksi nya…

        Mudah-mudahan Kriteria Imkan Rukyat bisa “release” secepatnya… Supaya yang menganutnya bisa Percaya Diri untuk Menetapkan Jauh-jauh Hari Awal Puasa dan lebaran… 🙂

    • Terima kasih Pak Ivan.

      OK, insya Allah saya menangkap maksud Pak Ivan yang berorientasi langsung pada praktek/aplikasi, dan mengajak untuk memilih yang paling mudah dan paling bisa diaplikasikan dalam (penyatuan) kalender.

      Kalau demikian yang dimaksud dengan Pak Ivan, sesungguhnya hal itu sama persis dengan yang diperjuangkan oleh Prof. Thomas. Dan perjuangan beliau selama lebih dari sepuluh tahun sudah berada di ambang keberhasilan. Hanya satu saja yang masih menolak, yaitu Muhammadiyah yang sepertinya terbelenggu dengan wujudul hilal nya. Terbelenggu karena seolah olah ada keyakinan bhw WH itu yang paling benar dan paling syar’i dalam menentukan masuknya bulan baru. Padahal dalam sejarahnya, bahkan KH Ahmad Dahlan pun menggunakan metode ru’yah, bukan hisab. Fatwa majelis tarjih pun masih menyatakan bhw ru’yah dan hisab adalah setara; yang satu tidak lebih baik dari yang lain.

      Kalau memang benar benar bermaksud mencari kemudahan dalam membuat kalender hijriyah, ya mari kita berbicara dari berbagai aspek, bukan semata masalah teknis perhitungan hisab terhadap hilal saja. Bahkan, kalau ternyata metode hisab tersedia banyak sekali pilihan dan kriteria, mengapa tidak dipilih yang mudah saja ? Yang mudah maksud saya di sini adalah yang bisa mendorong terwujudnya kesatuan kalender bagi muslimin di tanah air, sehingga bisa bersama sama menjalankan ibadah puasa dan hari raya.

      Perkara kalender adalah satu diantara sedikit contoh di mana sains, politik dan syariat bertemu menjadi satu. Acuan penentuan masuknya bulan baru harus sesuai dengan syariat. Perhitungan / hisab dalam menentukan bulan baru harus sesuai dengan kaidah sains. Dan keberlakuan kalender itu harus disepakati oleh semua penduduk, ditentukan oleh otoritas yang berwenang dan ditaati bersama. Tiga aspek sains, syariat dan politik tsb harus dipenuhi agar kalender berfungsi sebagaimana mestinya.

      Contoh: mengenai pelaksanaan ibadah haji. Meskipun ada banyak perbedaan pendapat mengenai metode dan kriteria memasuki bulan baru, pada akhirnya semua pelaku ibadah haji harus mengikuti keputusan pemerintah arab saudi yang berwenang menetapkan kapan tanggal satu syawwal, kapan tanggal 1 dzulhijjah dan kapan tanggal 9 dzulhijjah.

      Muhammadiyah pun mengakui hal ini, dengan diterapkannya konsep “wilayatul hukmi” atau kesatuan wilayah hukum/pemerintahan. Dengan konsep wilayatul hukmi, maka hanya ada satu kalender yang berlaku bagi seluruh warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Apabila garis hilal nol derajat membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian, maka daerah yang “hilal belum wujud” dipaksa mengikuti daerah yang “hilal sudah wujud” dalam ketentuan puasa dan hari raya. Artinya, perhitungan detail yang menghasilkan angka tinggi bulan hingga satuan sekian derajat, menit dan detik itu menjadi tidak signifikan sama sekali karena luasnya wilayah Indonesia yang harus menjadi satu wilayah hukum/pemerintahan.

      Padahal, bisa saja sebenarnya, dengan konsep wilyatul hukmi pula, Muhammadiyah memaksakan warga Muhammadiyah di wilayah “hilal sudah wujud” untuk mengikuti wilayah “hilal belum wujud”, dan menunda puasa atau hari raya satu hari kemudian (meskipun secara hisab WH diketahui bhw seharusnya sudah masuk bulan baru) dan akhirnya bisa bersama sama dengan muslimin lain yang menggunakan metode ru’yah.

      Konsep pemaksaan wilayah yang sudah masuk waktu harus mengikuti wilayah yang belum masuk waktu ini juga diaplikasikan oleh Muhammadiyah dalam menghisab jadwal waktu sholat sebagaimana kita dapati di buku pedoman hisab Muhammadiyah; dengan mengintrodusir variabel waktu “ihtiyath” (safety faktor); untuk memastikan bhw semua bagian dari suatu daerah sudah masuk waktu sholat tertentu.

      Sehingga, kalau kriteria IR dipertanyakan mengenai keakurasiannya karena belum sepakatnya para astronom mengenai parameter dan angka angkanya, itu sama sekali tidak relevan dengan kasus pemaksaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan konsep wilayatul hukmi tsb.

      Nah, kembali ke tujuan semula untuk mepersatukan kalender dan pelaksanaan ibadah puasa dan hari raya, kriteria IR yang pada dasarnya menghisab hilal yang memasukkan unsur penampakan adalah pilihan paling realistis untuk menuju tercapainya tujuan tsb.

      Lain halnya kalau niatnya memang tida mau bersatu dan mengedepankan ego ormasnya masing masing, saya hanya bisa banyak banyak beristighfar mohon ampun kepada Allah saja, dan berdoa agar para pemimpin ormas tsb diberi petunjuk oleh Allah agar berbuat yang paling bijak untuk umat Islam.

      Demikian yang bisa saya sampaikan, mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan.

      Saya mohon ampun kepada Allah atas kemungkinan kesalahan pada tulisan dan jalan fikiran saya.

      Wallahul must’aan,

      Wassalam,
      Rois

    • Tahukah mengapa maghrib dijadikan awal hari dalam Islam? Itu didasari pada konsep rukyat awal bulan yang keputusannya ditentukan dari hasil rukyat pada saat maghrib. Lalu ketika ilmu hisab berkembang, ahli hisab tidak melepaskan konsep rukyat itu, termasuk mencari kriteria hisab yang mengindikasikan kemungkinan bisa di rukyat (tinggi bulan, umur bulan, jarak bulan-matahari, bedan waktu terbenam bulan-matahari, lebar sabit, fraksi iluminasi, dan lainnya). Itulah kriteria imkan rukyat. Dengan hisab berbasis imkan rukyat maka hisab dan rukyat akan sama hasilnya. Kriteria imkan rukyat memenag terus berkembang karena faktor atmosfer merupakan faktor ketidakpastian yang paling sulit dimodelkan. Konsistensi hisab imkan rukyat dengan hasil rukyat itulah yang terus diupayakan dalam pengembangan kriteria IR. Kesempurnaan tentu kita dambakan, tetapi tidak ada kriteria yang lengkap dan sederhana yang memenuhi secara paripurna konsistensi hisab dan rukyat itu. Oleh karenanya, jalan pintas yang diambil adalah membuat kesepakatan pilihan kriteria IR yang paling mendekatkan hisab dan rukyat.

      WH adalah “pelarian” untuk penyederhanaan dari kerumitan faktor atmosfer, walau berakar pada konsep rukyat (terlihat dari penggunaan batasan maghrib). Jelas itu tidak bisa dipakai dalam konsep penyatuan ummat, karena pada posisi bulan rendah, hisab WH sudah pasti BERBEDA dari hasil rukyat.

      Bagi Arab Saudi penggunaan konsep WH pada kalender Ummul Qura tidak menjadi masalah, karena untuk ibadah mereka tunduk sepenuhnya pada hasil rukyat, walau kadang kontroversial secara astronomi. Kelender Ummul Quro hanya untuk urusan administratif. Untuk Indonesia (dan global) yang menggunakan metode campuran (hisab dan rukyat) dalam penentuan waktu ibadah dan hari rayanya, penggunaan WH sudah pasti akan menimbulkan perbedaan yang dalam kondisi tertentu bisa berubah menjadi perpecahan (misalnya terjadinya kasus perebutan atau pelarangan tempat shalat ied).

    • sesungguhnya hal itu sama persis dengan yang diperjuangkan oleh Prof. Thomas. Dan perjuangan beliau selama lebih dari sepuluh tahun sudah berada di ambang keberhasilan. Hanya satu saja yang masih menolak, yaitu Muhammadiyah yang sepertinya terbelenggu dengan wujudul hilal nya. Terbelenggu karena seolah olah ada keyakinan bhw WH itu yang paling benar dan paling syar’i dalam menentukan masuknya bulan baru.

      Maaf pak Rois… Menurut saya sih “Perjuangan pak Thomas 10 tahun gagal karena MD”, itu terlalu didramatisir… 🙂

      Apakah semua Ormas selain MD sudah ada yang menggunakan Kriteria IR Lapan ?… atau yang beliau perjuangkan itu Kriteria Mabims, kemudian nanti di tengah jalan dirubah lagi menjadi kriteria Lapan, terus dirubah lagi menjadi kriteria Odeh, ntar ada penemuan baru dirubah lagi kriteria nya ?…
      Sampai kapan Kriteria IR itu akan Stabil ?…

      Dikatakan di ambang keberhasilan, belum tentu juga… itu mah relatif…

      Bagi saya… Pa Thomas berhasil itu, adalah bila yang Menganut Rukyat Murni beralih ke Kriteria IR Lapan, dan Mau menggunakan nya untuk Menetapkan Penanggalan jauh-jauh hari… tidak usah menunggu laporan rukyat…
      Itu baru pak Thomas berhasil… 🙂

      Menurut saya, yang diperjuangkan Muhammadiyah selama ini adalah :
      Adanya kepastian Kalender Hijriyah untuk Ibadah dan Duniawi jauh-jauh hari
      ( Jadi seperti nya kenapa tidak ketemu-temu “klop” nya antara Pak Thomas dan Muhammadiyah… ternyata mungkin hanya masalah Perbedaan Prioritas Perjuangan saja… 🙂 )

      Makanya ketika dulu pernah menggunakan Kriteria IR, Muhammadiyah tidak puas… sebab Kriteria IR dalam Penetapan Awal Bulan nya tetap saja Menunggu Laporan Rukyat dulu…
      Menganut penggunaan Hisab, tapi Penetapan Awal Bulan tetap saja Menunggu Laporan Rukyat… adalah suatu yang Aneh…

      Mengenai “Fatwa majelis tarjih pun masih menyatakan bhw ru’yah dan hisab adalah setara; yang satu tidak lebih baik dari yang lain”…

      Saya memahaminya :

      Hasil Rukyat sama sah nya dengan Hasil Hisab… Tergantung Pilihan (keyakinan) Kita, mau pilih Rukyat atau pilih Hisab ?…
      Menggunakan dua-duanya secara bersamaan… hanya akan mengakibatkan Paradoks saja…

      Kalau pilih Hisab ==> Tetapkan jauh-jauh hari
      Kalau pilih Rukyat ==> Tetapkan apa pun Laporan Saksi yang Siap Disumpah…

      Dan tidak perlu Hasil Rukyat itu Harus Sama dengan Hasil Hisab… Sebab Keberhasilan Rukyat di luar dari Perhitungan Astronomi… Hilal 11° pun tidak akan kelihatan kalau Tertutup Awan…

      .

      Menurut saya (ini mah subjektif, tidak setuju juga tidak apa-apa… 🙂 ) :
      Terlepas dari masih menggunakan Matlak Lokal… Muhammadiyah adalah Pelopor Kalender Hijriyah Modern…

      Bagi Muhammadiyah, semua Bulan Hijriyah adalah sama… Allah swt mengatur Bumi-Bulan-Matahari sepanjang waktu (mau di bulan Dzulhijjah, Muharram, Shafar, Jumadil Awal, Jumadil Akhir dll) adalah dengan sistem yang sama…

      Jadi tidak perlu Diskriminasi… Misalnya di Bulan lain kita enjoy saja bila Kalender ditetapkan jauh-jauh hari dengan Hisab…
      Tapi di bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah Harus Selalu dengan Rukyat… Sudah gitu Rukyat nya salah lagi…

      (Ini untuk nyindir Otoritas Saudi… Mudah-mudahan ada yang baca…
      Mungkin mereka menganggap Kalender Ummul Quro kualitas nya masih = Kalender Hisab Urfi zaman dulu yang dalam kenyataan, hilal terkadang tiba-tiba muncul di tgl 29 atau 30 Kalender Urfi…
      Sekarang mah beda atuh… 🙂 )

      Mudah-mudahan… Dengan Ulama-ulama dan Ahli Falak Islam sedunia melakukan diskusi dan penelitian terus menerus secara kontinyu… Umat Islam beberapa tahun ke depan lagi, sudah bisa mempunyai Kalender Hijriyah Global yang bisa digunakan di seluruh dunia, baik untuk Kalender Ibadah maupun Duniawi… amin…

      Wassalam…

      • Amiin…3x (ikut mengaminkan doa Pak Ivan di paragraf terakhir).

        Alangkah indahnya kalau orang orang awam seperti Pak Ivan dan saya ini bersepakat mendesak para ulama dan para pemimpin ormas untuk duduk bersama dan mencari titik temu menuju penyatuan kalender hijriyah.

        Sekali lagi saya tegaskan, sebenarnya Prof Thomas itu sama dengan Muhammadiyah, sama sama memperjuangkan hisab sebagai metode penyusunan kalender hijriyah dan penentuan waktu waktu ibadah.

        Prof Thomas sendiri juga beberapa kali secara eksplisit dan terbuka mengakui kontribusi Muhammadiyah dalam hal penggunaan hisab, dan bahkan menyatakan apresiasi kepada Muhammadiyah untuk hal tsb.

        Namun sayangnya, sepertinya Muhammadiyah justru menjadi penghalang bagi kemajuan pengetahuan hisab thd hilal itu sendiri, dan merasa nyaman dengan kriteria yang telah usang. Gairah anak anak muda muslimin di tanah air thd astronomi yang secara tradisional didorong oleh perintah meru’yah hilal tidak mendapat antusiasme dari warga Muhammadiyah karena Muhammadiyah terbelenggu dengan kriteria sederhana yang mengabaikan unsur penampakan dan tidak mau repot repot melakukan penelitian kriteria hilal yang bisa diru’yah.

        Lebih parah lagi, ternyata kemudian didapati bhw kriteria WH mengandung banyak paradoks, ambiguisitas atau multiinterpretasi.

        1. Namanya wujudul hilal, kriteria awal bulan ditentukan apakah “hilal sudah wujud” atau “hilal belum wujud”, tetapi ternyata ada kasus dimana dikatakan “hilal sudah wujud” padahal hilalnya sudah terbenam dan mustahil untuk diru’yat.

        2. Kalau paradoks pertama tsb ditolak, dengan alasan bhw WH memang tidak menghisab hilal, dan buku pedoman hisab Muhammadiyah tidak menyebut “tinggi hilal” dan bahkan sama sekali tidak menyebut ayat pensyariatan hilal (AlBaqarah 189), maka akan muncul pertanyaan: “mengapa disebut wujudul hilal ?” Bahkan Pak Agus terang terang menyarankan agar nama wujudul hilal diganti menjadi wujudul qomar, agar tidak terjadi paradoks dari segi istilah.

        3. Kalau kemudian usulan mengganti nama dari wujudul hilal menjadi wujudul qamar diterima, akan muncul paradoks lain lagi, yaitu telah terjadi perubahan syariat yang berpotensi menyalahkan praktek Rasulullah dan para sahabat. Ada satu kondisi dimana langit cerah, tidak tertutup awan, rembulan mustahil terlihat dalam bentuk bulan sabit, tetapi menurut WH sudah masuk bulan baru karena titik tertinggi rembulan sudah berada di atas ufuk ketika matahari terbenam. Hilal yang tadinya (per definisi) harus terlihat oleh mata di jaman Rasulullah, oleh Muhammadiyah diganti menjadi titik tertinggi piringan atas rembulan yang mustahil terlihat oleh mata.

        4. PP Muhammadiyah dalam maklumatnya selalu menggunakan istilah “tinggi hilal”; padahal buku pedoman hisab Muhammadiyah sama sekali tidak menggunakan istilah “tinggi hilal” melainkan “tinggi rembulan”.

        5. Buku pedoman hisab Muhammadiyah tidak meyebut sama sekali ayat yang mensyariatkan hilal sebagai acuan waktu (AlBaqarah 189), tetapi masih menjadikan hadits perintah ru’yat terhadap hilal sebagai konsiderasi dalam penentuan awal hari untuk awal bulan.

        Semua paradoks, ambiguisitas dan multiinterpretasi tsb berpangkal dari satu hal: tidak ada definisi/ta’rif yang jelas dan definitif mengenai maksud kata hilal pada nama “wujudul hilal”.

        PP Muhammadiyah, khususnya MTT PP Muhammadiyah harus memberikan penjelasan kepada umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, atas berbagai kritik thd paradoks dan ambiguisitas WH tsb.

        Wallahu a’lam bis-shawab,
        Rois

    • Sekali lagi saya tegaskan, sebenarnya Prof Thomas itu sama dengan Muhammadiyah, sama sama memperjuangkan hisab sebagai metode penyusunan kalender hijriyah dan penentuan waktu waktu ibadah.

      Kalau menurut saya, kemarin-kemarin (bisa saja sekarang berubah)… pak Thomas itu Prioritas nya adalah :
      Sama nya Penetapan Awal Bulan antara Pengguna Hisab dan Pengguna Rukyat…

      Maka kondisi yang diakibatkan Prioritas Kesamaan ini adalah :
      Pengguna Hisab mau tidak mau harus selalu menunggu Laporan Rukyat

      Ini yang menjadikan Prioritas pak Thomas berseberangan dengan Prioritas Muhammadiyah…
      Sebab Prioritas Muhammadiyah adalah :
      Adanya Kalender Hijriyah untuk Ibadah dan Duniawi yang bisa ditetapkan Jauh-jauh hari…

      Dengan Kriteria Imkan Rukyat pun sebenarnya tidak bisa langsung mudah menyamakan Penetapan Awal Bulan antara Pengguna Hisab dengan Pengguna Rukyat…

      Sebab keberhasilan Rukyat itu… Bukan cuma faktor Hitungan Hisab semata… Tapi yang lebih penting adalah faktor cuaca…
      Setinggi apapun Hilal yang ada, kalau terhalang awan tidak akan bisa dirukyat… sehingga kemungkinan Penanggalan Hasil Rukyat digenapkan menjadi 30 hari, sangat terbuka lebar…

      Beruntung kalau Pengguna Rukyat mau diajak kepada Konsep “Mengkadarkan dengan Perhitungan Hisab”… Sehingga misalnya walaupun Hilal tidak terlihat karena cuaca, tapi karena “kadar”nya Hilal di posisi yang ada itu adalah sudah bisa terlihat, maka Pengguna Rukyat pun setuju untuk menetapkan malam itu adalah Tgl 1…

      Tapi kalau tidak setuju, tetap ngotot ingin digenapkan 30 hari… Kesamaan antara Pengguna Hisab dan Rukyat itu pun tetap tidak terwujud…

      .

      Solusi menurut saya… Agar Prioritas pak Thomas “klop” dengan Prioritas MD…
      Pengguna Rukyat harus diberi pencerahan agar mau menggunakan Metoda Hisab dalam Penetapan Awal Bulan… yaitu dengan cara Menetapkan Jauh-jauh hari Awal Bulan Hijriyah dengan Kriteria yang diyakini… (misalkan Kriteria Odeh atau Kriteria Lapan)…

      Dengan begitu mudah-mudahan Muhammadiyah pun tertarik untuk menggunakan Kriteria IR… 🙂

      .

      Gairah anak anak muda muslimin di tanah air thd astronomi yang secara tradisional didorong oleh perintah meru’yah hilal tidak mendapat antusiasme dari warga Muhammadiyah karena Muhammadiyah terbelenggu dengan kriteria sederhana yang mengabaikan unsur penampakan dan tidak mau repot repot melakukan penelitian kriteria hilal yang bisa diru’yah.

      Itu mah penilaian yang relatif pak… 🙂

      Bagaimana warga lain tidak antusias merukyat Hilal ?…
      Bahkan bisa jadi tegang dan harap-harap cemas menunggu Hilal… Kalau yang sedang ditunggu adalah Hilal Lebaran ?… 🙂
      Kalau Hilal bulan lain mah adem ayem tentram sentosa saja tuh…

      Muhammadiyah sangat antusias dengan Dunia seputar Ilmu Falak… buktinya saat ada gerhana bulan kemarin dan sebelum-sebelumnya…
      Ketika Ormas lain bahkan Depag pun tenang-tenang saja (ini pengalaman di lingkungan saya dan saya lihat di tempat lain pun sama), Warga Muhammadiyah antusias mengerjakan Shalat Sunat Gerhana Berjamaah di lingkungan masing-masing…

      Menurut saya, Penelitian Kriteria Hilal yang bisa dirukyat itu… berbeda dengan Penetapan Awal Bulan secara Rukyat…
      Kalau Penetapan Awal Bulan secara Rukyat… cukup Laporan nya itu adalah dari saksi yang Siap Disumpah… Sudah sah secara Syar’i…

      Sedangkan Penelitian Kriteria Hilal yang bisa dirukyat… Harus secara akurat berdasarkan Pengamatan Langsung di lapangan dengan peralatan yang bisa dengan baik mendokumentasikan Hilal yang Terlihat tersebut dalam berbagai posisi…
      Jadi Klaim-klaim Laporan Hilal tersebut harus ada Bukti nya (Foto misalnya)…
      Tidak Bisa berdasarkan klaim-klaim pengakuan yang berdasarkan “katanya” atau cuma tulisan saja…

      Dan penelitian itu menurut saya Butuh :
      – Cuaca yang mendukung (langit di ufuk barat cerah), dan ini belum tentu selalu didapatkan…
      – Peralatan yang Ideal (memadai secara Pengamatan Astronomi) agar didapat hasil yang memuaskan… Harus lebih dari sekedar tongkat kayu, kompas dan kamera digital biasa…
      – Puluhan bahkan mungkin Ratusan kali Pengamatan… agar didapat Hasil berbagai posisi Hilal yang bisa terdokumentasikan… dan ini sangat tergantung cuaca…
      sehingga mungkin butuh waktu bertahun-tahun… (1 tahun maksimal 12 x Pengamatan… itu pun kalau langit di ufuk Barat selalu cerah terus… bahkan tidak menutup kemungkinan ada tahun-tahun yang selama tahun itu nihil pengamatan karena faktor cuaca)…

      Kalau secara simulasi… mungkin kalau Cahaya Syafak / Senja bisa secara akurat dihitung Tingkat Kecemerlangan nya (magnitudo ? ) pada tiap posisi dari langit di ufuk barat dengan patokan koordinat matahari… kemudian dibandingkan dengan magnitudo Bulan yang ada…
      Maka dari Selisihnya mungkin bisa dihitung tingkat Keterlihatan Hilal di posisi tersebut… sehingga didapat hasil apakah Hilal sudah masuk Kategori terlihat atau belum…
      Mudah-mudahan ada yang buat software nya… 🙂

      .

      Mengenai masalah “kriteria WH mengandung banyak paradoks, ambiguisitas atau multiinterpretasi”…
      Saya mencoba memahami nya… dan di bawah ini adalah Pemahaman menurut saya terhadap point-point yang pak Rois sampaikan…

      Mohon koreksi nya bila ada yang keliru… 🙂

      1. Namanya wujudul hilal, kriteria awal bulan ditentukan apakah “hilal sudah wujud” atau “hilal belum wujud”, tetapi ternyata ada kasus dimana dikatakan “hilal sudah wujud” padahal hilalnya sudah terbenam dan mustahil untuk diru’yat.

      Pada perhitungan Hisab (mau kriteria apa pun)… Hilal yang diukur dan dihitung itu adalah Bukan Sekedar Bagian yang bercahaya nya saja… Tapi keseluruhan Benda Bulan nya, yang biasanya difokuskan pada Titik Pusat nya…

      Sehingga Konsep Wujudul Hilal itu harus dipahami dalam konteks “Hilal sebagai Benda”
      Dan Konsep WH adalah Konsep yang Mendasarkan Penetapan Awal Bulan kepada :
      Posisi “Hilal sebagai Benda” terhadap garis Ufuk…

      .

      2. Kalau paradoks pertama tsb ditolak, dengan alasan bhw WH memang tidak menghisab hilal, dan buku pedoman hisab Muhammadiyah tidak menyebut “tinggi hilal” dan bahkan sama sekali tidak menyebut ayat pensyariatan hilal (AlBaqarah 189), maka akan muncul pertanyaan: “mengapa disebut wujudul hilal ?” Bahkan Pak Agus terang terang menyarankan agar nama wujudul hilal diganti menjadi wujudul qomar, agar tidak terjadi paradoks dari segi istilah.

      Hilal itu ada 2 pengertian :

      Hilal sebagai Benda ==> Benda Bulan
      Hilal sebagai Penampakan ==> Pantulan Cahaya Bulan berbentuk Sabit

      Dalam perhitungan Hisab (apa pun kriteria nya, mau WH atau IR) setahu saya, yang dimaksud dengan Tinggi Hilal adalah :
      – Tinggi “Hilal sebagai Benda”, yang menunjukkan Ketinggian Titik Pusat Lingkaran Benda Bulan terhadap Ufuk
      – atau Moon Altitude

      Contoh Hilal untuk Syawwal 1432 dengan lokasi Bandung (dari Software Accurate Times) :
      Posisi Hilal hari Senin 29/08/2011 jam 17:53 wib (saat Sunset)

      – Tinggi Hilal = +01°:19′:48″
      itu artinya Tinggi Titik Pusat Lingkaran Benda Bulan sebesar +01°:19′:48″ terhadap Ufuk

      – Semi Diameter Bulan = +00°:16′:30″
      panjang jari-jari Lingkaran Benda Bulan

      Untuk mendapatkan Tinggi Piringan Atas Bulan (Posisi Benda Bulan Kriteria WH Muhammadiyah)… maka :
      Tinggi Piringan Atas Bulan = Tinggi Hilal + Semi Diameter Bulan
      = 01°:19′:48″ + 00°:16′:30″
      = 01°:36′:18″

      .

      3. Kalau kemudian usulan mengganti nama dari wujudul hilal menjadi wujudul qamar diterima, akan muncul paradoks lain lagi, yaitu telah terjadi perubahan syariat yang berpotensi menyalahkan praktek Rasulullah dan para sahabat. Ada satu kondisi dimana langit cerah, tidak tertutup awan, rembulan mustahil terlihat dalam bentuk bulan sabit, tetapi menurut WH sudah masuk bulan baru karena titik tertinggi rembulan sudah berada di atas ufuk ketika matahari terbenam. Hilal yang tadinya (per definisi) harus terlihat oleh mata di jaman Rasulullah, oleh Muhammadiyah diganti menjadi titik tertinggi piringan atas rembulan yang mustahil terlihat oleh mata.

      Bila kita fokusnya pada Praktek Para Pendahulu…
      Untuk masalah Penggunaan Hisab, kita tidak bisa merujuk ke pada zaman Nabi masih ada…
      Sebab dari informasi beliau sendiri kita tahu bahwa Kondisi Umat Islam waktu itu terbelakang dalam Ilmu Hisab…

      Untuk masalah Penggunaan Hisab, kita hanya bisa merujuk kepada Praktek Ulama-ulama Terdahulu… yang ada pada zaman Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in…

      Kita akan lebih fair menilai Kriteria WH Muhammadiyah… Bila kita mempunyai data-data “Kriteria Awal Bulan dengan Hisab” yang digunakan (disetujui) oleh para Ulama dan ahli falak terdahulu yang memperbolehkan Hisab dalam Penetapan Awal Bulan…

      Dari Data-data yang ada… belum ada satu pun yang menyatakan Ulama dan Ahli Falak terdahulu (misalnya zaman Tabi’in) menggunakan Kriteria Semacam Imkan Rukyat…
      Padahal ribuan tahun sebelum nya Dunia sudah mengenal Kriteria Babilonia… yang bisa dikategorikan Kriteria Imkan Rukyat Sederhana…

      Ini seharusnya memberi pelajaran bagi kita bagaimana arif nya para Ulama terdahulu… untuk tidak mempersulit diri sendiri…
      Bisa saja mungkin Kriteria Babilonia itu dikembangkan juga oleh Ahli Falak Islam… Tapi dalam kenyataan nya, Umat Islam tidak pernah menggunakan Kriteria Babilonia…
      Kriteria-kriteria yang dikenal Hanyalah Kriteria-kriteria Sederhana berdasarkan Ijtima’ saja…
      Contohnya Kriteria Ijtima’ Qoblal Ghurub…

      .

      4. PP Muhammadiyah dalam maklumatnya selalu menggunakan istilah “tinggi hilal”; padahal buku pedoman hisab Muhammadiyah sama sekali tidak menggunakan istilah “tinggi hilal” melainkan “tinggi rembulan”.

      Maklumat itu memakai bahasa yang umum…

      Tinggi Hilal yang dimaksud adalah Tinggi “Hilal sebagai Benda” = Moon Altitude…
      Yang dalam perhitungan lebih presisinya terhadap Kriteria Muhammadiyah, harus ditambahkan nilai Semi Diameter Bulan…

      .

      5. Buku pedoman hisab Muhammadiyah tidak meyebut sama sekali ayat yang mensyariatkan hilal sebagai acuan waktu (AlBaqarah 189), tetapi masih menjadikan hadits perintah ru’yat terhadap hilal sebagai konsiderasi dalam penentuan awal hari untuk awal bulan.

      No comment… 🙂

      • Kesamaan antara hisab dan rukyat harus menunggu hasil rukyat? Tidak perlu. Hisab imkan rukyat yang didasarkan pada rukyat jangka panjang bisa menggantikan hasil rukyat dalam kondisi “ghumma”. Itulah yang terjadi pada 1981 dengan landasan fatwa MUI yang membolehkan mengambil hisab sebagai dasar penentuan awal bulan bila secara hisab (imkan rukyat) hilal diprakirakan bisa terlihat. Hisab secara umum memang digunakan untuk membuat kalender jangka panjang. Dengan hisab imkan rukyat, kita pun bisa menghitung sekian ratus tahun yang akan datang, termasuk menelusur sekian tahun ke belakang. Dari segi angkanya, hisab WH dan IR sama saja hasilnya kalau metodenya sama akuratnya.
        Upaya justifikasi “tinggi rembulan” dengan istiah “tinggi hilal” mungkin juga termasuk dalam bagian pidato akhir tahun 2011 oleh Ketua PP Muhammadiyah bahwa tahun ini adalah tahun penuh dusta. Itu refleksi eksternal dan internal Muhammadiyah.

      • Terima kasih Pak Ivan atas respon yang diberikan. Insya Allah bermanfaat untuk lebih saling memahami pemahaman masing masing.

        Berikut respon balik dari saya.

        1. Mengenai hisab vs ru’yat.

        Mengapa kesannya seolah olah sangat anti terhadap ru’yat ? Bukankah ru’yat dan hisab itu setara ? Kalau faktanya masih ada saudara saudara muslimin yang masih memakai metode ru’yat dengan alasan bhw itulah yang diperintahkan Rasulullah dan lebih mendekati kepada praktek Rasulullah, bukankah itu adalah sebuah alasan yang (lebih) baik ? Perkara kalender adalah perkara bersama. Kalau ada pilihan kriteria hisab yang lebih dekat kepada metode ru’yat dan memperbesar kemungkinan persamaan dengan hasil ru’yat, mengapa bukan itu yang dipilih ?

        Bukankah dengan alasan yang sama pula Muhammadiyah mempopulerkan sholat di tanah lapang, di terminal bis, di lapangan parkir dll dan tidak melakukan sholat id di masjid ? Terus terang saya bingung juga ketika ada saudara muslim bertanya: kita punya masjid yang megah, bersih, dan sangat luas sehingga bisa menampung seluruh warga untuk sholat id, tetapi mengapa Muhammadiyah malah mengajak sholat di lapangan yang banyak kotoran kambing dan kototan sapi ? Kami jawab: ini adalah sunnah Rasul, karena Rasul menyelenggarakan sholat id tidak di masjid tetapi di tanah lapang. Ketika kemudian ditanya, kalau sholat di lapangan dipilih dengan alasan sunnah Rasul, lalu mengapa Muhammadiyah menolak penggunaan ru’yat yang jelas jelas juga sunnah Rasul seperti Rasul sholat di lapangan ? Kami tidak bisa menjawab.

        Belakangan ada penjelasan bhw penentuan waktu sholat berbeda dari tempat sholat. Kalau tempat sholat harus letter-lijk, sedangkan penentuan waktu sholat tidak harus letter-lijk. Tetapi tetap saja jawaban ini masih menyisakan tanda tanya yang besar, sebab belakangan diketahui bhw yang dimaksud dengan “mushalla” atau tanah lapang untuk sholat id di jaman nabi itu adalah sebuah tempat lapang yang memang secara spesifik ditujukan untuk tempat sholat yang bisa menampung banyak orang, bukan sembarang tempat lapang yang tadinya diperuntukkan untuk bermain bola, untuk terminal bis atau untuk lapangan parkir lantas secara insidentil disulap emnajdi “musholla” untuk sholat id. Dan penggunaan musholla di jaman Rasul itu lebih karena lasan teknis karena sempitnya masjid nabawi saat itu sehingga tidak bisa menampung seluruh jamaah. Ketika masjid nabawi sudah diperluas, maka sholat id dilaksanakan di masjid, bukan di “musholla”.

        Jadi, sikap “anti-ru’yat” dari Muhammadiyah tsb justru menambah daftar paradoks/ambiguisitas yang sudah saya tulis sebelumnya, jika dikaitkan dengan upaya Muhammadiyah menghidupkan sunnah Rasul dalam hal tempat sholat id.

        2. Komentar umum mengenai pemahaman Pak Ivan thd daftar paradoks yang saya tulis adalah: pemahaman Pak Ivan thd hal hal yang saya sebutkan itu semakin mengukuhkan statement saya ketika saya menyebut hal hal tsb sebagai “paradoks, ambiguisitas, atau multi interpretasi”. Ternyata Pak Ivan memang mempunyai interpretasi sendiri thd point point yang saya sebutkan, yang bisa jadi berbeda dari interpretasi orang lain. Multi interpretasi ini perlu diklarifikasi oleh PP Muhammadiyah.

        3. “Hilal sebagai benda” dan “HIlal sebagai cahaya pantulan rembulan berbentuk bulan sabit”.
        Lagi lagi, ini adalah interpretasi atau spekulasi Pak Ivan, bhw hilal itu bisa dimaknai sebagai “rembulan” dan bisa dimaknai “bulan sabit”. Bukan hanya berhenti di situ saja, Pak Ivan lebih jauh lagi berspekulasi atau melakukan interpretasi bhw didalam WH, hilal dimaknai sebaqai qamar. Interpretasi atau spekulasi ini harus diklarifikasikan kepada PP Muhammadiyah. Benarkah WH telah menyamakan “hilal” dengan “qamar” ? Kalau memang benar, mengapa tidak disebut saja wujudul qomar agar tidak menimbulkan kesalahfahaman; sebab selama ini publik luas membedakan hilal dari qamar ?

        4. Pernyataan Pak Ivan “Pada perhitungan Hisab (mau kriteria apa pun)… Hilal yang diukur dan dihitung itu adalah Bukan Sekedar Bagian yang bercahaya nya saja… Tapi keseluruhan Benda Bulan nya, yang biasanya difokuskan pada Titik Pusat nya…” adalah salah. Hisab thd hilal diawali dengan definisi yagn jelas dari hilal, yaitu bagian rembulan yang memantulkan cahaya dari matahrai sehingga tampak sebgaia bulan sabit. Oleh karena itu, hisab thd hilal bukan hanya mengukur variabel/parameter tinggi hilal, tetapi menghitung pula parameter lain seperti persen iluminasi, lebar hilal, arah kemiringan hilal, dll. Banyaknya parameter tsb karena memang hilal yang dihisab bukan semata mata posisi bola rembulan, melainkan penampakan rembulan berbentuk bulan sabit.

        Memang betul, dalam proses perhitungannya mula mula memperhitungkan posisi rembulan dan matahari, dan yang dihitung adalah titik pusatnya. Akan tetapi di tahap akhir hitungan, titik pusat itu dikoreksi dengan diameter rembulan untuk menentukan posisi hilalnya. Dan jelas sekali bhw kriteria IR melibatkan banyak parameter yang digunakan untuk mendeskripsikan hilal, bukan semata mata tinggi hilal saja seperti WH.

        Demikian, semoga bermanfaat.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois, terima kasih atas tanggapan dan koreksi nya…

        1. Mengenai hisab vs ru’yat.

        Mengapa kesannya seolah olah sangat anti terhadap ru’yat ? Bukankah ru’yat dan hisab itu setara ? Kalau faktanya masih ada saudara saudara muslimin yang masih memakai metode ru’yat dengan alasan bhw itulah yang diperintahkan Rasulullah dan lebih mendekati kepada praktek Rasulullah, bukankah itu adalah sebuah alasan yang (lebih) baik ? Perkara kalender adalah perkara bersama. Kalau ada pilihan kriteria hisab yang lebih dekat kepada metode ru’yat dan memperbesar kemungkinan persamaan dengan hasil ru’yat, mengapa bukan itu yang dipilih ?

        Menurut saya ini bukan masalah “anti rukyat”… 🙂

        Ini masalah Konsekuensi Penggunaan Hisab…

        Secara astronomi, Kriteria itu kan seharusnya mengacu kepada Parameter-parameter Astronomi… di mana Terbit dan Tenggelamnya suatu benda langit itu patokan nya adalah Garis Ufuk…
        Contohnya Terbit dan Terbenam nya matahari…

        Peredaran bulan yang menghasilkan Penanggalan Qomariyah antara 29 hari dan 30 hari pun… patokan nya adalah sesuatu yang merupakan Parameter Astronomi… Yaitu Konjungsi ( Ijtima’ )… yang dari Konjungsi ke Konjungsi rata-rata adalah 29,5 hari…

        Bila Penanggalan Qomariyah patokan nya adalah Penglihatan Manusia… maka Penanggalan Qomariyah itu bukan hanya 29 hari dan 30 hari… tapi bisa sampai 32 hari… (Hilal itu artinya bulan sabit hari ke 1, ke 2 dan ke 3)

        Kalau Nabi tahu bahwa Penanggalan Qomariyah itu antara 29 hari dan 30 hari, bukan kah itu berarti Nabi tahu Ilmu Hisab dan sudah tahu Proses Konjungsi ?…

        Belum tentu juga…
        Pengetahuan 29 dan 30 hari hanyalah Pengetahuan Dasar (umum) Penanggalan Qomariyah yang mungkin didapatkan dari Pergaulan Dagang Bangsa Arab dengan orang luar…

        Sebab Nabi sendiri menyatakan bahwa Umat Islam waktu itu adalah Umat Ummi yang tidak mengerti Hisab… tahu nya cuma Penanggalan itu antara 29 dan 30 hari…
        (termasuk juga bangsa Arab Quraisy yang masih kafir, sebab tak mungkin kalau Umat Muslimin belum mengerti Hisab, sedang Kafir Quraisy sudah paham Hisab, secara mereka hidup berdampingan)…

        .

        Konsep WH dan konsep Ulama terdahulu yang berdasarkan Ijtima’ saja… menurut saya memang seharusnya seperti itulah Kriteria Hisab dalam Penetapan Penanggalan… Parameter-parameter nya adalah suatu yang jelas dan Permanen…

        Dan Kelemahan-kelemahan (paradoks) yang Pak Rois sampaikan point-point nya… Memang sebaiknya diperhatikan oleh Muhammadiyah…

        Saya kira solusinya adalah Mudah… yaitu merevisi Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah :
        – Menetapkan Patokan Hilal di atas ufuk itu adalah Piringan Bawah Rembulan…
        – Dalil QS 2 : 189 dicantumkan dalam Buku Pedoman tersebut sebagai Dalil Umum Penggunaan Hilal dalam Penetapan Bulan Qomariyah…
        Di mana (menurut saya) Hilal yang jadi awal Bulan itu :
        – dengan Rukyat ==> Bulan Sabit hari ke 1 / ke 2 / ke 3, mana saja yang pertama kali terlihat…
        – dengan Hisab ==> Bulan Sabit setelah Konjungsi yang sudah muncul di Ufuk…

        .

        Mengenai “paradoks/ambiguisitas upaya Muhammadiyah menghidupkan sunnah Rasul” yang terkait masalah “tanah lapang untuk sholat id”…
        Menurut saya itu bukan Paradoks…

        Semangat menghidupkan sunnah Rasul itu kan harus melihat Situasi dan Kondisi…

        Kalau tanah lapang yang ada itu yang banyak kotoran kambing dan kotoran sapi… ya dibersihkan dulu, agar layak dan sah dijadikan tempat shalat…
        Kalau tidak bisa dibersihkan, ya lebih baik di mesjid… bila masih bisa menampung jamaah yang kemungkinan nya lebih banyak dari jamaah shalat Jum’at… secara jamaah Shalat Ied itu bukan cuma laki-laki saja, tapi ibu-ibu dan remaja putri pun ikut, bahkan para pemudik yang pasti banyak…
        ( Menurut pengalaman saya mengikuti Shalat Ied di Mesjid dan Tanah Lapang… Shalat Ied di Tanah Lapang lebih terasa Hari Raya Tahunan nya dan lebih semarak…
        Kalau shalat Ied di Mesjid, perasaan nya tidak beda dengan Shalat Jum’at… 🙂 )

        Begitu juga dengan semangat melakukan Rukyat dalam Penetapan Awal Bulan…
        Sekarang itu situasi dan kondisi nya berbeda dengan zaman Nabi…

        – Nabi melakukan Rukyat itu karena beliau sendiri menyatakan umat Islam waktu itu Tidak Mengetahui Hisab… (logika sederhana nya : bila umat Islam waktu itu mengerti Hisab, maka beliau akan menggunakan Hisab)…
        – Penghitungan Hisab yang akurat sekarang ini sudah sangat mudah… Ibarat tinggal mengetukkan jari… sudah bisa dihitung di mana Hilal itu berada pada saat tgl 29…
        – Saat ini kebutuhan “Penanggalan yang Pasti” sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi… Dan kebutuhan ini pun dahulu sudah dipikirkan oleh Khalifah Umar bin Khattab… sehingga beliau membuat Penanggalan Hijriyah Bukan dengan Semangat Rukyat dan Matlak Lokal, tapi dengan Semangat Hisab dan Matlak Global…
        – Untuk saat sekarang Penanggalan Hasil Rukyat lebih banyak mudarat nya daripada manfaat nya…

        .

        Namun… menarik juga penyampaian dari pak Rois :

        “Kalau ada pilihan kriteria hisab yang lebih dekat kepada metode ru’yat dan memperbesar kemungkinan persamaan dengan hasil ru’yat, mengapa bukan itu yang dipilih ? “…

        Mudah-mudahan itu jadi pemikiran bersama, sehingga bisa didapat Solusi yang Bukan Hanya untuk Indonesia saja… Tapi untuk Kepentingan seluruh Umat Muslim di dunia dari wilayah Khatulistiwa sampai Kutub, dari wilayah 180° bujur timur sampai 180° bujur barat…

        Dan pengguna Rukyat pun harus menyadari, Situasi dan Kondisi Zaman Sekarang Lebih Sangat Membutuhkan Metoda Penetapan awal Bulan dengan Hisab daripada dengan Rukyat…

        Wassalam…

      • Pak Ivan,

        Saya kira solusinya adalah Mudah… yaitu merevisi Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah :
        – Menetapkan Patokan Hilal di atas ufuk itu adalah Piringan Bawah Rembulan…
        – Dalil QS 2 : 189 dicantumkan dalam Buku Pedoman tersebut sebagai Dalil Umum Penggunaan Hilal dalam Penetapan Bulan Qomariyah…
        Di mana (menurut saya) Hilal yang jadi awal Bulan itu :
        – dengan Rukyat ==> Bulan Sabit hari ke 1 / ke 2 / ke 3, mana saja yang pertama kali terlihat…
        – dengan Hisab ==> Bulan Sabit setelah Konjungsi yang sudah muncul di Ufuk…

        Mengubah kriteria adalah mudah, yang paling susah adalah membuat justifikasi terhadap perubahan itu. Seperti yang saya pahami, Muhammadiyah berijtihad bahwa penanggalan Hijriyah seharusnya mendasarkan fase-fase penampakan bulan (bukan penampakan hilal), yang menjadikannya piringan atas bulan sebagai acuan. Memang perbedaan kriteria antara wujudul hilal dan kalender Ummul Qura hanya sedikit, tapi saya melihat ada perbedaan besar pemikiran yang melandasi kedua kriteria tersebut. Itu terserah kepada Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah untuk mengubah pandangan tentang konsep kalender Hijriyah: apakah lebih mencari bentuk logis dan ideal, atau membiarkan sistem kalender yang lebih mengikatkan diri (dalam taraf tertentu) dengan konsep hilal dan rukyat seperti praktek Nabi.
        Sebagai seorang pragmatis dan logis, selama pengambilan kriteria tidak 100% berdasar alasan ilmiah yang bisa dikritik dengan kaidah yang sama, saya menilai tidak terdapat perbedaan berarti terhadap kriteria-kriteria hisab tersebut. Wujudul hilal: penampakan bulan, berdasar bulan yang telah “mendahului” matahari di garis ufuk; Ummul Qura: hilal tipis di atas ufuk sebagai syarat minimum kemungkinan bisa dirukyat; imnaku rukyat: penarikan kesimpulan kriteria parameter bulan dari data rukyat sebelumnya. Tidak ada yang 100% yang mendasarkan kriteria dengan kaidah ilmiah, semuanya kembali kepada penafsiran teks, dimana kesimpulan akan bersifat sangat subjektif menurut keyakinan masing-masing. Hanya saja, melepas semua alasan-alasan non-ilmiah, kriteria yang terakhir (imkanu rukyat) memang paling lemah ketika dinilai dari alasan logis dan asas manfaat sebagai dasar kiteria pembuatan kalender.

  46. Kaidah terbit terbenamnya benda2 langit (termasuk bulan) berdasar keterlihatannya dari bumi adalah kaidah yang tidak logis dewasa ini. Soalnya saya sangat yakin, banyak benda langit yang tidak terlihat dari bumi tapi terlihat dari stasiun luar angkasa. jika kaidah terbit terbenamnya benda langit berdasar keterlihatan dari bumi, alangkah banyaknya benda langit di jagad raya ini yang tidak pernah terbit.

    Hadits ‘suumuu liru’yatihi….” saya kira tidak diterjemahkan ”hilal” tapi ”bulan”. Ulama yang menerjemahkan ”hilal” karena telah terobsesi surat Al-baqarah 189. Padahal ayat ini tidak secara eksplisit menyatakan menentukan awal bulai itu dengan melihat bulan sabit. Hadits di atas menyuruh melihat bulan, apapun bentuknya. Kebetulan, setelah akhir bulan, rembulan muncul dalam bentuk sabit, sehingga kalau manusia mencari rembulan, pasti bentuknya sabit. Jd Nabi saw tdk pernah menyuruh melihat hilal (sabit) tapi melihat bulan. Ini makna hadits asalnya. Lalu, karena di awal2 bulan itu rembulan berbentuk sabit, lantas ulama menafsirkan hadits itu dg ”melihat hilal”. Inilah pemaknaan hadits yang telah terobsesi dg bentuk bulan (hilal = sabit). Bisa dianalogikan dg seorang cewek yang bernama ”sherly”. Orang sudah terobsesi bahwa cewek yang bernama Sherly itu pasti cantik, sehingga begitu mendengar nama Sherly langsung terbayang seorang cewek cantik. Padahal belum tentu cewek yang bernama Sherly itu cantik.

    • Hilal dan qamar itu dua hal yang berbeda. Janganlah keterlaluan dan ngawur serta membabi buta dalam membela wujudul hilal. Sikap seperti ini bukan karakter warga Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah itu tidak punya tradisi taqlid kepada para pemimpinnya. Pemimpin itu manusia biasa, sangat mungkin keliru dalam mengambil keputusan. Sudah terbukti bhw ijtihad WH lebih banyak mendatangkan madharat daripada manfaatnya. Sudah saatnya WH ditinggalkan. Lagipula, masalah penentuan waktu ibadah bagi Muhammadiyah bukanlah perkara ta’abbudi yang harus letter-lijk. Kalau ru’yah saja yang jelas jelas diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammadiyah berani meninggalkannya, apalah lagi wujudul hilal yang hanya merupakan hasil pemikiran manusia biasa tentunya lebih mudah bagi Muhammadiyah untuk meninggalkannya. Ditambah lagi dengan kritik yang sedemikian gamblang yang telah menelanjangi kelemahan WH baik dari sisi syar’i maupun sisi astronomi.

      Mari kita berdoa agar Allah memberi petunjuk kepada para pemimpin ormas agar mengambil kebijakan yang terbaik untuk umat Islam secara keseluruhan; dan tidak mengedepankan ego organisasi masing masing. Amiin.

  47. Bagaimana bisa terjadi rebutan tempat sholat ied? Lha wong MHD sholat ied di lapangan koq. Kami punya banyak pengalaman soal sholat ied. Kami punya satu masjid yang dibangun PP MHD, tetapi sekarang diurus oleh orang2 yang bukan MHD. Pada waktu kami mencoba mau menggunakan masjid tsb untuk sholat ied (kasus perbedaan penetapan sholat ied) dan pengurus menolak, kami bisa mengalah (memahami) tuh? akhirnya kami sholat di lapangan. Sebenarnya di akar rumput nggak ada masalah dengan perbedaan penetapan hari raya. Justru kita2 yang merasa tokoh ini yang suka ribut yang berarti berjiwa kerdil.

  48. Pak Thomas….semua memang berawal dari rukyat. Dari hasil rukyat jangka panjang itulah….sekarang sudah bisa ditentukan dengan hisab. Semua ilmu memang dimulai dengan rukyat, bukan terbatas pada astronomi saja. Geografi menggunakan rukyat. Biologi menggunakan rukyat. Semua ilmu alam menggunakan rukyat. Dan…MHD tidak meninggalkan rukyat.

    • Hisab tidak salah. Tetapi untuk menentukan masuknya tanggal, hasil hisab bergantung pada kriterianya. Nah, kriteria WH itu mengabaikan rukyat. Dari konsepnya jelas mengabaikan konsep rukyat yang harus mempertimbangkan faktor kontras dengan cahaya syafak. WH adalah penyederhanaan dengan pengabaian faktor kontras itu ketika hisab masih dianggap rumit. Saat ini, dengan perkembangan ilmu hisab dan tersedianya s/w yang memudahkan hisab, kriteria imkan rukyat mudah diterapkan, tidak harus menggunakan penyederhanaan ala WH.

      Sampai tahun awal 1990-an ketika s/w astronomi masih sulit diperoleh saya biasa pakai WH, karena itu cara paling mudah. Pada masa itu kalau harus menggunakan kriteria IR saya harus menggunakan beberapa tahap perhitungan atau harus mengembangkan program sendiri. Tetapi saat ini s/w astronomi sudah banyak tersedia, baik yang komersial maupun yang freeware. Hanya dengan beberapa klik, kini banyak parameter yang diperlukan untuk menentukan masuk atau belum pada kriteria imkan rukyat mudah dilakukan.

  49. Ass wr wb. Saya sebenarnya meragukan statement yg mengatakan bhw hilal sdh terbentuk sejak ijtimak krn pd saat ijtimak seluruh bag bulan yg memantulkan sinar matahari membelakangi bumi. Namun kalau toh itu bisa dibuktikan kebenarannya, sebagai umat muslim yg ber-IMAN tetap saja yg hrs berpegang teguh pd ketentuan bhw sbg tanda awal bln hijriyah adalah MELIHAT HILAL (H.R.Bukhari-Muslim 653 dan 656) bukan saat TERBENTUKNYA HILAL. Wass wr wb.

  50. Ass wr wb. Satu bulan hijryah itu ada kalanya 29 hr adakalanya 30 hr (H.R.Bukhari-Muslim 654 dan 655), karena itu rukyat selalu dilaksanakan pd hr ke 29. Apabila cuaca cerah tapi hilal blm terlihat maka bilangan bulan dicukupkan menjadi 30hr (H.R.Bukhari-Muslim 656). Apabila hilal tertutup awan maka PERKIRAKANLAH (H.R.Bukhari-Murlim 653), jadi dlm hal ini tidak hrs dicukupkan menjadi 30hr melainkan apabila diperkirakan hilal sdh tampak berada dibalik awan maka stlh hr ke 29 adalah tgl 1. Wass

  51. Pak Bambang…..katanya agama islam agama yang paling up to date sepanjang zaman dan paling rasional dibanding agama2 lain? Tapi kalau kita masih selalu merukyat tiap akhir bulan…itu berarti agama islam tidak up to date. Makanya, penafsiran ulang ayat2 dan hadits yang menyangkut ayat2 yang terkait alam itu menjadi mutlak. Bukan ayat dan hadits yang tidak up to date, tapi penafsiran ayat dan hadits yang tidak up to date.

    Jika kita masih saja memaknai ayat dan hadits (ayat terkait alam) secara letter lijk, maka agama islam akan ditinggal zaman. Persoalan2 seperti arah kiblat, kalender (dan penentuan hari2 ibadah), perjalanan (safar) dll itu perlu pemaknaan ulang. Contoh berikut ini bisa menjadi bahan renungan.

    Bagaimana jika ummat islam sudah mampu melakukan penerbangan antar planet (semisal ke venus), kemana mereka akan menentukan arah kiblat shalat? Ke barat kah? Ke timur kah? Tentu bisa keliru. Padahal soal arah kiblat sholat itu ada hadits nya. Jika kita secara letter lijk memaknai hadits tsb, ummat islam akan kacau.

    Ketentuan musafir kini juga perlu pemaknaan ulang. Sekarang perjalanan 1000 km sudah sangat nyaman dan tak ada halangan untuk membatalkan puasa. Nah, ijmak ulama soal musafir ini tentu perlu didefinisi ulang.

    Sama halnya soal penentuan bulan baru (awal puasa, lebaran dan ibadah haji). Kita tak bisa memaknai ayat dan hadits secara letter lijk. Perlu pemaknaan ulang.

    Kalau kita masih memaknai ayat dan hadits (yg terkait alam) secara letter lijk, maka wajar kalau ummat islam akan tertinggal zaman dan terpuruk. Ummat islam harus berani memaknai ulang ayat2 dan hadits yg terkait dg alam.

  52. Pak Bambang….bukti bahwa hadits tentang rukyat itu tak bisa dipahami secara letter lijk adalah, bagaimana jika org eskimo (karena dakwah kita sampai ke sana) lalu masuk islam? Bagaimana mereka mau berpatokan terbit terbenamnya matahari, atau terbit terbenamnya bulan (hilal) dalam menentukan awal puasa dan juga sahur – buka? Mereka jika berpatokan pada hadits rukyat tentu akan kacau balau, karena di sana ada kalanya tidak melihat terbit terbenamnya matahari, apalagi bulan. Saya yakin sampai saat ini pun kajian cara puasa bagi orang eskimo atau kutub utara (dan selatan) belum ada. Lalu, apa hukum puasa tidak dapat diberlakukan di sana? Oh…kesimpulan yang sangat keliru. Hadits rukyat pun dapat diberlakukan di kutub bumi, meski matahari (dan bulan) kadang tidak terlihat di sana. Nah inilah….kalau kita hanya membaca nash secara letter lijk….bisa saja orang eskimo (jika islam) kadang kali tidak wajib puasa, karena tidak ada siang malam, yang ada hanya remang2 (tidak tahu kapan terbit terbenamnya matahari).

  53. Ass wr wb. Pak Prasojo benar, AL QUR’AN dan HADIST adalah petunjuk bagi orang ber-IMAN yg tdk akan lapuk dan lekang oleh zaman serta tdk akan usang selama masih ada yg meng-IMAN-i. Jika sdh tdk ada yg meng-IMAN-i maka saat itulah KIAMAT tiba. Kebetulan ttg penentuan awal bln hijriyah merupakan salah satu ketetapan yg diatur secara rinci, jadi dlm obrolan kita ini saya gunakan sbg rujukan/referensi ilmiah yg baik secara TERSURAT maupun TERSIRAT sangat dpt dipertanggungjawabkan. Wass wr wb.

  54. Ass wr wb. Oleh karena perintahNYA sdh sangat jelas, maka apabila karena sesuatu hal (spt ufuk tertutup awan) manusia diberi kesempatan utk MEMPERKIRAKAN jatuhnya awal bln hijriyah shg dpt mengembangkan kecerdasannya utk menciptakan metodha hisab, bukan berarti boleh meninggalkan ketetapan dlm Al Qur’an dan Hadist yaitu rukyat. Metodha Hisab hanya digunakan dlm keadaan khusus diatas dan utk dasar pembuatan KALENDER HIJRIYAH yg jg bersifat perkiraan dan hrs dibuktikan keakuratannya dg RUKYAT. Wass
    http://m.yahoo.com?tsrc=samsunghp

  55. Pak Bambang…..sekarang masalah ”terhalang”. Menurut tulisan anda, ”jika terhalang awan maka perkirakanlah”. Pertanyaannya :

    1) Bagaimana dg terhalang terangnya cahaya syafak matahari? Berlakukah kriteria terhalang hadits tsb?

    2) Bagaimana dg orang eskimo/orang kutub utara (jika mereka islam/beriman), sementara matahari dan bulan di sana bukan terhalang oleh awan, tetapi terhalang oleh lengkung bumi? Dan mereka hanya bisa melihat cahaya remang2 tapi tidak melihat benda yang namanya matahari dan bulan (dlm kurun waktu tertentu)?
    Kapan mereka memulai puasa dan kapan mereka berbuka, sementara mereka tdk melihat matahari?

    Ternyata hadits soal rukyat itu tdk sesederhana yang dibayangkan, karena hadits itu (secara harfiah) dikeluarkan di wilayah tanah Arab yang memang suatu kawasan yang dilintasi matahari dan bulan. Tetapi bagi kawasan yg tidak dilintasi matahari dan bulan, hadits tsb secara harfiah (sekali lagi secara harfiah) tidak dpt diberlakukan. Bagaimana org eskimo mau merukyat bulan (hilal), wong selamanya mereka tdk pernah melihat bulan? Juga bagaimana mereka akan mengetahui waktu subuh dan maghrib, wong mereka pd kurun waktu tertentu tidak melihat matahari (tidak tahu kapan terbit dan terbenam)?

    Pak Thomas sendiri yang katanya ahli astronomi dan skaligus ahli syariah, saya yakin tidak mampu (baca : tidak berani) menjelaskan ketentuan waktu sholat di kawasan kutub utara dan juga mengaplikasikan hadits tentang rukyat.

    Saya tunggu fatwa PAK THOMAS dalam hal ibadah (sholat dan puasa) bagi masyarakat di kawasan kutub bumi.

  56. Persoalan kawasan sekitar kutub2 bumi dikaitkan dg rukyat, itu masih persoalan yang kecil (meski tdk mudah dirumuskan). Persoalan akan semakin kompleks manakala kita berbicara tatasurya, apalagi galaksi. Dalam skope tatasurya kita saja, kerumitan akan muncul misalnya manakala manusia telah mampu melakukan penerbangan antar planet, dan ada sekelompok manusia yang melakukan transmigrasi antar planet. Persoalan itu menyangkut penentuan arah kiblat, jadwal waktu sholat dan puasa. Ayat alquran dan hadits tentang rukyat boleh jadi akan mengalami problema penafsiran dan aplikasinya (ini kalau kita menafsirkan secara harfiah). Merukyat bulan (hilal)? Bulan yang mana? Ini baru dalam skope tatasurya. Apalagi dalam skope jagad raya? Jd tdk sesederhana memahami nash2 secara harfiah. Kecuali jika kita ingin mengatakan, di kutub2 bumi ummat islam tidak wajib sholat dan puasa, demikian juga (terlebih lagi) di luar angkasa dan di planet lain. Kalau ini yang menjadi kesimpulan, maka rukyat memang persoalan (urusan) yang kecil (mudah dimaknai), yaitu merukyat bulan sabit (hilal).

    • Gak ada yang sulit kalau memahami persoalannya. Kita kaji kasus per kasus nyata, jangan dulu berandai-andai. Astronot Muslim yang mengorbit di ISS tidak mengalami masalah karena Al-Quran dan hadits memberikan jaan keluar yang jelas. Persolaan fikih, bukanlah persoalan berandai-andai, tetapi setelah masalah nyata dihadapi, kita bisa kaji hukumnya.

  57. Ass wr wb. Semua pakar astronomi muslim akan dihadapkan pd permasalahan spt yg bpk uraikan. Tetapi tdk perlu PANIK, karena kalau AL QUR’AN dan HADIST diselami lbh dlm dr mendalami astronomi maka akan ditemukan “letter-lijk”2 yg dpt digunakan menjawab persoalan2 tsb. Krn itu ttg terhalang terangya cahaya syafak matahari, secara letter lijk tdk termasuk yg dimaksud dlm Hadist dan itu merupakan bagian dr ketetapan ALLAH SWT yg menghalangi pandangan mata manusia shg TIDAK BISA MELIHAT HILAL.Wass wr wb

  58. Ass wr wb. Ttg orang Eskimo dan segudang persoalan alam semesta yg menjadi beban pikiran pakar astronomi muslim seharusnya menjadi tanggung jawab bersama utk bahu membahu mencari pembenaran kandungan Al Qur’an dan Hadist. Dan utk menuju kearah itu diperlukan satu panduan yaitu IMAN pd Al Qur’an dan Hadist agar cara pandang semua pihak dpt disatukan. Memaknai kembali letter lijk dlm Al Qur’an dan Hadist, jika dilakukan banyak pihak yg tdk mungkin seragam justru akan menambah rumit persoalan. Wassww

  59. Pak Thomas….tapi kalau kita berpedoman pada rukyat murni, di kawasan lintang tinggi (60 derajat ke atas) puasa bisa mundur beberapa hari dibanding kawasan lintang rendah dan Arab Saudi karena hilal baru bisa terlihat setelah posisinya tinggi (ditinjau dari lintang rendah). Yang lebih susah lagi pada kawasan mendekati lintang 90 derajat, hilal (bulan) tidak berhasil dilihat. Makanya, rukyat murni menjadi tidak relevan. Kecuali kita mau menggunakan rukyat global seperti Hizbut Tahrir. Jadi, bukan hanya WH saja yang berpotensi menjadikan perbedaan hari raya, tapi juga rukyat murni (antara lintang rendah – lintang tinggi). Dus, Otomatis IR juga memungkinkan perbedaan antara lintang rendah dan lintang tinggi (kecuali lintang tinggi mengikuti keputusan di kawasan lintang rendah).

    • Kita pilah sumber perbedaan. Perbedaan antara hisab dan rukyat (murni) yang sudah berlangusng ratusan tahun kini bisa diupayakan untuk disatukan dengan hisab imkan rukyat yang mempertemukan hisab dan rukyat. Perbedaan rukyat global dan rukyat lokal serta perbedaan IR untuk berbegai lintang bisa diupayakan diselesaikan dengan pemahaman garis tanggal qamariyah, analog dengan garis tanggal internasional. Garis tanggal qamariyah bersifat dinamis tergantung posisi bulan dan matahari. Suatu wilayah waktu (matahari) bisa berbeda ketampakan hilalnya (berdasarkan IR) sehingga tidak menjelaskan suatu daerah bisa saja lebih dahulu masuk tanggal Hijriyahnya daripada wilayah di sekitarnya. Perubahan garis tanggal itu, misalnya bisa di lihat di situs http://www.icoproject.org/ atau http://moonsighting.com/ .

  60. […] Tulisan terbanyak dibaca 2 hari terakhir Membongkar Paradoks Wujudul Hilal untuk Mendorong Semangat Tajdid MuhammadiyahMuhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid HisabHisab Wujudul Hilal […]

  61. Ternyata, jika dipahami secara harfiah, rukyat (hilal) itu hanya bisa diberlakukan di kawasan bumi lintang rendah sampai menegah. Sementara untuk lintang tinggi, rukyat tidak dapat dilaksanakan. Untuk lintang tinggi mesti dikonversi dan itu artinya hisab. Makanya penganut rukyat tidak bisa memaknai hadits rukyat itu secara harfiah (letter lijk). Ttp membutuhkan interpretasi lain jika ingin memberlakukan di belahan bumi lintang tinggi. Makanya, memahami nash itu tidak bisa sepotong2.

    Demikian juga imkan rukyat (IR). Bagaimana kemungkinan terlihat hilal di lintang tinggi? Ini sebuah ilusi. Yang paling mungkin, untuk kawasan lintang tinggi (yg tdk mungkin merukyat hilal) adalah mengikuti kawasan di dekatnya (lintang menengah). Kalau yg paling pas sih….menggunakan hisab wujudul hilal (hisab global dg titik sentral MEKAH (Kakbah)

    • Saya dukung mas Prasojo…

      Praktis dan efesien… Secara Kalender Ummul Quro telah berjalan…

      Tinggal kita semua di seluruh penjuru dunia… mau di daerah khatulistiwa, sub tropis, kutub… dari 180° bujur timur ~ 180° bujur barat…
      Semau kalender Duniawi dan Ibadah mengacu ke Kalender Ummul Quro…

      Mari, siapa lagi yang mau dukung ?… 🙂

      • Ketika rumah Allah yg bernama kakbah sudah selesai melaksanakan sholat ied, lalu besoknya ada segerombolan umat dr belahan “dunia lain” yg melaksanakan sholat ied… Kira2 Allah SWT pada saat itu ada dimana ya?? Dan dasar dalilnya mana?
        Lha umat di daerah kakbah pd saat itu melaksanakan puasa syawal..
        Konon katanya kata mereka “HARI GENE SHOLAT IED?? ENTE NGLINDUR YA??”

      • Harap diingat bahwa kasus kesulitan di daerah lintang tinggi tidak hanya dialami oleh metode ru’yat, tetapi juga dialami oleh wujudul hilal ala Muhammadiyah.

        Kalender ummul quro memang kalender yang saat ini eksis dan dijadikan kalender resmi pemerintah kerajaan Arab Saudi. Semua urusan duniawi di Arab Saudi memakai kalender hijriyah ummulquro. Bahkan Prof. Thomas pun memakai kalender ummul quro di blog beliau. Jadi kalau sekarang Pak Prasojo dan Pak Ivan berkampanye mencari dukungan mengikuti kalender ummulquro, artinya Bapak bapak ini selangkah di belakang Prof Thomas yang sudah memakai kalender ummul quro di blog beliau. 🙂

        Tetapi Muhammadiyah punya kalender sendiri, dengan kriteria yang berbeda dari kalender ummul quro. Bedanya lagi, meskipun pemerintah Arab Saudi sudah punya kalender ummul quro, penetapan puasa dan hari rayanya tidak mengikuti kalender tsb melainkan mengikuti hasil ru’yat. Sedangkan Muhammadiyah menentukan hari raya dan puasanya mengikuti kalender WH dan mengabaikan ru’yat terhadap hilal. Hilal yang dulunya di jaman Rasulullah harus terlihat, diijtihadi oleh Muhammadiyah menjadi tidak harus terlihat, dan pada kondisi tertentu menjadi harus tidak terlihat.

        Yang saya masih penasaran adalah, bagaimana perintah atau anjuran PP Muhammadiyah kepada warga Muhammadiyah yang tinggal di Arab Saudi dalam memulai puasa dan hari raya ? Apakah mengikuti kalender Muhammadiyah, mengikuti kalender Ummulquro, atau mengikuti keputusan pemerintah arab saudi yang memakai ru’yat murni ?

        Salam,
        Rois

      • Alhamdulillah… berarti pak Thomas pun sudah “mendukung”, bahkan lebih duluan… Ayo siapa lagi ?… 🙂

        Bagaimana dengan Orang Eskimo ?… Anda juga siap mendukung ?…
        (siapa tahu pembaca blog pak Thomas ini ada orang eskimo… 🙂 )

        .

        Yang saya masih penasaran adalah, bagaimana perintah atau anjuran PP Muhammadiyah kepada warga Muhammadiyah yang tinggal di Arab Saudi dalam memulai puasa dan hari raya ? Apakah mengikuti kalender Muhammadiyah, mengikuti kalender Ummulquro, atau mengikuti keputusan pemerintah arab saudi yang memakai ru’yat murni ?

        Setahu saya di mazhab Imam Syafii… yang mengerti Hisab boleh berbeda dengan penetapan otoritas, asal untuk dirinya sendiri…
        Di Indonesia pun begitu… Penetapan Muhammadiyah itu adalah ditujukan untuk “diri sendiri” (warga nya), Bukan untuk orang di luar Muhammadiyah…

        Hanya memang susah nya di zaman yang serba terbuka ini… Orang bisa mudah mendapat informasi apa saja… Informasi untuk “kalangan terbatas” pun, bisa dengan mudah menjadi Informasi Publik… Contohnya saja Kabar-kabar Gosip seputar rumah tangga Selebritis…
        Dan kebetulan di Indonesia, Muhammadiyah itu kan “selebritis” juga… Tidak tahu kalau di Saudi… 🙂

        Bila Kalender Ummul Quro telah disepakati dijadikan Kalender Hijriyah Global Resmi seDunia… Sepertinya sih kalau Puasa dan Idul Fitri, Muhammadiyah mungkin akan konsisten… Dan pasti akan selalu mendorong Otoritas di sana untuk juga konsisten…

        Yang mungkin tidak konsisten adalah Otoritas Saudi…
        Kalau bulan biasa Enjoy saja dengan Hisab, tapi kalau bulan ibadah Harus Rukyat terus… Memangnya Allah swt mengatur Bulan itu beda-beda pengaturan nya… 😦

        Kalau Otoritas Saudi mau konsisten, Gajian pun harus Kalender Rukyat juga… 🙂

        Hanya yang akan jadi dicari lagi solusi nya adalah pelaksanaan Wukuf di Arafah…
        Bingung juga kalau beda… secara pelaksanaan nya terkait dengan pergerakan hilir mudik jutaan orang jamaah haji…

      • Arab Saudi menggunakan rukyat lokal dan malah rukyat global sbg spirit penghormatan dan menteladani perilaku nabi Muhammad SAW.
        Ketika rukyat lokal dijalani, mk bagian terpenting dari ajaran nabi yg menerima kesaksian yg bersumpah DEMI ALLAH hrs diterima, apapun kondisinya apapun kontroversinya!.
        Nabi hanya menerima laporan rukyat saja. Beliau tdk pernah ragu dlm memutuskan perkara ini, yg diminta hanya satu DEMI ALLAH saya bersumpah..
        Ketika rukyat global dipakai maka akan semakin menguatkan kaidah kalender wujudul hilal ummul quro’ itu sendiri.
        Jadi, Rukyat lokal (Saudi) – Rukyat Global – Hisab Wujudul Ummul Quro’ adalah TRILOGI yg sempurna bagi penyamaan hari2 ibadah islam sedunia maupun kalender hijriyah scr internasional.
        Oleh karena itu yg lagi ngetop bin ngetrend skrg ini adalah menyamakan diri dgn arab saudi begitu mereka mengumumkan.
        Kenapa bukan imkan rukyat yg dipakai arab saudi? Jawaban yg paling mendasar adalah karena sebagian besar mereka sangat menyukai hal2 yg berbau LOKALISASI. Apa itu lokalisasi? Tanyalah pada Rois yg fanatik menghuni pemikiran Lokalisasi itu.
        Kenapa bukan imkan rukyat ala nak Djamal? Metoda warisan dari kalender jowo ini hanya cocok dipakai utk menghisab tradisi hindu 40hari, 100hr, 1000hr, koul Buntet, koul sayur dst..
        Rois dan gerombolannya dari “dunia lain” pasti suka hal ini.., maklum sbg pewaris tradisi hindu.

    • Ketika Kasulthanan JAHILiyah melaksanakan “jumenengan sembah sungkem” terhadap Toehankoe Tan Sri Dajjaluddin pada Rabu Legi bulan kasongo, dimana para cecurot, penjilat, pendosa, pendusta beserta alim ulamanya harus hadir pd hari itu sebab besoknya tan sri dajjaluddin tdk bakal ada ditempat singgasana. Beliau melakukan “hand over” dgn sai baba dr india utk “the next dajjal”
      Ndilalah, ada sebagian umatnya yg datang besoknya krn metoda IRnya berubah-ubah. Lalu didapatinya singgasana sang Dajjal kosong melompong…
      Menurut Al KITABIYAH JAHILiyah adakah dalil yng membolehkan hari berbeda dgn ketentuan yg telah ditetapkan oleh Tan Sri Dajjaludin?

    • Itu bukan masalah dalam astronomi. Garis tanggal qamariyah mudah dibuat dengan hisab, baik kriteria WH maupun IR. Awal tanggal untuk lintang tinggi mudah terdefinisikan. Ini salah satu contohnya.
      http://www.icoproject.org/icop/shw32.html . Pada gambar itu, antara arsir merah dan putih bila berdasarkan kriteria WH dan antara putih dan arsir biru bila berdasarkan kriteria IR.

  62. Ass wr wb. Wilayah lintang tinggi memang merupakan ketetapan ALLAH SWT yg penuh misteri. Waktu kecil guru agama saya berpesan agar dlm melaksanakan ajaran Al Qur’an dan Hadist hrs dilandasi IMAN yg artinya dilaksanakan dg haqqulyaqin tanpa berlogika krn kecerdasan terbatas. Oleh krn itu dlm rangka menguak misteri tsb sehubungan dg penampakan hilal, seharusnya tdk ter-buru2 shg hrs keluar dr arti harfiah Al Qur’an dan Hadist yg justru menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan MASIH BELUM MAMPU. Wass ww

  63. Pak Rois….Hadits tentang rukyat itu sesungguhnya diberikan/diperintahkan bagi ummat Islam di Mekkah (dan Madinah) dan ternyata bisa diaplikasikan di seluruh belahan bumi lintang rendah sampai menengah. Perintah itu tepat karena Nabi saw dan ummatnya kala itu berada di sana. Konteks lokasi ini menjadi penting untuk dicermati. Jika kemudian kita tahu bahwa di kutub kita tidak bisa merukyat bulan, itu bukan berarti Nabi saw tidak paham. Beliau sangat paham. Tapi kan tidak mungkin Nabi memerintahkan untuk mengetahui cara penentuan bulan baru berdasar lokasi kutub. Jika ini yang dilakukan, maka justru perintah Nabi menjadi aneh dan akan menyulitkan ummatnya. Perintah Nabi juga memperhatikan kemampuan ummatnya. Nabi saw bukan tak paham hisab (karena Nabi dibimbing Allah swt), tapi tentu Nabi tidak akan mengajarkan hisab kala itu. Jadi konteks lokasi dan masa itu penting dicermati. Bagaimana untuk aplikasi lokasi yang berbeda (seperti kutub) dan masa kini (dengan kemajuan iptek)? Tentu perlu penafsiran ulang. Bukan rukyat menjadi tidak penting, tapi berdasar rukyat yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun itu lalu kita rumuskan hisab. Jadi sesungguhnya hisab itu tidak meninggalkan rukyat. Tetapi dari rukyat itu diformulasikan perhitungan (hisab) yang berarti tidak meninggalkan rukyat.

    Saya akan beri contoh lagi. Kita mengetahui waktu masuk sholat itu dengan mempedomani matahari. Lah….bagaimana jika astronot muslim sedang berada di stasiun ruang angkasa trus mau melakukan sholat? Pedoman waktu mana yang akan dipakai? Padahal di sana tidak ada malam? Karena stasiun ruang angkasa bisa saja tidak tertutup bumi? Inilah….makanya suatu hukum tidak serta merta bisa diaplikasikan di lain tempat, tetapi perlu justifikasi lokasi. Sama dengan kewajiban rukyat bagi masyarakat muslim di kutub (jika di sana ada muslim), perlu justifikasi lokasi. Imkan Rukyat di kutub juga tidak relevan. Bagaimana kemungkinan terlihat? Wong bulan tidak pernah kelihatan dari kutub.

    • Soal shalatnya astronot bukan masalah. Arah kibalt cukup dengan mengahadp ke mana pun yang memungkinkan dengan berdalil pada QS 2:115. Waktu shalat? Karena astronot berstatus musafair, gunakan rukhshah dengan jamak’ qashar. Karena waktu di antariksa termasuk tidak normal (sama kasusnya untuk shalat di lintang tinggi saat musim dingin atau musim panas), waktunya merujuk waktu normal sebelumnya, yaitu waktu di kota peluncurannya, berdasarkan jam di kota tempat peluncuran (karena astronot mengalam siang dan malam setiap 90 menit). Saat ini sudah 2 orang Muslim yang jadi astronot dan mereka dibekali fatwa tentang shalat sebelum berangkat.

  64. Sekedar penambah wawasan.

    DI bukunya AlBiruni “The Chronology of Ancient Nations”, di sana dijabarkan sejarah mengenai sistem waktu dan penanggalan. Sistem waktu dan penanggalan itu dimiliki oleh semua bangsa / peradaban di dunia sejak dahulu kala. Termasuk bangsa Arab juga. Kalau dikatakan bahwa bangsa Arab itu ummiy, itu bukan berarti mereka tidak punya sistem penanggalan. Kata ummiy itu sendiri terkait dengan budaya lisan dan budaya tulisan. Bangsa Arab sangat kuat di budaya lisan, tetapi kurang kuat di budaya tulisan. Sistem penanggalan mereka dengan demikian terekam di dalam syair syair yang menggambarkan posisi bintang bintang, posisi rembulan dan waktu waktu tertentu yang terkait dengan peredaran matahari. Dari syair syair tsb, bisa diketahui bhw sistem penanggalan mereka juga sudah maju.

    DI buku tsb juga dijelaskan sejarah sistem penanggalan orang orang Yahudi. Seperti dalam Islam, orang orang Yahudi memulai bulan dengan penampakan bulan baru (hilal). Akan tetapi mereka kemudian membuat tabel penampakan tsb dengan hisab. Seringkali hasil hisab tidak sesuai dengan penampakan hilal. Ketidakcocokan antara hisab dengan rukyat ini sering menimbulkan masalah. Nah, untuk menyelesaikan masalah tsb kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan observasi (ru’yat) thd hilal, dan menjadikan hasil observasi tsb sebagai rujukan yang valid, bukan hisab yang dibikin orang Yahudi.

    Dalam konteks itulah saya memahami pernyataan MTT Muhammdiyah bhw “ru’yat lebih mu’tabar daripada hisab” jika terjadi perbedaan antara hasil hisab dan hasi ru’yat. Artinya, hisab itu pada dasarnya adalah pemodelan terhadap sebuah fenomena. Jika terjadi perbedaan antara pemodelan dan data pengamatan, maka yang dianggap sebagai “kebenaran” adalah fenomenanya, bukan pemodelannya.

    Ini mirip dengan hisab waktu sholat. Waktu maghrib adalah saat seluruh bola matahari tenggelam dibawah ufuk. Dengan hisab diperoleh hasil: pukul 18:01 WIB. Ternyata, setelah diamati, seluruh bola matahari tenggelam di bawah ufuk pada pukul 18:03. Maka waktu maghrib yang benar adalah 18:03 (berdasarkan observasi/ru’yat); bukan 18:01 (berdasarkan pemodelan/hisab).

    Demikian, semoga bermanfaat.

    Salam,
    Rois

    • Pak Rois,

      DI buku tsb juga dijelaskan sejarah sistem penanggalan orang orang Yahudi. Seperti dalam Islam, orang orang Yahudi memulai bulan dengan penampakan bulan baru (hilal). Akan tetapi mereka kemudian membuat tabel penampakan tsb dengan hisab. Seringkali hasil hisab tidak sesuai dengan penampakan hilal. Ketidakcocokan antara hisab dengan rukyat ini sering menimbulkan masalah. Nah, untuk menyelesaikan masalah tsb kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melakukan observasi (ru’yat) thd hilal, dan menjadikan hasil observasi tsb sebagai rujukan yang valid, bukan hisab yang dibikin orang Yahudi

      Mungkin Hisab yang dipakai Yahudi tersebut adalah semacam Hisab Urfi…
      Kalau semacam Hisab Urfi memang Hisab yang tidak berdasarkan Peredaran Bulan Faktual…

      .

      Artinya, hisab itu pada dasarnya adalah pemodelan terhadap sebuah fenomena. Jika terjadi perbedaan antara pemodelan dan data pengamatan, maka yang dianggap sebagai “kebenaran” adalah fenomenanya, bukan pemodelannya.

      Berarti Rukyat Syawwal 1432 Kemarin, yang benar Rukyat Cakung ?… 🙂

      • DI dalam observasi dikenal istilah data data “outlier”; yaitu data data yang “aneh” yang tidak selaras dengan mayoritas data observasi lain. Kalau data rukyat Cakung dianggap valid dan bukan outlier, maka hisabnya Muhammadiyah terbukti salah, sebab ketinggian rembulan hasil hisab WH berbeda dari ketinggian hilal rukyat cakung.

        Kalau perhitungan hisab WH yang dijadikan landasan masuknya bulan baru ternyata salah, maka hal tsb tidak sah untuk dijadikan landasan untuk mengambil keputusan. 🙂

      • Kalau Perhitungan WH salah… yang lain (Lapan, Nu, Persis dll yang sama-sama menggunakan Perhitungan yang sama) pun pasti salah… 🙂

        Fokusnya bukan pada perhitungan nya… tapi pada laporan terlihatnya…
        Bisa jadi Perukyat Cakung lebih Sakti dari Teropong canggih yang ada sekarang…
        Tapi masih kalah sakti dengan Pelapor Hilal di Saudi dahulu… Hilal Dzul hijjah 1428 H… hari Ahad 9 Desember 2007…
        (sumber: Idul Adha 1428 H dan problematikanya, Kontroversi Dzul Hijjah 1428 H Saudi Arabia – kasmui blog)
        Bulan belum Ijtima’ dan masih di bawah ufuk pun… saking saktinya sudah dilaporkan terlihat… 🙂

      • He he he … betul Pak Ivan; hisab yang lain (hisab imkaanurru’yat) juga salah. Tetapi hari rayanya kan berbeda dari ru’yat cakung, sehingga tidak timbul paradoks. Sedangkan WH hari rayanya sama dengan ru’yat cakung dan menimbulkan paradoks: berhari raya di hari yang sama tetapi menggunakan dasar yang saling menegasikan; tidak mungkin keduanya benar. Kalau hisabnya WH benar, maka kesaksian ru’yat cakung harus ditolak karena yang dilhat itu bukan hilal. Sehingga, berhari raya di hari selasa menggunakan dasar kesaksian ru’yat cakung adalah tidak sah. Sementara kalau kesaksian hilal cakung itu benar, maka hisabnya WH terbukti salah sebab terjadi kesalahan dalam memperkirakan ketinggian hilal/rembulan; Sehingga berhari raya di hari selasa menggunakan dasar hisab WH (yang terbukti salah) adalah tidak sah.

      • Pak Rois,
        Ya bagaimana baiknya sajalah pak… 🙂

        Intinya… mengandalkan Laporan Rukyat Hilal dalam Penetapan Bulan itu sangat Riskan… itu saja…

        Tapi menggunakan Hisab yang tidak berdasarkan Peredaran Bulan Faktual pun sangat riskan…

        Hisab yang ada pada waktu itu (Hisab Yahudi), sepertinya semacam Hisab Urfi… yang terkadang di lapangan, Hilal sudah jelas terlihat, tapi di “atas kertas” (kalender) nya, Tanggal nya mungkin masih tgl 29 / 30 bulan Lama…

        Makanya dulu Nabi menyuruh Rukyat untuk jaminan kepastian…

        Berbeda dengan sekarang… Hisab nya sudah Hisab canggih yang InsyaAlloh terbukti akurat… 🙂

      • He he he ….

        Betul sekali, Pak Ivan. Hisab dan ru’yat itu memang hendaknya saling melengkapi. Sayang sekali, hisab dan ru’yat yang sudah canggih itu menjadi seolah olah tidak bermanfaat gara gara masing masing ormas punya kriteria sendiri sendiri.

        Pada akhirnya kita orang awam ini bisanya ya cuma berdoa agar para pemimpin, termasuk para pemimpin ormas, bertindak dan mengambil keputusan dengan lebih bijak.

        Tetapi antara doa dan tindakan kita sendiri seharusnya juga konsisten. Kadang kadang kita ini lupa bhw pemimpin itu juga perlu dinasehati, dan ada kecenderungan kita membiarkan mereka. Membiarkan dalam arti kalau pas lagi cocok kita taqlid begitu saja dan membabi buta membela mereka; kalau pas lagi tidak cocok kita hujat mereka habis habisan. Kasihan juga para pemimpin itu.

        Terakhir, saya ucapkan terima kasih; senang sekali berdiskusi dengan Pak Ivan, bisa saling mengambil manfaat, bertukar pemahaman, informasi, tidak emosi dan mau menangnya sendiri.

        Mohon maaf bila ada kata kata yang tidak berkenan.

        Wallahu a’lam bis-shawab,

        Wassalam,
        Rois

  65. Assalamu’alaikum Wr Wb

    Saya salut kepada Prof TD yg. gigih memberi pencerahan kepada masyarakat umum. Sedangkan pertentangan pada kolom coment saya anggap positif, mungkin bagi orang barat masalah “mengintip bulan” hanya masalah sepele krn. konon ceritanya mereka sudah sampai bulan, tapi setidaknya ini bisa mengajarkan kita untuk mencapai yg. lebih besar (rumit) kita tidak boleh meninggalkan yg. keliatannya sepele.

    Dalam Hadist Rasullullah dikatakan bahwa : “…Apabila terhalang (awan/mendung) maka genapkanlah jadi 30 hari…”

    Sekilas ada kelonggaran dalam menentukan awal bulan, tapi hukum lain yg, sangat ketat “HAram berpuasa pada 1 syawal”

    Ini seolah ada pesan yg. kuat agar kita mempunyai toleransi tapi kita juga dituntut untuk mempelajari benda2 langit sebagai ciptaan Alloh.

    Saya ingin bertanya kepada Pak Prof TD, mohon dijawab ya pak !

    Seandainya tidak ada hadist yg. memerintahkan “untuk melakukan Rukhyat” kira2 para astronom dalam memperhitungkan kalender komariyah menggunakan sistem Apa?

    Terima kasih sebelumnya

    Wassalamu’alaikum wr wb

    • Kalender qamariyah (lunar calender) adalah adalah sistem kalender yang paling tua karena fenomena hariannya bisa dijadikan rujukan tanggal. Ciri pergantian siklus bulanan yang mudah dikenali adalah “bulan mati” (malam tanpa bulan atau peralihan dari bulan sabit di akhir malam dan dan bulan sabit di awal malam) atau hilal (bulan sabit di awal malam). Untuk aplikasi kelender astronom akan mengikuti praktek di masyarakat dengan dua cara seperti itu. Astronom mampu memberikan layanan informasi kepada masyarakat sesuai dengan kriteria baku yang mereka gunakan.
      Untuk kepentingan teknis astronomis, astronom menggunakan ijtimak atau konjungsi, yaitu segarisnya bulan dan matahari pada bujur ekliptika. Itulah yang dinamanya newmoon, bulan baru astronomis.

      • Terima kasih atas jawabannya Pak Professor.

        Saya ini termasuk orang awam baik agama maupun astronomi, cuman saya jadi terpancing pengin tau aja, gara2 anak saya yg. kelas 1 SD berkomentar tentang idul fitri kemarin. “Ndadak di sidang mbarang siih, dadi ra sida Badan” (klu. bhs. indo nya : Gara2 diadakan sidang, lebarannya nggak jadi).
        Komentar ringan dan bikin ketawa, tapi saya langsung khawatir pasti suatu saat anak saya akan bertanya kepada Bapaknya tentang perbedaan ini. Klu bapaknya nggak bisa jawab kan malu he he.
        Sedikit intermezo prof….

        Setelah membaca tulisan2 di blog ini dan beberapa sanggahan dari sumber yg. lain, saya mempunyai asumsi :
        1. Baik WH dan IR cara mengitungnya sama, Kriterianya yg. beda.
        2. Kriteria berkaitan dg. dalil-dalil baik sunnah Rasul dan dari Al Quran. Perbedaan muncul karena pemahaman dan pentafsiran nya berbeda.
        3. Perbedaan ini diperparah karena masing2 organsasi/kelompok mempunyai Ego masing2. (Hal ini tidak terbantahkan, melihat fakta dan sejarahnya memang demikian, Muhammadiyah & NU untuk Indonesia, untk Global Wahabi dan Ahli sunnah wal Jama’ah,
        Ini sudah menjadi pembuktian dari ramalan Rasul.)

        Buat Pak Proff tetap lah berjuang dengan tulisan dan penelitian anda,
        karena tulisan anda sangat berguna untuk pembelajaran masyarakat
        baik yg. pro dan kontra. Masalah perbedaan biarlah waktu yg. menjawab.

        Ma’af Proff, saya kemarin2 ikut WH (Muhammadiyah), klu. dulu sih ikut2 an saja, tapi alhamdulilah sekarang saya sudah seikiit tau dasar2/alasan yg. digunakan Oleh MD ataupun oleh Pemerintah.
        Walaupun ke depannya mungkin masih ikut WH setidaknya saya sduah mempunyai alasan, tidak hanya ikut2 an.

        Islam menyruh umatnya untuk belajar belajar dan belajar, perbedaan ini saya maknai bahwa dalam islam tidak istilah untuk berhenti belajar.

        Klau manusia tau yg benar & salah, manusia tidak akan pernah belajar. Karena kebenaran yang haqiqi adalah milik Alloh.

        Terimak kasih Prof

  66. Pak Rois….ada hal sepele tapi cukup mendasar yg mesti bapak ketahui. Bahwa bangsa Arab, Yahudi dan Romawi telah mengenal hisab sederhana itu benar adanya. Tapi persoalannya, hadits rukyat itu diucapkan di hadapan siapa? Sahabat Nabi kan? Dan bukan di hadapan bangsa Arab kafir, Yahudi atau Romawi kan? Trus perlu bapak cermati, pada saat Nabi memerintahkan rukyat itu sahabat yang hadir siapa saja dan berapa orang? Adakah sahabat yang hadir itu seorang ahli (paham) hisab? Kajian ini penting untuk mengetahui asbabun nuzulnya hadits itu. Tanpa mengetahui siapa2 yang hadir, maka kita bisa keliru memahami maksud hadits. Jangan dikaitkan dg bangsa Yahudi, Arab kafir dan Romawi. Ini konteksnya keliru besar.

    Sama saja bapak mengajari anak bapak tentang komputer. Misalnya anak bapak masih baru mengenal komputer, sementara anak tetangga bapak sudah mahir komputer. Apakah bapak akan mengajari anak bapak sama dengan mengajari anak tetangga? Pasti tidak.

    Jadi mesti dipahami, pada saat Nabi memerintahkan rukyat itu, ditujukan kpd siapa? Inilah asbabun nuzulnya. Jika sahabat yg ada saat itu memang ada yg ahli (paham) hisab, maka barulah kita berkesimpulan bahwa rukyat itulah satu2nya cara menentukan puasa dan lebaran. Dg kata lain, rukyat itu wajib.

    • Pak Prasojo,

      Saya ingin bertanya: Kalau ternyata hisab itu hasilnya berlainan, bagaimana solusinya ? Misalnya dalam kasus hisab waktu maghrib tsb. JIka ada 3 hasil yang berlainan: yang satu pukul 18:00, satunya lagi pukul 18:03, dan satunya lagi pukul 18:10. Bagaimana menentukan mana hisab yang benar ?

      Meru’yat atau melakukan observasi itulah solusi yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Atau, apakah Pak Prasojo punya solusi lain yang berbeda dari solusi yang ditawarkan Nabi SAW ?

      Salam,
      Rois

  67. Ass wr wb. Salah satu contoh kesabaran menunggu hidayah ALLAH SWT adalah di bidang biologi yaitu ttg “hari berbangkit”yg banyak difirmankan ALLAH SWT dimana stlh KIAMAT nanti semua manusia yg sdh mati akan DIHIDUPKAN KEMBALI utk dihisab amal perbuatannya apakah akan masuk surga atau neraka. Hal ini DULUNYA sangat sulit diterima logika, krn itu orang beriman meng-IMAN-inya. Namun hIdayah ALLAH SWT menguak mirteri itu dg ditemukannya teknologi KLONING. Semoga bid astronomi begitu juga. Wass wr wb.

  68. Pak Rois…..sepanjang itu menyangkut ranah ijtihadi, perbedaan itu benar semua. Bukankah Nabi pernah mengatakan, jika kita berijtihad dan salah itu nilainya 1 dan bila benar nilainya 2. Makanya, saya tidak mau mengatakan IR dan Rukyat itu salah. Semua benar. Semua punya kelemahan. Apakah rukyat tidak punya masalah? Punya. Antara lain :

    1) Rukyat pakai mata telanjang atau boleh pakai alat? Kalau alat, pembesaran berapa?
    2) Merukyat itu dari ketinggian berapa? Bolehkah dari puncak Himalaya?
    3) Merukyat itu pada kondisi udara seperti apa? Bagaimana jika udara kita terpolusi berat?
    4) Bagaimana jika 2 orang pd lokasi yang sama, yg satu melihat dan yg lain tidak melihat? Ini juga perdebatan.
    5) Bagaimana jika pelaku rukyat itu bermata plus atau minus?

    Persoalan2 tsb tdk pernah dikaji. Yg penting asal ada yg melihat dan telah disumpah maka kesaksiannya diterima. Problematika ini kurang lebih dg pertanyaan anda ttg magrib yg pukul 18.01, 18:02 atau 18.03. Tidak ada yang mutlak. Jika kita yakin yg 18.01…sholatlah. Jk kita yakin 18.02…sholatlah. Dmk jg yg 18.03. Makanya saya cenderung tidak mau menyalahkan pihak lain. Yg penting kita meyakini yang mana, itu yang kita jalankan. Mau pakai rukyat silakan, mau pakai IR monggo dan mau pakai WH itu lebih bagus. Dlm memahami agama tidak ada yg benar mutlak. Kalau mutlak itu menyamai Allah.

    • Pak Prasojo,

      1. Tidak betul bhw ijtihad itu betul semua. Ijtihad itu bisa salah. Sabda nabi yang Pak Prasojo sampaikan itu jelas jelas menyebutkan bhw ijtihad itu bisa salah dan bisa benar; tidak mungkin selalu benar. Nah, kalau salah, tidak berdosa, tetap mendapat pahala meskipun satu. Tetapi setelah ketahuan ijtihadnya salah, maka ijtihad yang salah tidak boleh diikuti dan harus ditinggalkan. Mengikuti ijtihad yang salah tidak lagi mendapat pahala.

      2. Darimana kita tahu bhw ijtihad itu salah ? Ya kembalikan kepada AlQur’an dan Alhadits. Betul bhw pemahaman manusia itu tidak mutlak benar. Oleh karena itulah kita perlu saling bertukar fikiran untuk saling menilai mana yang lebih mendekati kepada AlQur’an dan ALHadits.

      3. Mengenai solusi observasi jika hasil hisab berlainan. Point saya adalah: solusinya kembali kepada tuntunan AlQur’an dan Alhadits. Dalam hal penentuan masuknya waktu maghrib, solusinya sangat jelas yaitu meru’yat tenggelamnya matahari untuk mengetahui mana hisab yang benar. Dalam hal ini, perkaranya menjadi mudah karena semua sepakat bhw mawaaqit atau tanda waktu masuknya sholat maghrib adalah terbenamnya matahari.

      4. Yang menjadi persoalan di tanah air khususnya mengenai mawaaqit masuknya bulan baru adalah bhw WH ditengarai atau diindikasikan sudah terlalu jauh dari teks AlQur’an dan alhadits yang jelas jelas mensyariatkan hilal sebagai mawaaqit atau tanda waktu masuknya bulan baru. Indikasi itu antara lain ditunjukkan dengan tidak digunakannya istilah “tinggi hilal” dalam perhitungan hisab WH, dan sama sekali tidak disebutkannya ayat yang mensyariatkan hilal sebagai acuan masuknya bulan baru di dalam buku Pedoman Hisab Muhammdiyah. Sehingga, menurut saya, solusinya adalah ijtihad WH hendaknya ditinggalkan sebab sudah terlalu jauh dari AlQur’an dan Alhadits. HIsab imkaanurru’yat sekarang sudah sedemikian canggih dalam memperkirakan penampakan hilal. Memang masih ada sedikit perbedaan dalam angka angkanya, tetapi perbedaan itu sangat kecil, dan menjadi tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan luasnya wilayah Indonesia yang harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam konsep wilayatul hukmi yang juga dipakai oleh Muhammadiyah.

      Demikian, semoga bermanfaat.

      Wassalam,
      Rois

  69. Pak Agus, mohon maaf saya agak terlambat memberikan tanggapan dari penjelasan Pak Agus. Karena sudah banyak diskusi yang lain, maka saya pindahkan diskusinya kesini (bagi yang ingin melihat penjelasan Pak Agus silahkan klik link berikut: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/13/membongkar-paradoks-wujudul-hilal-untuk-mendorong-semangat-tajdid-muhammadiyah/#comment-3581)

    Saya mencoba memberikan tanggapan menggunakan kacamata konsep non penampakan seperti yang dijelaskan oleh Pak Syamsul Anwar mengenai Wujudul Hilal. Kalau berbicara mengenai konsep non penampakan, maka kita berbicara tentang sesuatu yang tidak tampak atau tidak terlihat yang tentu saja berbeda dengan konsep penampakan.

    Dari beberapa alasan yang mendasari formulasi kriteria yang dijelaskan oleh Pak Agus, ada 2 alasan yang saya masih belum paham, apabila dihubungkan dengan konsep non penampakan.
    Pertama:

    … perintah rukyatul hilal dari Nabi sebagaimana yang dipahamai menurut konteks waktu (ummat yang ummi) bisa ditafsirkan sebagai bentuk perintah observasi terhadap bulan…

    Pada alasan tersebut, kata “rukyat” dan “observasi” berada dalam satu kalimat dengan kata sifat “ummi” yang menjelaskan keadaan ummat pada saat itu. Maka, kalau kita artikan kata “rukyat” sebagai melihat secara fisik (karena alasan ummat yang ummi), maka kata “observasi” juga dapat kita artikan sebagai melihat secara fisik. Sehingga alasan tersebut dapat ditulis kembali menjadi: perintah melihat hilal secara fisik (penampakan hilal) bisa ditafsirkan sebagai bentuk perintah melihat bulan secara fisik (penampakan bulan). Ini juga dijelaskan pada Buku Pedoman Hisab Muhammaidyah (kalimat awal pada hal 76). Yang saya belum paham, bagaimana alasan yang mendasar ini kemudian berubah (diterjemahkan/ditafsirkan ulang) oleh WH menjadi perintah untuk melihat bulan yang tidak tampak? Mohon maaf, bukankah ini sebuah paradoks?

    Dalam konsep penampakan, pernyataan apabila kita melihat hilal maka kita melihat bulan, dan apabila kita melihat bulan maka kita melihat hilal dapat disimpulkan sebagai pernyataan yang bernilai benar (tentunya kata “bulan” disini yang masih berhubungan dengan kata “hilal”). Kedua pernyataan tersebut didasari oleh keberadaan secara fisik dari bulan dan hilal tersebut yang dapat dilihat oleh mata. Kita dapat melihat secara langsung posisi hilal terhadap bulan (apakah diatas, dibawah atau disamping kiri dan kanan dari piringan bulan).

    Dalam konsep non penampakan, kata “terlihat” diganti menjadi kata “ada”. Sehingga pernyataan apabila kita mengetahui keberadaan hilal maka kita mengetahui keberadaan bulan, dan apabila kita mengetahui keberadaan bulan maka kita mengetahui keberadaan hilal menjadi pernyataan yang belum tentu bernilai benar. Pada saat kita mengetahui keberadaan bulan ternyata tidak selamanya kita mengetahui keberadaan hilal. Pada saat bulan di atas ufuk, adakah yang tahu dimana hilal berada? apakah di piringan atas bulan, atau di piringan bawah bulan ataukah di piringan kanan dan kiri bulan? Pada saat bulan di atas ufuk, apakah hilal juga secara pasti disimpulkan berada sama-sama di atas ufuk? Ini menurut saya yang dikritik oleh Pak Thomas dengan tulisannya beliau di blog ini.

    Alasan berikutnya mengenai ufuk, lebih memperkuat pemahaman saya bahwa kriteria ufuk digunakan WH untuk kembali kepada konsep penampakan atau konsep rukyat.

    fase paling kecil dari peredaran bulan berdasar penampakan bulan (catatan: bukan hilal), adalah ketika bulan (atau sebagaian dari bulan) sudah di atas ufuk ketika matahari tenggelam

    .
    Apabila alasan ini menggunakan konsep penampakan sebagai dasarnya, maka menggunakan ketinggian di atas ufuk saja tidak cukup. Apabila kita membaca pernyataan Pak Syamsul Anwar saat memberikan tanggapan terhadap Pak Thomas Djamaluddin mengenai tinggi 2 derajat kriteria IR(silahkan baca: Otoritas dan Kaidah Matematis: Refleksi atas Perayaan Idul Fitri 1432 H). Pada paragraf terakhir, Pak Syamsul mengatakan:

    …Parameter tunggal, seperti ketinggian saja, elongasi saja, umur bulan saja atau mukus hilal saja, sama sekali tidak akan dapat meramalkan visibilitas hilal secara lebih sahih…

    Kalau saya memahami pernyataan Pak Syamsul, dan dihubungkan dengan alasan mengenai ufuk, maka kriteria ketinggian di atas ufuk saja tidak cukup untuk dapat diartikan sebagai fase terkecil berdasarkan penampakan bulan (visibilitas bulan) secara sahih. Apabila memang berdasarkan penampakan bulan (konsep penampakan), maka perlu ada penambahan kriteria lain yang mempengaruhi penampakan tersebut, tidak hanya ufuk. Pernyataan bahwa bulan yang terlihat pasti di atas ufuk adalah benar, tetapi tidak dapat dibalik menjadi bulan yang diatas ufuk pasti terlihat, contoh: dengan menggunakan perhitungan piringan atas bulan, dan bulan berada 0.5 derajat di atas ufuk apakah dapat disimpulkan bahwa bulan terlihat secara fisik (konsep penampakan)? Kemudian yang saya kurang paham juga adalah, mengapa alasan yang menggunakan konsep penampakan dijadikan dasar kriteria konsep non penampakan? Apabila menggunakan konsep non penampakan, maka tidak perlu repot-repot lagi menggunakan kriteria ufuk, hanya cukup mengetahui apakah ijtimak sudah terjadi sebelum matahari terbenam. Karena bulan dan atau hilal sudah “wujud” dari sesaat setelah terjadinya Ijtimak.

    Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat, karena panampakan hilal sangat dipengaruhi kondisi fisik atmosfer ketika observasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk jauh-jauh hari. Hisab penampakan hilal terpaksa menggunakan dengan asumsi-asumsi faktor external utama ini dieliminasi dalam taraf tertentu (seperti mendefinisikan dengan kondisi cerah, meskipun belum bisa merumuskan batasan kriteria kuantitatif tertentu).

    Dari pernyataan Pak Agus tersebut, dapat disimpulkan pentingnya kesepakatan yang benar-benar disepakati bersama. Apakah sistem waktu (konsep waktu 24 jam dalam satu hari) yang selama ini kita gunakan ini juga akurat? ternyata tidak. Ada selalu penyesuaian antara putaran bumi dan pergerakan semu matahari yang terkenal dengan istilah “leap second”, dan ini berdasarakna kesepakatan bersama. Menariknya nanti bulan januari 2012 akan ada pertemuan membahas tentang penghapusan “leap second” ini, silahkan baca tautannya:
    http://en.wikipedia.org/wiki/Leap_second
    http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/nature/7805534.stm
    http://www.bbc.co.uk/news/science-environment-15546124
    http://www.bipm.org/utils/en/pdf/Press_Release_UTC_21st_century.pdf
    http://www.bipm.org/utils/en/pdf/Press_Release_UTC_13October.pdf

    Begitu juga dengan sitem penanggalan masehi yang juga berdasarkan kesepakatan seperti yang telah dijelaskan oleh Pak Thomas dalam tulisannya: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/28/kesepakatan-garis-tanggal-mutlak-diperlukan-untuk-mewujudkan-kalender-global/

    Negara terakhir yang akan merubah batas tanggalnya adalah Samoa, dimana mulai tanggal 29 Desember 2011 ini Samoa yang berada di sebelah timur dari garis batas tanggal internasioanl akan merubah posisinya menjadi berada (kembali) di sebelah barat dari garis tersebut (http://www.bbc.co.uk/news/business-13330592 dan http://www.bbc.co.uk/news/world-13334229). Yang perlu digaris bawahi adalah, perubahan itu tidak menjadi masalah karena wilayah yang berada dalam satu kesatuan hukum (batas kedaulatan suatu negara) mempunyai satu tanggal dan satu ketetapan. Bagaimana apabila di Samoa ada yang tidak setuju terhadap perubahan tersebut dan tetap menggunakan sistem yang lama sehingga ada dua tanggal yang diakui, apakah tidak menambah bingung masyarakat Samoa. Sehingga disinilah pentingnya satu kesepakatan bersama dan mohon maaf kalau saya simpulkan menjadi pentingnya mengikuti keputusan pemerintah (yang tentunya setelah disepakati dalam musyawarah bersama).

    Hanya saja, dalam kasus ketinggian hilal rendah, ada kemungkinan mata tidak bisa mendeteksi keberadaan cahaya hilal ini dikarenakan cahaya senja. Dengan landasan hukum yang sama, ketika hilal tidak terlihat oleh mata, hilal bisa dianggap telah ada karena memang sudah ada di atas ufuk.

    Kembali kita coba memahami parameter terihatnya hilal. Terlihatnya hilal dipengaruhi oleh parameter tetap dan parameter tidak tetap. Parameter tetap itu adalah parameter yang selalu ada dimanapun kita mencoba melihat hilal (tentunya masih dalam batas di permukaan bumi). Parameter tidak tetap adalah parameter yang tidak selalu ada. Parameter tetap adalah: ufuk dan hamburan cahaya matahari di atmosfer pada senja hari (cahaya senja). Dimanapun kita melakukan observasi hilal, maka kedua parameter ini selalu ada, sehingga tidak pernah dapat dilepaskan.

    Parameter tidak tetap ini banyak sekali: bisa berupa kondisi si pengamat itu sendiri, misalnya kondisi mata pengamat, posisi pengamat saat melakukan pengamatan (dalam ruangan atau di luar ruangan), kondisi lingkungan disekitar pengamat saat melakukan pengamatan (apakah banyak cahaya (di kota) atau sedikit cahaya) atau kondisi alamiah berupa polusi udara dan keberadaan awan. Disinilah pentingnya database rukyat yang diketahui, sehingga dapat dibuat permodelan untuk mengeliminir pengaruh dari parameter tidak tetap ini. Inilah yang mungkin dimaksud sebagai rukyat jangka panjang menurut Pak Thomas.

    Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksi dari Pak Agus.

    • Pak Syarif,

      Saya mencoba memberi komentar yang ringkas.
      Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk. Ini tidak bertolak belakang ataupun kontradiksi, karena fase terkecil adalah ketika bulan secara teoritis sudah dalam kriteria yang sama dan secara logis didefinisikan sebagai kondisi yang mendahului kondisi dimana bulan benar-benar bisa dilihat dengan mata. (Untuk mudahnya, bayangkan kondisi imajiner berikut: anggap di bulan dipasang alat yang memancarkan cahaya super terang ke bumi, maka bulan tersebut akan terlihat dari bumi ketika matahari tenggelam ketika sudah di atas ufuk). Konsep ini tidak terkait dengan visibilitas hilal yang mengharuskan cahaya matahari dipantulkan oleh bulan agar terdeteksi oleh mata manusia. Saya membedakan penampakan bulan dengan penampakan hilal karena konsepnya memang berbeda. Jadi, fase terkecil ini memang tidak membutuhkan penampakan hilal.

      Saya selalu menghormati kesepakatan yang diambil dengan alasan logis dan berdasar asas manfaat. Saya tidak tahu mengapa leap second perlu disebut oleh Pak Syarif di sini. Saya juga pernah menyinggung leap second ini (dengan menyebut 86400+1 detik) ketika membahas permasalahan kalender Hijriyah yang mempunyai panjang hari yang berbeda-beda. Kalender Gregorian adalah kalender solar berdasarkan kesepakatan, toh saya masih sering menyebut kalau kalender ini masih lebih baik dari pada kalender “global” versi Pak Djamaluddin sebagai kalender sipil. Saya kurang bisa memberi apresiasi dari “kesepakatan” imkanu rukyat yang dilontarkan Pak Djamaluddin yang tujuannya sebatas untuk menghilangkan perbedaan, bukan sebagai manifestasi pencariani formulasi yang terbaik.

      Saya kira hamburan cahaya juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, jadi dalam taraf tertentu juga parameter tidak tetap. Sebagai contohnya, observasi crescent dari daerah tinggi (atmosfer tipis) dilaporkan lebih mudah dilakukan dibanding dari permukaan laut. Ngomong-ngomong, apakah data dari semua faktor-faktor tidak tetap tersebut sudah masuk dalam database rukyat yang pak Syarif sebutkan? Saya tidak melihat data seperti ini dari situs ICOP.

      • Sepertinya Pak Agus semakin “terpojok” dalam diskusi ini. Salut buat Pak Syarif yang sabar meladeni Pak Agus dan menunjukkan kerancuan argumentasi beliau. Semoga Pak Agus menyadari hal ini.

        Tetapi, melihat beberapa pernyataan Pak Agus yang menunjukkan lemahnya adab pencari ilmu seperti menyebut Prof. Thomas (yang seorang Profesor Astronomi di LAPAN dan praktisi di badan HIsab rukyat Departemen Agama) sebagai “ignorant bergelar profesor”, rasa rasanya terlalu sulit bagi Pak Agus menerima penjelasan dari Pak Syarif yang notabene masih sama sama pembelajar seperti Pak Agus. .

        Salut juga saya sampaikan kepada Prof. Thomas yang masih sabar menjawab pertanyaan pertanyaan Pak Agus dan berkenan sharing ilmu dan pemahaman dengan Pak Agus, meskipun Pak Agus sudah menyebut Prof. Thomas sebagai “ignorant bergelar profesor”. Kalau saya jadi Prof. Thomas, barangkali saya tidak akan meladeni atau menjawab pertanyaan dari orang yang tidak tahu dan tidak punya adab sebagai pencari ilmu semacam kelakuan Pak Agus tsb. : merendahkan derajat orang berilmu ketika Allah sendiri menyatakan bhw Allah mengangkat derajat orang berilmu.

        Mudah mudahan Allah mengampuni dan menunjuki Pak Agus. Amiin.

        Demikian komentar dari saya, semoga bermanfaat.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois,

        Saya tidak merasa terpojok. Saya hanya merasa tidak perlu memberi jawaban terhadap argumentasi yang saya simpulkan tidak berhubungan (seperti mengenai leap second yang sebenarnya sebatas pengetahuan umum). Saya selalu menghormati pendapat orang lain, ketika pendapat itu disampaikan secara logis dan argumentasi yang kuat, yang disertai dengan kejujuran dan itikad baik dalam berdiskusi. Saya melihat bahwa banyak yang berargumentasi hanya untuk mencari kesalahan wujudul hilal dalam pola fikir statis tertentu yang dilandasi keyakinan atas kebenaran penafsiran terhadap teks (Qur’an dan Hadits), bukan untuk mengerti dan memahami argumentasi dan cara berpikir yang melandasi konsep wujudul hilal. Terus terang dari pertama saya bukan dalam posisi untuk membela wujudul hilal (saya kira cukup jelas dari komentar-komentar saya), saya hanya berharap orang mengeluarkan informasi dan pendapat secara objektif dan jujur, apalagi ketika pendapat itu dikeluarkan oleh seorang pejabat publik (dalam kapasitas anggota Badan Hisab Rukyat di Kementerian Agama) dan ditujukan untuk masyarakat luas.

        Kalau Pak Rois melihat semua komentar saya di blog ini, saya selalu berusaha untuk objektif mengeluarkan agumentasi terhadap isi tulisan. Terakhir terpaksa memberi label kepada Pak Djamaluddin karena saya melihat dengan jelas bagaimana Pak Djamaluddin kurang jujur dan tidak adil dalam mengemukakan informasi. Maksud dari segala tulisan Pak Djamaluddin juga bertambah terang dengan beberapa tulisan yang sama sekali tidak ilmiah dan hanya berisi spekulasi. Pak Djamaluddin memang menjawab beberapa komentar saya, tapi coba lihat lagi: hampir selalu Pak Djamaluddin menjawab bukan dengan jawaban, dan selalu menghindar dari substansi pertanyaan saya dengan membelokkan ke permasalahan lain. Saya pun terpaksa mengulang pertanyaan saya hanya untuk mendapat jawaban yang ternyata tetap saja tidak pernah eksplisit. Kembali saya tidak melihat kejujuran dari sikap ini. Saya menyerahkan kembali kepada Pak Rois untuk menilai siapa yang berakhlak lebih baik dalam kasus-kasus seperti ini.

      • Pak Rois,

        Ada satu yang kelupaan: saya mengucapkan terima kasih atas doa Pak Rois untuk saya. Saya yakin Allah akan membalas dengan adil sesuai dengan apa telah yang kita lakukan.

      • Terima kasih, Pak Agus atas tanggapan Bapak untuk komentar saya.

        Alhamdulillah kalau Pak Agus tidak merasa terpojok. Lha wong “terpojok” itu cuma penafsiran saya thd materi diskusi Pak Agus dengan Pak Syarif. Belum tentu penafsiran saya sama dengan orang lain, apalagi dengan Pak Agus. Tetapi saya sudah berusaha seobyektif mungkin dalam penilaian saya tersebut, persis seperti ajakan dan klaim Pak Agus mengenai obyektifitas dalam menilai pendapat. Point saya adalah: sebuah penilaian yang menurut kita sudah “obyektif” ternyata bisa jadi masih “subyektif” menurut orang lain.

        Saya melihat, memang Pak Agus ini cukup cermat dalam berdikusi. Bahkan ada satu pemahaman yang saya juga sependapat dengan Pak Agus, yaitu mengenai pemahaman bhw WH memang tidak lagi menghisab hilal dalam pengertian “bulan sabit”.

        Akan tetapi sepertinya Pak Agus lupa bahwa pemahaman seperti itu baru sebatas pemahaman dari saya dan Pak Agus, yang berasal dari sumber sumber yang masih sangat terbatas mengenai WH. Dan tidak mesti bhw semua orang memiliki tafsir atau pemahaman yang sama terhadap wujudul hilal. Apalagi, seperti yang telah kita ketahui bersama, masih ada banyak kerancuan penggunaan istilah hilal dari Muhammadiyah sendiri; contohnya adalah: apa yang di maklumat PP disebut “tinggi hilal” ternyata di buku pedoman hisab Muhammadiyah adalah “tinggi rembulan”. Sampai sampai pak Agus pun terang terangan mengusulkan penggantian “wujudul hilal” menjadi “wujudul qomar”.

        Hingga saat ini, saya masih memahami bhw WH memang betul betul tidak lagi menghisab hilal. Akan tetapi, saya tidak menampik fakta bhw ada pemahaman bhw WH sebenarnya bermula dari upaya menghisab hilal tetapi berhenti pada kriteria yang sangat sederhana; seperti yang difahami oleh Prof. Thomas.

        Berbeda penafsiran adalah hal yang wajar; akan tetapi melabeli orang lain yang memiliki penafsiran berbeda dari penafsiran kita sebagai “ignorant bergelar profesor”, saya kira itu sudah melewati batas. Apalagi masih ditambah lagi dengan tuduhan tuduhan lain seperti: tidak jujur, tidak objektif, tidak ilmiah, dst. Siapa sih kita ini ?

        Sehingga, yang saya maksud dengan “semoga Allah mengampuni dan menunjuki Pak Agus” itu adalah dalam konteks perbedaan penafsiran yang kemudian meloncat menjadi penghakiman dan labelisasi personal kepada kawan diskusi seperti yang Pak Agus lakukan; dan bukan pada materi diskusinya.

        Mengenai materi diskusi berkenaan dengan pemahaman hakekat wujudul hilal, sekali lagi mari kita konfirmasikan kepada PP Muhammadiyah untuk menjawabnya; apakah benar bhw wujudul hilal tidak menghisab hilal; ataukah WH sebenarnya secara historis adalah upaya menghisab hilal tetapi berhenti pada kriteria yang masih sederhana; sebagaimana yang kita dapati di beberapa artikel ilmiah.

        Demikian, semoga nasehat saya bisa diterima dengan baik.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois,

        Sampai sampai pak Agus pun terang terangan mengusulkan penggantian “wujudul hilal” menjadi “wujudul qomar”.

        Saya tidak pernah mengusulkannya. Saya hanya menyarankan untuk pihak yang keberatan terhadap penggunaan kata hilal dalam istilah wujudul hilal untuk menyebutnya wujudul qomar, asal masih mengacu ke definisi yang sama.

        Berbeda penafsiran adalah hal yang wajar; akan tetapi melabeli orang lain yang memiliki penafsiran berbeda dari penafsiran kita sebagai “ignorant bergelar profesor”, saya kira itu sudah melewati batas.

        Saya selalu menganggap penempelan atribut ke seseorang (ada alasan atau tidak) adalah melewati batas. Penempelan atribut yang saya lakukan sepertinya memang di bawah standar etika yang selalu ingin saya jaga. Hanya saja standar etika yang dipertontonkan oleh Pak Djamaluddin yang salah satunya terlihat dalam tulisan “Lokakarya Kriteria Awal Bulan: Perwakilan Ormas Islam Bersepakat” dengan reaksinya terhadap permintaan ralat dari Pak Susiknan dalam penilaian saya masih lebih rendah. Memang standar etika bisa bersifat subjektif, tapi saya benar-benar tidak menyangka ada dalam level yang seperti ini.

        Apalagi masih ditambah lagi dengan tuduhan tuduhan lain seperti: tidak jujur, tidak objektif, tidak ilmiah, dst. Siapa sih kita ini ?

        Silakan baca lagi dan komentari tulisan Pak Djamaluddin di bawah ini, bagian mana yang Pak Rois anggap bernilai ilmiah dan objektif?
        – Muhammadiyah Mulai Meninggalkan Wujudul Hilal
        – Memaknai Refleksi “Tahun Penuh Dusta” dalam Konteks Internal Muhammadiyah untuk Menuju Kehidupan Berbangsa yang Lebih Baik

        Saya adalah manusia biasa, sama seperti Pak Rois dan Pak Djamaluddin tentunya. Menilai diri sendiri secara subjektif, saya percaya bahwa saya mempunyai kekuatan logika jauh lebih kuat dibanding rata-rata orang Indonesia, yang saya kira juga berlaku untuk Pak Djamaluddin tentunya. Sejauh yang saya sadari, saya melakukan apa yang saya anggap sebagai sebuah kebaikan dengan mengeluarkan argumentasi logis terhadap tulisan Pak Djamaluddin dengan harapan adanya diskusi yang lebih objektif dan seimbang.

        Mengenai materi diskusi berkenaan dengan pemahaman hakekat wujudul hilal, sekali lagi mari kita konfirmasikan kepada PP Muhammadiyah untuk menjawabnya; apakah benar bhw wujudul hilal tidak menghisab hilal; ataukah WH sebenarnya secara historis adalah upaya menghisab hilal tetapi berhenti pada kriteria yang masih sederhana; sebagaimana yang kita dapati di beberapa artikel ilmiah.

        Terlepas dari bagaimana pemahaman wujudul hilal yang “paling benar” seperti yang Pak Rois ingin pastikan, sebenarnya ada bagian yang sudah terkonfirmasi dengan jelas: bahwa menilai wujudul hilal dari sudut pandang visibilitas hilal adalah sebuah kesalahan (lihat pernyataan Pak Susiknan yang saya kutipkan di komentar sebelumnya). Hanya saja, sampai sekarang Pak Djamaluddin masih tetap melakukan hal ini seperti dalam tulisan “Membongkar Paradoks Wujudul Hilal untuk Mendorong Semangat Tajdid Muhammadiyah” ini. Pertanyaan saya, apa alasannya? Ketidakmampuan saya untuk memberi kemungkinan jawaban yang logis memaksa saya untuk memberi toleransi tipe kemungkinan jawaban yang lain.

      • Pak Agus, insya Allah komentar saya ini akan menjadi komentar terakhir dari saya. Saya merasa sudah kehabisan kata kata untuk menasehati Pak Agus.

        Saya melihat, Pak Agus ini sepertinya telah “tertipu” dengan diri Pak Agus sendiri. Pak Agus terlalu percaya diri dengan logika yang sekarang ini ada di kepala Pak Agus, yang Pak Agus yakini lebih kuat daripada logika yang dimiliki oleh “orang orang berbakat dari dalam dan luar negeri” yang pernah Pak Agus temui, dan lebih tinggi dari logika “rata rata orang Indonesia”.

        Disamping itu, Pak Agus tampaknya lupa bhw ilmu itu sangat luas. Tidak mungkin seseorang mampu memahami banyak disiplin ilmu secara mendalam. Karena itulah kita mempunyai terminologi “kepakaran” atau “expertise”. DI dalam dunia ilmu pengetahuan, expertise atau kepakaran itu bukan merupakan klaim individu, melainkan pengakuan dari institusi yang berwenang yang biasanya berisi kumpulan para pakar di bidangnya.

        Pak Agus tidak memandang Prof. Thomas dalam framework kepakaran tsb, dan tidak pula memposisikan beliau dalam kapasitas “narasumber” dalam berdiskusi di “rumah” beliau ini. Sebaliknya, Pak Agus secara sarkastik telah menyebut beliau dengan “ignoran bergelar Profesor”; sebuah sebutan yang bukan hanya merendahkan beliau, tetapi merendahkan pula institusi yang memberikan gelar Profesor kepada beliau.

        Padahal, dari sisi materi diskusi di blog beliau ini, ternyata bukan hanya cara pandang Pak Agus mengenai wujudul hilal berbeda dari cara pandang Prof. Thomas, tetapi berbeda pula dari cara pandang rekan lain seperti Pak Syarif dan Pak Prasojo. Dan kalau saja Pak Agus bersedia meluangkan waktu untuk search di internet, Pak Agus akan menemukan banyak literatur yang menunjukkan bhw hisab wujudul hilal sesungguhnya bermula dari hisab terhadap hilal, atau dikategorikan dlm kelompok hisab thd hilal.

        Akan tetapi rupa rupanya Pak Agus telah “gelap mata”. Nasehat saya yang saya sampaikan agar tidak melakukan klaim kebenaran atas pemahaman atau cara pandang mengenai wujudul hilal ternyata tidak bisa ditangkap dengan jernih oleh Pak Agus, karena tampaknya ada semacam “sumbat” di kepala Pak Agus.

        Di satu sisi Pak Agus memuji diri sendiri dengan logika yang Pak Agus miliiki yang Pak Agus yakini “lebih kuat daripada logika yang dimiliki orang orang berbakat dari dalam dan luar negeri”; dan di sisi yang lain Pak Agus merendahkan Prof. Thomas dengan sebutan “ignoran bergelar profesor”. Itulah tampaknya “sumbat” yang menghalangi sampainya nasehat dari saya.

        Atau, barangkali saya yang terlalu banyak dosa dan maksiat sehingga nasehat saya tidak mempan dan tidak sampai ke tujuan ?

        Semoga Allah menunjuki kita semua dan mengampuni kesalahan kita.

        Salam,
        Rois

      • Pak Rois,

        Maafkan saya kalau ternyata Pak Rois menemukan saya sebagai seorang kawan diskusi yang tidak mudah mengikuti nasehat Pak Rois. Memang keyakinan tidak gampang untuk diubah tanpa alasan kuat yang bisa meruntuhkan fondasi keyakinan itu sendiri.

        Meskipun Pak Rois sudah mengatakan bahwa komentar di atas adalah komentar terakhir (mungkin dalam maksud komentar Pak Rois terakhir terhadap tulisan saya), saya masih membutuhkan Pak Rois meralat pernyataan di bawah ini:

        … yang Pak Agus yakini lebih kuat daripada logika yang dimiliki oleh “orang orang berbakat dari dalam dan luar negeri” yang pernah Pak Agus temui

        Saya tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Yang pernah saya tuliskan adalah: “Saya mempunyai dasar logika yang cukup kuat, termasuk ketika dibandingkan dengan orang-orang berbakat yang pernah saya temui dari dalam maupun luar negri”. Tidak ada kata “lebih kuat” dalam kalimat disini. Bagi saya Itu adalah dua hal yang sangat berbeda: saya mengemukakan kompetensi, bukan superioritas. Karenanya saya memohon Pak Rois meralat pernyataan di atas.

        Akan tetapi rupa rupanya Pak Agus telah “gelap mata”. Nasehat saya yang saya sampaikan agar tidak melakukan klaim kebenaran atas pemahaman atau cara pandang mengenai wujudul hilal ternyata tidak bisa ditangkap dengan jernih oleh Pak Agus, karena tampaknya ada semacam “sumbat” di kepala Pak Agus.

        Saya tidak sedang mengklaim kebenaran pemahaman saya. Saya hanya meminta pihak yang mengartikan wujudul hilal yang berbeda untuk menunjukkan referensi yang bisa mendukung pemahaman ini, sebelum sampai ke kesimpulan kuno, usang, dan paradoks. Tidak hanya sekedar “itu apa yang dijelaskan oleh Pak Djamaluddin”, apalagi ketika orang-orang yang seharusnya menjadi orang-orang pertama yang menjelaskan tentang wujudul hilal telah menyatakan ketidaksetujuan terhadap cara pandang Pak Djamaluddin dalam perumusan kritikannya. Sekali lagi saya selalu menghormati pendapat orang lain, ketika pendapat itu didukung oleh argumentasi yang logis. Untuk urusan keyakinan, saya yakin mempunyai toleransi lebih, termasuk terhadap perbedaan iman/agama.

        Dan kalau saja Pak Agus bersedia meluangkan waktu untuk search di internet, Pak Agus akan menemukan banyak literatur yang menunjukkan bhw hisab wujudul hilal sesungguhnya bermula dari hisab terhadap hilal, atau dikategorikan dlm kelompok hisab thd hilal.

        Saya telah meluangkan banyak waktu untuk mengumpulkan banyak informasi, yang mungkin juah lebih lama dari yang Pak Rois bayangkan. Sayangnya banyak literatur yang ingin saya pelajari tidak dalam media elektronik (dan saya tidak bisa akses lewat hard copy karena tidak tinggal di Indonesia). Hanya saja, saya tidak menemukan “banyak literatur” di internet yang berbicara tentang wujudul hilal yang mendukung pernyataan Pak Rois. Saya justru menemukan bahwa hisab dalam konsep wujudul hilal tidak begitu berubah sejak Saadoe’ddin Djambek menelorkannya, yaitu menghisab posisi piringan atas bulan sebagai manifestasi “hilal yang wujud”. Sekali lagi hilal dalam wujudul hilal tidak selalu mengacu kepada hilal yang mungkin menjadi pemahaman satu-satunya “yang paling benar” menurut Pak Rois. Contohnya ini:
        http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/Pengajian%20Ramadhan%201432H/Oman%20Faturrahman.pdf
        Yang menarik tulisan di atas juga menyebut juga wiladatul hilal (dalam referensi lain diartikan sebagasi “lahirnya hilal di langit”), yang menurut saya adalah konsep yang lebih dekat dengan apa yang kebanyakan orang anggap sebagai pengertian dari wujudul hilal. Tapi terserah Pak Rois untuk mengambil kesimpulan.

      • Terima kasih Pak Agus atas klarifikasinya mengenai logika yang “cukup kuat” dan “lebih kuat”.

        Salam,
        Rois

    • Pak Agus terima kasih atas tanggapannya.

      Mohon maaf untuk Pak Rois, saya juga kurang sependapat dengan kata “terpojok”, kesannya seperti ada yang kalah dan ada yang menang. Mungkin diskusi saya dengan Pak Agus hanya masalah perbedaan persepsi saja terhadap pemahaman mengenai WH. Mohon maaf yah Pak Rois.

      Saya coba untuk menanggapi kembali yah Pak Agus. Saya coba cuplik kalimat Pak Agus berikut ini:

      Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk. Ini tidak bertolak belakang ataupun kontradiksi, karena fase terkecil adalah ketika bulan secara teoritis sudah dalam kriteria yang sama dan secara logis didefinisikan sebagai kondisi yang mendahului kondisi dimana bulan benar-benar bisa dilihat dengan mata. (Untuk mudahnya, bayangkan kondisi imajiner berikut: anggap di bulan dipasang alat yang memancarkan cahaya super terang ke bumi, maka bulan tersebut akan terlihat dari bumi ketika matahari tenggelam ketika sudah di atas ufuk).

      Terus terang saya masih belum berhasil memahami pendapat Pak Agus tersebut. Apakah pendapat ini berdasarkan pemahaman dalam kacamata bahasa prolepsis? ataukah konsep non penampakan? ataukah konsep astronomi? Karena pada awal paragraf tersebut dikatakan “Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk”. Kalimat ini yang membingungkan saya, mengapa penampakan itu tidak terlihat?

      Saya mencoba melihat dari kacamata astronomi yang saya pahami (mohon koreksinya). Dalam atronomi, pergerakan bulan itu adalah terbit dari ufuk timur dan terbenam di ufuk barat. Karena perubahan posisi gerak bumi, maka akan selalu terjadi perubahan posisi pergerakan bulan sedikit ke arah utara atau selatan, tetapi TIDAK PERNAH berubah menjadi terbit dari barat dan terbenam di timur. Sehingga dari pemahaman tersebut, maka saat setelah terjadi konjungsi, posisi matahari dan bulan sama-sama bergerak ke arah ufuk barat dan terbenam ke bawah ufuk barat. Sehingga pada saat matahari terbenam, tidak ada kata “sudah” di atas ufuk bagi bulan, tetapi menjadi “masih” di atas ufuk. Apabila konjungsi dan ufuk menjadi batas pergerakan bulan, maka fase terkecil dari penampakan bulan adalah sesaat setelah terjadinya konjungsi (apabila saat konjungsi dianggap bulan tidak terlihat ) dan bukan karena sudah di atas ufuk. Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah juga mengatakan hal ini pada hal 80-81:

      Pada posisi akhir saat Bulan dapat terlihat dari bumi terakhir kali, Bulan kelihatan seperti tandan tua … sebelum menghilang dari penglihatan. Kemudian dalam perjalanan itu Bulan menghilang dari penglihatan dan dari astronomi diketahui bahwa pada saat itu Bulan melintas anatara matahari dan bumi … adalah apa yang disebut ijtimak (konjungsi).

      Jadi jangan disamakan kondisi terbitnya bulan dengan saat terbenamnya bulan. Karena kita sedang berdiskusi mengenai awal bulan qomariyah yang ditandai dengan terbenamnya matahari setelah sebelumnya terjadi konjungsi, maka pada saat tersebut bulan sedang dalam posisi akan terbenam. Sehingga pada kondisi ini, pernyataan “Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk.” menjadi kontradiksi. Mohon koreksi dari Pak Agus.

      Mengenai mengapa saya membawa-bawa “leap second” dalam diskusi, ini untuk menanggapi pernyataan Pak Agus dalam penjelasan sebelumnya diamana dikatakan “Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat“. Karena kita sedang membahas masalah waktu, maka saya mencoba memberikan sebuah analogi bahkan waktu itu sendiripun tidak akurat, sehingga para ahli “terpaksa” menggunakan “leap second” (kalau tidak salah) setiap 4 tahun sekali (yang terakhir adalah tahun 2008), artinya saat ini terjadi ketidak akuratan antara waktu yang didasari oleh pergerakan bumi dan waktu yang didasari oleh pergerakan semu matahari.

      Menurut pemahaman saya, masalah keakuratan dalam hal waktu adalah sesuatu yang relatif. Contohnya waktu yang sekarang kita gunakan dan kita anggap akurat ternyata tidak akurat (masalah leap second), singapura dan jakarta yang berada pada posisi garis lintang yang sama ternyata tidak memiliki zona waktu yang sama, china yang harusnya memiliki 5 zona waktu hanya memiliki satu zona waktu (saya kurang tahu bagaimana mereka menghitung jam secara akurat di china). Masalah keakuratan tersebut tertutupi oleh adanya kesepakatan. Semua sepakat bahwa waktu ditambah satu detik setiap empat tahun sekali, sehingga menjadi akurat. Perbedaan waktu antara singapura dan jakarta, bahkan zona waktu di china serta perubahan waktu terbaru di samoa sudah dikabarkan ke seluruh dunia, sehingga kembali disepakati untuk melakukan penyesuaian, sehingga dapat menjadi akurat. Sehingga kembali intinya adalah kesepakatan bersama.

      Sekarang ini (mungkin) banyak orang yang menggunakan fasilitas software semisal software athan yang dikeluarkan oleh islamicfinder untuk mengetahui waktu sholat. Untuk kita yang di Indonesia, mungkin tidak menjadi masalah karena azan dari software terebut bisa langsung di validasi dengan azan yang berasal dari masjid-masjid yang tersebar di Indonesia. Bagaimana dengan saudara kita yang tinggal di negara non muslim. Apakah mereka akan menerima langsung begitu saja yang keluar dari software tersebut? berikut ini tautan cara perhitungan waktu sholat di islamic finder: http://bit.ly/tklVJl . Pertanyaan saya, manakah metode perhitungan yang harus kita ambil, apabila kita berada di luar negeri dan tidak ada mesjid, hanya software tersebut yang kita gunakan untuk mengetahui waktu sholat? Saya pernah mendapat kabar pengalaman dari teman di Eropa, bahkan pernah terjadi perbedaan sekitar 5 menit antara waktu di software dengan waktu yang diberikan oleh mesjid terdekat. Kembali manakah yang dapat dikatakan akurat? Apabila kemudian disepakati bahwa perhitungan mesjid tersebut yang diambil maka kesepakatannya adalah perhitungan dari mesjid tersebut lebih akurat dari perhitungan software. Dengan contoh leap second, zona waktu dan perhitungan waktu sholat saya hanya ingin menunjukan bahwa akurat itu relatif dan dapat diambil berdasarkan suatu kesepakatan bersama. Ini menjadi menarik karena pada tahun depan (Januari 2012) akan ada pembahasan untuk menghapus ‘leap second” tersebut. Apabila sudah tidak ada lagi penyesuaian tersebut, maka apakah waktu sholat kita yang berdasarkan hisab sudah bisa tepat dengan waktu pergerakan matahari? Mohon maaf mungkin pertanyaan ini sudah diluar dari konteks diskusi, tetapi menjadi menarik untuk dapat kita pikirkan bersama (ini hanya pemahaman saya).

      Mengenai hamburan cahaya pada saat matahari terbenam, walaupun lokasi berpindah dari pantai ke pegunungan tetap saja cahaya senja yang berasal dari matahari tidak akan menghilang. Apakah menurut Pak Agus, kalau observasi dari pegunungan, maka cahaya senja yang selalu ada di sore hari akan hilang sama sekali? Apabila memang demikian, maka teori hamburan rayleigh (Rayleigh Scattering) sudah tidak berguna lagi untuk diajarkan di sekolah-sekolah, karena semakin tinggi kita berada dari permukaan bumi (masih dalam bumi) maka cahaya senja menjadi menghilang, apakah memang demikian? apakah orang dalam pesawat terbang tidak akan melihat lembayung senja di atmosfer pada sore hari?

      Kalau ingin melihat database rukyat, di situs ICOP dapat melihat tulisan Odeh, disana ada databasenya. Atau, mungkin pertanyaan Pak Agus mengarah pada parameter tidak tetap lain seperti mata manusia, lokasi pengamat dan parameter tidak tetap lain yang tidak bersifat alami? Kalau saya membagi parameter tidak tetap, maka ada 2 perameter yaitu parameter yang dapat langsung dihindari dan parameter yang dapat dimodelkan.

      Paremeter seperti kondisi mata pengamat, lokasi pengamatan (dalam ruangan atau di luar ruangan) dan kondisi lingkungan pengamatan (apakah banyak cahaya (kota) atau sedikit cahaya) adalah kondisi parameter yang langsung dapat dihindari dan dicari solusinya sehingga tidak perlu lagi dibuat databasenya. Misalnya lokasi pengamatan, tentunya tanpa dibuat database pun, untuk mengamati benda langit harus di tempat terbuka dan bukan di dalam kamar atau ruangan.

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksi dari Pak Agus.

      • Pak Syarif,

        Tidak perlu meminta maaf kalau tidak setuju dengan istilah “terpojok” (pakai tanda petik) yang saya berikan. Istilah itu semata mata saya gunakan untuk menggambarkan penilaian saya thd materi diskusi antara Pak Syarif dan Pak Agus. Meskipun bersifat subyektif, tetapi saya berusaha untuk seobyektif mungkin menilai materi diskusi atau adu argumentasi tsb, persis dengan ajakan Pak Agus selama ini.

        Saya setuju dengan Pak Syarif bhw hendaknya diskusi itu dilaksanakan bukan untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang salah. Akan tetapi hendaknya untuk mencari pendapat siapa yang benar dan pendapat siapa yang salah. Itu kalau ada dua pendapat yang nyata nyata berseberangan. Adapun jika dua pendapat itu tidak berseberangan, maka yang dicari adalah mendudukkan masing masing pendapat pada konteksnya masing masing, atau memahami cara pandang masing masing; sehingga saling bisa memahami mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat.

        Yang saya tidak setuju, dan sudah saya sampaikan di komentar saya sebelumnya, adalah ngotot mengatakan pendapat orang lain yang berbeda dari pendapat kita adalah salah; bahkan secara emosional memberikan label kepada orang lain tsb dengan labelisasi sarkastik “ignoran bergelar profesor” atau melakukan tuduhan tuduhan keji “tidak jujur”, “tidak adil”, “tidak ilmiah”, dst. seperti yang dilakukan oleh Pak Agus kepada Prof. Thomas.

        Lagi lagi, pertanyaan pertanyaan Pak Syarif di komentar terakhir menurut saya sangat jeli dan semakin membukitkan kerancuan argumentasi Pak Agus. Ini adalah penilaian saya sebagai “penonton” yang menikmati diskusi Pak Syarif dan Pak Agus. Kita tunggu saja, bagaimana pak Agus akan menjawab pertanyaan pertanyaan tsb. yang bisa jadi akan membuat keadaan menjadi terbalik: giliran (pendapat) Pak Syarif yang “terpojok” 🙂

        Silakan dilanjutkan diskusinya.

        Salam,
        Rois

      • Pak Syarif,

        Apakah pendapat ini berdasarkan pemahaman dalam kacamata bahasa prolepsis? ataukah konsep non penampakan? ataukah konsep astronomi? Karena pada awal paragraf tersebut dikatakan “Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk”. Kalimat ini yang membingungkan saya, mengapa penampakan itu tidak terlihat?

        Saya menggunakan kata penampakan sebagai apa adanya, meskipun mempunyai sedikit nuansa yang berbeda tergantung objek yang lekatkannya (mungkin ada perbedaan dengan istilah “non-penampakan” yang dipakai Pak Syamsul Anwar). Pada dasarnya saya menggunakan pengertian yang nomor 2 di bawah:

        tampak
        v 1 dapat dilihat; kelihatan; 2 memperlihatkan diri; muncul;

        pe・nam・pak・an
        n proses, cara, perbuatan menampakkan

        Dalam konteks ini, saya mengartikan fase penampakan suatu objek adalah fase pemunculan objek keluar dari kondisi terhalang/tertutup (kemudian kembali lagi ke kondisi yang terhalang). Lebih spesifiknya, untuk bulan atau hilal, kondisi bulan atau hilal di bawah ufuk (setelah matahari tenggelam) adalah kondisi yang terhalang. Sehingga fase pertama dalam penampakan bulan adalah saat pertama bulan atau sebagian bulan di atas ufuk (piringan atas bulan). Untuk kasus hilal lebih problematis mengingat terbentuknya hilal tergantung oleh sudut elongasi bulan, hanya saja parameter piringan bawah bulan sebagai syarat cukup bisa menjadi acuan pemunculan hilal (kurang lebih seperti kriteria dalam kalender Ummul Qura). Pak Syarif mungkin berargumentasi bahwa hilal sebagai cahaya masih “terhalang” oleh cahaya senja ketika hilal terlalu rendah (seperti argumentasi Pak Djamaluddin), hanya saja perlu diingat bahwa keberadaan cahaya yang lebih kuat tidak bisa menghalangi atau menutupi cahaya lain yang lebih lemah. Cahaya tidak terhalang, hanya keterbatasan kemampuan mata manusia yang tidak mendeteksi keberadaan cahaya tersebut. Dengan kata lain, cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk medeteksi adanya hilal, tetapi cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja.

        Sedang dalam konteks rukyat atau hisab imkanu rukyat, penampakan hilal ini lebih identik dengan keterlihatan hilal (crescent visibility), bahwa sebagian permukaan bulan yang mendapat sinar matahari telah dapat dideteksi oleh mata manusia.

        Sehingga pada saat matahari terbenam, tidak ada kata “sudah” di atas ufuk bagi bulan, tetapi menjadi “masih” di atas ufuk.

        Saya menggunakan kedua-duanya. Ketika penekanan ada di posisi bulan dalam dalam peredaraan yang beriringan dengan matahari setelah konjungsi dalam di hari itu, kata “masih” adalah kata paling tepat. Tetapi ketika penekanan ada di posisi bulan tepat saat matahari terbenam dalam siklus bulanannya (mulai dari bawah ufuk, kemudian keluar di atas ufuk, dengan posisi yang semakin tinggi dari maghrib ke maghrib berikutnya), kata “sudah” lebih cocok untuk mengungkapkan kondisi ini.

        Mengenai mengapa saya membawa-bawa “leap second” dalam diskusi, ini untuk menanggapi pernyataan Pak Agus dalam penjelasan sebelumnya diamana dikatakan “Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat“. Karena kita sedang membahas masalah waktu, maka saya mencoba memberikan sebuah analogi bahkan waktu itu sendiripun tidak akurat, sehingga para ahli “terpaksa” menggunakan “leap second” (kalau tidak salah) setiap 4 tahun sekali (yang terakhir adalah tahun 2008), artinya saat ini terjadi ketidak akuratan antara waktu yang didasari oleh pergerakan bumi dan waktu yang didasari oleh pergerakan semu matahari.

        Maaf, ada dua hal yang saya kira kurang tepat dalam kasus sini.
        – kalimat yang yang pak Syarif kutip diteruskan dengan “karena panampakan hilal sangat dipengaruhi kondisi fisik atmosfer ketika observasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk jauh-jauh hari”. Jadi ketidakakurat adalah dalam perkiraan apakah hilal benar-benar terlihat atau tidak (sebagai syarat rukyatul hilal), bukan masalah perhitungan keberadaan atau kekuatan cahaya hilal itu sendiri. Mengutip referensi yang Pak Syarif pernah sodorkan ke saya yang berhubungan dengan kalender Ummul Qura, penulis paper menandaskan: “Since the sighting of the new Moon is future unknown event that depends on unpredictable factors such as the weather, the presence of witnesses, and other elements, the founding of new calender on this basis is impossible” (hal. 28).
        – leap second diintroduksi justru dikarenakan keakuratan penghitungan detik sejak di definisikan sebagai satuan internasional. Karena adanya perubahan kecepatan rotasi bumi menjadikan rata-rata pajang hari semakin besar, sehingga tambahan detik kemudian dianggap perlu untuk UTC (sebagai pendekatan hitungan waktu berbasis rotasi bumi). Penambahan detik ini tidak teratur (bukan setiap 4 tahun seperti yang Pak Syarif tulis), yang kadang menjadikan beberapa permasalahan teknis dalam pemakaian UTC dan semua standar waktu yang mendasarkan ke UTC. Terutama karena dalam dunia perkomputeran, konsep waktu biasanya direpresentasikan dengan “elapsed time” terhadap satu waktu awal tertentu yang terdefinisi (“epoch”), bukan representasi langsung dari standar waktu tertentu.

        Dalam setiap perhitungan, termasuk yang terkait dengan waktu, tentu saja ada tingkat ketelitian yang mempengaruhi keakuratan hasil. Hanya saja, perbedaan standar waktu yang Pak Syarif sodorkan justru tidak berhubungan dengan ini. Standar waktu di setiap tempat biasanya disesuaikan dengan gerak semu matahari harian secara lokal (pukul 00:00 di tengah malam, dan pukul 12:00 di tengah hari). Hanya saja, standar waktu yang dipakai sebagai waktu lokal (local time) ini hanya didefinisikan sebagai offset dari standar waktu UTC. Contohnya standar Waktu Indonesia Barat adalah UTC+7, jadi pukul 00:00 UTC dan 07:00 WIB di hari yang sama mengacu ke waktu yang identik. Sedang UTC adalah offset terhadap waktu atom internasional (perbedaan hanya oleh introduksi leap second), perhitungan waktu yang diakui sangat akurat dan sangat stabil.

        Mengenai perhitungan waktu sholat dalam software Athan (saya juga memakainya), ini sebenarnya mirip dengan perbedaan kriteria dalam hisab imkanu rukyat: kriteria mana yang sebaiknya dipakai, kriteria Odeh, MABIMS, atau Kritera Hisab-Rukyat Indonesia? Meksipun saya kira penafsiran dari Qur’an dan hadits relatif sama, terdapat perbedaan ketika dirumuskan dalam parameter-parameter astronomi. Kurang lebih ini juga yang terjadi dengan perhitungan waktu sholat: parameter astronomi untuk menentukan waktu shubuh, ashar, dan isya’ bisa sedikit berbeda.

        Apakah menurut Pak Agus, kalau observasi dari pegunungan, maka cahaya senja yang selalu ada di sore hari akan hilang sama sekali?

        Saya tidak menyatakan demikian. Saya hanya mencoba mengungkapkan besarnya efek hamburan juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer. Saya tidak belajar teori hamburan atmosfer secara khusus, tapi saya kira sudah jelas kalau fenomena ini dipengaruhi oleh partikel-partikel dalam atmosfer (baik Rayleigh maupun Mie scattering). Ketika hilal sudah beberapa derajat di atas ufuk (tapi mungkin masih dibawah kriteria mudah terlihat dengan mata telanjang), observasi dari tempat dengan altitude tinggi akan memperbesar kemungkinan keterlihatan hilal karena sinar hilal melewati bagian atmosfer yang lebih tipis (intensitas dari cahaya dari hamburan sinar matahari mungkin tidak begitu berbeda, tapi efek hamburan terhadap sinar hilal menjadi lebih kecil). Mengutip laporan Odeh dari sebuah observasi hilal tanggal 4 Mei 2011, bagaimana hilal tidak tidak telihat oleh mata meskipun hilal sudah tinggi dalam langit yang cerah dikarenakan adanya “kabut yang tersembunyi”, dan kemudian menyarankan untuk observasi dari “tempat setinggi mungkin”:

        1. Seen: ICOP member Eng. Mohammad Odeh from Musaffah City in Abu Dhabi State mentioned that the sky was clear, the atmospheric condition was hazy, the crescent was not sought by naked eye, the crescent was not sought by binocular, the crescent was not seen by telescope, the crescent was seen by CCD Imaging
        Eng. Mohammad Odeh said: “Hidden haze! Yes hidden haze! It was really difficult to imagine how hazy the sky was until the Sun had set, where I was not able to see the crescent by telescope despite the fact that it had to be easily seen by naked eye! The accuracy of the telescope was tested several times by pointing it to Venus and Sirius and they were seen in the field of view! Also, the Sun itself had disappeared well before the actual sunset time! 22 trials were done by CCD imaging to see the crescent from 10 am till 06 pm. The crescent was barely visible in the 13th trial at 16:35 (LT). The elongation at that time was 13.5 degrees, Moon altitude was 43 degrees, and the Sun altitude was 30 degrees. The crescent was also visible in the 14th trial at 17:00 LT but it was more difficult to be seen than the 13th trial! The last trial in which the crescent was visible was the 15th trial at 17:09! In that trial the crescent was VERY difficult to be seen! All these trials show how critical the haze is on crescent observation! So always do you best to observe from the highest possible altitude to reduce the haze effect! Below are two photos for the crescent for the 13th trial. Kindly notice that it is the same photo with different processing settings.”

        Tentu saja saya bukan ahli astronomi, tapi dari komentar Odeh di atas saya melihat adanya kondisi atmosfer yang memang tidak mudah dideteksi oleh perukyat hilal meskipun sudah berpengalaman, kecuali ketika hasil observasi memang sangat tidak sesuai dengan apa yang diprediksi sebelumnya.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

      Berikut adalah kalimat yang menjadi diskusi kita:

      Fase bulan berdasar penampakan bulan, fase terkecil adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk

      Dari tanggapan Pak Agus tersebut, saya melihat Pak Agus telah mengakui bahwa walaupun bulan di atas ufuk, tetapi ada saatnya bulan masih tidak terlihat berdasarkan logika (konsep) penampakan. Tetapi kemudian, Pak Agus menggunakan logika bahasa untuk menjelaskan kalimat tersebut. Dikatakan bahwa kata “penampakan” pada dasarnya berarti “memperlihatkan diri” atau “muncul” (pengertian nomor 2 menurut KBBI). Lebih lanjut juga Pak Agus menambahkan bahwa kondisi tersebut adalah fase pemunculan objek dari kondisi terhalang/tertutup. Sehingga kalimat tersebut kalau boleh saya sederhanakan menjadi “Ketika bulan memperlihatkan diri face terkecilnya adalah ketika bulan tidak terlihat tapi sudah di atas ufuk”.

      Mohon maaf, dalam pemahaman saya, pernyataan “memperlihatkan diri (muncul) tetapi tidak terlihat” sepertinya hanya ada dalam cerita-cerita horor. Dan saya yakin kita tidak sedang mendiskusikan sesuatu yang supranatural disini 😀 . Saya setuju apabila dikatakan proses memperlihatkan diri adalah dari terhalang/tertutup menjadi terlihat. Tetapi kalimat Pak Agus dapat diartikan suatu proses dari terhalang ufuk, kemudian memperlihatkan diri di atas ufuk tetapi tidak terlihat, ini tentunya kontradiksi dengan kata “memperlihatkan diri” itu sendiri. Seperti dalam tanggapan Pak Agus, dikatakan bahwa “memperlihatkan diri” itu adalah “proses/cara/perbuatan menampakan” sehingga “proses/cara/perbuatan” tersebut berhubungan dengan keadaan dari tidak terlihat menjadi terlihat.

      Kemudian apa yang membuat bulan sudah di atas ufuk tetapi tidak terlihat? Pak Agus pun mengakui bahwa bulan sudah di atas ufuk tetapi tidak terlihat, tetapi kembali dengan argumentasi logika bahasa Pak Agus berpendapat:

      Untuk kasus hilal lebih problematis mengingat terbentuknya hilal tergantung oleh sudut elongasi bulan, hanya saja parameter piringan bawah bulan sebagai syarat cukup bisa menjadi acuan pemunculan hilal (kurang lebih seperti kriteria dalam kalender Ummul Qura). Pak Syarif mungkin berargumentasi bahwa hilal sebagai cahaya masih “terhalang” oleh cahaya senja ketika hilal terlalu rendah (seperti argumentasi Pak Djamaluddin), hanya saja perlu diingat bahwa keberadaan cahaya yang lebih kuat tidak bisa menghalangi atau menutupi cahaya lain yang lebih lemah. Cahaya tidak terhalang, hanya keterbatasan kemampuan mata manusia yang tidak mendeteksi keberadaan cahaya tersebut. Dengan kata lain, cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk medeteksi adanya hilal, tetapi cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja.

      Jujur saya cukup dibuat bingung dengan permainan kata-kata dari Pak Agus. Dari highlight yang saya buat, Pak Agus mengatakan bahwa “cahaya tidak bisa menghalangi” tetapi di paragraf yang sama Pak Agus juga membenarkan bahwa “cahaya dapat menghalangi”, ini yang mana yang harus saya pilih untuk ditanggapi? Tetapi saya coba menanggapi sesuai dengan pemahaman saya.

      Pertama: sepertinya Pak Agus mengartikan kata “terhalang” seperti sebuah tembok yang menghalangi mata kita untuk melihat suatu obyek. Padahal pada pernyataan pertama di awal tanggapan saya, Pak Agus mengakui bahwa fase terkecil bulan di atas ufuk tidak terlihat. Artinya ada sesuatu yang membuat bulan tersebut tidak terlihat. Dari logika bahasa mungkin benar bahwa cahaya senja tidak menghalangi cahaya hilal seperti halnya sebuah tembok yang menghalangi mata untuk melihat obyek. Tetapi dalam konsep fisika optik, pernyataan tersebut akan menjadi benar karena berarti kontras cahaya senja lebih kuat dari pada cahaya hilal. Pak Agus yang (menurut Bapak sendiri) memiliki latar belakang fisika tentunya mengetahui bahwa kata “terhalang” disana bukan dilihat berdasarkan logika bahasa tetapi dalam konteks ilmu fisika yang dipakai dalam astronomi.

      Kedua: Mari kita melihat kalimat terakhir dari paragraf Pak Agus: “Dengan kata lain, cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk medeteksi adanya hilal, tetapi cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja.”. Saya mencoba juga melihat dari logika bahasa yang digunakan Pak Agus. Saya ambil kalimat pertama dengan sedikit penyederhanaan, tentunya dengan tidak merubah artinya:

      “Cahaya senja menghalangi mata manusia” ini adalah contoh kalimat aktif, dimana subyeknya (cahaya senja) melakukan pekerjaan (menghalangi), sedangkan kalimat “cahaya hilal tidak terhalang oleh cahaya senja” adalah contoh kalimat pasif. Apabila kalimat aktif tersebut kita rubah menjadi kalimat pasif maka menjadi “mata manusia dihalangi oleh cahaya senja”. Kalau kalimat seluruhnya kita rubah menjadi kalimat pasif, maka kalimatnya akan menjadi berikut: Keberadaan cahaya hilal yang dideteksi oleh mata manusia dihalangi oleh cahaya senja, nah bila dibandingkan dengan kesimpulan Pak Agus (dalam bentuk kalimat pasif) bahwa “cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja” bukankah menjadi kontradiksi? Artinya pada paragraf yang sama Pak Agus dapat membenarkan (bahwa cahaya hilal dihalangi oleh cahaya senja) sekaligus menyalahkan (bahwa cahaya hilal tidak pernah terhalangi oleh cahaya senja)?

      Berikutnya Pak Agus berpendapat:

      Saya menggunakan kedua-duanya. Ketika penekanan ada di posisi bulan dalam dalam peredaraan yang beriringan dengan matahari setelah konjungsi dalam di hari itu, kata “masih” adalah kata paling tepat. Tetapi ketika penekanan ada di posisi bulan tepat saat matahari terbenam dalam siklus bulanannya (mulai dari bawah ufuk, kemudian keluar di atas ufuk, dengan posisi yang semakin tinggi dari maghrib ke maghrib berikutnya), kata “sudah” lebih cocok untuk mengungkapkan kondisi ini.

      Kembali Pak Agus telah berhasil membuat saya bingung dengan permainan logika kata-kata Pak Agus. Kemampuan logika saya mungkin tidak sehebat Pak Agus, jadi terus terang saya bingung mau memulai darimana. Saya berpikir kita sedang berdiskusi tentang penentuan awal bulan Qomariyah/Hijriyah, artinya topik diskusi kita berkaitan dengan waktu dari saat terjadinya konjungsi sampai dengan saat matahari terbenam di ufuk barat. Oleh karena logika saya tidak terlalu kuat, maka saya bereksperimen dengan buah jeruk (sebagai matahari) dan bola pingpong (sebagai bulan), kemudian saya letakan meja merapat dengan dinding. Dinding saya ibaratkan sebagai garis start terjadinya konjungsi dan pinggir meja adalah garis ufuk. Kemudian buah jeruk dan bola pingpong saya gerakan menjauhi dinding mengarah ke pinggir meja (mensimulasikan pergerakan matahari dan bulan setelah terjadinya konjungsi menuju garis ufuk). Menurut logika Pak Agus, maka posisi buah jeruk dan bola pingpong (keduanya) dari dinding berada pada posisi “masih” diatas pinggir meja. Kemudian saat seluruh buah jeruk melewati pinggir meja sedangkan bola pingpong belum, maka bola pingpong tersebut berubah posisinya dari “masih” di atas pinggir meja menjadi “sudah” di atas pinggir meja, ini yang saya belum paham. Saya mencoba melihat arti kata “masih” dan “sudah” menurut Kamus Besa Bahasa Indonesia (KBBI) seperti yang dicontohkan oleh Pak Agus:

      ma.sih
      [adv] (1) sedang dl keadaan belum selesai atau sedang berlangsung: pameran itu — berlangsung, baru akan ditutup seminggu lagi; pintu rumahnya — terbuka; (2) ada; tinggal; bersisa: uangnya — seribu rupiah

      su.dah
      [adv] (1) telah jadi; telah sedia; selesai: setelah — , kirimkan lekas-lekas baju itu

      Dari kedua arti tersebut, dapat dikatakan bahwa bola pingpong belum selesai dalam prosesnya dari dinding menuju pinggir meja, sehingga perubahan dari posisi “masih” menjadi posisi “sudah” sangat kontradiktif. Karena apabila dikatakan bola pingpong “sudah” berada di atas pinggir meja, maka bola pingpong tersebut telah melewati pinggir meja dan kembali ke atas pinggir meja, apakah demikian? Apakah konsep bahwa bulan “sudah” di atas ufuk berarti bulan mendahului matahari terbenam melewati ufuk (ufuk barat) terlebih dahulu, kemudian saat matahari terbenam bulan muncul kembali ke atas ufuk (di ufuk yang sama yaitu ufuk barat)? arti “sudah” di atas ufuk berati bulan memulai perjalanannya dari bawah ufuk (disebut masih di bawah ufuk) dan ini berlaku saat proses terbitnya bulan (moonrise). Apabila kita berbicara tentang bulan terbenam (moonset) maka kita berbicara tentang perjalanan bulan dari atas ufuk (masih di atas ufuk) menuju ke bawah ufuk.

      Kembali, karena diskusi kita tentang awal bulan Hijriyah, maka konteksnya adalah pergerakan matahari dan bulan saaat keduanya dalam posisi akan terbenam, atau kadang disebut moonset after sunset. Artinya pada saat matahari terbenam, maka bulan belum terbenam dan “masih” dalam proses pergerakannya menuju/melewati garis ufuk untuk terbenam.

      Berikutnya Pak Agus berpendapat:

      Saya tidak menyatakan demikian. Saya hanya mencoba mengungkapkan besarnya efek hamburan juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer. Saya tidak belajar teori hamburan atmosfer secara khusus, tapi saya kira sudah jelas kalau fenomena ini dipengaruhi oleh partikel-partikel dalam atmosfer (baik Rayleigh maupun Mie scattering). Ketika hilal sudah beberapa derajat di atas ufuk (tapi mungkin masih dibawah kriteria mudah terlihat dengan mata telanjang), observasi dari tempat dengan altitude tinggi akan memperbesar kemungkinan keterlihatan hilal karena sinar hilal melewati bagian atmosfer yang lebih tipis (intensitas dari cahaya dari hamburan sinar matahari mungkin tidak begitu berbeda, tapi efek hamburan terhadap sinar hilal menjadi lebih kecil). Mengutip laporan Odeh dari sebuah observasi hilal tanggal 4 Mei 2011, bagaimana hilal tidak tidak telihat oleh mata meskipun hilal sudah tinggi dalam langit yang cerah dikarenakan adanya “kabut yang tersembunyi”, dan kemudian menyarankan untuk observasi dari “tempat setinggi mungkin”.

      Diskusi bermula dari tanggapan Pak Agus yang menyatakan bahwa “Hamburan cahaya juga dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, jadi dalam taraf tertentu juga parameter tidak tetap”. Hamburan Rayleigh memang dipengaruhi oleh partikel-partikel di atmosfer. Hamburan inilah yang mengakibatkan mengapa langit berwarna biru di siang hari dan berwarna merah kekuningan pada pagi dan sore hari (dalam kondisi langit yang cerah). Apabila tidak ada atmosfer, maka langit akan berwarna hitam pada saat siang hari maupun malam hari karena tidak ada cahaya matahari yang dihamburkan disana. Jadi jelas kalau Hamburan rayleigh adalah jenis hamburan yang termasuk dalam parameter tetap, dimana contohnya adalah cahaya senja.

      Kemudian Pak Agus menyebutkan salah satu bentuk fenomena atmosfer yaitu kabut, walaupun dalam artikel aslinya di sebut haze. Karena nanti akan ada perbedaan antara haze, fog, smoke, mist, cloud, dll yang termasuk dalam kategori yang mempengaruhi kecerahan udara/langit menurut WMO (The World Meteorological Organization). Fenomena ini adalah parameter yang tidak tetap, karena tidak semua tempat mengalami haze, fog, smoke, mist atau cloud. Bedakan dengan fenomena hamburan cahaya senja yang AKAN SELALU ditemui dimana saja kita melakukan observasi kecuali apabila bumi tidak memiliki atmosfer. Haze hanya akan memperbesar tingkat kesulitan dalam melihat kontras cahaya hilal saat matahari terbenam karena cahaya yang sudah di hamburkan akan dihamburkan kembali oleh haze, sama halnya dengan awan yang menghalangi sama sekali cahaya yang menuju ke mata. Tetapi, pengaruh dari cahaya senja tetaplah ada. Pengaruh cahaya senja ini hanya akan dapat dihilangkan apabila kita dapat membedakan antara kontras cahaya hilal dengan kontras cahaya senja. Karena ini adalah proses optik dalam panjang gelombang visible, apabila cahaya hilal memiliki panjang gelombang yang relatif sama dengan panjang gelombang di sekitarnya, maka sangat sulit membedakan kontras tersebut. Selain itu, faktor cahaya senja yang kadang masih menyilaukan menambah sulit untuk membedakan kontras tersebut.

      Mengenai “leap second” dan software athan, tadinya saya berpikir Pak Agus menyamakan seluruh ilmu hisab (termasuk WH dan IR) yang sudah maju, tetapi sepertinya kesalahan saya, ternyata yang dimaksud adalah ilmu hisab IR untuk memperkirakan penampakan hilal yang tidak mungkin akurat. Dengan kata lain, maksud Pak Agus ilmu hisab WH yang memperhitungkan keberadaan bulan sudah akurat. Kemudian apabila dalam perhitungan WH tersebut secara akurat diketahui ternyata garis 0 derajat di bawah ufuk membelah Indonesia menjadi 2 dimana pulau kalimantan, jawa dan sumatera telah berada pada wilayah bulan yang di atas ufuk, sedangkan di pulau sulawesi, maluku dan papua posisi bulan masih di bawah ufuk, apa pengaruh keakuratan perhitungan tersebut terhadap ketetapan awal bulan Hijriyah? Apabila mengikuti prinsip keakuratan, maka yang memulai bulan baru hanya kalimantan, jawa dan sumatera saja. Tetapi karena ada kesepakatan lain, mengenai wilayah yang berada dalam satu kesatuan wilayah hukum (wilayat al-hukmi) maka pulau sulawesi, maluku dan papua “dipaksa” masuk dalam wilayah yang termasuk bulan sudah di atas ufuk.

      Kembali ke hisab IR, Pak Agus mengatakan bahwa “ketidakakuratan adalah dalam perkiraan keberadaan atau kekuatan cahaya hilal itu sendiri”. Kalau kita melihat contoh-contoh peta penampakan hilal yang pernah disampaikan oleh Pak Thomas, maka kita dapat melihat bentuk peta tersebut terbagi dalam wilayah-wilayah berdasarkan penampakan hilal. Artinya banyak lokasi yang dapat dijadikan validasi terhadap peta visibilitas hilal tersebut. Jadi kalau misalnya diperhitungkan bahwa pada lokasi Jakarta sudah dapat melihat hilal, tetapi pada saat observasi hilal tertutup awan, bukan berarti hilal itu tidak ada. Disinilah rukyat menjadi penting dan jangan ditinggalkan. Penentuan awal bulan tetap dapat dilakukan dengan hisab tanpa menunggu sidang isbat (apabila semua sudah setuju dengan satu kriteria hisab), tetapi rukyat tetap harus ada yang melaksanakan untuk membuat database dari penampakan hilal itu sendiri. Inilah menurut saya yang dimaksud dengan database rukyat jangka panjang.

      Pernyataan: “Since the sighting of the new Moon is future unknown event that depends on unpredictable factors such as the weather, the presence of witnesses, and other elements, the founding of new calender on this basis is impossible” (hal. 28)” menurut saya lebih merujuk kepada rukyat hilal dan bukan hisab imkan rukyat, karena penulis sedang membahas perubahan yang terjadi pada penentuan kalender Ummu Al-Quro (the saudi criterion).

      Secara umum saya setuju dengan pendapat Pak Agus mengenai leap second dan software athan. Mengenai leap second, bukankah diintroduksi supaya waktu berdasarkan UTC sama kembali dengan waktu berdasarkan pergerakan matahari? Artinya dari sudut pandang pergerakan matahari, waktu UTC tidak akurat. Apabila leap second ini dihapuskan, maka menurut saya ada kemungkinan jam 12:00 siang matahari tidak berada di atas kita (tentu saja hitungannya mungkin dalam ribuan bahkan mungkin jutaan tahun yang akan datang) karena perbedaan rotasi bumi dengan pergerakan matahari tersebut. Tetapi sekali lagi, akurat itu relatif.

      Menurut Pak Agus, “Standar waktu di setiap tempat biasanya disesuaikan dengan gerak semu matahari harian secara lokal “, kalau begitu bagaimana mungkin antara batam dan singapura berbeda satu jam padahal secara geografis berada pada bujur yang sama? Bagaimana menghitung jam secara akurat di China apabila wilayah yang seharusnya terbagi dalam 5 zona waktu menjadi hanya satu saja? Apabila di Shanghai (kota di bagian timur china) jam 6 pagi, maka di Kashgar (kota di bagian barat china) juga sudah jam 6 pagi padahal seharusnya masih jam 1 pagi (apabila dibagi dalam 5 zona waktu). Jam 6 di Shanghai sudah ada matahari terbit tetapi jam 6 di Kashgar belum ada matahari? tetapi saya kira, kita tidak perlu membahas ini lebih jauh, karena ini hanyalah penentuan waktu yang lebih banyak dikarenakan faktor politik dibandingkan faktor alami. Seperti halnya Hugo Chavez dari Venezuella yang menentukan zone waktu baru untuk negaranya yaitu UTC – 4:30 (hanya di Venezuella) yang pada dasarnya hanya supaya berbeda dengan salah satu zona waktu di Amerika serikat (faktor politik).

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksi dari Pak Agus.

      • Pak Syarif,

        Pertama-tama maafkan saya karena terlalu lama tidak bisa membalas kometar Pak Syarif dikarenakan kesibukan saya yang tidak menyisakan waktu luang akhir-akhir ini.

        Langsung saja ke topik pembicaraan. Sudah dari pertama kali saya menyarankan untuk tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan istilah selama arti dan maksud bisa dimengerti dengan jelas dalam konteksnya. Kata dan istilah sebenarnya adalah sekedar alat yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah ide dan pemikiran, dan tidak jarang kita menjumpai keterbatasan alat ini (atau mungkin juga keterbatasan sang pengguna alat) untuk menyampaikan informasi dengan sempurna. Tapi tidak apalah untuk sedikit berkutat dengan masalah ini sedikit lagi.

        Pak Agus yang (menurut Bapak sendiri) memiliki latar belakang fisika tentunya mengetahui bahwa kata “terhalang” disana bukan dilihat berdasarkan logika bahasa tetapi dalam konteks ilmu fisika yang dipakai dalam astronomi.

        Saya sendiri sebenarnya tidak tahu persis apa arti terhalang dalam “konteks ilmu fisika” yang Pak Syarif maksudkan. Dalam pemahaman saya, objek dalam kondisi “terhalang” jika cahaya yang mungkin datang dari objek tersebut tidak bisa sampai ke pengamat dikarenakan keberadaan objek lain (yang “menghalangi”). Jadi ini tidak berkaitan langsung dengan apakah objek itu bisa terlihat atau tidak terlihat oleh mata, karena keterlihatan adalah masalah persepsi mata manusia yang tentu saja dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan psikologis manusia.

        “Cahaya senja menghalangi mata manusia” ini adalah contoh kalimat aktif, dimana subyeknya (cahaya senja) melakukan pekerjaan (menghalangi), sedangkan kalimat “cahaya hilal tidak terhalang oleh cahaya senja” adalah contoh kalimat pasif. Apabila kalimat aktif tersebut kita rubah menjadi kalimat pasif maka menjadi “mata manusia dihalangi oleh cahaya senja”. Kalau kalimat seluruhnya kita rubah menjadi kalimat pasif, maka kalimatnya akan menjadi berikut: Keberadaan cahaya hilal yang dideteksi oleh mata manusia dihalangi oleh cahaya senja, nah bila dibandingkan dengan kesimpulan Pak Agus (dalam bentuk kalimat pasif) bahwa “cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja” bukankah menjadi kontradiksi

        Saya kira kesimpulan pak Syarif kurang tepat. Dua pernyataan saya berbeda objek, sehingga tidak bisa digabung menjadi satu kalimat majemuk. Selain itu, pak Syarif memotong bagian kalimat yang justru mempunyai makna yang sangat signifikan. Saya ubah redaksinya sedikit untuk untuk memperjelas maksud kalimat saya:
        “cahaya senja memang benar menghalangi ( [ kemampuan | keberhasilan ] mata manusia untuk medeteksi adanya hilal )”
        Kata-kata dalam kurung () dibaca sebagai satu pengertian, dan kata kemampuan atau keberhasilan saya tambahkan untuk memperjelas maknanya. Saya kira cukup jelas kata kerja yang sama bisa mempunyai arti yang berbeda ketika ada perbedaan objek yang dilekatkan dalam kalimat tersebut. Dan sekali lagi, pernyataan tersebut tidak akan kontradiksi dengan pernyataan “cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja”. Pada dasarnya ini sejalan dengan pernyataan: “Hilal sama sekali tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi keberadaan cahaya hilal terdeteksi lewat kamera CCD dengan teknik pengolahan citra”. Saya kira pak Syarif setuju dengna saya bahwa pernyataan terakhir ini benar adanya dalam suatu kondisi observasi tertentu.

        Mengenai “masih” dan “sudah”, saya kira saya paham maksud pak Syarif, tapi ijinkan saya memberi tambahan keterangan. Kata “masih” dan “sudah”, adalah kata yang memberi informasi perubahan kondisi dalam sebuah proses yang dimana sangat tergantung konteks waktu. Untuk mudahnya, setiap satuan waktu diwakili oleh sebuah snapshot ilustrasi yang berisi gambaran posisi ufuk, bulan, dan matahari dari sudut pandang pengamat di bumi.
        – Ketika snapshot itu diambil dalam rentetan waktu setelah konjugsi sampai matahari tenggelam (misalna setiap 1 jam), maka kata “masih” adalah kata paling cocok ketika menilai posisi bulan tepat saat matahari tenggelam. Dalam kasus ini, gerak relatif bulan terhadap waktu adalah dari timur ke barat.
        – Ketika snapshot hanya diambil setiap waktu maghrib saja, dalam beberapa hari sebelum dan sesudah konjungsi, kondisi ketika bulan di atas ufuk dalam perjalan waktu tersebut lebih tepat diungkapkan dengan kata “sudah”, karena snapshot waktu sebelumnya dalam posisi di bawah ufuk, dan waktu sesudahnya semakin tinggi di atas ufuk. Dalam kasus ini, gerak relatif bulan terhadap hitungan waktu adalah dari barat ke timur.

        Jadi jelas kalau Hamburan rayleigh adalah jenis hamburan yang termasuk dalam parameter tetap, dimana contohnya adalah cahaya senja.

        Parameter tidak tetap tidak pernah berarti bahwa parameter ini bisa ada atau tidak ada, tapi sebuah pengertian bahwa efek dari parameter itu bisa tidak selalu konstan tergantung kondisi yang mempengaruhinya. Meskipun diklasifikasikan sebagah “cuaca yang cerah”, kondisi atmosfer tidak akan tetap dikarenakan banyak faktor seperti temperatur dan pengaruh kondisi geografis. Terlepas apakan nilainya cukup signifikan terhadap persepsi penglihatan mata atau tidak, saya tetap percaya akan adanya perbedaan efek hamburan Rayleigh dikarenakan kondisi atmosfer ini. Namun saya mencoba untuk lebih menekankan ke efek hamburan Mie. Dalam atmosfer hamburan ini dipengaruhi oleh partikel-partikel seperti uap air, debu, kabut, asap dan lain-lain. Partikel-partikel ini cenderung terkonsentrasi di lapisan atmosfer bawah, sehingga efek hamburan ini lebih terasa ketika observasi dilakukan di altitude rendah. Apa yang saya kutipkan dari laporan Odeh adalah efek hamburan Mie ini. Saya tidak tahu presis bentuk yang mana yang disebut “haze” oleh Odeh, hanya saja ketika dia mendeskripsikan kondisi cuaca sebagai “langit yang cerah” kemudian menyimpulkan adanya “hidden haze” (yang saya terjemahakan sebagai “kabut tersembunyi”) karena hilal tidak terlihat, saya akan bertanya kembali, sebenarnya kriteria kondisi sempurna apakah yang sebenarnya diminta oleh imkanu rukyat? Kemudian sebagaimana jauh pengamat mengetahui faktor aktual atmosfer yang mempengaruhi kegagalan sebuah observasi hilal? Lihat, Odeh saja tidak tahu keberadaan “haze” kecuali dikarenakan sebuah fakta bahwa hilal yang seharusnya mudah dilihat dengan mata telanjang pun cukup susah dideteksi dengan teknik olah citra. Dengan kata lain, bagaimana pengamat tahu bahwa kegagalan observasi dikarenakan pengaruh hamburan Rayleigh (cahaya senja, yang menurut pak Syarif adalah tetap), bukan karena hamburan Mie (uap air, kabut, dan lain-lain) yang pak Syarif golongkan faktor tidak tetap tersebut?

        Kemudian apabila dalam perhitungan WH tersebut secara akurat diketahui ternyata garis 0 derajat di bawah ufuk membelah Indonesia menjadi 2 dimana pulau kalimantan, jawa dan sumatera telah berada pada wilayah bulan yang di atas ufuk, sedangkan di pulau sulawesi, maluku dan papua posisi bulan masih di bawah ufuk, apa pengaruh keakuratan perhitungan tersebut terhadap ketetapan awal bulan Hijriyah? Apabila mengikuti prinsip keakuratan, maka yang memulai bulan baru hanya kalimantan, jawa dan sumatera saja.

        Keakuratan dalam perhitungan yang bersifat ilmiah tidak bisa dicampuradukkan dengan pilihan politis yang berdasarkan data data perhitungan tersebut. Dua aspek yang mempunyai domain permasalahan yang berbeda.

        Artinya banyak lokasi yang dapat dijadikan validasi terhadap peta visibilitas hilal tersebut. Jadi kalau misalnya diperhitungkan bahwa pada lokasi Jakarta sudah dapat melihat hilal, tetapi pada saat observasi hilal tertutup awan, bukan berarti hilal itu tidak ada. Disinilah rukyat menjadi penting dan jangan ditinggalkan.

        Disini saya menilai adanya sikap mendua dalam konsep yang pak Syarif kemukakan. Yang satu ingin mengajukan bukti mengenai keterlihatan hilal (karena ini dasar utama yang syar’i), sedang satunya lagi mengenaralisasikan ketidakterlihatan hilal dengan sesuatu yang “ada”. Secara mendasar, “ada” bukanlah konsep yang konsisten dari imaknu rukyat, karena perhitungan imkanu rukyat memperkirakan kemungkinan keterlihatan hilal dengan mata. Kalau sekedar ada, kita tahu hilal pasti ada ketika sudah di atas ufuk. Meskipun tidak mungkin terlihat melalui teleskop, dalam kasus tertentu hilal masih mungkin “terlihat” oleh alat dengan bekal olah citra. Coba lihat kembali kasus Odeh: tidak terlihat oleh mata, tidak terlihat menggunakan teropong, tidak telihat menggunakan teleskop, tapi hilal masih berhasil terdeteksi menggunakan kamera CCD dengan olah citra. Tetapi ini ternyata digolongkan sebagai “not possible” dalam kriteria imkanu rukyat. Beda halnya ketika pak Syarif mengatakan “hilal dianggap terlihat” karena posisi bulan kemungkinan bisa dilihat ketika kondisi atmosfer yang mendukungnya, — saya kira ini lebih konsisten dibanding menggunakan argumentasi hilal yang “ada”.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

      Maaf Pak Agus, saya ko merasa jadi yang dipersalahkan karena mempermasalahkan penggunaan istilah yah. Padahal diskusi kita kan karena pernyataan Pak Agus berikut ini

      Pak Syarif mungkin berargumentasi bahwa hilal sebagai cahaya masih “terhalang” oleh cahaya senja ketika hilal terlalu rendah (seperti argumentasi Pak Djamaluddin), hanya saja perlu diingat bahwa keberadaan cahaya yang lebih kuat tidak bisa menghalangi atau menutupi cahaya lain yang lebih lemah.

      Pada pernyataan tersebut, bukankah Pak Agus yang pertama kali mempermasalahkan istilah “terhalang”, bahkan dibuat dalam tanda kutip? Artinya masih ada perbedaan persepsi di antara saya dan Pak Agus terhadap istilah tersebut. Bukankah kalau ada perbedaan persepsi maka saya perlu untuk menyampaikan pendapat saya mengenai istilah “terhalang” tersebut supaya persepsi kita menjadi sama?

      Kemudian istilah “terhalang” yang saya maksudkan dalam konteks ilmu fisika sepertinya juga tidak dihiraukan oleh Pak Agus. Saya menuliskan bahwa dalam konsep fisika optik, istilah “terhalang” berarti kontras cahaya senja lebih kuat dari pada cahaya hilal. Jadi ada perbedaan antara istilah “terhalang” dalam logika bahasa dan ilmu fisika.

      Mari kita bereksperimen kembali, tetapi mungkin yang sekarang modalnya lebih mahal, karena peralatan yang harus disediakan adalah sebuah senter kecil (usahakan ukuran senter sekecil mungkin untuk mewakili cahaya lemah) dan sebuah mobil (lampu mobil merupakan cahaya yang lebih kuat dari lampu senter). Upayakan eksperimen ini dilakukan pada malam hari (gelap) dan di dalam ruangan tertutup (misalnya garasi). Letakan senter kecil di atas kap depan mobil, posisikan diri anda di depan mobil tersebut (dan jangan terlalu dekat dengan mobil), kemudian nyalakan senter mengenai bagian wajah anda, dan minta teman untuk mematikan lampu garasi. Pak Agus pasti dapat melihat sinar dari senter kecil tersebut. Sekarang minta teman untuk menghidupkan mesin mobil dan menyalakan lampu jauh ke arah anda (lampu depan mobil menyala tapi dalam kondisi cahaya untuk melihat jauh) dalam keadaan lampu senter tetap menyala. Pertanyaan saya, apakah Pak Agus masih dapat melihat cahaya dari sinar senter tersebut?

      Apabila Pak Agus tidak dapat melihat cahaya senter, kira-kira dalam Bahasa Indonesia yang benar istilah yang paling tepat yang dapat menerangkan fenomena tersebut, daripada istilah bahwa cahaya senter “terhalang” oleh cahaya lampu mobil, itu apa?

      Kemudian diskusi kita berikut berawal dari pernyataan Pak Agus yang merupakan kelanjutan dari pernyataan di atas:

      Dengan kata lain, cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk mendeteksi adanya hilal , tetapi cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja.”

      menurut Pak Agus:

      Dua pernyataan saya berbeda objek, sehingga tidak bisa digabung menjadi satu kalimat majemuk.

      Disini saya jadi bingung, karena kalimat “cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk mendeteksi adanya hilal” bukankah suatu bentuk kalimat majemuk? Artinya justru Pak Agus sendiri bisa menggabungkan dua kalimat yang berbeda obyek, yaitu “cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia” dimana obyeknya adalah “mata manusia”, dan “mata manusia mendeteksi adanya hilal” dimana obyeknya adalah “hilal”, menjadi satu kalimat majemuk.

      Kalimat majemuk tersebut (“cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk mendeteksi adanya hilal” ) sama artinya dengan kalimat berikut ini: “mata manusia memang benar dihalangi oleh cahaya senja untuk mendeteksi adanya hilal”. Dengan kata lain, hilal (tentu saja yang dimaksud adalah cahaya hilal) terhalang oleh keberadaan cahaya senja untuk dapat dideteksi oleh mata. Jadi ini tentu saja kontradiksi dengan pernyataan Pak Agus berikutnya, yaitu “cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja”. Kalau kemudian Pak Agus beralasan bahwa istilah “hilal” dan “cahaya hilal” adalah obyek yang berbeda, saya malah tambah bingung. Bagaimana mungkin membedakan “hilal” dan “cahaya hilal” menjadi dua obyek yang berbeda?

      Pada dasarnya ini sejalan dengan pernyataan: “Hilal sama sekali tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi keberadaan cahaya hilal terdeteksi lewat kamera CCD dengan teknik pengolahan citra”. Saya kira pak Syarif setuju dengna saya bahwa pernyataan terakhir ini benar adanya dalam suatu kondisi observasi tertentu.

      Pernyataan ini berbeda obyeknya dengan pernyataan sebelumnya. Kalau dalam pernyataan sebelumnya yang menjadi obyek pembicaraan adalah: cahaya senja, cahaya hilal dan mata, sedangkan pernyataan ini membicarakan: cahaya hilal, mata dan kamera CCD, sedangkan faktor cahaya senja yang menjadi “penghalang” tersebut justru hilang. Pernahkan ada yang melakukan observasi dengan kamera CCD pada saat kontras cahaya senja lebih kuat dari cahaya hilal (ketinggian hilal lebih kecil dari 2 derajat dan elongasi kurang dari 6 derajat)? jawabannya belum pernah ada yang berhasil. Pada saat Martin dan Thierry berhasil melihat hilal pada kondisi elongasi lebih kecil dari 6, sayangnya tidak ada cahaya senja disana, karena dilakukan pada siang hari.

      Kemudian diskusi kita berikutnya berawal dari pernyataan Pak Agus:

      Saya menggunakan kedua-duanya. Ketika penekanan ada di posisi bulan dalam dalam peredaraan yang beriringan dengan matahari setelah konjungsi dalam di hari itu, kata “masih” adalah kata paling tepat. Tetapi ketika penekanan ada di posisi bulan tepat saat matahari terbenam dalam siklus bulanannya (mulai dari bawah ufuk, kemudian keluar di atas ufuk, dengan posisi yang semakin tinggi dari maghrib ke maghrib berikutnya), kata “sudah” lebih cocok untuk mengungkapkan kondisi ini.

      Dan diperjelas dengan pernyataan berikut oleh Pak Agus:

      Ketika snapshot hanya diambil setiap waktu maghrib saja, dalam beberapa hari sebelum dan sesudah konjungsi, kondisi ketika bulan di atas ufuk dalam perjalan waktu tersebut lebih tepat diungkapkan dengan kata “sudah”, karena snapshot waktu sebelumnya dalam posisi di bawah ufuk, dan waktu sesudahnya semakin tinggi di atas ufuk. Dalam kasus ini, gerak relatif bulan terhadap hitungan waktu adalah dari barat ke timur.

      Mohon maaf Pak Agus, apakah Bapak dapat memberikan rujukan tulisan yang memperkuat pernyataan bahwa secara astronomi bulan bergerak terbit dari ufuk barat dan tenggelam di ufuk timur, dalam beberapa hari sebelum dan sesudah konjungsi? Karena yang saya pahami dalam astronomi, bahwa bulan, matahari, planet semua bergerak dari ufuk timur ke ufuk barat dilihat dari sudut pandang posisi pengamat di bumi (source: http://1.usa.gov/S1TOS). Saya paham bahwa bulan beredar mengelilingi bumi dari barat ke timur, tetapi karena bumi juga berputar dari barat ke timur, maka posisi bulan yang tampak dari bumi adalah terbit dari timur dan bergerak tenggelam di barat. Jadi, saya belum pernah menemukan pernyataan bahwa bulan terbit di ufuk barat dan bergerak ke timur (mohon koreksinya) kecuali dari Pak Agus dan dalam Buku Pedoman Hisab Muhammadiyah (hal 81). Saya khawatir, pengandaian gerak bulan dan matahari dari barat ke timur ini, dengan memasukan kriteria ufuk, justru menunjukkan kebenaran dari pernyataan Pak Thomas tentang pseudoscience (pseudoscience is a claim, belief, or practice which is presented as scientific, but does not adhere to a valid scientific method, lacks supporting evidence or plausibility, cannot be reliably tested, or otherwise lacks scientific status. source: wikipedia).

      Kembali mengenai parameter yang mempengaruhi terlihatnya hilal. Menurut Pak Agus:

      Parameter tidak tetap tidak pernah berarti bahwa parameter ini bisa ada atau tidak ada, tapi sebuah pengertian bahwa efek dari parameter itu bisa tidak selalu konstan tergantung kondisi yang mempengaruhinya.

      Ini berarti, apabila suatu saat parameter tersebut tidak memberikan efek (pengaruh) sama sekali (alias nihil), berarti parameter tersebut dapat dikatakan tidak ada, bukan begitu? suatu saat langit kadang berawan, kadang juga tidak berawan, artinya ada dan tidak ada awan kan Pak Agus? Pak Agus tentu pernah merasakan naik pesawat terbang. Coba perhatikan perbedaan kondisi atmospher saat pesawat take off, saat di udara dalam ketinggian yang berbeda dan kemudian saat mendarat kembali, apakah sama? Pak Agus akan merasakan, bahwa saat pesawat berada di udara dalam ketinggian sekitar 30000 kaki, maka kondisi atmospher lebih bersih dibandingkan saat berada di bandara (terutama di wilayah dengan polusi yang tinggi seperti jakarta). Ini artinya pada ketinggian tersebut parameter tidak tetap seperti haze yang ada di bandara menjadi tidak ada.

      Kemudian, apabila Pak Agus berkesempatan menaiki pesawat dan berada di udara pada sore atau pagi hari, maka akan terlihat bahwa cahaya senja (hamburan rayleigh) di ufuk selalu ada di berapapun ketinggian pesawat tersebut berada, kecuali apabila pesawat telah melewati atmosphere bumi dan berada di luar angkasa.

      Diskusi mengenai pernyataan yang dikutip dari Odeh, saya coba tuliskan kembali:

      Seen: ICOP member Eng. Mohammad Odeh from Musaffah City in Abu Dhabi State mentioned that the sky was clear, the atmospheric condition was hazy, the crescent was not sought by naked eye, the crescent was not sought by binocular, the crescent was not seen by telescope, the crescent was seen by CCD Imaging
      Eng. Mohammad Odeh said: “Hidden haze! Yes hidden haze! It was really difficult to imagine how hazy the sky was until the Sun had set, where I was not able to see the crescent by telescope despite the fact that it had to be easily seen by naked eye!

      Di awal pernyataan telah dijelaskan bahwa langit cerah (tidak berawan) tetapi kondisi atmosfer berkabut (hazy), jadi ada dua keadaan yaitu kondisi langit (mungkin lebih mengarah mengenai keberadaan awan) dan kondisi atmosfer (lebih mengarah kepada kondisi yang disebabkan oleh partikel di udara selain awan). Berikut adalah gambaran hilal yang terlihat odeh pada kondisi langit cerah dan kondisi atmosfer berkabut (hazy): http://bit.ly/wlRUhY , pada tanggal yang sama Martin Elsaesser juga dapat melihat hilal dengan kondisi langit cerah dan atmosfer cerah, berikut gambarnya: http://bit.ly/AmGGKW. Dari kedua gambar tersebut, tentunya dapat dilihat perbedaan kondisi atmosfer dari keduanya.

      saya akan bertanya kembali, sebenarnya kriteria kondisi sempurna apakah yang sebenarnya diminta oleh imkanu rukyat? Kemudian sebagaimana jauh pengamat mengetahui faktor aktual atmosfer yang mempengaruhi kegagalan sebuah observasi hilal? Lihat, Odeh saja tidak tahu keberadaan “haze” kecuali dikarenakan sebuah fakta bahwa hilal yang seharusnya mudah dilihat dengan mata telanjang pun cukup susah dideteksi dengan teknik olah citra. Dengan kata lain, bagaimana pengamat tahu bahwa kegagalan observasi dikarenakan pengaruh hamburan Rayleigh (cahaya senja, yang menurut pak Syarif adalah tetap), bukan karena hamburan Mie (uap air, kabut, dan lain-lain) yang pak Syarif golongkan faktor tidak tetap tersebut?

      Sebelumnya saya memperjelas kembali bahwa diskusi kita adalah tentang HISAB antara hisab WH dan hisab IR dan bukan mengenai hisab dan rukyat. Dalam hisab IR (menurut saya, mohon koreksinya dari yang lebih paham) parameter tetap yang dijadikan perhitungan adalah kondisi ufuk (artinya hilal masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam) dan kondisi atmosfer (hamburan rayleigh) yang berupa cahaya senja (artinya kontras cahaya hilal sudah tidak dipengaruhi oleh cahaya senja). Selain kedua parameter tersebut, maka parameter lain seperti keberadaan awan dan kondisi atmosfer yang salah satunya diakibatkan oleh polusi udara (haze dll) tidak diperhitungkan karena termasuk dalam parameter tidak tetap. Apabila kita sudah sepakat dengan satu kriteria hisab terhadap visibilitas hilal, maka keputusan sudah dapat diambil tanpa menunggu hasil rukyat/observasi. Tetapi bukan berarti menghilangkan rukyat/observasi sama sekali. Ini adalah kondisi sempurna yang menurut saya dilihat dari hisab IR.

      Hamburan rayleigh yang berupa cahaya senja hanya akan tidak ada apabila bumi tidak memiliki atmosfer. Sayangnya secara ilmiah sudah dapat dibuktikan bahwa bumi memiliki atmosfer, maka otomatis cahaya senja (hamburan rayleigh) akan selalu ada dimanapun pengamat berada, kecuali pengamat tersebut telah berada di luar angkasa.

      Hamburan mie yang berupa haze, fog, mist keberadaannya bersifat sementara dan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya, misalnya polusi udara, ketinggian, posisi geografis, kelembaban udara dan faktor lainnya. Seperti contoh di atas, pada tanggal yang sama dengan kondisi langit yang sama-sama cerah, Odeh yang berada di UAE terganggu oleh haze, sedangkan Martin yang berada di Jerman tidak terganggu oleh haze, ini kemungkinan karena berbeda posisi geografis, ketinggian pada saat pengamatan, kondisi udara dan faktor lainnya. Dan parameter ini bersifat tidak pasti, dimana kita tidak dapat menyimpulkan bahwa kondisi pengamatan di lokasi Odeh akan selalu mengalami haze pada setiap tanggal tersebut pada tahun-tahun yang akan datang. Bandingkan dengan parameter cahaya senja (hamburan rayleigh) yang akan selalu ada selama bumi memiliki atmosfer.

      Keakuratan dalam perhitungan yang bersifat ilmiah tidak bisa dicampuradukkan dengan pilihan politis yang berdasarkan data data perhitungan tersebut. Dua aspek yang mempunyai domain permasalahan yang berbeda.

      Ini menunjukkan bahwa akurat itu relatif. Sebelumnya Pak Agus berpendapat

      Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat

      Pernyataan tersebut juga relatif, tetapi seakan-akan menunjukkan bahwa perhitungan mengenai penampakan hilal tidak mungkin akurat sedangkan perhitungan yang lainnya akan lebih akurat. Dalam memodelkan suatu proses alami tidak ada model yang dapat secara akurat menyamai proses alami tersebut. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Pak Agus mengenai keakuratan tersebut dihubungkan dengan diskusi hisab WH dan hisab IR? Apakah yang dimaksud akurat itu? Apakah perhitungan WH tentang keberadaan bulan sudah akurat? sedangkan dalam perhitungannya juga melakukan interpolasi data apabila data tidak tersedia.

      Disini saya menilai adanya sikap mendua dalam konsep yang pak Syarif kemukakan. Yang satu ingin mengajukan bukti mengenai keterlihatan hilal (karena ini dasar utama yang syar’i), sedang satunya lagi mengenaralisasikan ketidakterlihatan hilal dengan sesuatu yang “ada”. Secara mendasar, “ada” bukanlah konsep yang konsisten dari imaknu rukyat, karena perhitungan imkanu rukyat memperkirakan kemungkinan keterlihatan hilal dengan mata. Kalau sekedar ada, kita tahu hilal pasti ada ketika sudah di atas ufuk. Meskipun tidak mungkin terlihat melalui teleskop, dalam kasus tertentu hilal masih mungkin “terlihat” oleh alat dengan bekal olah citra. Coba lihat kembali kasus Odeh: tidak terlihat oleh mata, tidak terlihat menggunakan teropong, tidak telihat menggunakan teleskop, tapi hilal masih berhasil terdeteksi menggunakan kamera CCD dengan olah citra. Tetapi ini ternyata digolongkan sebagai “not possible” dalam kriteria imkanu rukyat. Beda halnya ketika pak Syarif mengatakan “hilal dianggap terlihat” karena posisi bulan kemungkinan bisa dilihat ketika kondisi atmosfer yang mendukungnya, — saya kira ini lebih konsisten dibanding menggunakan argumentasi hilal yang “ada”.

      Pertama saya ingin menanggapi kalimat yang saya highlight terlebih dahulu. Tolong dijelaskan oleh Pak Agus darimana kalimat “Tetapi ini ternyata digolongkan sebagai “not possible” dalam kriteria imkanu rukyat” atau itu hanya kesimpulan Pak Agus saja dan bukan kesimpulan Odeh (sumber: http://www.icoproject.org/icop/jut32.html lihat pada tanggal 04 May 2011 untuk negara United Arab Emirates dan lihat peta visbilitas hilal untuk tanggal yang sama). Bukankah Pak Agus selalu mengatakan bahwa pendapat itu harus disampaikan secara logis dan argumentasi yang kuat dan bukan berupa spekulasi?

      Kedua, telah saya jelaskan bahwa dalam perhitungan hisab IR yang diperhitungkan adalah keberadaan hilal di atas ufuk dan kontras cahaya hilal sudah tidak dipengaruhi lagi oleh cahaya senja. dari perhitungan tersebut sudah dapat diperkirakan wilayah yang kemungkinan dapat terlihat hilal (misalnya contoh berikut pada tanggal 28 September 2011: http://www.icoproject.org/icop/kea32.html). Pada contoh itu seluruh wilayah pulau Sumatera dan Jawa masuk dalam kondisi hilal dapat terlihat. Apabila pada saat dilakukan observasi/rukyat seluruh wilayah sumatera cerah dan dapat melihat hilal, dan seluruh wilayah pulau jawa juga dapat melihat hilal walaupun kondisinya sedikit berawan (seperti contoh untuk kasus Indonesia pada tautan tersebut), KECUALI Jakarta yang ternyata tertutup oleh awan sama sekali. Kondisi di Jakarta ini dapat di validasi dengan kondisi daerah/wilayah lain yang tidak tertutup awan. Itulah yang saya maksud dengan pernyataan saya

      Artinya banyak lokasi yang dapat dijadikan validasi terhadap peta visibilitas hilal tersebut. Jadi kalau misalnya diperhitungkan bahwa pada lokasi Jakarta sudah dapat melihat hilal, tetapi pada saat observasi hilal tertutup awan, bukan berarti hilal itu tidak ada.

      Saya menangkap maksud Pak Agus, mungkin menurut Pak Agus dalam konsep penampakan istilahnya adalah “terlihat” sedangkan istilah “ada” merupakan istilah dalam konsep non penampakan. Kembali terlihat bahwa pemahaman terhadap istilah itu penting, bahkan disini sekarang Bapak sendiri yang mempermasalahkannya 😀 Walaupun terus terang sangat disayangkan, karena yang dipermasalahkan oleh Pak Agus dari paragraf tersebut hanya istilah “ada” dan bukan dari pernyataan paragraf secara keseluruhan. Dalam kalimat itu saya juga menambahkan bahwa “Penentuan awal bulan tetap dapat dilakukan dengan hisab tanpa menunggu sidang isbat (apabila semua sudah setuju dengan satu kriteria hisab), tetapi rukyat tetap harus ada yang melaksanakan untuk membuat database dari penampakan hilal itu sendiri. Inilah menurut saya yang dimaksud dengan database rukyat jangka panjang.” Sehingga pada saat hilal terhalang awan, sama sekali tidak menggugurkan hasil perhitungan hisab tersebut. Walau bagaimanapun saya mengucapkan terima kasih atas koreksi Pak Agus terhadap istilah “ada” tersebut.

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya kembali dari Pak Agus. Terima kasih.

      • Subhaanallaah ….
        Salut buat Pak Syarif yang begitu sabar, cermat, dan teliti dalam berdiskusi.
        Saya banyak mengambil manfaat dari penjelasan dan argumentasi Pak Syarif.
        Jazaakumullahu khairan katsiran.

        Salam,
        Rois

    • Pak Syarif,

      Pada pernyataan tersebut, bukankah Pak Agus yang pertama kali mempermasalahkan istilah “terhalang”, bahkan dibuat dalam tanda kutip? Artinya masih ada perbedaan persepsi di antara saya dan Pak Agus terhadap istilah tersebut. Bukankah kalau ada perbedaan persepsi maka saya perlu untuk menyampaikan pendapat saya mengenai istilah “terhalang” tersebut supaya persepsi kita menjadi sama?

      Coba Pak Syarif kembali membaca maksud “terhalang” yang saya tuliskan sebelumnya: bahwa kondisi dimana cahaya dari objek tidak bisa sampai ke pengamat. Dalam konteks ini jelas cahaya senja tidak menghalangi cahaya hilal. Lebih tepatnya lagi, fenomena hamburan Rayleigh menghalangi sebagian cahaya hilal, tapi cahaya senja (sebagai efek hamburan Rayleigh terhadap sinar matahari) tidak pernah menghalangi cahaya hilal untuk sampai ke mata pengamat. Pengaruh cahaya hilal adalah terhadap persepsi mata, terhadap bukan cahaya hilal itu sendiri. Kalau Pak Syarif belum setuju dengan pernyataan ini, mungkin ada baiknya berkutat di tema ini dulu sebelum melebar kemana-mana.

      Kemudian istilah “terhalang” yang saya maksudkan dalam konteks ilmu fisika sepertinya juga tidak dihiraukan oleh Pak Agus. Saya menuliskan bahwa dalam konsep fisika optik, istilah “terhalang” berarti kontras cahaya senja lebih kuat dari pada cahaya hilal. Jadi ada perbedaan antara istilah “terhalang” dalam logika bahasa dan ilmu fisika.

      Pertanyaan saya, apakah istilah “terhalang” dalam konteks pak Syarif tersebut benar-benar istilah berasal dari ilmu fisika murni? Saya tidak memberi komentar terhadap pernyataan pak Syarif karena saya menganggap bukan konsep murni dari fisika, tetap lebih ke ilmu fisiologi mengenai penglihatan mata. Terlebih lagi, saya juga tidak pernah mengklaim bahwa pengertian terhalang yang saya kemukakan adalah konsep murni dari fisika. Dalam ilmu fisika dikenal adanya interferensi gelombang yang menjelaskan pengaruh gelombang terhadap gelombang yang lain, tapi masalah kontras tidak berhubungan dengan ini. Mungkin halaman dibawah bisa mengilustrasikan apa yang saya maksud dengan fisika x fisiologi.
      http://en.wikipedia.org/wiki/Visual_perception
      http://en.wikipedia.org/wiki/Color_vision
      http://en.wikipedia.org/wiki/Contrast_%28vision%29

      Penggunaan “terhalang” yang saya pakai saya anggap lebih objektif karena mengeliminasi persepsi visual mata untuk mengenali cahaya yang datang dari objek. Terdeteksinya bentuk hilal menggunakan kamera dengan olah citra membuktikan bahwa cahaya hilal itu memang benar-benar ada, meskipun mata tidak bisa mendeteksinya dikarenaka faktor kontras. Ini sesuai dengan penjelasan saya: cahaya hilal tidak terhalang karena ada cahaya masih bisa sampai ke pengamat.

      Mohon maaf Pak Agus, apakah Bapak dapat memberikan rujukan tulisan yang memperkuat pernyataan bahwa secara astronomi bulan bergerak terbit dari ufuk barat dan tenggelam di ufuk timur, dalam beberapa hari sebelum dan sesudah konjungsi?

      Pak Syarif gagal menangkap maksud saya dengan konsep waktu dan satuan waktu yang saya tuliskan sebelumnya. Saya terus terang tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Pak Syarif, karena saya anggap penjelasan tambahan tersebut sudah cukup jelas dan bisa dimengerti, apalagi hal itu saya anggap belum terlalu melenceng jauh dari konsep “frame of reference” dalam fisika yang juga mudah untuk dimengerti.

      …, yaitu “cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia” dimana obyeknya adalah “mata manusia”, …

      Sudah saya jelaskan sebelumnya. Mata manusia bukan objek dalam kalimat tersebut. Silakan baca lagi penjelasan tambahan saya, tidak perlu menggunakan referensi pertama yang masih pak Syarif tafsirkan berbeda dengan apa yang saya jelaskan.

      Kalau kemudian Pak Agus beralasan bahwa istilah “hilal” dan “cahaya hilal” adalah obyek yang berbeda, saya malah tambah bingung. Bagaimana mungkin membedakan “hilal” dan “cahaya hilal” menjadi dua obyek yang berbeda?

      Yang membedakannya sebenarnya bukan saya. Dalam konteks IR, hilal merupakan konsep keterlihatan objek hilal dalam persepsi mata manusia, terlepas dari fakta apakah cahaya hilal sudah sampai ke mata atau tidak. Sedang saya menggunakan hilal (yang tidak terhalang) sebagai keberadaan cahaya hilal yang sampai ke pengamat (apa itu mata manusia atau alat optik lain). Jadi justru dalam konteks yang saya pakai, hilal dan cahaya hilal adalah kompatible.

      Dalam hisab IR (menurut saya, mohon koreksinya dari yang lebih paham) parameter tetap yang dijadikan perhitungan adalah kondisi ufuk (artinya hilal masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam) dan kondisi atmosfer (hamburan rayleigh) yang berupa cahaya senja (artinya kontras cahaya hilal sudah tidak dipengaruhi oleh cahaya senja).

      Saya baru kali ini dengar kalau cahaya senja menjadi parameter “perhitungan” dalam hisab IR. Sejauh yang bisa saya baca dari paper-paper yang behubungan dengan IR, kriteria IR adalah sebuah penurunan rumus menggunakan parameter astronomis berdasar data-data hasil observasi. Yang dihitung hanyalah sebuah angka dengan dengan cara penilaian tertentu yang dianggap sesuai dan mewakili hasil-hasil observasi tersebut. Faktor hamburan Rayleigh tidak pernah ada dalam perhitungan itu sendiri, tetapi esensi dari efek hamburan tersebut (termasuk hamburan Mie tentunya) sudah masuk dalam data hasil observasi yang digunakan. Apakah Pak Syarif berpikir kalau hamburan Rayleigh yang sering anda sebut tersebut memang benar-benar dihitung yang kemudian menghasilkan nilai seperti “kontras cahaya hilal vs cahaya senjal”? (saya belum bisa membayangkan nilai seperti apa yang bisa mewakili kontras ini, mungkin “contrast ratio” seperti yang dipakai spesifikasi monitor?)

      Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Pak Agus mengenai keakuratan tersebut dihubungkan dengan diskusi hisab WH dan hisab IR?

      Kalau Pak Syarif membaca lagi konteks pembicaraan tentang “akurat” yang saya sebut, anda tentu paham bahwa saya berbicara tentang IR yang memberikan parameter keberhasilan rukyatul hilal “sebagai perintah non-kontekstual sebagai satu-satunya dasar kriteria memulai bulan baru”. Dan saya jelaskan bahwa itu adalah faktor utama adalah kondisi atmosfer. Apakah cuaca yang buruk seperti awan, kabut, debu, dan lain-lain, bahwa rukyatul hilal gagal melihat adanya hilal tidak berubah.

      Tolong dijelaskan oleh Pak Agus darimana kalimat “Tetapi ini ternyata digolongkan sebagai “not possible” dalam kriteria imkanu rukyat” atau itu hanya kesimpulan Pak Agus saja dan bukan kesimpulan Odeh

      Sepertinya saya yang salah karena pernyataan saya memang ambigu dan tidak sesuai dengan yang saya maksud. Kasus Odeh yang saya maksud adalah “tidak terlihat oleh mata, tidak terlihat menggunakan teropong, tidak telihat menggunakan teleskop, tapi hilal masih berhasil terdeteksi menggunakan kamera CCD dengan olah citra” untuk sebuah observasi valid dimana kondisi atmosfer yang mendukung (bukan kondisi berkabut “tersembunyi” atau ketinggian hilal sudah sampai 13 derajat seperti kasus Odeh yang saya kutipkan). Saya tidak mengatakan kalau saya punya fakta aktual adanya hasil observasi ini, tapi saya anggap itu adalah hal yang sangat mungkin untuk kondisi tertentu mirip kasus Odeh tersebut. Kembali melihat data observasi dimana sebuah kriteria IR dirumuskan: keberhasilan observasi hilal biasanya terbagi dengan observasi mata telanjang, dengan bantuan teropong, dan dengan bantuan teleskop. Diluar keberhasilan menggunakan alat optik tersebut, hilal akan dimasukan dalam golongan “invisible”, “not seen”. Dengan asumsi bahwa kriteria IR yang dirumuskan telah benar-benar mewakili hasil observasi ini, otomatis hasil observasi menggunakan kamera CCD + olah citra akan masuk ke daerah “not possible”, seperti dalam kriteria Odeh. Tentu saja sebenarnya ini tidak bermasalah dalam pengambilan keputusan, karena pengguna IR biasanya hanya mengakui observasi hilal dengan mata (ditambah alat bantu optik), bukan dengan dengan kamera, apalagi ditambah dengan olah citra.
      Ketika data observasi menggunakan kamera + olah citra sudah banyak dan mencukupi, saya tidak akan heran kalau nanti ada tambahan penggololngan kemungkinan keterlihatan hilal dengan cara ini, dimana penggolongan ini akan membelah daerah putih (“not possible”) dalam peta Accurate Times nya Odeh.

      Saya menangkap maksud Pak Agus, mungkin menurut Pak Agus dalam konsep penampakan istilahnya adalah “terlihat” sedangkan istilah “ada” merupakan istilah dalam konsep non penampakan. Kembali terlihat bahwa pemahaman terhadap istilah itu penting, bahkan disini sekarang Bapak sendiri yang mempermasalahkannya 😀

      Dalam konsep imkan rukyat, keberadaan cahaya hilal adalah sesuatu yang dianggap tidak cukup, karena kriteria adalah keterlihatan hilal. Konsep hilal yang “ada” dan hilal yang “terlihat” mempunyai makna khusus yang tidak kompatible dalam konteks imkan rukyat, sehingga Pak Syarif harus konsisten dalam menggunakannya. Kecuali jika hilal yang ada itu adalah hilal yang terlihat, maka keduanya bisa saling menggantikan, hanya saja definisi ini kontradiksi dengan pernyataan Pak Syarif karena sedang berbicara tentang hilal yang tidak terlihat di Jakarta. Yang menjadi permasalahan tentang penggunaan istilah yang saya maksudkan adalah, ketika sebuah istilah sudah didefinisikan dengan jelas menurut konteks suatu konsep tertentu (baca: wujudul hilal), tetapi pembaca tetap memaksa pemahaman istilah tersebut menggunakan konteks yang berbeda (baca: imkanu rukyat). Ini yang tidak sesuai menurut saya.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya

      Mohon Pak Agus juga dapat melihat kembali apa yang telah saya tulis saat menanggapi Bapak: (http://bit.ly/wyTWdj). Disana saya sudah jelaskan seperti berikut:

      Pertama: sepertinya Pak Agus mengartikan kata “terhalang” seperti sebuah tembok yang menghalangi mata kita untuk melihat suatu obyek. Padahal pada pernyataan pertama di awal tanggapan saya, Pak Agus mengakui bahwa fase terkecil bulan di atas ufuk tidak terlihat. Artinya ada sesuatu yang membuat bulan tersebut tidak terlihat. Dari logika bahasa mungkin benar bahwa cahaya senja tidak menghalangi cahaya hilal seperti halnya sebuah tembok yang menghalangi mata untuk melihat obyek. Tetapi dalam konsep fisika optik ini pernyataan tersebut akan menjadi benar karena berarti kontras cahaya senja lebih kuat dari pada cahaya hilal. Pak Agus yang (menurut Bapak Sendiri) memiliki latar belakang fisika tentunya mengetahui bahwa kata “terhalang” disana bukan dilihat berdasarkan logika bahasa tetapi dalam konteks ilmu fisika yang dipakai dalam astronomi.

      Saya telah menjelaskan pemahaman saya mengenai arti kata “terhalang” dari logika bahasa dan dari ilmu fisika yang dipakai dalam astronomi. Bahwa cahaya senja tidak menghalangi cahaya hilal seperti sebuah tembok yang menghalangi cahaya hilal menuju ke mata itu saya setuju. Tetapi tentunya penggunaan kata “terhalang” adalah suatu penggunaan kata untuk menyampaikan suatu kejadian, yang bisa saja artinya tidak berupa arti sesungguhnya. Kalau saya melihat seorang wanita cantik tetapi memakai baju yang sederhana, kemudian apabila saya katakan: “kecantikan wanita itu telah menutupi penampilannya yang sederhana”, bukan berarti kecantikan berubah menjadi benda yang dapat menutupi seperti halnya baju yang menutupi badan. Saya yakin Pak Agus mengerti betul tentang hal ini, apalagi dalam konsep WH diperkenalkan gaya bahasa prolepsis, tentunya banyak lagi gaya bahasa – gaya bahasa lain dalam membuat suatu kalimat, diantaranya adalah kata “terhalang” yang tentunya bukan berarti seperti sebuah tembok pada kalimat yang sedang kita diskusikan ini. Misalnya eksperimen yang saya sampaikan pada tanggapan sebelumnya, apakah Pak Agus mampu melihat cahaya senter diantara cahaya lampu mobil? kalau tidak mampu, artinya cahaya lampu mobil telah menghalangi mata untuk mendeteksi adanya cahaya senter. Dan ini sesuai dengan pernyataan Pak Agus “cahaya senja memang benar menghalangi ( [ kemampuan | keberhasilan ] mata manusia untuk medeteksi adanya hilal)”. Artinya, pengertian “terhalang” adalah cahaya yang lebih kuat dapat mempengaruhi kemampuan mata manusia untuk melihat cahaya yang lebih lemah.

      Permasalahan saya berawal terhadap pernyataan Pak Agus berikut ini:

      Untuk kasus hilal lebih problematis mengingat terbentuknya hilal tergantung oleh sudut elongasi bulan, hanya saja parameter piringan bawah bulan sebagai syarat cukup bisa menjadi acuan pemunculan hilal (kurang lebih seperti kriteria dalam kalender Ummul Qura). Pak Syarif mungkin berargumentasi bahwa hilal sebagai cahaya masih “terhalang” oleh cahaya senja ketika hilal terlalu rendah (seperti argumentasi Pak Djamaluddin), hanya saja perlu diingat bahwa keberadaan cahaya yang lebih kuat tidak bisa menghalangi atau menutupi cahaya lain yang lebih lemah. Cahaya tidak terhalang, hanya keterbatasan kemampuan mata manusia yang tidak mendeteksi keberadaan cahaya tersebut. Dengan kata lain, cahaya senja memang benar menghalangi mata manusia untuk medeteksi adanya hilal, tetapi cahaya hilal itu sendiri tidak pernah terhalang oleh cahaya senja

      Dari pernyataan Pak Agus, yang saya pahami bahwa cahaya senja menurut Pak Agus sepertinya bukan menjadi masalah. Apalagi kemudian Pak Agus mengatakan “Terdeteksinya bentuk hilal menggunakan kamera dengan olah citra membuktikan bahwa cahaya hilal itu memang benar-benar ada, meskipun mata tidak bisa mendeteksinya dikarenakan faktor kontras. “. Saya juga selalu mengatakan bahwa cahaya hilal itu selalu ada, bahkan di bawah ufuk pun cahaya hilal itu ada karena pasti selalu ada cahaya matahari yang dipantulkan oleh bulan ke bumi pada saat bulan-bumi-matahari membentuk sebuah sudut, sehingga saya selalu katakan kalau misalkan WH tidak perlu konsep penampakan, maka seharusnya tidak perlu menghitung kriteria keberadaan di atas ufuk, cukup kriteria ijtimak sebelum matahari terbenam. Untuk IR, cahaya senja menjadi masalah karena kontras cahaya hilal belum tampak saat cahaya senja masih kuat, sehingga penampakan hilal belum dapat dideteksi oleh mata.

      Kembali mengenai penggunaan kamera dengan olah citra. Apakah Pak Agus sudah menemukan rujukan mengenai sebuah observasi menggunakan tenologi tersebut yang dapat melihat hilal pada saat bulan pada posisi yang sangat rendah di atas ufuk saat matahari terbenam (ada cahaya senja)? Akan sangat sulit (atau mungkin mustahil???) untuk dapat melihat hilal pada derajat yang sangat rendah. Pak Agus sendiri mengatakan bahwa “fenomena hamburan Rayleigh menghalangi sebagian cahaya hilal”, artinya apabila bulan masih pada posisi yang rendah dan berdekatan dengan matahari saat matahari terbenam, cahaya hilal dan cahaya matahari akan mengalami fenomena hamburan rayleigh secara bersamaan. Karena cahaya hilal adalah juga cahaya matahari yang dipantulkan, maka saat itu cahaya hilal dan cahaya matahari yang dihamburkan berada pada panjang gelombang yang relatif sama (atau mungkin sama???) sehingga sangat sulit melihat kontras cahaya hilal dan cahaya senja apabila keduanya memiliki warna yang relatif sama.

      Menanggapi pernyataan Pak Agus berikutnya:

      Pak Syarif gagal menangkap maksud saya dengan konsep waktu dan satuan waktu yang saya tuliskan sebelumnya. Saya terus terang tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Pak Syarif, karena saya anggap penjelasan tambahan tersebut sudah cukup jelas dan bisa dimengerti, apalagi hal itu saya anggap belum terlalu melenceng jauh dari konsep “frame of reference” dalam fisika yang juga mudah untuk dimengerti

      Saya juga dapat mengatakan bahwa Pak Agus yang gagal menangkap maksud saya. Apalagi Pak Agus memasukan konsep “frame of reference”. Pergerakan bulan dan matahari yang terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat, adalah karena konsep “frame of reference” pergerakan bulan dan matahari relatif terhadap posisi pengamat yang berada di bumi. Sedangkan pengamat yang berada di luar bumi (tetapi masih dalam galaksi yang sama) akan melihat bahwa bulan bergerak mengelilingi bumi dari barat ke timur, bumi bergerak mengelilingi matahari dan matahari tetap tidak bergerak, kemudian pengamat yang berada di luar galaksi kita, akan melihat bahwa sesungguhnya matahari itu bergerak dan tidak tetap. Konsep ini dapat diukur dan dihitung karena secara ilmiah dapat diketahui pergerakannya, karena ilmu fisika itu bukan konsep berandai-andai.

      Mari kita kembali melihat pernyataan Pak Agus (http://bit.ly/yWDDq6):

      Untuk mudahnya, setiap satuan waktu diwakili oleh sebuah snapshot ilustrasi yang berisi gambaran posisi ufuk, bulan, dan matahari dari sudut pandang pengamat di bumi.
      – Ketika snapshot itu diambil dalam rentetan waktu setelah konjugsi sampai matahari tenggelam (misalna setiap 1 jam), maka kata “masih” adalah kata paling cocok ketika menilai posisi bulan tepat saat matahari tenggelam. Dalam kasus ini, gerak relatif bulan terhadap waktu adalah dari timur ke barat.
      – Ketika snapshot hanya diambil setiap waktu maghrib saja, dalam beberapa hari sebelum dan sesudah konjungsi, kondisi ketika bulan di atas ufuk dalam perjalan waktu tersebut lebih tepat diungkapkan dengan kata “sudah”, karena snapshot waktu sebelumnya dalam posisi di bawah ufuk, dan waktu sesudahnya semakin tinggi di atas ufuk. Dalam kasus ini, gerak relatif bulan terhadap hitungan waktu adalah dari barat ke timur.

      Disana jelas dikatakan bahwa konsep “frame of references” mengacu pada posisi pengamat di bumi. Oleh karena itu saya bertanya kembali ke Pak Agus, tolong tunjukan rujukun ilmiah yang mengatakan bahwa berdasarkan konsep “frame of reference” pergerakan bulan itu adalah dari barat ke timur berdasarkan pengamat di bumi? Jangan sampai konsep ini hanya berupa pengandaian saja, yaitu andaikan bulan bergerak dari barat ke timur, maka bulan yang di atas ufuk barat dikatakan sudah berada di atas ufuk, tetapi tidak dapat dibuktikan secara ilmiah kebenaran pergerakan tersebut.

      Selain itu, snapshot pada saat magrib sebelum dan sesudah konjungsi, tetap menempatkan bulan di atas ufuk timur dan bergerak terbenam di ufuk barat seiring dengan terbitnya matahari di ufuk timur. Sehingga pergerakan bulan dilihat dari sudut pengamat di bumi tetap dari timur ke barat dan tidak pernah sebaliknya. Atau mungkin pemahaman saya terhadap logika konsep “frame of references” yang lebih lemah dibandingkan Pak Agus, jadi mohon kiranya untuk dapat diberikan pencerahan mengenai konsep tersebut yang lebih tepat.

      Berikutnya Pak Agus berpendapat:

      Saya baru kali ini dengar kalau cahaya senja menjadi parameter “perhitungan” dalam hisab IR. Sejauh yang bisa saya baca dari paper-paper yang behubungan dengan IR, kriteria IR adalah sebuah penurunan rumus menggunakan parameter astronomis berdasar data-data hasil observasi. Yang dihitung hanyalah sebuah angka dengan dengan cara penilaian tertentu yang dianggap sesuai dan mewakili hasil-hasil observasi tersebut. Faktor hamburan Rayleigh tidak pernah ada dalam perhitungan itu sendiri, tetapi esensi dari efek hamburan tersebut (termasuk hamburan Mie tentunya) sudah masuk dalam data hasil observasi yang digunakan. Apakah Pak Syarif berpikir kalau hamburan Rayleigh yang sering anda sebut tersebut memang benar-benar dihitung yang kemudian menghasilkan nilai seperti “kontras cahaya hilal vs cahaya senjal”? (saya belum bisa membayangkan nilai seperti apa yang bisa mewakili kontras ini, mungkin “contrast ratio” seperti yang dipakai spesifikasi monitor?)

      Saya sudah menduga Pak Agus akan menanyakan hal tersebut :D. Dan saya sebenarnya yakin, bahwa Pak Agus mengerti apa yang saya tulis tersebut. Disini kembali Pak Agus mempermasalahkan suatu istilah yaitu “perhitungan”. Kalau Pak Agus cermat membaca lagi pernyataan saya, telah saya tulis mengenai perhitungan faktor cahaya senja yaitu kalimat di dalam tanda ():artinya kontras cahaya hilal sudah tidak dipengaruhi oleh cahaya senja. Kalau Pak Agus belum pernah mendengar bagaimana cara menghitung supaya kontras cahaya hilal tidak dipengaruhi oleh cahaya senja mungkin istilah “arc of light” (elongation) lebih familiar, artinya ada perhitungan sudut matahari dan bulan sehingga cahaya matahari yang dihamburkan (cahaya senja) tidak lagi mempengaruhi kontras pantulan cahaya matahari terhadap bulan (cahaya hilal). Saya bukan ahli astronomi dan ahli komputer, jadi silahkan baca kembali papernya Odeh atau papernya Pak Thomas untuk lebih jelas mengenai “perhitungan”-nya, untuk melihat apakah perhitungannya sama dengan menghitung kontras rasio monitor komputer kita.

      Pendapat Pak Agus berikutnya:

      Kalau Pak Syarif membaca lagi konteks pembicaraan tentang “akurat” yang saya sebut, anda tentu paham bahwa saya berbicara tentang IR yang memberikan parameter keberhasilan rukyatul hilal “sebagai perintah non-kontekstual sebagai satu-satunya dasar kriteria memulai bulan baru”. Dan saya jelaskan bahwa itu adalah faktor utama adalah kondisi atmosfer. Apakah cuaca yang buruk seperti awan, kabut, debu, dan lain-lain, bahwa rukyatul hilal gagal melihat adanya hilal tidak berubah.

      Kalau pendapat Bapak adalah seperti yang saya highlight, maka saya jelaskan juga bahwa Hisab IR berbeda dengan Rukyat Hilal, dan diskusi kita tentang HISAB bukan tentang Rukyat. Pak Thomas telah berulangkali menjelaskan, apabila telah disepakati satu kriteria visibilitas hilal berdasarkan HISAB, maka untuk keputusan awal bulan sudah tidak lagi diperlukan rukyat. Sudah ada contoh kalender yang dibuat berdasarkan HISAB IR, silahkan Pak Agus lihat di facebooknya Pak Thomas. Akan tetapi, tidak berarti bahwa rukyat kemudian dilarang untuk dikerjakan dan ditinggalkan sama sekali.

      Dengan asumsi bahwa kriteria IR yang dirumuskan telah benar-benar mewakili hasil observasi ini, otomatis hasil observasi menggunakan kamera CCD + olah citra akan masuk ke daerah “not possible”, seperti dalam kriteria Odeh. Tentu saja sebenarnya ini tidak bermasalah dalam pengambilan keputusan, karena pengguna IR biasanya hanya mengakui observasi hilal dengan mata (ditambah alat bantu optik), bukan dengan dengan kamera, apalagi ditambah dengan olah citra.

      Saya telah jelaskan kemungkinan yang terjadi apabila bulan berdekatan dengan matahari saat terbenam di atas. Dimana cahaya matahari yang dipantulkan oleh bulan dan cahaya matahari yang langsung menuju bumi akan sama-sama di hamburkan pada saat matahari terbenam. Karena keduanya sama-sama berasal dari cahaya matahari, maka gelombang cahaya yang dihamburkan akan relatif sama. Apakah bisa kita memisahkan gelombang cahaya yang relatif sama dengan menggunakan kamera CCD? bahkan Martin Elsasser sendiri pun mungkin akan berkata “it is impossible” (sebelum jadi pertanyaan, saya nyatakan bahwa pernyataan Martin ini adalah spekulasi saya) karena kemungkinan membedakan kontras untuk warna yang relatif sama adalah sangat kecil.

      Dalam konsep imkan rukyat, keberadaan cahaya hilal adalah sesuatu yang dianggap tidak cukup, karena kriteria adalah keterlihatan hilal. Konsep hilal yang “ada” dan hilal yang “terlihat” mempunyai makna khusus yang tidak kompatible dalam konteks imkan rukyat, sehingga Pak Syarif harus konsisten dalam menggunakannya. Kecuali jika hilal yang ada itu adalah hilal yang terlihat, maka keduanya bisa saling menggantikan, hanya saja definisi ini kontradiksi dengan pernyataan Pak Syarif karena sedang berbicara tentang hilal yang tidak terlihat di Jakarta. Yang menjadi permasalahan tentang penggunaan istilah yang saya maksudkan adalah, ketika sebuah istilah sudah didefinisikan dengan jelas menurut konteks suatu konsep tertentu (baca: wujudul hilal), tetapi pembaca tetap memaksa pemahaman istilah tersebut menggunakan konteks yang berbeda (baca: imkanu rukyat). Ini yang tidak sesuai menurut saya.

      Sepertinya penjelasan saya yang berhubungan dengan contoh kondisi pada tanggal 28 September 2011: http://www.icoproject.org/icop/kea32.html menjadi tidak berarti dimata Pak Agus. Dicontoh tersebut terlihat seluruh Sumatera dan Jawa masuk dalam wilayah “dapat melihat hilal”. Karena Pak Agus senang berandai-andai, ijinkan saya berandai-andai. Andaikan hanya wilayah Jakarta yang tertutup awan, sedangkan seluruh wilayah sumatera dan jawa tidak tertutup awan dan dapat melihat hilal, apakah hasil HISAB IR gugur untuk wilayah Jakarta karena hilal tertutup awan dan tidak terlihat? Saya telah jelaskan bahwa kondisi cuaca yang berlangsung tidak mempengaruhi keputusan hasil hisab IR. Kondisi tutupan awan akan mempengaruhi kemampuan untuk merukyat hilal tetapi tidak untuk menghisab hilal.

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan.

    • Pak Syarif,

      Kita hentikan saja diskusi kita mengenai makna “terhalang”. Ketidaksediaan Pak Syarif untuk melepaskan faktor mata dan keterlihatan menjadikannya sebagai diskusi yang tidak ada manfaatnya. Meskipun saya tidak menyalahkan faktor ketidakmampuan mata sebagai “terhalang” dalam konteks IR, bahwa pemahaman tersebut tidak sama dengan makna terhalang dalam contoh yang saya ajukan sebagai penafsiran WH kurang bisa dimengerti.

      Kembali mengenai penggunaan kamera dengan olah citra. Apakah Pak Agus sudah menemukan rujukan mengenai sebuah observasi menggunakan tenologi tersebut yang dapat melihat hilal pada saat bulan pada posisi yang sangat rendah di atas ufuk saat matahari terbenam (ada cahaya senja)?

      Saya sudah menyinggungnya dalam tulisan sebelumnya. Silakan baca baik-baik.

      Karena cahaya hilal adalah juga cahaya matahari yang dipantulkan, maka saat itu cahaya hilal dan cahaya matahari yang dihamburkan berada pada panjang gelombang yang relatif sama (atau mungkin sama???) sehingga sangat sulit melihat kontras cahaya hilal dan cahaya senja apabila keduanya memiliki warna yang relatif sama.

      Sekali lagi saya ingin bertanya, siapakah yang meminta agar dua jenis cahaya dengan panjang gelombang yang sama harus bisa dibedakan untuk mengatakan adanya kedua cahaya tersebut benar-benar sampai ke pengamat?

      Disana jelas dikatakan bahwa konsep “frame of references” mengacu pada posisi pengamat di bumi. Oleh karena itu saya bertanya kembali ke Pak Agus, tolong tunjukan rujukun ilmiah yang mengatakan bahwa berdasarkan konsep “frame of reference” pergerakan bulan itu adalah dari barat ke timur berdasarkan pengamat di bumi? Jangan sampai konsep ini hanya berupa pengandaian saja, yaitu andaikan bulan bergerak dari barat ke timur, maka bulan yang di atas ufuk barat dikatakan sudah berada di atas ufuk, tetapi tidak dapat dibuktikan secara ilmiah kebenaran pergerakan tersebut.

      Saya menggunakan ungkapan “tidak terlalu melenceng” untuk menjukkan bahwa gambaran saya itu tidak sama persi dengan “frame of reference”.
      Dalam tulisan yang pak Syarif tebalkan, terdapat ungkapan “…, gerak relatif bulan terhadap hitungan waktu adalah dari barat ke timur.” Menurut Pak Syarif, ungkapan “terhadap hitungan waktu” itu maksudnya apa? Padahal saya juga sudah menuliskan “Untuk mudahnya, setiap satuan waktu diwakili oleh sebuah snapshot ilustrasi yang berisi gambaran posisi ufuk, bulan, dan matahari, …”. Untuk kasus kedua, sekarang bayangkan bagaimana gerak relatif bulan terhadap ufuk barat ketika t=-2, t=-1, t=0, t=1, t=2 (dimana t=0 adalah maghrib ketika bulan sudah diatas ufuk dan sebelumnya terjadi konjungsi, t=1 adalah maghrib sesudahnya).

      Kalau Pak Agus belum pernah mendengar bagaimana cara menghitung supaya kontras cahaya hilal tidak dipengaruhi oleh cahaya senja mungkin istilah “arc of light” (elongation) lebih familiar, artinya ada perhitungan sudut matahari dan bulan sehingga cahaya matahari yang dihamburkan (cahaya senja) tidak lagi mempengaruhi kontras pantulan cahaya matahari terhadap bulan (cahaya hilal). Saya bukan ahli astronomi dan ahli komputer, jadi silahkan baca kembali papernya Odeh atau papernya Pak Thomas untuk lebih jelas mengenai “perhitungan”-nya, untuk melihat apakah perhitungannya sama dengan menghitung kontras rasio monitor komputer kita.

      Saya sudah baca paper Odeh dan Pak Djamaluddin sebelum menulis pertanyaan tersebut, makanya saya bertanya kembali, bagaimana cara melakukan perhitungan agar “kontras cahaya hilal tidak dipengaruhi oleh cahaya senja”? Kemudian, formula yang mana yang dipakai untuk mendefinisikan “kontras cahaya hilal” tersebut?
      Selain itu, kalaupun misalnya “perhitungan”-nya hanya sekedar menentukan apakan parameter-parameter astronomis dinilai memungkinkan hilal untuk dilihat atau belum, satu parameter ARCL tidaklah cukup, mengingat ketinggian hilal di atas ufuk juga sangat berbengaruh besarnya intesitas cahaya senja.

      Kalau pendapat Bapak adalah seperti yang saya highlight, maka saya jelaskan juga bahwa Hisab IR berbeda dengan Rukyat Hilal, dan diskusi kita tentang HISAB bukan tentang Rukyat.

      Silakan lihat bagaimana diskusi ini dimulai:
      Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif. Anggap rukyatul hilal sebagai perintah non-kontekstual sebagai satu-satunya dasar kriteria memulai bulan baru. Ketika dibaca sebagai praktek apa adanya, pada dasarnya penampakan hilal adalah sebatas permasalahan persepsi mata manusia. Apakah mata bisa menangkap keberadaan hilal ditentukan oleh: (1) keberadaan cahaya hilal; (2) sampai tidaknya cahaya tersebut ke mata; (3) kemampuan mata mendeteksi cahaya yang masuk sebagai hilal.
      Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat, karena panampakan hilal sangat dipengaruhi kondisi fisik atmosfer ketika observasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk jauh-jauh hari.

      Terus terang saya tidak tahu bagaimana Pak Syarif tidak membaca konteks pembicaraan yang saya tulis di atas.

      Karena keduanya sama-sama berasal dari cahaya matahari, maka gelombang cahaya yang dihamburkan akan relatif sama. Apakah bisa kita memisahkan gelombang cahaya yang relatif sama dengan menggunakan kamera CCD?

      Kontras tidak seluruhnya hanya disebabkan oleh warna sebagai persepsi mata terhadap panjang gelombang cahaya. Intesitas cahaya juga sangat berpengaruh. kalau Pak Syarif mencoba memahami bagaimana olah citra itu dilakukan terhadap banyak gambar yang ditangkap dari arah datangnya cahaya hilal, anda akan tahu mengapa argumentasi Pak Syarif di atas menjadi lemah. Seperti yang saya tuliskan sebelunya, selalu ada kondisi dimana hilal tidak bisa diamati lewat mata ditambah alat bantu optik, tapi bisa dideteksi melalui kamera ditambah olah citra. Bukankan itu alasan mengapa Martin mengusulkan sistem ini untuk memandu pelaksanaan rukyatul hilal? (karena posisi hilal lebih mudah terdeteksi lebih dulu menggunakan metode ini).

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

      Mohon maaf, kembali saya yang dipersalahkan dalam berdiskusi :D. Saya bingung dengan maksud Pak Agus bahwa saya tidak bersedia melepaskan faktor mata dan keterlihatan? Bukankah faktor “mata” dan “keterlihatan” merupakan bagian dari imkan rukyat yang menurut Pak Agus saya harus konsisten dengan istilah tersebut? Dan maksud Pak Agus dengan pernyataan “cahaya senja memang benar menghalangi ( [ kemampuan | keberhasilan ] mata manusia untuk medeteksi adanya hilal)” bukankah mempunyai pengertian bahwa cahaya yang lebih kuat dapat mempengaruhi kemampuan mata manusia untuk melihat cahaya yang lebih lemah?

      Kemudian saya hanya menunjukan bahwa belum pernah ada yang melakukan observasi dengan kamera CCD pada saat matahari terbenam dan posisi bulan sangat rendah, karena yang pernah melakukan itu hanya pada saat konjungsi (saat maupun sesaat setelah konjungsi). Dimana justru pada saat matahari terbenam, cahaya senja mempengaruhi kontras dari cahaya hilal.

      Sekali lagi saya ingin bertanya, siapakah yang meminta agar dua jenis cahaya dengan panjang gelombang yang sama harus bisa dibedakan untuk mengatakan adanya kedua cahaya tersebut benar-benar sampai ke pengamat?

      Waduh saya bingung dengan pernyataan Pak Agus. Bukan kah Pak Agus yang pertama kali membawa masalah deteksi hilal dengan menggunakan kamera CCD ? Saya berasumsi bahwa Pak Agus mengerti bagaimana cara olah citra menggunakan kamera CCD tersebut, oleh karena itu saya memberikan argumentasi seperti yang Bapak pertanyakan.

      Saya menggunakan ungkapan “tidak terlalu melenceng” untuk menjukkan bahwa gambaran saya itu tidak sama persi dengan “frame of reference”.
      Dalam tulisan yang pak Syarif tebalkan, terdapat ungkapan “…, gerak relatif bulan terhadap hitungan waktu adalah dari barat ke timur.” Menurut Pak Syarif, ungkapan “terhadap hitungan waktu” itu maksudnya apa? Padahal saya juga sudah menuliskan “Untuk mudahnya, setiap satuan waktu diwakili oleh sebuah snapshot ilustrasi yang berisi gambaran posisi ufuk, bulan, dan matahari, …”. Untuk kasus kedua, sekarang bayangkan bagaimana gerak relatif bulan terhadap ufuk barat ketika t=-2, t=-1, t=0, t=1, t=2 (dimana t=0 adalah maghrib ketika bulan sudah diatas ufuk dan sebelumnya terjadi konjungsi, t=1 adalah maghrib sesudahnya).

      Terus terang untuk yang satu ini, saya hormat dengan Pak Agus. Logika Bapak memang lebih kuat dari logika saya, sehingga saya tidak terpikir kalau bulan bisa bergerak terpotong-potong berdasarkan waktu menggunakan konsep “frame of references”. Oleh karena itu saya mohon pencerahan dari Pak Agus dengan menggunakan logika yang sama dengan konsep “frame of references” untuk dapat menerangkan paragraf yang tertulis dalam buku pedoman hisab Muhammadiyah hal 81. Dimana disana dikatakan

      … Dalam kaitan ini, ufuk dijadikan garis batas untuk menentukan apakah Bulan sudah mendahului matahari atau belum dalam perjalanan keduanya dari arah barat ke timur.

      Kalau dalam kasus bulan bergerak relatif terhadap waktu maghrib, maka posisi matahari berhenti pada waktu magrib dan bulan bergerak berdasarkan snapshot waktu tersebut sehingga kalaupun dikatakan bulan mendahului matahari, tidaklah mungkin karena mataharinya diam tidak bergerak. Tetapi pada buku tersebut dikatakan bahwa keduanya bergerak dari barat ke timur dan bulan mendahului matahari, kira-kira logika menggunakan konsep “frame of references”-nya seperti apa?.

      Saya sudah baca paper Odeh dan Pak Djamaluddin sebelum menulis pertanyaan tersebut, makanya saya bertanya kembali, bagaimana cara melakukan perhitungan agar “kontras cahaya hilal tidak dipengaruhi oleh cahaya senja”? Kemudian, formula yang mana yang dipakai untuk mendefinisikan “kontras cahaya hilal” tersebut?
      Selain itu, kalaupun misalnya “perhitungan”-nya hanya sekedar menentukan apakan parameter-parameter astronomis dinilai memungkinkan hilal untuk dilihat atau belum, satu parameter ARCL tidaklah cukup, mengingat ketinggian hilal di atas ufuk juga sangat berbengaruh besarnya intesitas cahaya senja.

      Di paper Odeh ada gambar (Figure 1) yang menunjukkan bagaimana cara menghitung arc of light. Mengenai rumusnya silahkan ditanyakan kepada para ahli astronomi yang membaca diskusi ini (karena saya bukan ahli astronomi). Kemudian saya juga pernah menyinggung tentang intensitas (silahkan lihat tanggapan saya tanggal 4 Januari: http://bit.ly/wyTWdj), dimana saya mengatakan:

      Pengaruh cahaya senja ini hanya akan dapat dihilangkan apabila kita dapat membedakan antara kontras cahaya hilal dengan kontras cahaya senja. Karena ini adalah proses optik dalam panjang gelombang visible, apabila cahaya hilal memiliki panjang gelombang yang relatif sama dengan panjang gelombang di sekitarnya, maka sangat sulit membedakan kontras tersebut. Selain itu, faktor cahaya senja yang kadang masih menyilaukan menambah sulit untuk membedakan kontras tersebut.

      Dan saya kira juga sudah jelas dari kesimpulan papernya Pak Thomas yang TIDAK menyebutkan bahwa perhitungan hanya perlu menggunakan satu parameter ARCL saja.

      Silakan lihat bagaimana diskusi ini dimulai:
      Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif. Anggap rukyatul hilal sebagai perintah non-kontekstual sebagai satu-satunya dasar kriteria memulai bulan baru. Ketika dibaca sebagai praktek apa adanya, pada dasarnya penampakan hilal adalah sebatas permasalahan persepsi mata manusia. Apakah mata bisa menangkap keberadaan hilal ditentukan oleh: (1) keberadaan cahaya hilal; (2) sampai tidaknya cahaya tersebut ke mata; (3) kemampuan mata mendeteksi cahaya yang masuk sebagai hilal.
      Ilmu hisab yang sudah majupun sebenarnya TIDAK MUNGKIN memperkirakan penampakan hilal ini dengan akurat, karena panampakan hilal sangat dipengaruhi kondisi fisik atmosfer ketika observasi, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan untuk jauh-jauh hari.
      Terus terang saya tidak tahu bagaimana Pak Syarif tidak membaca konteks pembicaraan yang saya tulis di atas.

      Terus terang Pak Agus, saya juga bingung mengapa argumentasi saya tidak dipahami oleh Bapak. Bukankah kita sedang membahas hisab dan BUKAN rukyat. Pengertian tentang rukyat saya setuju, tetapi pengertian tentang hisab oleh Pak Agus ada permasalahan disana. Bapak mengatakan, hisab tidak mungkin akurat dengan memasukan faktor kondisi atmosfer pada saat observasi (rukyat). Padahal berkali-kali dijelaskan, hasil perhitungan IR tidak akan gugur apabila saat observasi wilayahnya tertutup awan, apakah ini belum jelas? jadi kembali ke contoh yang pernah saya tampilkan, kalaupun seluruh wilayah Indonesia tertutup awan dan tidak terlihat hilal sama sekali berdasarkan obervasi, tetapi karena perhitungan hisab menunjukkan bahwa hilal dapat terlihat, maka kondisi tertutup awan itu tidak mempengaruhi hasil hisab sama sekali. Saya kira ini sangat mudah untuk dimengerti. Buktinya sudah ada yang berhasil membuat kalender dengan dasar perhitungan hisab IR yang dilakukan jauh-jauh hari. Dan di website icoproject pun sudah dapat dilihat peta visibilitas hilal berdasarkan hasil perhitungan hisab IR sampai dengan akhir tahun 2012 (artinya jauh-jauh hari juga kan :D).

      Kontras tidak seluruhnya hanya disebabkan oleh warna sebagai persepsi mata terhadap panjang gelombang cahaya. Intesitas cahaya juga sangat berpengaruh. kalau Pak Syarif mencoba memahami bagaimana olah citra itu dilakukan terhadap banyak gambar yang ditangkap dari arah datangnya cahaya hilal, anda akan tahu mengapa argumentasi Pak Syarif di atas menjadi lemah. Seperti yang saya tuliskan sebelunya, selalu ada kondisi dimana hilal tidak bisa diamati lewat mata ditambah alat bantu optik, tapi bisa dideteksi melalui kamera ditambah olah citra. Bukankan itu alasan mengapa Martin mengusulkan sistem ini untuk memandu pelaksanaan rukyatul hilal? (karena posisi hilal lebih mudah terdeteksi lebih dulu menggunakan metode ini).

      Yang penting dalam olah citra bukan banyaknya gambar tapi bagaimana citra dapat menangkap perbedaan kontras yang terjadi antara hilal dan langit sebagai latar belakangnya (saat matahari terbenam, latarnya adalah cahaya senja). Sehingga dikenal proses filter, untuk menghilangkan cahaya lain yang berbeda dengan cahaya hilal. Misalnya, Martin Elsasser menggunakan optical filter warna merah/infra red untuk menghilangkan warna langit yang berwarna biru (memaksimalkan kontras antara hilal dan langit). Gambar berikut mungkin dapat memberikan contoh menarik tentang perbedaan warna saat matahari terbenam (http://bit.ly/yJcjbu), terlihat semakin mendekati posisi matahari maka warna semakin cerah. Hilal di awal bulan (saat matahari terbenam) umumnya berada dekat dengan posisi matahari (elongasi lebih kecil dari 6 derajat) apabila berada pada posisi yang rendah di atas ufuk. Apabila intensitas cahaya senja lebih tinggi dibandingkan cahaya hilal, tentunya sulit untuk membedakan antara hilal dan cahaya senja, apalagi bila keduanya berada panjang gelombang yang relatif sama (di siang hari warna hilal berbeda dengan warna latarnya yang biru).

      Kemudian, apabila kita lihat semua hasil laporan yang terdapat di website icoproject, sepertinya CCD imaging telah menjadi bagian dari sistem pelaporan observasi hilal. Karena sudah menjadi bagian dari sistem tersebut, saya berasumsi bahwa kemampuan CCD imaging sudah dimasukan dalam perhitungan mengenai peta visibilitas hilal oleh Odeh (atau saya bisa saja salah dalam hal ini) dan masuk ke dalam wilayah yang berwarna biru (need optical aid).

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksinya. Terima kasih.

    • Pak Syarif,

      Terus terang untuk yang satu ini, saya hormat dengan Pak Agus. Logika Bapak memang lebih kuat dari logika saya, sehingga saya tidak terpikir kalau bulan bisa bergerak terpotong-potong berdasarkan waktu menggunakan konsep “frame of references”.

      Saya hanya sebatas menjawab pertanyaan Pak Syarif tentang penggunakan kata “sudah”, dan mengapa kata tersebut cukup relevan dipakai untuk menjelaskan posisi bulan terhadap ufuk barat. Tidak ada yang ilmiah dalam pernyataan itu, tapi gambaran saya tersebut saya anggap mewakili penekanan terhadap perubahan kondisi bulan yang saya maksud.

      Tetapi pada buku tersebut dikatakan bahwa keduanya bergerak dari barat ke timur dan bulan mendahului matahari, kira-kira logika menggunakan konsep “frame of references”-nya seperti apa?.

      Saya kira Pedoman Hisab Muhammadiyah mengacu ke penjelasan Saadoe’ddin Djambek dalam buku Hisab Awal Bulan (hal. 4-6) yang kurang lebih mengatakan hal yang sama. Penjelasannya sedikit susah dimengerti, tapi masih bisa dipahami (anggap pengamat imajiner di pusat bumi sehingga efek rotasi bumi bisa diabaikan).

      Klik untuk mengakses djambek_hisab_awal_bulan.pdf

      <blockquote
      Terus terang Pak Agus, saya juga bingung mengapa argumentasi saya tidak dipahami oleh Bapak. Bukankah kita sedang membahas hisab dan BUKAN rukyat. Pengertian tentang rukyat saya setuju, tetapi pengertian tentang hisab oleh Pak Agus ada permasalahan disana.

      Maaf, sekali lagi saya tandaskan, dalam konteks pembicaraan yang saya mulai dengan “Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif …”, adalah hisab yang akurat memberi kepastian keberhasilan sebuah rukyatul hilal. Dengan alasan apapun, ketika sebuah rukyat tidak berhasil melihat hilal, berarti kegagalan untuk mendapat alasan syar’i untuk memulai bulan baru di hari itu (lihat kembali kalimat yang dimulai dengan “Anggap ..”). Ketika dikaitkan dengan IR, hisab IR tidak mendefinisikan kriteria yang menjamin bahwa sebuah rukyatul hilal akan berhasil, tapi sekedar kriteria dimana posisi bulan (hilal) kemungkinan berhasil dirukyat (dimana berhasil tidaknya tergantung kondisi atmosfer). Dalam contoh kasus Pak Syarif, hisab IR bisa mengatakan kalau prediksi visibilitas hilal sudah terkonfirmasi dengan hasil rukyat tempat lain yang relatif dekat dengan Jakarta (dan benar adanya), tapi untuk konteks di atas hisab tidak bisa memprediksi ketikdaberhasilan rukyat di Jakarta tersebut.

      Di paper Odeh ada gambar (Figure 1) yang menunjukkan bagaimana cara menghitung arc of light. Mengenai rumusnya silahkan ditanyakan kepada para ahli astronomi yang membaca diskusi ini (karena saya bukan ahli astronomi). Kemudian saya juga pernah menyinggung tentang intensitas (silahkan lihat tanggapan saya tanggal 4 Januari: http://bit.ly/wyTWdj), dimana saya mengatakan:

      ARCL adalah parameter astronomi, dalam hal ini adalah lebih tepat dibilang input dari sebuah kriteria dalam hisab (sesuatu yang perlu diketahui), bukan sebaga tujuan akhir dari perhitungan (output) itu sendiri. Bahkan mengacu ke paper yang sama, ARCL sendiri bukan parameter paling ideal, tetapi crescent width (W), ditambah dengan parameter ARCV untuk memprediksi visibilitas hilal. Sekali lagi, tidak ada itu perhitungan “kontras cahaya hilal” yang bisa mengalahkan “kontras cahaya senja”, kecuali dengan cara terbalik: data observasi visibilitas hilal diolah untuk mendapatkan kesimpulan berdasar parameter W dan ARCV.

      Yang penting dalam olah citra bukan banyaknya gambar tapi bagaimana citra dapat menangkap perbedaan kontras yang terjadi antara hilal dan langit sebagai latar belakangnya (saat matahari terbenam, latarnya adalah cahaya senja). Sehingga dikenal proses filter, untuk menghilangkan cahaya lain yang berbeda dengan cahaya hilal. Misalnya, Martin Elsasser menggunakan optical filter warna merah/infra red untuk menghilangkan warna langit yang berwarna biru (memaksimalkan kontras antara hilal dan langit).

      Saya persilakan Pak Syarif untuk mempelajari seperti apa olah citra yang dilakukan oleh Martin. Juga bandingkan salah satu citra asli (dari kamera) dengan citra terakhir hasil olah citra tersebut. Pak Syarif akan mengetahui bahwa pernyataan pak Syarif di atas tidak seluruhnya benar.
      http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln2007/crescent_processing.html

      <blockquote
      Kemudian, apabila kita lihat semua hasil laporan yang terdapat di website icoproject, sepertinya CCD imaging telah menjadi bagian dari sistem pelaporan observasi hilal. Karena sudah menjadi bagian dari sistem tersebut, saya berasumsi bahwa kemampuan CCD imaging sudah dimasukan dalam perhitungan mengenai peta visibilitas hilal oleh Odeh (atau saya bisa saja salah dalam hal ini) dan masuk ke dalam wilayah yang berwarna biru (need optical aid).

      Silakan baca kembali baca paper Odeh tersebut mengenai bagaimana kriteria Odeh diturunkan. Dalam database hanya ada 3 kategori terlihat:
      9. Visibility by naked eyes; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried.
      10. Visibility by binocular; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried.
      11. Visibility by telescope; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried

      Pak Syarif tidak akan menemukan apa itu “terlihat” dalam konteks hasil dari olah citra.

    • Pak Syarif,

      (Maaf posting sebelumnya formatnya hancur karena typos penulisan tag. Tulisan saya posting sekali lagi)

      Terus terang untuk yang satu ini, saya hormat dengan Pak Agus. Logika Bapak memang lebih kuat dari logika saya, sehingga saya tidak terpikir kalau bulan bisa bergerak terpotong-potong berdasarkan waktu menggunakan konsep “frame of references”.

      Saya hanya sebatas menjawab pertanyaan Pak Syarif tentang penggunakan kata “sudah”, dan mengapa kata tersebut cukup relevan dipakai untuk menjelaskan posisi bulan terhadap ufuk barat. Tidak ada yang ilmiah dalam pernyataan itu, tapi gambaran saya tersebut saya anggap mewakili penekanan terhadap perubahan kondisi bulan yang saya maksud.

      Kalau dalam kasus bulan bergerak relatif terhadap waktu maghrib, maka posisi matahari berhenti pada waktu magrib dan bulan bergerak berdasarkan snapshot waktu tersebut sehingga kalaupun dikatakan bulan mendahului matahari, tidaklah mungkin karena mataharinya diam tidak bergerak. Tetapi pada buku tersebut dikatakan bahwa keduanya bergerak dari barat ke timur dan bulan mendahului matahari, kira-kira logika menggunakan konsep “frame of references”-nya seperti apa?.

      Saya kira Pedoman Hisab Muhammadiyah mengacu ke penjelasan Saadoe’ddin Djambek dalam buku Hisab Awal Bulan (hal. 4-6) yang kurang lebih mengatakan hal yang sama. Penjelasannya sedikit susah dimengerti, tapi masih bisa dipahami (anggap pengamat imajiner di pusat bumi sehingga efek rotasi bumi bisa diabaikan).

      Klik untuk mengakses djambek_hisab_awal_bulan.pdf

      Terus terang Pak Agus, saya juga bingung mengapa argumentasi saya tidak dipahami oleh Bapak. Bukankah kita sedang membahas hisab dan BUKAN rukyat. Pengertian tentang rukyat saya setuju, tetapi pengertian tentang hisab oleh Pak Agus ada permasalahan disana.

      Maaf, sekali lagi saya tandaskan, dalam konteks pembicaraan yang saya mulai dengan “Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif …”, adalah hisab yang akurat memberi kepastian keberhasilan sebuah rukyatul hilal. Dengan alasan apapun, ketika sebuah rukyat tidak berhasil melihat hilal, berarti kegagalan untuk mendapat alasan syar’i untuk memulai bulan baru di hari itu (lihat kembali kalimat yang dimulai dengan “Anggap ..”). Ketika dikaitkan dengan IR, hisab IR tidak mendefinisikan kriteria yang menjamin bahwa sebuah rukyatul hilal akan berhasil, tapi sekedar kriteria dimana posisi bulan (hilal) kemungkinan berhasil dirukyat (dimana berhasil tidaknya tergantung kondisi atmosfer). Dalam contoh kasus Pak Syarif, hisab IR bisa mengatakan kalau prediksi visibilitas hilal sudah terkonfirmasi dengan hasil rukyat tempat lain yang relatif dekat dengan Jakarta (dan benar adanya), tapi untuk konteks di atas hisab tidak bisa memprediksi ketikdaberhasilan rukyat di Jakarta tersebut.

      Di paper Odeh ada gambar (Figure 1) yang menunjukkan bagaimana cara menghitung arc of light. Mengenai rumusnya silahkan ditanyakan kepada para ahli astronomi yang membaca diskusi ini (karena saya bukan ahli astronomi). Kemudian saya juga pernah menyinggung tentang intensitas (silahkan lihat tanggapan saya tanggal 4 Januari: http://bit.ly/wyTWdj), dimana saya mengatakan:

      ARCL adalah parameter astronomi, dalam hal ini adalah lebih tepat dibilang input dari sebuah kriteria dalam hisab (sesuatu yang perlu diketahui), bukan sebaga tujuan akhir dari perhitungan (output) itu sendiri. Bahkan mengacu ke paper yang sama, ARCL sendiri bukan parameter paling ideal, tetapi crescent width (W), ditambah dengan parameter ARCV untuk memprediksi visibilitas hilal. Sekali lagi, tidak ada itu perhitungan “kontras cahaya hilal” yang bisa mengalahkan “kontras cahaya senja”, kecuali dengan cara terbalik: data observasi visibilitas hilal diolah untuk mendapatkan kesimpulan berdasar parameter W dan ARCV.

      Yang penting dalam olah citra bukan banyaknya gambar tapi bagaimana citra dapat menangkap perbedaan kontras yang terjadi antara hilal dan langit sebagai latar belakangnya (saat matahari terbenam, latarnya adalah cahaya senja). Sehingga dikenal proses filter, untuk menghilangkan cahaya lain yang berbeda dengan cahaya hilal. Misalnya, Martin Elsasser menggunakan optical filter warna merah/infra red untuk menghilangkan warna langit yang berwarna biru (memaksimalkan kontras antara hilal dan langit).

      Saya persilakan Pak Syarif untuk mempelajari seperti apa olah citra yang dilakukan oleh Martin. Juga bandingkan salah satu citra asli (dari kamera) dengan citra terakhir hasil olah citra tersebut. Pak Syarif akan tahu bahwa pernyataan pak Syarif di atas sama sekali tidak benar.
      http://www.mondatlas.de/other/martinel/sicheln2007/crescent_processing.html

      Kemudian, apabila kita lihat semua hasil laporan yang terdapat di website icoproject, sepertinya CCD imaging telah menjadi bagian dari sistem pelaporan observasi hilal. Karena sudah menjadi bagian dari sistem tersebut, saya berasumsi bahwa kemampuan CCD imaging sudah dimasukan dalam perhitungan mengenai peta visibilitas hilal oleh Odeh (atau saya bisa saja salah dalam hal ini) dan masuk ke dalam wilayah yang berwarna biru (need optical aid).

      Silakan baca kembali baca paper Odeh tersebut mengenai bagaimana kriteria Odeh diturunkan. Dalam database hanya ada 3 kategori terlihat:
      9. Visibility by naked eyes; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried.
      10. Visibility by binocular; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried.
      11. Visibility by telescope; Invisible (I), visible (V) or blank if not tried

      Pak Syarif tidak akan menemukan apa itu “terlihat” dalam konteks hasil dari olah citra.

    • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya.

      Saya berterima kasih juga karena Pak Agus sudah menyinggung masalah konsep “frame of references”, karena dengan pemahaman konsep yang sama, maka saya berharap kita bisa berada pada satu pengertian yang sama. Untuk itulah saya setuju dengan pernyataan bahwa bulan bergerak dari barat ke timur karena pergerakannya relatif terhadap waktu magrib (snapshot waktu) dilihat dari pengamat di bumi. Pernyataan Bapak tentang “frame of references” itu ilmiah loh, karena ini prinsip dasar fisika, saya kurang paham yang di maksud dengan ” tidak ada yang ilmiah dalam pernyataan itu”, tetapi kalau itu ditujukan ke pernyataan saya yang di highlight oleh Pak Agus, saya mohon maaf.

      Kembali saya mengajak Pak Agus untuk melihat permasalahan dalam pergerakan matahari dan bulan bersama-sama dari barat ke timur menggunakan konsep “frame of references” supaya kita punya dasar yang sama dalam melihat permasalahan.

      Saya kira Pedoman Hisab Muhammadiyah mengacu ke penjelasan Saadoe’ddin Djambek dalam buku Hisab Awal Bulan (hal. 4-6) yang kurang lebih mengatakan hal yang sama. Penjelasannya sedikit susah dimengerti, tapi masih bisa dipahami (anggap pengamat imajiner di pusat bumi sehingga efek rotasi bumi bisa diabaikan).

      Supaya sama, saya menggunakan pemahaman bahwa pergerakan matahari relatif terhadap posisi pengamat dan kondisi rotasi bumi yang di highlight dari pernyataan Pak Agus. Disini saya masih tidak menemui masalah dalam pemahaman menggunakan konsep “frame of references”. Permasalahan saya timbul saat pergerakan tersebut mulai menggunakan ufuk sebagai garis batas bahwa bulan telah mendahului matahari. Satu-satunya saat dimana bulan telah mendahului matahari menggunakan posisi pengamat yang diajukan Pak Agus adalah saat setelah terjadi konjungsi/ijtimak. Tetapi, mengapa pada saat menggunakan posisi ufuk, posisi pengamat berubah dan asumsi bahwa bumi tidak berotasi menjadi dihilangkan (lihat buku Hisab awal bulan, hal: 14)?

      Pernyataan tersebut menjadi tidak konsisten apabila dikatakan bahwa matahari dan bulan bergerak dari barat ke timur relatif terhadap A, tetapi menyimpulkan bahwa bulan mendahului matahari saat matahari terbenam di ufuk terhadap gerak matahari relatif terhadap B padahal pergerakan tersebut dari timur ke barat (A dan B adalah posisi pengamat dan asumsi yang digunakan). Kalau tetap menggunakan posisi yang sama (posisi yang saya highlight dari pernyataan Pak Agus), maka saat matahari terbenam dan bulan di atas ufuk, posisi bulan masih berada di barat matahari (karena pergerakan mereka dari barat ke timur dan ufuk yang terbentuk (bidang pandang mata atau field of view) oleh pengamat adalah karena asumsi bahwa efek rotasi bumi diabaikan). Ini yang saya belum paham Pak Agus. Mohon pencerahannya.

      Pak Agus: “Maaf, sekali lagi saya tandaskan, dalam konteks pembicaraan yang saya mulai dengan “Mari kita memakai pendekatan logis dan objektif …”, adalah hisab yang akurat memberi kepastian keberhasilan sebuah rukyatul hilal. Dengan alasan apapun, ketika sebuah rukyat tidak berhasil melihat hilal, berarti kegagalan untuk mendapat alasan syar’i untuk memulai bulan baru di hari itu (lihat kembali kalimat yang dimulai dengan “Anggap ..”). Ketika dikaitkan dengan IR, hisab IR tidak mendefinisikan kriteria yang menjamin bahwa sebuah rukyatul hilal akan berhasil, tapi sekedar kriteria dimana posisi bulan (hilal) kemungkinan berhasil dirukyat (dimana berhasil tidaknya tergantung kondisi atmosfer). Dalam contoh kasus Pak Syarif, hisab IR bisa mengatakan kalau prediksi visibilitas hilal sudah terkonfirmasi dengan hasil rukyat tempat lain yang relatif dekat dengan Jakarta (dan benar adanya), tapi untuk konteks di atas hisab tidak bisa memprediksi ketikdaberhasilan rukyat di Jakarta tersebut.”

      Hisab dan Rukyat itu kan berbeda Pak Agus, saya yakin bapak mengerti dalam hal ini. IR adalah hisab dan bukan rukyat. Selama dalam perhitungannya hilal sudah di atas ufuk dan kontras hilal sudah lebih kuat dari cahaya senja, maka posisi hilal kemungkinan dapat diamati. Saya sudah berkali-kali menerangkan bahwa dalam perhitungan ini tidak memperhitungkan kondisi cuaca, awan, haze, fog, mist dan polusi udara lainnya. Hisab IR tidak bisa memprediksi keadaan cuaca, karena keadaan cuaca yang selalu berubah-ubah (bukan parameter tetap). Apakah Pak Agus ingin mengatakan, bahwa apabila berdasarkan hisab IR tanggal 19 AGUSTUS 2012 (kondisi jauh-jauh hari dari sekarang) adalah awal bulan SYAWAL 1433, maka keputusan tersebut harus menunggu rukyat dan SEMUA yang merukyat harus dapat melihat hilal pada tanggal 18 AGUSTUS 2012? sehingga apabila ada yang tidak dapat melihat hilal melalui rukyat tanggal 18 AGUSTUS maka hasil perhitungan hisab IR adalah salah? Apakah menurut Pak Agus hisab IR tidak syar’i dan tidak ilmiah hanya karena dilapangan bisa saja tidak melihat hilal yang diakibatkan oleh kondisi cuaca, padahal dalam perhitungannya sudah dijelaskan bahwa cuaca adalah parameter tidak tetap yang dapat di abaikan?

      Bukankah sudah dijelaskan, bahwa apabila semua sudah setuju dengan satu kriteria hisab visibilitas hilal, maka keputusan awal bulan TIDAK PERLU lagi menunggu hasil rukyat. Dalam hal pengambilan keputusan maka dapat dikatakan tidak ada hubungannya antara hisab dan rukyat, karena hasil perhitungan hisab sudah dapat menggantikan hasil rukyat. TETAPI, rukyat tetap perlu dilakukan untuk mengamati kondisi perubahan posisi dan pergerakan matahari, bulan dan bumi, sebagai bagian dari pembuatan dabase untuk memperkuat perhitungan (hisab), seperti juga yang dijelaskan oleh Pak Rahmadi W. Suwarno (2007) dalam tulisannya yang berjudul “Menelisik Metodologi Hisab-Falak Muhammadiyah: Studi Historis-Komparatif” pada Bab VI. Hisab Hakiki dan Wujudul Hilal Model Muhammad Wardan (hal 12-13):

      Meski buku ini dicetak tahun 1957, tanpa mengurangi nilai pentingnya karya ini dan konstribusi pemikiran Muhammad Wardan, diharapkan para pemerhati ilmu hisab menindaklanjuti pemikiranya melalui riset yang berkesinambungan. Karena salah satu kelemahan sistem hisab hakiki adalah penggunaan data. Misalnya, data yang disediakan dalam buku “Hisab ‘Urfi dan Hakiki” bersifat tetap. Padahal seharusnya data tersebut berubah-ubah karena pergerakan matahari, bulan dan bumi itu sendiri, meski perubahan tersebut tidak seberapa besar.

      Kemudian berikutnya Pak Agus mengatakan:

      ARCL adalah parameter astronomi, dalam hal ini adalah lebih tepat dibilang input dari sebuah kriteria dalam hisab (sesuatu yang perlu diketahui), bukan sebaga tujuan akhir dari perhitungan (output) itu sendiri. Bahkan mengacu ke paper yang sama, ARCL sendiri bukan parameter paling ideal, tetapi crescent width (W), ditambah dengan parameter ARCV untuk memprediksi visibilitas hilal. Sekali lagi, tidak ada itu perhitungan “kontras cahaya hilal” yang bisa mengalahkan “kontras cahaya senja”, kecuali dengan cara terbalik: data observasi visibilitas hilal diolah untuk mendapatkan kesimpulan berdasar parameter W dan ARCV.

      Untuk pendapat ini saya bertanya ke Pak Agus, ini logika pertanyaan sederhana, menurut Bapak, untuk apa parameter crescent width (W) itu digunakan selain dari perbedaan kontras cahaya? karena makin besar nilai parameter W, maka semakin jauh posisi lengkung bulan dengan matahari. Untuk Indonesia, apabila parameter W yang digunakan maka akan semakin jauh titik temu antara WH dan IR.

      Pak Agus: “Saya persilakan Pak Syarif untuk mempelajari seperti apa olah citra yang dilakukan oleh Martin. Juga bandingkan salah satu citra asli (dari kamera) dengan citra terakhir hasil olah citra tersebut. Pak Syarif akan mengetahui bahwa pernyataan pak Syarif di atas tidak seluruhnya benar.”

      Saya persilahkan juga Pak Agus melihat kembali ke tautan yang sama, dan melihat alat-alat apa saja yang digunakan oleh Martin dalam melakukan pengambilan gambar menggunakan olah citra. Salah satu alat yang digunakan adalah “filter” dan ini dengan jelas selalu diterangkan oleh Martin. Pertanyaan saya, apabila Martin mengambil gambar tersebut tanpa menggunakan filter dan hanya berdasarkan pengambilan gambar yang “banyak”, apakah kira-kira olah citranya akan berhasil? lihat bagian “How to image extreme lunar crescents” pada tautan tersebut.

      Obervasi Martin dilakukan saat warna hilal berbeda dengan latar belakangnya (warna langit) yang biru. Karena diskusi kita tentang penentuan awal bulan baru, bagaimana kalau warna hilal relatif sama dengan warna latarnya (cahaya senja saat matahari terbenam) saat posisi hilal masih rendah di atas ufuk dan sudut elongasi yang mendekati elongasi observasi Martin (4.75 derajat), apakah pengambilan gambar yang “banyak” tanpa menggunakan filter masih dapat berguna (pada tanggapan sebelumnya saya memberikan contoh warna cahaya senja saat matahari tenggelam)?

      Pak Agus: “Silakan baca kembali baca paper Odeh tersebut mengenai bagaimana kriteria Odeh diturunkan. Dalam database hanya ada 3 kategori terlihat: … Pak Syarif tidak akan menemukan apa itu “terlihat” dalam konteks hasil dari olah citra.”

      Paper Odeh kan tahun 2006 diterbitkannya Pak Agus, sekarang sudah tahun 2012. Data pada tabel tersebut didapat dari tahun 1988 sampai dengan (mungkin) tahun 2004/2005 saat paper tersebut disubmit ke jurnal. Tentunya dengan diperkenalkannya metode baru CCD Imaging, asumsi saya ada penambahan kolom dalam tabel tersebut. Cara yang paling tepat adalah melihat perhitungan pada software yang dibuat Odeh, karena dalam software pasti selalu ada pembaharuan, sekarang saja versinya sudah versi 5.3.2 artinya sudah lebih baru dari versi awalnya. Pada website icoproject sepertinya Odeh sudah mempertimbangkan pengukuran dengan CCD imaging, silahkan lihat pada penjelasan mengenai “Telescope Menu”.

      Demikian tanggapan saya, mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. Terima Kasih.

    • Pak Syarif,

      Pergerakan matahari dan bulan yang dimaksud dalam “Hisab Awal Bulan” adalah pergerakan relatif matahari dan bulan di bola langit (relatif terhadap bintang-bintang jauh), sebagaimana apa yang dapat diobservasi oleh pengamat di bumi. Pergerakan bulan disebabkan revolusi bulan terhadap bumi, sedangkan pergerakan matahari adalah akibat dari revolusi bumi terhadap matahari (bukan rotasi bumi di sumbunya). Tentu saja ada pengaruh rotasi bumi terhadap pengamat yang di permukaan bumi (parallaks), makanya observasi di permukaan bumi perlu dilakukan dalam kondisi yang relatif sama seperti pada saat matahari tenggelam (atau untuk kasus pergerakan ini saja, pengamat imajiner dari pusat bumi bisa dipakai).

      Sedang ijtima’ adalah posisi bulan dan matahari dalam satu garis bujur ekliptika, dimana pengamat dari pusat bumi (geosentris). Boleh saja ‘bulan mendahului matahari’ dengan kriteria ini, tapi karena adanya parallaks, konjungsi toposentris (dari pengamat di permukaan bumi) tidak sama dengan ijtima’/konjungsi geosentris ini. Kemudian, garis ufuk tidak harus sejajar dengan garis bujur ekliptika, menyebabkan ‘bulan mendahului matahari’ relatif terhadap ufuk berbeda dengan ‘bulan mendahului matahari’ pada saat konjungsi toposentris (tergantung posisi bumi dalam revolusinya, lintang tempat observasi, dan posisi bulan terhadap matahari saat konjungsi). Saya tidak merasa perlu membahasnya lebih jauh karena hanya sekedar fakta-fakta astronomi saja.

      Hisab dan Rukyat itu kan berbeda Pak Agus, saya yakin bapak mengerti dalam hal ini. IR adalah hisab dan bukan rukyat. Selama dalam perhitungannya hilal sudah di atas ufuk dan kontras hilal sudah lebih kuat dari cahaya senja, maka posisi hilal kemungkinan dapat diamati.

      Ya, saya paham mengenai hal ini. Juga bahwa dalam prakteknya, penentuan awal bulan dengan hisab IR bisa tidak sesuai dengan sunnah Nabi, yaitu pada saat cuaca buruk yang meliputi daerah luas, tapi hilal sudah terhitung tinggi dan mungkin dirukyat. Atau ketika ternyata ada yang mengaku melihat hilal pada posisi yang benar dan berani disumpah, meskipun kriteria IR tertentu belum dipenuhi. Apakah hisab IR itu benar-benar syar’i atau tidak itu tergantung yang menilai, karena ada juga sebagian umat Islam yang meharamkan hisab — termasuk hisab IR. Sama halnya dengan ketika menilai WH mempunyai dalil syar’i yang kuat atau tidak, itu kembali terserah cara penilaiannya. Karenanya saya menandaskan, kalau memang satu-satunya dasar hukum memulai awal bulan hanyalah keterlihatan hilal dengan mata, tidak ada hisab yang bisa memprediksikannya secara akurat. Pada kenyataannya hisab selalu menggunakan argumentasi tambahan untuk menjustifikasikan penggunaan perhitungan terhadap bulan dalam penentuan awal bulan tersebut.

      Untuk pendapat ini saya bertanya ke Pak Agus, ini logika pertanyaan sederhana, menurut Bapak, untuk apa parameter crescent width (W) itu digunakan selain dari perbedaan kontras cahaya? karena makin besar nilai parameter W, maka semakin jauh posisi lengkung bulan dengan matahari. Untuk Indonesia, apabila parameter W yang digunakan maka akan semakin jauh titik temu antara WH dan IR.

      Seperti saya jelaskan sebelumnya, tidak ada “perhitungan” dari hisab dalam kriteria IR tertentu untuk menghitung kontras cahaya hilal terhadap matahari. Yang ada adalah menghitung parameter bulan untuk menilai apakah bulan tersebut bisa dikategorikan bisa dirukyat/terlihat atau tidak. Sedangkan kriteria IR itu sendiri bukanlah sebuah penurunan melalui teori fisika murni, tetapi tidak lebih penarikan kesimpulan antara data observasi yang dianggap valid terhadap parameter astronomi yang telah dipilih sebelumnya.
      Kemudian, hisab IR murni seharusnya adalah untuk memprediksi keberhasilan rukyat, jadi tidak ada hubungannya dengan malah mencari titik temu antara hisab IR dan WH.

      Saya persilahkan juga Pak Agus melihat kembali ke tautan yang sama, dan melihat alat-alat apa saja yang digunakan oleh Martin dalam melakukan pengambilan gambar menggunakan olah citra. Salah satu alat yang digunakan adalah “filter” dan ini dengan jelas selalu diterangkan oleh Martin. Pertanyaan saya, apabila Martin mengambil gambar tersebut tanpa menggunakan filter dan hanya berdasarkan pengambilan gambar yang “banyak”, apakah kira-kira olah citranya akan berhasil? lihat bagian “How to image extreme lunar crescents” pada tautan tersebut.

      Saya paham tentang penggunaan filter, tapi bukan itu masalahnya. Pak Syarif mengatakan dalam konteks olah citra tidak penting adanya banyaknya citra, dan yang paling penting adalah perbedaan kontras (dalam konteksnya, tentu saja kontras dalam persepsi mata manusia). Ini yang saya salahkan. Saya sebelumnya menyarankan Pak Syarif utuk melihat salah satu citra awal yang ditangkap kamera (sudah dengan filter optik tentunya), apakah Pak Syarif bisa melihat perbedaan kontras? Saya yakin tidak. Kemudian satu gambar tersebut diproses melalu olah citra, apakah crescent sudah terdeteksi? Ternyata belum juga. Hanya ketika banyak citra dipadukan dengan teknik tertentu untuk saling menguatkan bagian yang konsisten “ada”, baru kita bisa mengidentifikasikan sebuah bentuk yang sesuai dengan crescent yang diharapkan. Terbukti bahwa ada kasus dimana crescent masih bisa terdeteksi dengan kamera + olah citra meskipun mata tidak bisa melihat adanya crescent tersebut. Ini point saya.

      Paper Odeh kan tahun 2006 diterbitkannya Pak Agus, sekarang sudah tahun 2012. Data pada tabel tersebut didapat dari tahun 1988 sampai dengan (mungkin) tahun 2004/2005 saat paper tersebut disubmit ke jurnal. Tentunya dengan diperkenalkannya metode baru CCD Imaging, asumsi saya ada penambahan kolom dalam tabel tersebut. Cara yang paling tepat adalah melihat perhitungan pada software yang dibuat Odeh, karena dalam software pasti selalu ada pembaharuan, sekarang saja versinya sudah versi 5.3.2 artinya sudah lebih baru dari versi awalnya. Pada website icoproject sepertinya Odeh sudah mempertimbangkan pengukuran dengan CCD imaging, silahkan lihat pada penjelasan mengenai “Telescope Menu”.

      Maaf Pak Syarif, silakan berasumsi, tapi jangan dibentrokkan dengan argumentasi orang lain ketika Pak Syarif tidak mempunyai alasan kuat untuk menggunakan asumsi tersebut. Jadi silakan tunjukkan dimana paper yang menjelaskan kriteria Odeh yang baru tersebut. Juga, silakan tujukkan kalau Accurate Times versi baru menggunakan kriteria Odeh “baru” tersebut. Silakan dipakai sendiri programnya, kemudian diplot di peta, dan perlihatkan adanya kriteria keterlihatan hilal selain mata telanjang atau ditambah alat bantu optik (teropong/teleskop).

  70. Pak Syarif….konsep keterlihatan hilal (bulan) itu dewasa ini tidak relevan lagi. Bahwa dulu konsep itu sangat penting…saya setuju. Dan bahkan, konsep keterlihatan hilal itu dulu telah menyempurnakan ilmu astronomi hingga seperti kita kenal sekarang ini. Dari konsep keterlihatan hilal itu, astronom lalu membuat formulasi sehingga kini dengan mudah diketahui posisi bulan setiap saat. Mengapa kita tidak bisa lagi mengandalkan konsep keterlihatan?

    Karena dg konsep keterlihatan, maka kita telah mengabaikan ribuan bahkan jutaan benda langit. Lantaran benda2 langit tsb tidak cukup memantulkan cahaya ke bumi, lantas kita menganggap benda2 langit tsb tidak pernah terbit di atas langit (langitnya bumi). Bagaimana jika benda2 langit tsb terlihat dari stasiun ruang angkasa atau dari planet Mars, Jupiter atau Neptunus tapi tidak terlihat dari bumi? Makanya, terbit-terbenamnya benda2 langit harus menganut konsep posisi (kedudukan) benda2 langit, tidak bisa lagi menganut konsep keterlihatan. Konsep posisi/kedudukan berarti batasnya adalah ufuk. Bahwa matahari sudah terlihat oleh mata 3 menit sebelum nyembul di atas ufuk atau 3 menit setelah melewati garis ufuk(karena faktor pembiasan cahaya), itu bukan masalah besar. Dengan dasar itulah, posisi benda2 langit juga ditentukan.

    Satu pertanyaan : apakah benda2 langit yang terlihat dari bumi itu semuanya karena memantulkan cahaya matahari (mataharinya kita)? Saya yakin tidak. Katanya jagad raya ini terdiri dari ribuan tatasurya, dan tiap tatasurya memiliki matahari sendiri. Nah, oleh karena itu, konsep keterlihatan benda langit yang hanya mendasari pantulan sinar mataharinya tatasurya kita, menjadi tidak relevan. Bagaimana jika suatu benda langit terlihat dari bumi tapi ia memantulkan sinar matahari lain? Atau justru matahari lain (mataharinya tatasurya lain) yang terlihat dari bumi? Makanya…konsep keterlihatan dari bumi (apalagi hasil pantulan sinar matahari tatasurya kita) menjadi tdk relevan.

  71. Pak Syarif…..kalau kita mau jujur bicara konsep keterlihatan atau kenampakan, masih ada satu kriteria yang perlu ditambahkan. Yaitu ukuran benda yang dilihat. Jika benda yang dilihat berukuran kecil (dan jauh) maka bisa tidak terlihat meskipun tidak ada sesuatu yang menghalangi. Contoh burung yang terbang cukup/sangat tinggi, karena ukurannya terlalu kecil maka tidak terlihat oleh mata. Apakah hal ini disebabkan terhalang oleh atmosfir? Saya rasa tidak, soalnya jika searah burung tsb ada bintang atau bulan (misalnya menjelang magrib), bintang dan bulan tetap kelihatan. Oh….karena burung berwarna hitam? Tidak juga, sebab andaipun burung itu burung blekok (berwarna putih) tetap saja tidak akan terlihat. Sekali lagi ini faktor ukuran. Andai bulan itu hanya berukuran sebesar bola kaki, maka pantulannya tetap tidak sampai ke bumi. Nah…itu kalau kita bicara konsep keterlihatan.

    Tapi dalam konteks terbit-terbenamnya benda2 langit, konsepnya adalah posisi benda2 langit, bukan keterlihatan. Benda langit yang tidak terlihat oleh mata pun, sepanjang ia berada di atas ufuk, maka ia dinyatakan telah terbit. Pembatasnya cuma satu kriteria….yaitu ufuk. Menurut saya, konsep keterlihatan benda2 langit itu konsep awal pemahaman manusia. Manusia zaman peradaban awal memang mengetahui benda langit dari penampakannya. Planet Pluto itu baru ditemukan belakangan dan sebelumnya dianggap tidak pernah ada. Demikian seterusnya. Makanya, semakin tahun semakin banyak benda langit yang ditemukan, ini terkait dengan kemajuan iptek.

    Memang….bulan dan matahari dianggap sebagai landasan syar’i dalam penentuan puasa dan hari raya. Saya setuju. Tapi saya kurang setuju kalau konsepnya adalah keterlihatan. Bagaimanapun manusia diberi akal, dan hadits tentang rukyat itu menurut saya tidak merujuk kepada hilal, tetapi bulan. Memang, para ahli tafsir umumnya memaknai hilal (termasuk di Muhammaadiyah, karena Muhammadiyah juga merujuk kepada tafsir hadits ulama2 besar terdahulu). Tapi saya lebih yakin memaknai bulan (dan Muhammadiyah telah mengubah paradigma hilal ke bulan, setidaknya dari kriteria hisab WH nya). Mengapa para ahli tafsir memaknai hilal? Karena memang bulan baru itu bentuknya sabit (hilal) jadi ulama merujuknya ke sana. Sebelum hadits itu diucapkan oleh Nabi saw, para sahabat sudah mengetahui kalau awal bulan itu bulan berbentuk sabit. Jadi hadits dimaknai demikian. Ini sama halnya kita pernah melihat gadis cantik yang bernama Sherly. Lalu, setiap mendengar nama Sherly, imajinasinya langsung ke gadis cantik. Padahal, yang namanya Sherly belum tentu cantik.

    Saya justru bingung memaknai hadits “shumuu liru’yatihi”….dengan makna hilal. Saya koq yakin memaknai bulan. Persoalan bahwa pada awal2 bulan dan di akhir2 bulan itu bulan (rembulan) berbentuk sabit….itu soal lain. Justru kalau melihat hilal jadi rancu, karena hilal (bulan sabit) terlihat di waktu2 awal dan di waktu2 akhir bulan qomariah. Artinya, ada dua masa rembulan berbentuk sabit. Nah…kan jadi rancu.

    • Pak Prasojo, terima kasih atas tanggapannya.

      Sebelumnya kita samakan dulu presepsi tentang konsep terlihat oleh mata, berikut beberapa link yang menarik, yang menurut saya sesuai dengan konsep terlihat oleh mata yang saya pahami: (http://bit.ly/y1C4pm , http://bit.ly/AjyZtf ), mudah-mudahan kita sepakat dalam hal ini.

      Kemudian, hamburan cahaya di atsmosfer terjadi karena ukuran partikel yang ada di atmosfer mempengaruhi perjalanan cahaya matahari ke bumi. Tentunya sangat tidak mungkin kita melihat partikel tersebut. Tetapi partikel ini berpengaruh terhadap proses jalannya cahaya. Apabila panjang gelombang cahaya (dalam kelompok cahaya tampak/visible light) lebih besar dari partikel tersebut, maka panjang gelombang cahaya yang lebih pendek (biru) akan dihamburkan terlebih dahulu (prinsip terjadinya langit yang berwarna biru), sedangkan panjang gelombang yang lebih besar (merah) akan dihamburkan di tempat yang lebih jauh (prinsip terjadinya cahaya senja) berikut tautan yang menarik: (http://bit.ly/zWSbtq, http://bit.ly/zEQw5S ) . Sedangkan apabila partikel tersebut berukuran sama dengan gelombang cahaya tampak, maka seluruh cahaya akan dihamburkan secara sempurna (contoh prinsip awan berwarna putih). Dalam hal ini ukuran berpengaruh.

      Kemudian mengapa burung blekok (berwarna putih) dan burung gagak (berwarna hitam) tidak terlihat apabila terbang tinggi di atas langit? Jawabannya karena kontras pantulan cahaya yang dipantulkan kedua burung tersebut kalah oleh kontras langit yang menjadi lingkungan sekitarnya. Mari kita bereksperimen sedikit, apabila kita ambil kertas yang berwarna hitam, kemudian di atas kertas tersebut kita buat lima buah lingkaran yang senada dengan bendera olimpiade (biru, kuning, hitam, hijau, merah) dan satu lingkaran berwarna putih. Semua ukuran lingkaran sama. Letakan kertas tersebut pada jarak tertentu dimana kertas masih dapat terlihat oleh mata. Pertanyaan saya, manakah yang paling jelas terlihat, lingkaran putih atau hitam? Bagaimana dengan lingkaran yang lainnya? Ini lah yang disebut kontras.

      Sekarang, konteks diskusi kita di blognya Pak Thomas adalah bulan. Tentunya ukuran bulan tidak sekecil bola kaki apalagi sekecil partikel di atmosfer. Kalau saya juga diperbolehkan berandai-andai, apabila ukuran partikel di atmosfer sebesar bola kaki, bayangkan apa yang terjadi dengan perjalanan cahaya matahari ke bumi? Ukuran hilal akan berpengaruh terhadap kontras hilal dengan cahaya senja. Umumnya hilal di awal bulan sangat tipis sehingga sangat sulit dibedakan dengan cahaya senja. Oleh karena itulah cahaya senja menjadi salah satu faktor utama selain ufuk.

      Tanggapan saya terkait dengan posisi matahari dan bulan dalam perjalanannya setelah ijtimak menuju ufuk (point pertama), belum mendapat tanggapan oleh Pak Prasojo. Dan kita sedang membahas masalah penentuan awal bulan Hijiryah, yang kriterianya adalah saat terbenamnya bulan dan matahari (moonset after sunset) pada sore hari, jadi saya masih belum paham mengapa perlu membahas masalah terbitnya bulan (moonrise) yang umumnya terjadi pada pagi hari di awal bulan baru? Mengenai konsep terbit terbenam bulan berikut tautan yang menarik: http://bit.ly/yiDZCG dan http://bit.ly/yhROLD. Itu semua karena pengaruh atmospheric refraction (http://bit.ly/zTkSkq dan http://bit.ly/yKxc1l ). Semuanya itu adalah proses dalam konsep penampakan, jadi kalau pengaruh atmosfer hanya memperhatikan nilai refraksi saja,adalah kurang tepat, karena masih kurang satu pengaruh atmosfer yang lain yaitu hamburan cahaya dalam bentuk cahaya senja. Kalau pengaruh atmosfer dihilangkan artinya menghilangkan faktor hamburan cahaya (cahaya senja) dan juga faktor refraksi cahaya. Kira-kira menurut Pak Prasojo pada saat menghitung (hisab) waktu matahari terbenam apakah menghitung posisi “actual sunset” (posisi sunset sebenarnya) atau “apparent sunset” (posisi sunset yang TERLIHAT)? Ketika piringan atas bulan itu masih di atas ufuk, apakah dihitung saat posisi matahari terbenam yang sebenarnya (actual sunset) ataukah saat posisi matahari terbenam yang TERLIHAT(apparent sunset)?

      Mengenai hadist, saya kurang paham kalau pembahasan mengarah ke fiqh hadist. Tetapi dalam buku tersebut di jelaskan bahw perintah awal itu adalah MELIHAT dan yang dilihat adalah sebuah benda yang TERLIHAT. Karena perintah ini ada sebabnya (‘ilatnya), maka perintah tersebut diganti jadi MEMPERKIRAKAN/MENGHITUNG (HISAB). Saya berpikir kalau perintahnya adalah melihat hilal/bulan yang terlihat, harusnya diganti menjadi memperhitungkan keberadaan hilal/bulan yang dapat dilihat. Tetapi definisi tersebut berubah menjadi memperhitungkan keberadaan hilal/bulan yang TIDAK dapat dilihat. Perubahan definisi inilah yang dipertanyakan dalam diskusi di blog ini.

      Demikian tanggapan dari saya, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan. Mohon koreksi dari Pak Prasojo.

  72. Ass wr wb. Konsep keterlhhatan memang hanya utk HILAL saja, bukan utk semua bemda langit (laa tashuumuu tarowul hilal = jangan puasa shg kamu MELIHAT HILAL – H.R.Bukhari, Muslim 653) dan juga bukan utk BULAN karena HILAL adalah HASIL SPESIFIK kombinasi pergerakan matahari, bumi dan bulan yg bisa DILIHAT dr permukaan bumi. Oleh krn itu konsep ini tdk dpt diberlakukan utk BULAN yg setiap harinya terbit diufuk timur dan terbenam diufuk barat termasuk saat setelah terjadinya ijtimak. Wass wr wb.

  73. Pak Syarif….lho…kan mulai hari qomariyah itu kan dimulai saat magrib? Jadi konjungsi yang terjadi sebelum magrib ya belum dihitung sebagai hari donk…. Masa’ kita harus menghitung mundur ke magrib sebelumnya? Memang manusia bisa mbalik ke waktu sebelumnya? Jadi, meskipun bulan terbit di ufuk timur dan bergerak ke barat, tapi saat itu (dari pagi hari hingga menjelang magrib) ya masih bagian dari hari semalamnya, bukan hari magrib ke depannya. Setelah magrib sorenya, baru dimulai hari. Nah…saat itu dilihat posisi bulan….apakah sudah di atas ufuk atau belum. Begitu lho…..

  74. Ass wr wb. Hari2 hijriyah dimulai saat magrib krn tgl.1 awal bulan hijriyah dimulai saat TERLIHATNYA HILAL setelah ijtimak yg hanya terjadi pd saat MAGRIB. BULAN pd saat itu pd posisi menjelang terbenam diufuk barat setelah sebelumnya terbit dan besgerak dr ufuk timur sejak pagi hari. TERBITnya BULAN diufuk timur TIDAK SELALU pagi hari melainkan TERBIT PD PAGI HARI pd tgl.1 bln hijriyah dan akan TERBIT PD SAAT HARI SEMAKIN SIANG pd hari2 berikutnya hingga SAAT PURNAMA terbit pd saat MAGRIB.Wass

  75. Ass wr wb. Lanjutan dr hadist H.R.Bukhari,Muslim 653 adalah “apabila TERTUTUP AWAN maka PERKIRAKANKAH”. Ini berarti bhw dlm keadban SELAIN TERTUTUP AWAN tdk diperkenankan membuat perkiraaan mengenai HILAL dg kata lain kalau setelah dilakukan RUKYAT teroyata TIDAK TERLIHAT HILAL maka bln Sya’ban dhgenapkan 30hr. Wass wr wb.

    • Mudah-mudahan pa Bambang dan yang sehaluan, bisa konsisten (istiqomah) dengan prinsip tersebut…

      Kalau bulan puasa harus begitu… di bulan lain pun semestinya begitu… Sebab Bulan itu diatur semua nya Oleh Allah swt…

      (…dan jadilah Kalender yang ditentukan Tuhan ini cuma Kalender Dadakan Bulanan… Kalah sama Kalender Masehi warisan Orang Pagan Romawi yang pengaturan bulan dan tanggal nya seenak perut si Kaisar nya saja… 😦 )

      Atau menurut pa Bambang… bulan puasa diatur Allah swt… sedangkan bulan lain diaturnya oleh Ahli Hisab ?… 😦

      Cobalah sekali-kali berpikirnya jangan di posisi sebagai umat Pecundang… yang mau saja dicekokin Kalender Masehi sebagai kalender resmi Dunia…
      Tapi berpikirlah sebagai Umat Penakluk Muka Bumi… yang mau tak mau Kalender Resmi Dunia itu adalah Kalender Hijriyah…

      Atau pak Bambang pingin nya umat Islam ini sebagai umat Pecundang terus sampai kiamat ?…

  76. Sebenarnya, saat/waktu pergantian hari qomariah (bukan pergantian bulan) itu apakah mau menggunakan batas magrib atau batas terbit matahari (pagi), tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah (khususnya sholat). Sebab seluruh waktu sholat itu berdasarkan posisi matahari, bukan berdasarkan posisi bulan, kecuali hanya satu sholat yaitu sholat sunnat gerhana bulan. Sholat subuh itu saat fajar, tidak perduli posisi bulan di atas ufuk ataupun di bawah ufuk. Sholat dzuhur itu saat matahari tergelincir di atas kepala, tidak peduli posisi bulan di mana. Demikian seterusnya sholat ashar, magrib, isya, bahkan sholat malam (qiyamu lail). Posisi bulan hanya untuk menentukan pergantian bulan.

    Lalu bagaimana dengan sholat taraweh jika pergantian hari dihitung mulai saat pagi hari? Jadi kacau? Nggak juga (kecuali bagi yang berkeyakinan bahwa sholat taraweh itu hanya dilakukan pada bulan puasa—ini memang sedikit membingungkan). Istilah Sholat taraweh itu umumnya dikenal di kalangan ummat islam Indonesia dan ummat Islam di wilayah Asia Tenggara. Kalau di luar bulan Ramadhan, kita menyebutnya sholat tahajud. Pada zaman Nabi, sholat malam disebut qiyamu lail, dan qiyamu lail ini dilakukan oleh Nabi saw baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Bahkan menurut riwayat, Nabi saw hanya 3 malam melaksanakan sholat qiyamu lail (atau yg kemudian kita kenal dengan sebutan sholat taraweh) di masjid. Selebihnya beliau melakukannya di rumah. Oleh karena itu, kalaupun pergantian hari itu dihitung mulai pagi hari (saat terbit matahari), tidak akan berpengaruh pada pelaksanaan sholat taraweh (qiyamu lail). Katakanlah begini, pada saat matahari terbenam, hilal sudah terlihat atau bulan wujud, tapi ummat islam sepakat bahwa malam itu belum masuk pergantian tanggal/hari dan paginya baru dinyatakan hari/tanggal berganti, ini tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan ibadah sholat.

    Bagaimana dengan ibadah puasa? Tidak juga mengalami masalah. Katakanlah kita sahur jam 04.00 WIB (masih tanggal 30 Sya’ban) dan jam 06.00 WIB matahari terbit (masuk tanggal 1 Ramadhan), saya yakin ibadah puasanya sah. Mengapa? Karena penetapan pergantian hari itu sesungguhnya hanya bersifat administratif. Sama halnya penetapan hari Senin sampai Minggu, ini juga bersifat administratif. Mengapa jumlah hari dalam satu minggu itu ada 7? Kenapa tidak 9 misalnya? Atau 5 biar sama dengan jumlah waktu sholat wajib? Yang pasti….waktu terus berjalan, bumi terus berputar. Di saat2 yang telah ditetapkan sebagai waktu2 ibadah….mari kita laksanakan ibadah. Justru karena bumi ini bulat dan terus berputar inilah….makanya dimungkinkan adanya perbedaan, termasuk perbedaan waktu sholat di antara belahan2 bumi. Saat ini magrib bagi Sulawesi, sebentar lagi Surabaya, terus Semarang, Jakarta dst. Jika Allah tidak menginginkan perbedaan, barangkali Allah akan menciptakan bumi ini sebuah hamparan yang datar dan statis. So…jangan tabu dengan perbedaan.

  77. Ass wr wb. Kelihatanoya jalur pemikiran pak Ivan sdh searah dg saya. Kalender masehi memang hanya berpedoman pd kombinasi pergerakan matahari dan bumi yg sederhana shg ketetapannya sebagian besar adalah hasil kotak-katik-mathuk dr manusia. Sedangkan kalender hijriyah berpedoman pd kombinasi pergerakan matahari, bumi dan bulan yg ketetapannya lebih banyak diatur ALLAH SWT, dimana hisab setiap awal bulan hrs dilengkapi dg bukti rukyat. Wass wr wb.

    • Kalau umat Islam jadi Umat Penakluk Muka Bumi… Jadi Umat Super Power… Pemimpin Peradaban Dunia…
      MAKA Kalender Hijriyah itu AKAN dijadikan Kalender Resmi Dunia…

      Yang Namanya Kalender Resmi Dunia… itu artinya : Segala Sektor Kehidupan Sipil manusia di berbagai negara memakai Acuan Kalender Hijriyah yang Ada…

      Kehidupan manusia akan Kacau Balau Porak Poranda penuh ketidakpastian… bila Kalender yang Ada adalah Kalender Dadakan Bulanan…

      (DAN jangan lupa… dengan prinsip pa Bambang… bila untuk ibadah puasa Ramadhan harus rukyat… bulan lain pun harus rukyat juga… INI MESTI… sebab di setiap bulan ada puasa sunat tgl 13,14,15)

      .

      Saya tanya kepada pak Bambang :

      – Apakah Kalender Hijriyah (Qomariyah) Ketetapan Tuhan itu cuma buat ibadah saja ?… Tidak bisa dijadikan Kalender Administrasi Manusia ?…
      Sehingga untuk administrasi kita selalu tergantung dengan Kalender buatan Orang Pagan Romawi…

      – Apakah Allah swt Sang Maha Pencipta yang Maha Sempurna… memberi kepada manusia sebuah Kalender yang “tidak multi guna, yang malah bikin sulit manusia”… yang bisanya cuma buat ngitung puasa saja ?…

      .

      Cobalah pak Bambang renungkan… Fokuskan kepada penggunaan Kalender nya…

      Apa itu yang diinginkan Alloh swt dengan ketetapan Penanggalan Nya ?…

      .

  78. Ass wr wb, Jadi ini bukan posisi pecundang melainkan tahapan mengkonfrontir pemahaman ttg awal blm hijriyah yg dipengaruhi oleh teori astronomi terutama teori NEWMOON yg notabene merupakan hasil kotak-katik-mathuk dr manusia yg tidak sejalan dg teori PENAMPAKAN HILAL yg merupakan ketetapan ALLAH SWT. Pembagian kalender masehi menjadi 12 bln juga tdk dipengaruhi oleh teori newmoon krn setiap awal blnnya tdk bertepatan saat konjungsi (bulan baru = newmoon). Kembalilah pd ketetapan ALLAH SWT. Wass

    • Ini mah Subjektif… menurut saya saja…

      Kita umat Islam itu (termasuk para ulama dan Ilmuwan nya) sedang ada dalam posisi Umat Pecundang… Berbeda dengan Ulama dan Ilmuwan terdahulu, zaman keemasan peradaban Islam…
      (maaf kalau kasar, maklum saya masih muda dan suka gregetan melihat Tokoh-tokohnya yang dirasakan Jumud dalam berpikir… tapi mudah-mudahan jadi bahan pemikiran)

      Umat Islam zaman Khalifah Umar bin Khattab sudah bisa menampilkan Ilmuwan Zaid bin Tsabit ra, yang dengan kegeniusan (di zaman) nya mampu menemukan solusi Perhitungan Waris dalam Al Quran yang belum ada pada saat Nabi masih hidup…
      yaitu Metoda Aul… yang bisa dikatakan Metoda Penghitungan Relatif…

      (…yang bila umat Islam pada waktu itu, tokoh-tokoh nya adalah orang-orang Jumud… bisa dipastikan umat Islam sampai sekarang akan bingung terus menerapkan Penghitungan Waris yang ada dalam Al Quran…
      “Hak waris 2 sdr pr sebesar 2/3 ditambah suami sebesar 1/2” akan selalu bikin bingung sampai kiamat bila umat Islam tidak pernah menggunakan akal dan iptek nya…)

      .

      Zaman sekarang, Ilmuwan kita itu latah… tidak pernah punya inisiatif bikin terobosan Iptek sendiri…

      Ilmuwan Atheis bikin Teori Evolusi… kita ikut-ikutan… latah…
      Ahli Astronomi Kafir bikn teori Visibilitas Hilal… kita ikut-ikutan… latah

      Ketika Ulama dan Ahli Falak Islam zaman keemasan Islam dahulu menggunakan Hisab dalam penetapan Awal Bulan Hijriyah… tidak pernah mereka mengembangkan konsep Visibilitas Hilal… PADAHAL ribuan tahun sebelumnya di Babilonia sudah dikenal Kriteria Visibilitas Hilal yang sederhana…

      .

      Saya berharap mudah-mudahan Ulama dan Ilmuwan Islam…ke depan nya memposisikan diri sebagai Ulama dan Ilmuwan kelas Penakluk muka bumi… seperti zaman keemasan Islam dahulu… amin…

      • Visibilitas hilal (imkan rukyat) dipelopori oleh para astronom Muslim atas dasar kebutuhan untuk merumuskan hisab yang kompatibel dengan rukyat. Yang tidak menggunakan visibilitas hilal hanya ahli hisab Muhammadiyah yang sebenarnya hanya mencari praktisnya. Kitab-kitab hisab lainnya selalu menggunakan kriteria imkan rukyat. Buktinya, di seluruh dunia hanya Muhammadiyah yang menggunakan hisab WH dalam penentuan awal bulan untuk kepentingan ibadah. Silakan tunjukkan ahli hisab atau kitab hisab atau referensi ilmiah di mancanegara yang menggunakan hisab WH.

      • Pak Ivan, mohon kiranya dapat menunjukkan rujukan atas pernyataan Pak Ivan bahwa “Ahli Astronoi Kafin bikin teori Visibilitas Hilal”

        Sebagai tambahan pendapat Pak Thomas, bahwa Visibilitas Hilal dipelopori oleh para astronomo muslim, berikut beberapa rujukannya:

        http://en.wikipedia.org/wiki/Astronomy_in_medieval_Islam

        http://faculty.kfupm.edu.sa/PHYS/alshukri/PHYS215/Islamic_astronomy.htm

      • Kriteria-kriteria yang digunakan para Ulama yang menyetujui penggunaan Hisab… di kalangan umat Islam terdahulu hanyalah kriteria-kriteria yang berdasarkan ijtima’ saja…

        Kalaupun penelitian Visibilitas Hilal itu dijadikan bahan penelitian juga oleh para Ahli Falak Muslim semisal Al-Khwarizmi…
        Tapi pernah Ulama menjadikan nya sebagai sebuah Kriteria Penetapan Awal Bulan…

        Sekarang Ulama dan Ahli Astronomi Islam mulai melirik Kriteria Visibilitas Hilal… setelah Danjon mengeluarkan Kriteria Visibilitas Hilal nya…

        Itu juga tujuan nya adalah untuk menjembatani antara Pengguna Rukyat dengan Pengguna Hisab

        .

        Sedangkan dalam kenyataan nya sendiri… dalam praktek Umat Islam yang konsisten dengan Penggunaan Kalender Hijriyah semisal Arab Saudi… tidak pernah Kriteria Imkan Rukyat dijadikan kriteria Penanggalan…

        Zaman Umar bin Khattab pun tidak menggunakan Kriteria Babilonia…
        Khalifah-khalifah selanjutnya pun tetap memakai Hisab diluar Visibilitas Hilal…

        Ulama-ulama Islam terdahulu itu maju cara berpikir nya… tidak seperti sekarang… Ketika membicarakan Hisab dalam Penetapan Awal Bulan, beliau -beliau itu tidak lagi membicarakan Hilal harus terlihat…

      • Ralat :

        “Tapi pernah Ulama menjadikan nya sebagai sebuah Kriteria Penetapan Awal Bulan…”

        seharusnya :

        “Tapi TIDAK pernah Ulama menjadikan nya sebagai sebuah Kriteria Penetapan Awal Bulan…”

      • Pak Djamaluddin,

        The Fiqh Council of North America dan the European Council for Fatwa and Research menggunakan kalender Ummul Qura dengan basis Mekah untuk keperluan ibadah (sepertinya dengan perkecualian untuk ibadah haji):
        http://www.fiqhcouncil.org/node/32
        http://www.fiqhcouncil.org/node/57

        “Referensi ilmiah di mancanegara” untuk kalender Ummul Qura:
        Lunar calendars: the new Saudi Arabian criterion
        adsabs.harvard.edu/cgi-bin/nph-data_query?bibcode=2005Obs…125…25A&link_type=ARTICLE&db_key=AST&high=

        Meskipun kriteria kalender Ummul Qura sedikit berbeda dengan wujudul hilal, keduanya sama-sama tidak membutuhkan hilal benar-benar terlihat untuk memulai bulan baru dalam kalender Hijriyah. Bahwa hanya Muhammadiyah hanya satu-satunya yang mengggunakan wujudul hilal untuk keperluan ibadah saya kira benar adanya, tapi karena kalimat diawali dengan visibilitas hilal, pernyataan Pak Djamaludin menciptakan persepsi bahwa Muhammadiyah adalah satu-satunya pihak yang menggunakan kriteria hisab diluar imkanu rukyat untuk keperluan ibadah. Dan kesimpulan seperti ini adalah salah.

      • Fiqhcouncil hanya menggunakan kalender Ummul Qura (wujudul hilal di MEKKAH) hanya untuk kepraktisan ketika mereka kesulitan memberikan kepastian untuk persiapan shalat ied di negeri yang sulit Muslimnya sulit mendapatkan waktu ibadah bila tidak direncanakan sebelumnya, karena mereka harus datang dari berbagai kota yang agak jauh (beda dengan di Indonesia). Itu berbeda dengan yang dilakukan Muhammadiyah dengan menghitung wujudul hilal lokal dan alasan syar’ yang bebeda. Dalam fiqih, alasan menjadi penting dalam menetapkan suatu hukum. Alasan Fiqih Council jelas berbeda dengan alasan Muhammadiyah yang menganggap Wujudul Hilal adalah kriteria yang tepat secara syar’i, walau secara astronomi sangat janggal.

      • Pak Agus memberikan rujukan papernya Zaki A. Al-Mostafa (2005) dengan judul “Lunar Calendars: The new Saudi Arabian Criterion”

        Pada paper tersebut disimpulkan:

        The new Saudi criterion, which depends on the probability of seeing the crescent rather than the capability (first visibility),…

        “Probability of seeing the crescent” dapat diartikan sebagai kemungkinan terlihatnya hilal (mohon koreksi bahasa inggris saya), bukankah ini menunjukkan bahwa Zaki A. Al-Mostafa berusaha menyimpulkan, bahwa kriteria baru tersebut masih dapat dihubungkan dengan imkan rukyat dan konsep visibilitas hilal (perbedaannya hanya dari kata probability dan capability), karena menghitung piringan bawah bulan, sehingga tidak ada bagian bulan yang hilang di bawah ufuk.

        Misalkan contoh kasus dalam tulisan di blog ini, menurut WH piringan atas bulan masih di atas ufuk, jadi hilal sudah wujud (walau hilal berada di bawah ufuk).Ttetapi menurut Ummul Qura tidak demikian. Karena “probability of seeing the crescent” hilang saat ada sebagian wilayah bulan sudah berada di bawah ufuk. Bukankah Pak Agus sendiri yang menyimpulkan bahwa kriteria awal bulan menurut WH, sesuai dengan definisi, tidak membutuhkan penampakan hilal (visibilitas hilal)?

        Jadi menurut saya, kesimpulan Pak Thomas bahwa yang tidak menggunakan visibilitas hilal hanya ahli hisab Muhammadiyah sudah tepat.

      • Pak Djamaluddin,

        Dasar-dasar yang yang Pak Djamaluddin ungkapkan saya pikir faktor yang sangat berpengaruh untuk menggunakan hisab (sama halnya Muhammadiyah mengutamakan hisab), tapi belum seluruhnya mengungkapkan cara pandang FCNA terhadap awal bulan dalam kalender Islam. Apalagi tidak bisa menjelaskan mengapa FCNA mengadopsi kalender Ummul Qura dengan basis Mekah, meskipun itu diposisikan sebagai kalender global, bukan dengan cara hisab lain dengan sifat lokal. Saya kira ada alasan-alasan lain seperti yang bisa diambil dari kutipkan beberapa tulisan dari website FCNA di bawah:

        http://fiqhcouncil.org/node/35

        1. The Fiqh Council of North America recognizes astronomical calculation as an acceptable Shar’i method for determining the beginning of Lunar months including the months of Ramadan and Shawwal. FCNA uses Makkah al-Mukarram as a conventional point and takes the position that the conjunction must take place before sunset in Makkah and moon must set after sunset in Makkah.

        Jadi yang dianggap syar’i adalah perhitungan secara astronomi untuk menenuntukan awal bulan, bukan sekedar karena kepraktisan yang dari sistem hisab yang dianggap sudah menjadi hal yang “wajib” dikarenakan kondisi sosial-politik umat Islam di Amerika.

        http://fiqhcouncil.org/node/37

        The Qura’nic phrase “al-ahillah”, is the plural of “al-hilal.” The word “hilal”, in the Arabic language, denotes “beginning part of something like rain, announcement, cry of joy, raising out loud voices”. Muhammad bin Ya’qub al-Fayrozabadi, the renowned philologist, informs us that the male snake, spearhead, a small amount of water, a feeble camel, the dust, a handsome young man, the paved stones, the first gush of rain, all are called “hilal” in Arabic language. [13]

        Al-hilal has also been culturally and metaphorically used to symbolize the new Moon of the first two to seven nights and then the last two nights of the month because people used to raise their voices while informing others about the beginning or end of the month as the Arabic lexicon authority Jamal al-Din Ibn Manzur emphatically states:

        “The Hilal (new Moon) is called Hilal because the people raise their voices to inform each other about it.”

        Imam Abu al-Abba’s Taqi al-Din Ahmad Ibn Taymiyyah (1263-1328 AD; 661-728 AH) makes this point clear to us when he explains:
        ….
        (It is called hilal) because “the new Moon is a matter witnessed and sighted by the eyes. As the information obtained through eyes is the most accurate, that is why (the new sighted Moon) is called a “hilal”. Because its root word leads to appearance (conspicuousness) and announcement (manifestation) either through listening or through sighting as it is said: “ahalla” for Umrah and “ahalla” with the slaughtered animal (raised one’s voice to chant the name of other than Allah at the time of slaughter) meaning that (he) raised his voice. Pouring rain is called al-halall and when the new born baby comes out crying it is referred to as “istahalla”. It is said: his face “tahallala” when the face gleams and glitters. It is said that the origin of this (root) is raising the voice and as the people used to raise their voices at sighting the new Moon, they called (the new Moon) a hilal.”

        http://www.fiqhcouncil.org/node/41

        There is absolutely nothing in the Qur’an which categorically mandates actual moon sighting for confirmation or negation of Ramadan. The Qura’nic exegetes universally agree that the verse of Surah al-Baqarah (2:185) “So whosoever witnesses the month among you should fast in it” does not require physical moon sighting but mandates residential presence and knowledge of Ramadan as the legal cause of fasting. The original linguistic meanings of the word hilal revolve around announcement with loud voice, cry of joy and sharing news publicly by raising voices. The new moon was metaphorically called al-hilal because the Arabs at its first sight used to express joy and publicly announce coming of the new month. Therefore, there is absolutely nothing in the Qur’an that requires actual moon sighting as the only means of determining Ramadan.

        Saya menilai FCNA mempunyai pandangan yang lebih longgar mendefinisikan apa itu hilal, berbeda dengan pandangan para pengamal rukyatul hilal atau pengguna imkanu rukyat dengan penganggapan kesetaraan terhadap rukyatul hilal.

      • Prof. pesen saya pertimbangkan keakuratan rujukan njenengan,
        accurate time, selama 4 tahun saya meneliti tiap hari,
        rujukan itu meleset jauh dari apa yang selama ini q teliti,
        jangan sampe mencaci menghujat kelompok lain dan istiqomah menghujat ttp rujukannya masih dipertanyakan kesohihannya,
        semoga menjadi bahan pertimbangan

  79. Ass wr wb. Mengenai MAGRIB sebagai saat pergantian hari kalender hijriyah, karena sdh merupakan ketetapan ALAH SWT maka tidak perlu ber-andaii2 lagi apalagi sampai merubahnya mejadi BUKAN MAGRIB, berarti membuat teori baru yg merupakan hasil kotak-katik manusia yg tdk sejalan dg ketetapan ALLAH SWT. Wass wr wb.

  80. Semua jagad raya dan pergerakannya itu merupakan ketetapan Allah swt. Tidak ada yang merupakan ketetapan manusia. Persoalan kapan memulai hari, bagaimana penentuan jam dll itu manusia boleh menentukan. Semua tergantung dari sisi mana manusia melihat. Yang pasti Allah menyatakan, Matahari dan Bulan dapat untuk penentuan tahun dan perhitungan. Ummat Islam mau memakai kalender Syamsiah itu tidak kafir, karena memang itu ketetapan Allah swt. Memakai kalender Qomariah itu juga mutlak, karena banyak ibadah ditentukan berdasarkan kalender ini (puasa, hari raya dan haji). Sedangkan waktu sholat ditentukan oleh posisi Matahari. Beberapa bintang dapat menjadi pedoman pelayaran kapal. Gunung yang terlihat dari laut juga dapat dijadikan pedoman pelayaran. Semua yang Allah swt ciptakan ada gunanya, jadi jangan menganggap benda yang satu lebih penting daripada benda yang lain. Karena tiap benda itu mempunyai fungsi sendiri-sendiri, dan ada kalanya mempunyai fungsi bersama (gabungan), atau mempunyai fungsi keterkaitan/ketergantungan. Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk mempelajari alam ini, dan manusia tidak akan mampu mencapai kebenaran mutlak sebagaimana maksud Allah, kecuali para Nabi yang memang dibimbing Allah. Nabi pun dalam beberapa kasus suka longgar, seperti kasus sahabat yang sedang dalam perjalanan dan melakukan sholat safar dan tidak menemukan air (salah satu sahabat mengulang shalat setelah menemukan air, dan sahabat lainnya tidak mengulang sholat). Penerapan sanksi kepada sahabat yang sedang berpuasa dan melakukan hubungan suami istri di siang hari. Dalam memahami agama tidak bisa hitam putih, kecuali dalam tahap pendidikan anak2 (misalnya berbohong itu dosa dan dosa itu masuk neraka). Dalam memahami agama secara komprehensip, kita tidak bisa begitu. Ada kalanya berbohong itu tidak dosa. Misalnya, seorang ibu yang sesungguhnya sudah lapar, tapi karena si ibu melihat anaknya kelaparan dan nasi cuma sedikit, lalu si ibu bilang…..”makanlah nak…ibu masih kenyang koq”….. Bohong si ibu ini tidak berdosa, malah berpahala.

    • Sebetulnya, kalau umat Islam seDunia sudah punya Kesatuan dan kesamaan Kalender Hijriyah Global yang bisa digunakan untuk Ibadah dan urusan Duniawi di seluruh pelosok bumi…

      Bila umat Islam membutuhkan Kalender Musim (syamsiah) untuk keperluan Pertanian, Perikanan dll…
      Umat Islam bisa saja mengembangkan Kalender Syamsiah sendiri… yang penanggalan nya tepat sesuai musim itu sendiri…

      Yang mungkin bisa kita namakan Kalender Syamsiah Muslim… 🙂

      Saya membayangkan nya seperti ini :

      – Tanggal dimulai dari posisi Matahari tepat ada di atas khatulistiwa (δMatahari = 0°) atau di titik equinox, awal Musim Semi…
      – Tahun dimulai dari Musim Semi (92 hari) > Panas (94 hari) > Gugur (90 hari) > Dingin (89 / 90 hari)

      Bulan 1 = 31 hari ==> tgl 1nya = 20 Maret (Bulan Semi Utara = Bulan Kemarau Utara Khatulistiwa)
      Bulan 2 = 31 hari ———-> tgl 1nya = 20 April
      Bulan 3 = 30 hari ———-> tgl 1nya = 21 Mei
      Bulan 4 = 31 hari ==> tgl 1nya = 20 Juni (Bulan Panas Utara = Bulan Kemarau Utara Khatulistiwa)
      Bulan 5 = 31 hari ———-> tgl 1nya = 21 Juli
      Bulan 6 = 32 hari ———-> tgl 1nya = 21 Agustus
      Bulan 7 = 30 hari ==> tgl 1nya = 22 September (Bulan Gugur Utara = Bulan Hujan Utara Khatulistiwa)
      Bulan 8 = 30 hari ———-> tgl 1nya = 22 Oktober
      Bulan 9 = 30 hari ———-> tgl 1nya = 21 Nopember
      Bulan 10 = 30 hari ==> tgl 1nya = 21 Desember (Bulan Dingin Utara = Bulan Hujan Utara Khatulistiwa)
      Bulan 11 = 30 hari ———-> tgl 1nya = 20 Januari
      Bulan 12 = 29 / 30 hari ———-> tgl 1nya = 19 Februari

      Yang untuk tahun nya, bisa saja kita tetap menyamakan nya dengan kalender Masehi… kalau sekarang tahun 2012 Masehi… tahun Syamsiah Muslim pun 2012…

      .

      Sedangkan untuk Kalender Masehi… kita gunakan hanya ketika berhubungan dengan negara-negara yang masih menggunakan Kalender Masehi saja…

      .

      Kalender Hijriyah Global saja belum kelar… ini sudah bermimpi bikin Kalender Syamsiah Muslim… 😀

  81. Ivan…..kalender syamsiah karena tidak berhubungan dengan ibadah ummat islam, boleh dirubah. Saya setuju dengan tulisan anda. Sementara kalender qomariah (hijriyah) tidak bisa dirubah, karena Nabi saw (Allah) yang menetapkan. Titik pangkalnya tentu waktu dimulainya puasa Ramadhan pertama kali dan ibadah haji pertama kali. Ini menjadi patokan utama dan selebihnya tinggal menghitung sesuai dengan peredaran bulan. Perhitungan kalender selanjutnya dan hari2 ibadah menjadi domainnya manusia untuk menghitung dan menetapkan. Kesalahan penetapan hari2 ibadah oleh manusia (ummat islam) sepanjang itulah yang diketahui dan diyakini (insya Allah) tidak berdosa. Misalnya ummat islam menetapkan hari raya tanggal 30 Agustus 2011 (padahal hitungan Allah tanggal 31 Agustus 2011) atau ummat islam menetapkan hari raya tanggal 31 Agustus 2011 (padahal maksud Allah tanggal 30 Agustus 2011), insya Allah kesalahan manusia ini diampuni oleh Allah swt. Jadi jangan risau. Sepanjang kita telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk menetapkan hari ibadah dan kita yakini, jalankanlah. Jika penetapan kita salah, insya Allah, Allah maha pengampun. Manusia yang suka angkuh dan sombong, seolah mereka adalah Tuhan yang berwenang menghakimi cara ini salah cara ini benar. Perbedaan kriteria yang tipis dibesar-besarkan, seolah kita sebagai Tuhan yang berwenang menghakimi. Padahal ampunan Allah seluas langit dan bumi. Dosa besar yang tidak diampuni Allah adalah menyekutukan Allah. Dosa2 besar lainnya antara lain, merampas hak2 rakyat, korupsi, memakan harta anak yatim dll. Kesalahan penetapan awal puasa, hari raya dan ibadah haji, insya Allah tidak termasuk dosa besar dan dosanya insya Allah akan diampuni oleh Allah swt, karena ini berhubungan langsung dengan Allah swt, bukan berhubungan langsung dengan manusia dan alam.

    • Terima kasih mas Prasojo…

      Saya setuju bahwa perbedaan Tanggal Ibadah sesuai dengan kesanggupan dan dalil masing-masing, Insya Alloh semuanya diterima oleh Allah swt…

      Kalau menurut saya… ( Walaupun berat hati 🙂 )…
      andaikan Kalender Hijriyah itu Terpaksa harus dipisah-pisah antara Kalender Ibadah dengan Kalender Administrasi…
      Ya kita pisahkan saja…

      Seperti yang dicontohkan dulu oleh Umar bin Khattab dengan Kalender Hisab Urfi nya… sekarang Otoritas Saudi Arabia dengan kalender Ummul Quro nya…

      Untuk Kalender Hijriyah Ibadah terserah keyakinan masing-masing… Apakah Rukyat / Hisab Kriteria IR / Hisab Kriteria WH…

      TAPI Untuk Kalender Hijriyah Administrasi Global HARUS SAMA !…
      Tidak boleh Otoritas Mekah bikin Kalender Hijriyah… Indonesia bikin juga… Malaysia bikin juga… Muslim Amerika bikin juga… Muslim Eskimo bikin juga…

      Dan saya usulkan… untuk Kalender Hijriyah Administrasi Global… sudah saja kita sepakati Kalender Ummul Quro dengan kriteria WH nya sebagai Kalender Resmi Dunia… yang berlaku dari Khatulistiwa s.d Kutub… dari 180° Timur s.d 180° Barat…

      Hanya untuk yang menganut Kriteria WH dengan Matlak Global (seperti saya, mungkin 🙂 ) … Kalender Administrasi Ummul Quro ini adalah otomatis juga adalah Kalender Ibadah…
      Sedangkan untuk yang berpaham berbeda, silahkan membuat Kalender Hijriyah Ibadah sendiri…

      Hanya buat orang Eskimo, Saya sarankan anda ikuti saja Kalender Ummul Quro… 🙂

  82. Ass wr wb. Pak Ivan, semua umat Islam terutama para pakar astronominya pasti punya mimpi agar kalender hijriyah bisa mengglobal. Karena itu kita hrs sabar menunggu datangnya manusia2 pilihan spt Zaid bin Tsabit ra yg mendapat hidayah ALLAH SWT shg bisa memecah kebuntuan dan kebingungan dlm menerapkan teori ilmiah dr Al Qur’an dan Hadist. Janganlah spt penggagas kalender masehi yg kemudian mengabaikan gerak BULAN agar lebih leluasa mengkotak-katik teori baru dlm penyusunan kalender. Wass wr wb.

    • Wa alaikum salam wr wb.

      Pa Bambang, kita sekarang bisa enjoy dan sabar menikmati tidak adanya Kalender Hijriyah Global… karena posisi kita di muka bumi ini, sekarang dalam posisi umat Taklukan…

      Taklukan Peradaban Barat… sehingga Kalender pun kita enjoy saja menggunakan Kalender Hasil Orang Pagan Romawi… yang nama bulan nya saja Nama-nama Dewa Pagan dan Kaisar Kafir… Janus, Mars, April, Julius, Agustus dll…

      Kita bisa enjoy dan sabar itu karena Kalender Hijriyah kita cuma digunakan untuk ibadah saja… sementara dalam hal Ibadah, dicontohkan Rasululloh saw penuh dengan ketoleransian…

      .

      Toleransi itu antar kita umat Islam… tapi coba lihat Muslim di Amerika atau negara-negara yang kondisinya jadwal padat dan serba pasti… yang liburan lebaran nya hanya 1 hari dan harus kepastian tanggalnya jauh-jauh hari… Umat Islam akan dipaksa, mau tidak mau harus menggunakan Hisab dan Kriteria Awal Bulannya…

      Nah begitu pun bila kita berpikirnya sebagai Umat Penakluk… yang Kalender Hijriah nya digunakan seluruh orang di muka bumi untuk segala keperluan…
      Kita umat Islam itu pasti tidak akan sabar dan enjoy saja dengan Tidak adanya Kalender Hijriyah Global… sebab Keperluan Hidup dalam hal penanggalan itu pasti sangat mendesak…

      .

      Solusi nya…
      mungkin kita pisahkan saja antara Kalender Hijriyah Administrasi Global dengan Kalender Ibadah…
      Itu menurut saya yang lebih logis dengan belum adanya kesepahaman dalam hal Tanggal Ibadah seperti sekarang ini…

      Kalender Hijriyah Administrasi Global dengan Matlak Global berbasis koordinat Ka’bah Mekah dengan Kriteria WH nya (Kalender Ummul Quro) yang diberlakukan untuk seluruh bumi dari Khatulistiwa s.d Kutub dan dari 180° Timur s.d 180° Barat…
      Menurut saya, solusi inilah yang mungkin bisa kita sepakati bersama…

      Sedangkan
      Kalender-kalender Hijriyah Global yang diusulkan oleh para Ahli Astronomi yang berdasarkan Garis Penampakan Hilal yang selalu berubah-ubah tempatnya setiap bulan…
      Sebaiknya bila itu diperuntukkan untuk Solusi Kalender Administrasi Global, kita lupakan saja…
      Solusi yang dapat dipastikan hanya akan bikin kacau administrasi Dunia saja…

  83. Pak Ivan….sebenarnya, meskipun garis kenampakan hilal (atau saya lebih memilih terminologi garis wujudul hilal) itu bergeser tiap bulan, bukan berarti tidak bisa disusun kalender hijriyah global. Itu bisa. Artinya, akan terjadi giliran seperti ini : bulan ini belahan bumi yang satu jumlah harinya 1 hari lebih lama dibanding belahan bumi yang lain, sebaliknya bulan depan jumlah harinya 1 hari lebih pendek dari belahan bumi lainnya. Demikian akan terus silih berganti. Dengan demikian, setiap 2 bulan sekali jumlah harinya akan kembali sama antara belahan bumi yang satu dengan belahan bumi yang lain. Dan, batas belahan bumi akan terus bergeser mengikuti pergerakan garis wujudul hilal. Berbeda dengan garis batas tanggal internasional (masehi) yang selalu tetap. Dan, kalender hijriyah ini tetap mudah disusun, menurut/mengikuti pergerakan garis wujudul hilal yang bergeser tiap bulan. Dengan demikian, tidak akan ada kontradiksi antara kalender yang sudah disusun dengan hari2 ibadah. Sebagai gambaran, ada kalanya Indonesia akan berlebaran lebih dahulu dibanding Arab Saudi, dan di kala lain Arab Saudi lebaran terlebih dahulu dibanding Indonesia. Jika garis wujudul hilal bulan Ramadhan membelah India, maka Arab Saudi akan berlebaran terlebih dahulu. Sebaliknya, jika garis wujudul hilal bulan Ramadhan membelah lautan Pasifik dekat benua Amerika, maka Indonesia berlebaran lebih dahulu dibanding Arab Saudi. Demikian seterusnya, dan ini konsekuensi logis dari perbedaan pergerakan semu matahari-bulan. Jadi tidak selalu Indonesia lebih dulu puasa, lebaran dan sholat Idul Adha karena Indonesia terletak di sebelah timur Arab Saudi. Saya kira ini hampir sama dengan kondisi yang berlaku sekarang, hanya saja saat ini dalam kawasan yang sama masih sering berbeda tanggal (misal Indonesia dengan Malaysia) padahal dua negara ini dalam kawasan yg sama. Problemnya adalah, kita harus menetapkan banyak garis tanggal, karena posisi garis tanggal yang terus bergeser berdampak pada arah belahan bumi. Tapi ini bisa disusun/ditetapkan. Misalnya, jika garis wujudul hilal berada di garis bujur barat 50 derajat, maka wilayah mana saja yang masuk tanggal duluan. Jika 60 derajat, negara mana saja yang duluan, dst. Ini hampir sama dengan pembagian zona waktu. Tidak sulit.

    • Problemnya adalah, kita harus menetapkan banyak garis tanggal, karena posisi garis tanggal yang terus bergeser berdampak pada arah belahan bumi. Tapi ini bisa disusun/ditetapkan. Misalnya, jika garis wujudul hilal berada di garis bujur barat 50 derajat, maka wilayah mana saja yang masuk tanggal duluan. Jika 60 derajat, negara mana saja yang duluan, dst. Ini hampir sama dengan pembagian zona waktu. Tidak sulit.

      Mas Prasojo, mengenai Kalender Hijriyah Global, saya itu fokusnya kepada “Mudah Tidak nya Kalender tsb DIGUNAKAN nantinya”…
      Bukan kepada “Mudah Tidak nya Kalender tsb DIBUAT”…

      Serumit apa pun Parameter-parameter Sebuah Kalender Hijriyah Global… Di zaman sekarang yang sudah canggih ini, dengan bantuan Software Komputer dan Data-data yang Benar, Kalender itu akan sangat mudah dibuat…
      Tinggal masukan data, klik enter, jadi deh… 🙂

      Masalah nya… Dalam kehidupan sehari-hari, mudah tidak, Kalender tsb diaplikasikan ?

      Contohnya :
      – Jadwal Penerbangan Antar Negara yang lalu lintas penerbangan nya padat…
      – Perjanjian-perjanjian pertemuan dan acara dadakan antar orang (pebisnis) antar wilayah yang berdekatan, yang kebetulan pada saat janji dibuat terkena perbedaan zona waktu, padahal bulan kemarinnya zona waktu nya adalah sama…

      Dengan Kalender Hijriyah Global yang Berdasarkan Pergeseran Wujudul Hilal (Penampakan Hilal pun sama saja)… Sebetulnya pada akhirnya Malah Meniadakan Kalender Hijriyah Global itu sendiri… Sebab Tiap Negara (wilayah) akan harus punya Kalender nya sendiri, sebab akan ada saja bulan-bulan dalam setahun mungkin terkadang berbeda terkadang sama dengan Kalender Negara (wilayah) tetangga nya…

      Mungkin kita harus belajar dari negara Samoa, yang merubah hari dan tanggal nya ke Wilayah Timur… karena berbeda zona waktu (tgl) dengan wilayah tetangga itu sangat menyulitkan hubungan administrasi

      Juga untuk dipikirkan oleh para Ahli Fikih… ternyata mengenai hari dan tanggal itu Manusia bisa membuat Pertimbangan nya sendiri…
      Sekarang, orang Samoa itu (kalau ada orang Islam nya) shalat Jum’atnya adalah pada hari yang sebelum nya dikenal (dianggap) sebagai hari Kamis… 🙂

      .

      Terus terang saya sangat terkesan dengan Solusi Kasus Waris pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra…

      Kebijaksanaan seorang Umar bin Khattab ra + Kecerdasan seorang Zaid bin Tsabit ra ==> yang dalam waktu singkat (tanpa perlu seminar berbulan-bulan bertahun-tahun, padahal sebelumnya Khalifah Umar bin Khattab sangat bingung dan merasa sangat berat dengan kasus ini, sehingga beliau mengumpulkan para sahabat untuk memecahkan kasus ini), mampu menghasilkan sebuah Solusi Permanen yang mudah untuk dilaksanakan, yang menjadi dasar Pokok Penghitungan Waris Islam…

      ( kalau kelamaan solusinya mah, itu para ahli waris yang mengadu kepada Khalifah, mungkin sudah saling bacok… karena kesel nungguin yang sedang seminar… 😀 )

      .

      Pelajaran yang ada pada Solusi Zaid bin Tsabit tersebut… menurut saya adalah :
      Allah swt dengan Perhitungan Nya yang ada dalam Al Quran, sedang mengajarkan kepada kita mengenai Perhitungan Relatif…

      ( … 2 sdr pr = 2/3 dan suami = 1/2 itu
      Bukan harus Saklek “2/3 dari 1” dan “1/2 dari 1″…
      Tapi itu adalah Relatif… perhitungan nya adalah menjadi :
      “2/3 dari apa yang ada” dan “1/2 dari apa yang ada” ==> “2/3 dari (2/3 + 1/2)” dan “1/2 dari (2/3 + 1/2)”

      .

      Dalam Al Quran bisa kita lihat di berbagai ayat, Allah swt menggunakan Perhitungan Relatif :

      Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.
      (QS Al-Ma’aarij 70 : 4)

      Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
      (QS As-Sajdah 32 : 5)

      Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.
      (QS Al-Hajj 22 : 47)

      .

      Dari pertimbangan hal-hal di atas, menurut saya,
      dalam Penggunaan Hisab Awal Bulan pun kita tidak perlu Saklek bahwa Kalender Hijriyah Global itu Harus Selalu berdasarkan Pergeseran Wujudul Hilal (atau Penampakan Hilal) yang selalu berubah-ubah tempatnya setiap bulan…

      Tapi kita lakukan Perhitungan Relatif (perhitungan Pendekatan)… artinya cukup kita lihat posisi Hilal dengan Koordinat Ka’bah Mekah, Itu sudah cukup buat Seluruh Muka Bumi…

      – saat Hilal di Mekah telah Wujud (atau Nampak), posisi di luar Mekah harus ikut Mekah, walaupun di tempat nya Hilal belum Wujud (atau Nampak)
      – saat Hilal di Mekah belum Wujud (atau Nampak), posisi di luar Mekah tidak boleh mendahului Mekah, walaupun di tempat nya Hilal telah Wujud (atau Nampak)

      • Pak Ivan….
        1) soal perubahan hari (seperti di Samoa), termasuk di Indonesia jika mau, saya setuju. Yang tidak boleh adalah di Mekkah (Arab Saudi) karena di Mekkah sudah ditentukan oleh Nabi saw. Selama ini Indonesia memulai hari lebih dulu karena Indonesia berada di sebelah timur Mekkah dan garis tanggal internasional di sebelah timur Indonesia. Sangat dimungkinkan Indonesia memulai hari sesudah Mekkah jikalau Arab Saudi dijadikan sebagai pangkal garis tanggal. Jadi andaipun Indonesia sholat jumat nya setelah Mekkah, itu insyaallah tidak berdosa (jangan2 malah ini yang benar), karena penetapan memulai hari itu sudah ada sebelum Nabi, sementara penetapan garis batas tanggal internasional tidak ditentukan oleh Nabi (ditentukan oleh orang yang tidak memahami syariat Islam).

        2) soal Mekkah mau dijadikan patokan memulai tanggal, saya sangat setuju. Tapi alternatifnya ada 2 yaitu apakah dijadikan pusat belahan bumi atau batas tanggal hijriyah global. Konsekuensinya berbeda. Jika dijadikan pusat belahan bumi, maka Indonesia memasuki hari/tanggal duluan. Tapi jika dijadikan batas tanggal hijriyah, Indonesia memasuki tanggal belakangan.

        3) soal kalender global, kalender ummul quro bisa kita pakai bersama dan memulai tanggalnya harus diawali dari Mekkah (Mekkah sbg pangkal garis tanggal). Kondisi ini sangat memungkinkan, karena meskipun bulan telah wujud di sebelah timur Mekkah malam itu, tapi boleh jadi belum terlihat dirukyat. Saya yakin Muhammadiyah pun bersedia mengikuti alternatif ini sepanjang Mekkah dijadikan patokan bersama. Harap diingat, perintah melihat hilal (bulan) itu merujuk tempat. Seyogyanya Mekah memang dijadikan rujukan rukyat bulan (apakah dg mata ataukah dg ilmu itu tdk masalah). Kalau masing2 merukyat memang jadi kacau, apalagi bagi kawasan lintang tinggi dan kutub. Ini barangkali perlu kita renungkan. Mari jadikan Mekkah sebagai basis penetuan kalender dan sekaligus hari ibadah (jangan dipisah). Berbeda dg perintah puasa, ia tidak merujuk lokasi.

        4) kalau soal perbedaan waktu bagi bisnis dan penerbangan, itu tidaklah terlalu merepotkan. Ketika orang Jakarta terbang ke Bali, ia boleh mengubah jam tangan yang dipakainya atau boleh juga tidak. Jika tidak mengubah jam tangannya, ia cukup mengingat jika jadwal kembali ke Jakarta pesawat jam 8 pagi, maka itu artinya jam 7 pagi di jam tangannya. Dan, ia harus berangkat dari hotel minimal jam 6 pagi di jam tangannya. Jika khawatir lupa (apalagi kita berkunjung lama), sebaiknya mengubah jam kita.

      • Pak Prasojo,
        4) Maaf, maksud saya dengan zona waktu itu adalah Zona Tanggal…

        Katakanlah misalnya Jakarta dan Bali itu adalah Negara… yang pada suatu bulan (katakanlah bulan Rabiul Awal), Jakarta dan Bali ada pada posisi Zona Tanggal yang berbeda, padahal sebelumnya (Shafar) ada pada Zona Tanggal yang sama, misalnya…

        Karena ingatnya adalah janji bulan sebelumnya (pada bulan Shafar), berangkatlah kita naik pesawat dari Jakarta ke Bali pukul 8 pagi (pertemuan jam 14 siang tgl 2, misalnya)…

        Eh pas kita ke sana (Bali), ternyata Bali masih tgl 1… sebab pada bulan Rabiul Awal, Jakarta dan Bali ada pada Zona Tanggal yang Berbeda… walaupun bulan Shafar nya sama…

  84. Ass wr wb. Kalau memang konsekwen mengabaikan BULAN, seharusnya kalender masehi tdk perlu dibagi menjadi 12 bln tetapi satu thn hanya dibagi berdasarkan HARI saja yaitu dr tgl 1 s.d. tgl 365 utk th biasa dan s.d. tgl 366 utk th kabisat. Terlepas dr itu semua, para pakar astronomi muslim memang wajib mengglobalkan kalender hijriyah dan apabila krn keterbatasan kecerdasan shg mengalami kebuntuan dan kebingungan dlm menerapkan teori ilmiah dr Al Qur’an dan Hadist maka TETAPLAH BER-IMAN, Wass wr wb.

    • Ada yg pernah menulis, bahwa Ka’bah itu dulunya kutub utara bumi, dan kitub selatan bumi adalah Venezuela. Coba kita perhatikan, jazirah Arab merupakan daerah minyak bumi. Demikian pula Venezuela, merupakan daerah minyak terbesar di kawasan Amerika Latin. Pergeseran kutub bumi dari Ka’bah ke kutub utara yang sekarang, itu terjadi pada zaman Nabi Nuh. Setelah Nabi menerima perintah sholat, Nabi pernah bingung menghadap kemana sholatnya? Menurut suatu riwayat, karena bingung, Nabi pernah menghadap ke Masjidil Aqsha di Palestina. Akhirnya Allah meemerintahkan Nabi untuk menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram. Menurut si penulis, pada saat Nabi bingung mencari penghadapan dan sholat menghadap ke Masjidil Aqsha itu sesungguhnya Nabi menghadap ke kutub utara sekarang ini. Kebetulan, kata si penulis, antara Mekkah, Masjidil Aqsha dan kutub utara sekarang ini satu garis bujur. Si penulis tidak yakin Nabi menghadap ke Masjidil Aqsha karena saat itu Masjidil Aqsha dan tanah Palestina dikuasai oleh Romawi dan Masjidil Aqsha difungsikan sebagai tempat ibadah kaum nasrani (gereja).

      Masih menurut si penulis, dalam ibadah haji ada ritual lari2 mengelilingi Ka’bah dan arahnya merupakan arah perputaran bumi. Jika kita perhatikan dari sebuah ketinggian, sangat mirip perputaran bumi (rotasi).

      Terlepas dari itu semua, menurut saya, Mekkah harus dijadikan patokan penetuan tanggal hijriyah. Kita ummat Islam di seluruh dunia harus ikhlas menjadikan Ka’bah sebagai patokan penentuan tanggal hijriyah/qomariah. Tidak selayaknya masing2 negara menentukan tanggal/kalender sendiri-sendiri. Ayo…kita merujuk kepada Arab Saudi.

      • Pak Ivan….justru itu kalau mengikuti garis wujudul hilal (atau vibilitas hilal) jadi rumit. Makanya, hadits rukyat bulan itu musti dipahami rujukan lokasinya. Lokasinya adalah Mekkah (Arab Saudi). Mestinya Arab Saudi harus dijadikan patokan penyusunan kalender hijriyah. Alternatifnya ada 2 :

        1) Jika Arab Saudi ditetapkan sebagai batas garis tanggal qomariah, kriteria yang digunakan harus wujudul hilal agar kawasan lain tidak ”sudah masuk tanggal 2” (hilal sudah terlalu tinggi) pada saat Arab Saudi menetapkan tanggal 1. Negara2 seperti Irak, Iran dan Pakistan merupakan negara yang rawan mengalami kekeliruan.

        2) Jika Arab Saudi ditetapkan sebagai pusat belahan bumi, maka boleh menggunakan rukyatul hilal atau visibilitas hilal. Sebab negara2 seperti Iran, India dan Indonesia bahkan Kepulauan Hawai sudah memasuki tanggal lebih dulu.

        Sepertinya nggak sulit2 amat ya?

      • Begitulah pak Prasojo, Kalau Ulama dan Ahli Falak nya sudah Terbelenggu ‘Hilal harus terlihat mata’… Solusinya akan menjadi sulit…

        Akan seperti “katak dalam tempurung”… ketika dipaksa ke luar dari Tempurung untuk menempati Tempat yang lebih luas… ketika ada masalah, maka Solusi nya pun adalah solusi yang aneh-aneh…

        Solusi yang “mengawang di angkasa”… memperhitungkan dengan cermat semua hal sampai ke detail-detailnya, Namun tidak “membumi” sehingga sulit untuk digunakan…

        Jauh dengan para Sahabat dahulu… yang solusi-solusinya sederhana tapi Brilian dan mudah dilaksanakan…

        .

        1) kalau Arab Saudi dijadikan batas garis tanggal qomariah, akan menyulitkan…

        Justru yang harus kita hindari itu adanya Garis Batas Tanggal Internasional yang terletak di wilayah bumi yang padat penduduknya dan sangat berdekatan antar wilayah nya…

        Kasus pindahnya Samoa dari Belahan Barat ke Belahan Timur, harus jadi pelajaran bagi kita…
        Orang Samoa memutuskan untuk merubah Hari nya, bukan tanpa sebab… Sebab nya adalah :
        Perbedaan zona tanggal dan hari dengan tetangga (seperti Australia dan Selandia Baru) yang berdekatan itu menyulitkan Orang-orang Samoa dalam hubungan administrasi dan perdagangan…

        Kalau kita lihat pada Globe… Garis Batas Tanggal Internasional itu kan Garis yang sebelah kiri nya adalah tgl 2 (misalnya), sebelah kanan nya tgl 1,
        ditambah dengan Garis Batas Hari Internasional yang tetap di Kiribati / Samoa, maka hasilnya ==> akan ada 2 Kalender Hijriyah

        .

        Akan mudah bila Penanggalan Global itu, Garis Batas Tanggal Internasional nya = Garis Batas Hari Internasional…

        2) kalau saya cocok nya yang ini… 🙂

        Mau Kriteria IR silahkan (kalau kesepakatan dunia nya adalah ini)…

        Mau Kriteria WH Silahkan Banget (secara dahulu para Ulama dan Ahli Falak Islam kalau berbicara Kriteria Hisab Awal Bulan, tidak pernah menggunakan Kriteria IR)… 🙂

  85. Dari diskusi panjang ini, saya bisa menarik kesimpulan begini :

    1) Kalau kita masih bicara rukyat murni, kita tidak usah bicara penyatuan kalender hijriyah global. Para ahli (astronom muslim) sesungguhnya sudah juga menyimpulkan demikian.

    2) Kalau kita ingin menyatukan kalender hijriyah global, kita musti menggunakan metode hisab. Ada 2 alternatif :
    a) Jika wilayah administrasi Arab Saudi paling timur dijadikan garis batas tanggal hijriyah global, maka penentuan kalender harus menggunakan metode hisab wujudul hilal. Mengapa? Ya…ini untuk menghindari keterlambatan masuk tanggal bagi negara2 seperti Irak, Iran, Pakistan, termasuk Indonesia, karena Arab Saudi memulai tanggal terlebih dahulu dan terakhir adalah negara2 di sebelah timur Arab Saudi. Saya kira kalender Ummul Quro bisa langsung digunakan. Konsekuensinya, hari2 ibadah harus mengacu kepada kalender hijriyah ini (tidak boleh berbeda). Saya kira ulama2 senior Arab Saudi bisa menerima kesepakatan ini.

    b) Jika Ka’bah dijadikan pusat belahan bumi (cara menentukan belahan bumi yaitu ketika matahari tepat berada di atas Ka’bah, lihat belahan bumi yang terang dan belahan bumi yang gelap—itulah pembagian 2 belahan bumi), maka penentuan kalender hijriyah boleh menggunakan kriteria visibilitas hilal atau rukyatul hilal. Ini untuk menghindari terjadinya hilal/bulan masih di bawah ufuk bagi negara2 yang berada di tepi belahan bumi (yg satu belahan dg Arab Saudi) kalau menggunakan hisab wujudul hilal. Jika kriteria yang digunakan adalah hisab wujudul hilal, maka kemungkinan masih banyak negara yang hilal/bulannya di bawah ufuk. Ini tentu membuat keraguan bagi ummat islam yang berada di negara2 tersebut.

    Saya kira inilah jalan tengahnya. Semoga pak Djamaluddin terinspirasi dari kesimpulan ini dan bisa menyampaikan pada pertemuan pakar astronomi muslim yang akan datang.

    • A : Seperti nya solusi nya sudah mulai kelihatan ya ?… 🙂

      B : Iya… jangan lama-lama lah… kalau kelamaan solusinya, kasihan “ahli waris” yang nungguin… 😀

  86. Pak Ivan….kalau Ka’bah dijadikan pusat belahan bumi, memang benua Australia dan Indonesia terbelah. Tapi untuk kepentingan kenyamanan administrasi antar negara, bisa saja geser sedikit ke arah timur dan kita pakai garis tanggal yang sekaraang. Toh ini tidak lari dari kriteria ”Ka’bah sebagai pusat belahan bumi” yang saya maksud. Inti penyatuan kalender hijriyah kan kita menyamakan dengan Mekkah sebagai otoritas penentu hari2 ibadah. Selama ini kan ada anggapan bahwa ummat islam Indonesia tidak boleh mendahului sholat idul adha dari jamaah haji yang sedang menunaikan ibadah haji. Mereka beranggapan bahwa ummat islam Indonesia harus menunggu jamaah haji sholat id, baru disusul ummat islam lainnya termasuk Indonesia. Kalau ketentuan ini yang harus diikuti, maka mau tdk mau Arab Saudi dijadikan garis batas tanggal.

    Berbeda dg Mekkah dijadikan pusat belahan bumi, dan garis batas tanggal di sebelah timur Australia, maka Australia, Indonesia dan Asia bisa melakukan sholat idul adha sebelum jamaah haji melaksanakannya. Konsekuensinya seperti ini. Saya sendiri berpendapat, pemahaman seperti ini boleh. Mengapa? Hari itu relatif. Kasus Samoa yang merubah hari itu menurut saya bukan sesuatu yang dosa. Andai pun manusia menggeser hari yang tadinya Senin jadi Selasa atau jadi Minggu, sepanjang seterusnya dirubah itu tidak menjadi masalah (bukan sesuatu yang dosa). Misalnya Indonesia. Selama ini memasuki hari duluan dibanding Mekkah. Rasanya tidak ada salahnya kalau Indonesia memasuki hari setelah Mekkah. Persoalannya, ini mengacaukan kesepakatan internasional. Itu saja. Tapi kalau masyarakat internasional sepakat, nggak ada salahnya. Dan, pada tahap awal mungkin saja ummat islam ”terpaksa” sholat jumat dua hari berturut2 atau telat sholat jumat satu hari. Seterusnya normal kembali. Yang terpenting, hari Jumat di Arab Saudi tidak dirubah, karena ini sudah ditetapkan oleh Nabi saw.

    Kelemahan ummat islam itu memang seperti yang Pak Ivan sampaikan. Masing2 negara, bahkan kelompok menetapkan tanggal sendiri2. Berdasarkan rukyatul hilal lagi. Ya…terang saja kacau balau. Lalu, anggapan haram melakukan sholat idul adha sebelum jamaah haji melaksanakannya. Ini yang perlu pencerahan. Lamanya hari itu 24 jam dan siang itu lebih kurang 12 jam (daerah tropis). Dan, jika matahari tepat di atas Arab Saudi, Indonesia juga masih siang (terang). Demikian juga Benua Afrika. Lah…kalau ummat islam Indonesia tdk boleh duluan sholat idul adha, jadi rumit. Allah meletakkan bumi jauh dari matahari itu supaya ada kesamaan kawasan dalam beribadah, terutama ibadah yang waktunya cukup lama (seperti puasa). Coba kalau matahari cuma beberapa kilometer dari bumi, maka hanya sebagian kecil wilayah yang tersinari (selain makhluk hidup pada mati semua…hehehe).

    • Pak Prasojo, Kalau dalam bayangan benak saya…
      Posisi Ka’bah sebagai Pusat Bumi itu = Pusat dari Arah Timur dan Barat = 0° bujur Timur-Barat

      .

      Mengenai kemungkinan bahwa zaman dahulu, Mekah adalah Batas Tanggal Perubahan Hari Dunia (Batas Hari Internasional)…

      Seperti nya kecil kemungkinan nya…
      Sebab dengan selalu berinteraksi nya orang-orang di wilayah Mekah, baik dengan orang sebelah Timur Mekah ataupun Barat Mekah… Tidak mungkin ada perbedaan Persepsi Hari yang sedang berjalan…

      Perbedaan Persepsi Hari itu akan terjadi pada SUATU TEMPAT di mana orang-orang yang sebelumnya datang ke tempat tsb selalu dari arah Barat saja… tiba-tiba BERTEMU dengan orang yang datang nya dari Timur…

      Menurut saya, Bila kita percaya bahwa Nabi Adam as dahulu bertempat tinggal di sekitar Ka’bah (daerah Mekah)… maka dalam penyebaran anak keturunannya ke arah Timur dan Barat Mekah adalah :

      – Ke arah Timur kemungkinan nya adalah :
      Mekah –> wilayah-wilayah Asia –> kepulauan Polinesia

      – Ke arah Barat kemungkinan nya adalah :
      Mekah –> benua Afrika –> benua Amerika

      .

      Sayang nya yang digembar-gemborkan oleh Pihak Barat (Ilmuwan Barat) adalah :
      Penduduk Asli Benua Amerika itu adalah datangnya dari arah sebelah “Kiri” Amerika yaitu dari Benua Asia melalui Selat Bering ke Alaska…

      Kalau menurut saya “Gembar-gembor” itu hanyalah akal bulus mereka untuk melestarikan Hegemoni mereka atas Wilayah Amerika…
      Dengan Klaim bahwa mereka lah “Penemu Pertama” Amerika dari arah Timur Amerika… mereka bisa bebas sekehendak hati “menghitam dan memputihkan” Amerika…

      Padahal dengan relatif dekatnya Antara Benua Afrika dan Benua Amerika… sangat besar kemungkinan, dahulu orang-orang Afrika sudah banyak yang berhasil menyeberangi dengan mudah ke Benua Amerika…

      Pelaut kita saja zaman dahulu sudah ada yang mampu berlayar sampai ke Madagaskar… padahal Jarak dari Benua Afrika ke Amerika itu lebih pendek dari jarak Nusantara ke Madagaskar…

      Juga tidak menutup kemungkinan… umat Islam Spanyol zaman keemasan Islam, ada juga yang sudah sampai berlayar Ke Amerika untuk menyebarkan Islam dan dengan membawa kuda-kuda untuk dikembang biakkan di sana…
      Dari Penelitian Ilmuwan katanya Kuda-kuda Mustang yang berkeliaran bebas di padang-padang rumput Amerika adalah keturunan dari kuda-kuda Eropa (Iberia)…

      Dengan tipikal Orang Barat di Amerika awal-awal… sepertinya kecil kemungkinan mereka yang mengusahakan kuda-kuda eropa untuk dikembang biakan bebas di sana…
      Kita tahu bagaimana Brutal nya Orang Barat hidup di Amerika awal-awal… Orang Indian dihabisin, Bison yang jutaan ekor jumlahnya diburu sampai hampir punah hanya untuk penyaluran hasrat membunuh mereka…

      Christopher Columbus pun (yang katanya Penemu Amerika) konon sempat terkejut ketika sampai di Benua Amerika, ternyata ada bangunan di sana yang mirip dengan bangunan-bangunan di Afrika… Ada meyakini bahwa Bangunan-bangunan yang seperti di Afrika itu adalah Bangunan Mesjid orang Indian…

      .

      Kembali ke masalah “Tempat Bertemunya orang yang datang dari Barat dengan Orang yang datang dari Timur”… sebagai pertanda Garis Batas Hari Dunia…
      adalah mungkin sekali Tempat nya itu adalah Terjauh sebelah Timur dan Barat… dari Tempat Tinggal Manusia Pertama…

      Dengan Koordinat Pusat adalah Ka’bah di Mekah…
      21° 25′ 21″ N = 21,4225° Utara
      39° 49′ 34″ E = 39,8261° Timur

      Dengan garis bujur Mekah (Pusat) 39° 49′ 34″ E… Garis batas Hari Dunia itu seharusnya ada di :
      180° – 39° 49′ 34″ E =
      140° 10′ 26” W
      bukan di garis bujur180° sekarang…

      Garis Bujur 180° sekarang Terbukti Bukan Garis batas Hari Dunia, bisa kita lihat dengan berbeda-bedanya hari antar Negara di Kepulauan Polinesia…
      Sebab sebetulnya… Adalah tidak mungkin sesama orang Polinesia berbeda-beda hari nya…
      Sekarang itu berbeda-beda hari nya karena mereka didikte oleh Pihak Barat… sehingga mau tak mau harus mematuhi 0° Greenwich…
      Tapi sekarang sudah ada yang “Membangkang”… yaitu negara Samoa.. 🙂
      Tidak menutup kemungkinan Negara-negara Polinesia yang lain…

      Ini sebetulnya “Celah” bagi kita umat Islam untuk melancarkan Propaganda Ka’bah (Mekah) sebagai Alternatif Pengganti Greenwich…
      Dengan 0° bujur Timur-Barat ada di Mekah, hampir semua kepulauan Polenesia akan berada pada zona hari yang sama…

      Tapi bagaimana mau melancarkan Propanda… kalau Kalender Hijriyah Global saja tidak beres-beres ?…
      Si Ivan ini kebanyakan mimpi nya… 🙂

      .

      Kita Umat Islam itu keduluan orang-orang Barat dalam Menentukan 0° bujur Timur-Barat…
      Tapi tidak menutup kemungkinan umat Islam ke depan bisa merebut kembali “0° bujur Timur-Barat” ini…

      Bila kita lihat catatan sejarah (sumber : Wikipedia)… Greenwich London dijadikan 0° bujur Timur-Barat itu adalah hasil keputusan Konferensi Meridian Internasional yang diadakan pada bulan Oktober 1884 di Washington DC, Amerika Serikat… atas permintaan Presiden AS, Chester A. Arthur…

      Pesertanya 25 negara, diwakili oleh 41 delegasi, yaitu :
      Austria-Hongaria, Brasil, Chili, Kolumbia, Kosta Rika, Denmark, Prancis, Jerman, Britania Raya, Guatemala, Hawai, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda, Paraguay, Rusia, Salvador, San Domingo, Spanyol, Swedia-Norwegia, Swiss, Kekaisaran Ottoman, Amerika Serikat, Venezuela

      Kekaisaran Ottoman yang merupakan representasi umat Islam sedunia, hanya diwakili 1 orang Delegasi, yaitu Rustem Effendi, Sekretaris Kedutaan Turki… Sehingga ketika mungkin saja keputusan Konferensi itu divoting… Representasi umat Islam sedunia ini akan kalah telak…

  87. Pak Ivan……bener. Setuju sekali. Jika Ka’bah dijadikan garis bujur 0 derajat, rasanya tepat sekali. Alasannya :

    1) Sesuai yang bapak sampaikan, merupakan titik pangkal perkembangan manusia

    2) dengan demikian garis batas tanggal membelah Samudera Pasifik pada wilayah perairan yang boleh dikatakan kosong (tanpa pulau/manusia)

    3) Ada yang menduga bahwa Ka’bah itu dulu merupakan Kutub Utara bumi dan Kutub Selatan nya adalah Lautan Pasifik (arah ke Amerika Latin). Pergeseran kutub bumi terjadi pada Zaman Nabi Nuh (bersamaan banjir bandang Zaman Nabi Nuh). Masih menurut dugaan itu, peristiwa bergesernya kutub bumi itu disebabkan oleh pergeseran orbit planet Mars yang sangat berpengaruh kepada posisi bumi. Adalah logis kalau Ka’bah (yang dulunya diduga sebagai kutub utara bumi) merupakan titik/garis bujur 0 derajat sebagaimana Pak Ivan sampaikan. Dengan bergesernya kutub bumi, maka bumi mengalami kemiringan (tilt) sebesar 22,5 derajat.

    Terlepas dari benar/salahnya alasan nomor 3), ada fakta alam yang sesunggunhnya memperkuat dugaan itu. Antara lain, jazirah Arab kaya akan minyak, demikian juga Negara Venezuela (yang berdekatan dengan dugaan ex kutub selatan). Lalu, dalam ibadah haji dikenal satu ritual yaitu lari2 mengelilingi Ka’bah. Arah larinya berlawanan dengan arah jarum jam (searah rotasi bumi). Ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan dugaan Ka’bah sebagai awal kutub utara tersebut. Memang di Alquran tidak disinggung soal itu, tapi yang namanya dugaan boleh saja.

    Kalau kita sedikit mencermati bola bumi (globe) sesuai yang dikatakan Pak Ivan, memang posisi2 daratan (benua) dan pulau2 telah diatur sedemikian rupa, dan pantas Ka’bah merupakan titik/garis bujur 0 derajat dan Samudera Pasifik (lebih kurang sepertiga arah daratan Amerika Latin) sebagai garis batas tanggal internasional, baik Masehi (syamsiah) maupun Hijriyah (qomariah), bukan ke arah Australia sebagaimana yang sekarang. Lalu mengapa seperrtiga arah daratan Amerika Latin? Boleh jadi pada lokasi itu, masa (gap) antara masuk tanggal sampai masuk tanggal bagi kawasan benua Australia dan kepulauan di sekitarnya berlangsung agak cukup lama (pergerakan gelap malam yang melintasi 2/3 Samudera Pasifik berlangsung cukup lama).

    Siiippp…setuju Pak Ivan. Ayo dukung Ka’bah sebagai titik/garis bujur 0 derajat.

  88. Judulnya MEMBONGKAR PARADOKS WUJUDUL HILAL, yang kata’a dibuktikan saat gerhana matahari bersamaan dengan sunset. Nampaknya Prof kita terlalu ceroboh menarik kesimpulan. Paradok seperti penjelasan Prof. Thomas juga bisa terjadi saat garis nol wujud hilal membelah Indonesia, jd tak perlu menunggu gernaha matahari yg kejadiannya bersamaan dengan sunset. Tapi, Prof kita lupa pada prinsip WILAYATUL HUKMI dalam WH (kok bisa lupa ya, padahal kata’a waktu Tanwir Majlis Tarjih di Padang 2003 beliau diundang utk mengkritik masalah matla’ itu). Prinsip Wilayatul Hukmi WH “di mana saja di salah satu lokasi negara Indonesia berdasarkan hisab hakiki yg di pegang Muhammadiyah, hilal sudah positif di atas ufuk, maka masuklah bulan baru”. Jadi kalau nanti ada gerhana matahari bersamaan dng sunset terjadi di Bandung, maka terjadi paradoks seperti kata Prof. Thomas. Tapi ternyata gerhana matahari saat sunset tidak mungkin terjadi serentak di seluruh Indonesia Raya ini, pada saat gerhana di Bandung ternyata di Aceh atau di daerah lain tidak gerhana, paradoksnya hanya di Bandung tapi tidak didaerah lain. Prinsip Wilayatul Hukmi ini yang menyebabkan Paradoks Wujudul Hilal pada saat gerhana matahari bersamaan dengan sunset atau garis nol wujud hilal membelah Indonesia hanya TERJADI DI ATAS KERTAS, TIDAK AKAN TERJADI DI DUNIA NYATA. Namun demikian tulisan ini sudah memberikan penjelasan kepada kita bahwa TELAH TERJADI PARADOKS PEMIKIRAN PROF. THOMAS DJAMALUDDIN DALAM MEMAHAMI WUJUDUL HILAL.

  89. Pak Djamal dan para pengusung visibilitas hilal mau “sok ilmiah” dengan memasukkan parameter hamburan cahaya, makanya mereka spesialisasi ke astrofisika. Padahal kondisi atmosfir itu berubah setiap saat tergantung temperatur, tekanan udara, kelembaban, kecepatan angin dll. Ini mau jadi pertimbangan? Walaahhh…… Kalau demikian maka pak Djamal sebelum melakukan penetapan bulan baru harus terlebih dulu mengamati dan memperhitungkan kondisi atmosfir, baru memperhitungkan hamburan cahaya matahari senja! Inilah kesalahan para astronom yang ingin “seolah ilmiah” tapi justru tidak ilmiah. Makanya visibilitas hilal itu justru keblinger. Kecuali kondisi atmosfir bumi ini statis….silakan dipakai. Makanya, kita harus kembali kepada posisi benda2 langit berdasarkan orbitnya. Mengapa faktor pembiasan cahaya bisa kita pertimbangkan? Karena pembiasan cahaya relatif lebih mudah kita hitung (meski masih bersifat relatif dan faktanya juga kondisional tergantung kondisi atmosfir saat itu). Sedangkan efek cahaya matahari senja tidak bisa kita hitung meskipun pemodelan2 itu sudah coba dilakukan. Kita manusia ini tidak akan mampu menghitung kenampakan benda2 langit secara mutlak sampai kiamat pun. Oleh karena itu kita tidak mungkin memasukkan semua faktor yang mempengaruhi kenampakan benda2 langit. Kita manusia ini suka sombong mengaku mampu mengukur kecepatan cahaya secara mutlak, mengukur jarak matahari – bumi secara mutlak, mengukur jarak bumi – bulan secara mutlak, mampu mengukur pembiasan cahaya secara mutlak. Padahal yang diukur manusia itu semua relatif. Justru karena ketidaksanggupan manusia memperhitungkan seluruh faktor yang mempengaruhi kenampakan benda2 langit tersebut, maka Allah memberi kelonggaran kepada manusia. Katakanlah, dengan tiga kriteria WH itu sudah bisa ditetapkan. Mengapa kita harus menambah kriteria jadi lima? Dan menganggap kriteria yang lima itu yang benar? Bagaimana jika kriteria Allah itu ada 12? Atau malah 24? Pada akhirnya kita akan mengatakan, dengan 3 kriteria saja sudah cukup, mengapa kita akan mencari kriteria 12 atau 24 sesuai yang dimaksud Allah (jika ini yang mutlak benar) sementara manusia tidak akan mampu mencapainya?

  90. Saya berpendapat :
    Selama ummat Islam dalam menentukan tanggal 1 (satu) Qomariyah masih berpegangan pada kriteria ketinggian hilal, maka selama itu tidak akan ada persatuan atau tidak ada titik temu.
    Penentuan tanggal 1 Qomariyah adalah domain “Ilmu Pengetahuan” bukan domain “Kerasulan atau domain Kenabian”, dengan kata lain, untuk menentukan tanggal 1 (satu) itu bukan tugas Nabi. Oleh karena itu untuk menentukan tanggal 1 (satu) bulan Ramadlan atau lainnya jangan berdasarkan hadits ” Shuumu liru’yatihi waafthiruu liru’yatih….”, itulah yang menyebabkan ummat Islam selama ini terjebak dalam perbedaan, karena mereka kemudian merumuskan kriteria-kriteria, tanggal satu harus bulan dalam posisi “imkanur-ru’yah”, ghairu imkanir-ru’yah, wujudul hilal dan lain-lain yang itu semua menyebabkan perselisihan bahkan perpecahan. Tinggalkan hadits itu,,,,, ! Karena Nabi juga sudah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”;
    Berdosakah kita tidak menggunakan/mengabaikan hadits tersebut dalam menentukan tanggal 1 Ramadlan atau tanggal 1 Syawal ?
    Menurut saya tidak,,,, ! dengan alasan :
    1. Menentukan tanggal 1 Qomariyah itu domain ilmu pengetahuan, Nabi diutus bukan untuk itu.
    2. Hadist-hadits nabi tentang perintah mengawali puasa kalau sahabat sudah dapat melihat hilal, adalah bukan wahyu, tetapi reaksi basyariyah (kemanusiaan) Nabi terhadap fenomana yang biasa difahami umum saat itu untuk menentukan pergantian bulan, karena mereka tidak mengerti ilmu khisab/astronomi;
    3. Hadits Nabi tentang “melihat hilal” walaupun memakai shighat amar (kalimat perintah) tidak harus kita artikan perintah. Kejadiannya Nabi hanya menerima laporan sahabat/orang bahwa dia melihat hilal;
    4. Nabi tidak pernah membentuk team ru’yat, atau memerintahkan sahabat untuk berbondong-bondong ke atas gunung, atau ke pantai untuk bersama-sama melihat/mengamati hilal.
    5. Dalam masalah-masalah duniawi, keilmuan, pengetahuan Nabi tidak ma’shum (ishmah), contoh:
    – Hadits Nabi kepada petani kurma di Madinah tentang perintah mengawinkan bunga jantan dan bunga betina……ternyata hasilnya menurut pengamatan petani perintah Nabi tersebut tidak tepat, sehingga Nabi bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
    – Hadits Nabi tentang menyelesaikan 2 (dua) orang yang sengketa…. lalu Nabi memberikan putusan atas dasar Jibliyah Nabi, bukan atas dasar wahyu;
    ILMU PENGETAHUAN ADALAH KESEPAKTAN :
    Menetukan tanggal 1 bulan qomariyah adalah domain ilmu pengetahuan, dan suatu hal yang paling substansi dalam dunia ilmu pengetahuan adalah “KESEPAKATAN”; ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits). contoh ;
    – 4 (empat) dikali 4 (empat) menurut kesepakatan ilmiyah adalah 16 (enam belas) tidak perlu dalil agama yang diperlukan adalah kesepakatan ilmiyah;
    – Garis meredian 0 (nol) derajat, adalah meredian Grenwicg, tidak memerlukan dalil agama yang diperlukan adalah kesepakatan ilmiyah;
    – Matahari beredar dalam porosnya dari arah barat ke timur;
    – Bulan beredar dari arah barat ke timur, dll semuanya tidak membutuhkan dalil agama;
    – Peredaran Matahari dan bulan dalam orbitnya setiap bulan akan bertemu dalam satu garis ekleptika di langit yang dikenal sdengan konjungsi adalah kesepakatan ilmiyah yang tidak perlu wahyu;
    Berdasarkan argumentasi sederhana tersebut, menentukan tanggal 1 Ramadlan, 1 Syawal, 1 Muharram dll tidak perlu dalil agama, tidak perlu berpedoman pada hadits.
    Perintah puasa dalam bulan ramadlan, dimaksudkan berpuasa dari tanggal 1 Ramadlan sampai berakhirnya bulan tersebut. Jauh sebelum Nabi Muhammad diutus bahkan lahir, masyarakat sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang disepakati menentukan tanggal 1 Qomariyah, cuma pada waktu pengetahuan masyarakat yang masih sederhana, maka gejala alam berupa nampaknya hilal menjadi pedoman penentuan.
    Berdasarkan alasan-alasan tersebut penulis, berpendapat bahwa batas AKHIR dan AWAL BULAN QOMARIYAH yang paling tepat dan memungkinkan disepakati adalah saat IJTIMAK (konjungsi). Dengan alasan sebagai berikut :
    1. Ijtima (konjungsi) terjadi dalam saat yang sama seluruh dunia; Jikalau terdapat perbedaan dari berbagai sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh banyak dan hanya terpaut beberapa menit saja.
    2. Nabi tidak tahu kalau ada “Ijtima'” Matahari dan Bulan ditiap bulan, buktinya saat terjadi gerhana Nabi tidak menyinggung-nyinggung Ijtima’, karena saat itu ummat Islam masih ummiy;
    3. Ilmu hisab telah merambah dunia Islam, dan gampang disosialisasikan kapan terjadi Ijtima pada tiap-tiap bulan
    Kesimpulan:
    1. Menentukan awal bulan Qomariyah, jangan berpedoman kepada hadits, bukan tugas kerasulan dan kenabian kita, tetapi domain ilmu pengetahuan yang Nabi sendiri menyatakan ” Antum a’lamu bi umuuri dunyakum. Selama ummat Islam masih mempedomani hadist-hadits tersebut, selama itu pula mereka akan terikat dengan kriteria-kriteria hilal dapat dirukyat, akibatnya selama itu tidak akan menemukan titik temu.
    2. Nabi perintah memulai puasa kalau sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah (nabi sebagai manusia) yang saat itu memahami fenomena bulan baru adalah melihat hilal, karena belum tahu hisab ( ummiy), perintah itu tidak dimaknai sebagai wajib, atau sunnah tetapi hanya “irsyad”. Mengingkarinya tidak kafir dan bukan “inkarussunah”.
    3. Berpedoman pada terjadinya Ijtima’ (konjungsi) sebagai penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah adalah lebih mendekatai untuk disepakati dan lebih ilmiyah, seandainya Rasulullah tahu Ijtima’ tentu akan memilih itu sebagai penentuan tanggal 1 bulan Qomariyah.
    4. Selama ini dalam sidang-sidang istbat hilal, tidak ada ormas yang melontarkan mengesampingkan hadits-haits tentang rukyat, karena mereka takut organisasinya dicap ” Ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam Liberal dll.
    Abd. Salam
    Pemerhati Ilmu Hisab
    Wakil Ketua Pengadilan Agama Watansoppeng

    • Ilmu pengetahuan bisa selaras dengan penerapan dalil Quran dan hadits. Menurut sains, hadits merukyat juga tepat, karena sains juga berbasis observasi lalu dimodelkan menghasilkan ilmu hisab.

      • betul sekali Prof. artinya hisab dan rukyah bisa disatukan, tetapi ada tambahan yang lebih penting, dalam hal rukyah harus melibatkan kemampuan dan apa yang dimiliki para astronom, termasuk melibatkan njenengan,
        pertanyaannya yang masih mengganjal,
        penentuan awal bulan berdasarkan perpindahan atau sesuatu yang sedang berjalan lalu di lakukan rukyah, jika hal tersebut dilakukan untuk apa ada astronomi, khawatirnya hari raya 1433 H akan ada tiga jika ada yang mendasarkan penggenapan hari jika tertutup mendung, yang puasa hari Sabtu 21 Juli 2012 akan menggenapi menjadi 30 hari jika hilal tertutup mendung, maka hari rayanya Senin, 20 Agustus 2012, padahal dari apa yang saya dengar, semua saya maklumi pendapat masing2, 3 hari raya 1433H, Sabtu, Minggu dan Senin, lalu jika tertutup mendung pada hari Sabtu, apakah Pemerintah berhari raya Minggu? maka dalam hal ini yang berperan mata atau astronomi,
        jangan sampe karena rasa malu, kemudian tetap memberlakukan hari raya Minggu, karena Sabtu seluruh wilayah Indonesia tertutup mendung, aq saja bisa memaklumi, jika ada yang berhari raya Senin

    • 100% setuju dengan pendapat Bapak.
      Kita harus dapat membedakan Hadits kontekstual dengan tekstual.
      Perintah Rukyat itu karena pada jaman Nabi ilmu pengetahuan belum sedemikian majunya seperti sekarang, lagipula “masyarakat Islam” pada Jaman Nabi tentunya masih sangat terbatas baik jumlah maupun luas wilayahnya, bandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk negara kita saat ini.
      Semestinya pakar seperti Pak Thomas Djamaluddin memelopori tindakan meninggalkan Rukyat yang hanya menimbulkan ketidak pastian dan pemborosan, disamping itu juga membuat kita Umat Islam jadi bahan tertawaan Umat lain.
      Langkah pertama yang harus dilakukan sebelum menentukan kriteria dan lain-lain adalah meninggalkan Rukyat,
      Wallahu alam

    • Ass wr wb.
      Haqqulyaqin thd Al Qur’an dan Hadist (dalil2 syar’I) adalah bagian dari RUKUN IMAN bagi umat muslim, karena itu mengikuti tuntunan dalil syar’i adalah mutlak, sedangkan usaha mengkaji dalil syar’i dg mencari pembenarannya berdasarkan logika dan iptek adalah dakwah Islamiah.
      Mencari pembenaran atas dalil2 syar’i sudah tentu akan menggunakan “akal pikiran”, sehingga apabila akal pikiran yang “terbatas” belum mampu menguak tabir misteri dalil syar’i maka tetaplah pada jalur IMAN yaitu tetap haqqulyaqin pada kebenaran dalil syar’i dan berdoa semoga Allah SWT menurunkan hidayahNYA.
      Meninggalkan dalil syar”i akibat “keterbatasan” akal pikiran dlm memainkan logika, sama artinya dg tindakan putus asa dalam menjaga IMAN yang akan berujung pada “lunturnya” IMAN.
      IMAN memang “menuntut” agar umat muslim menyadari bahwa akal pikiran manusia itu “tidak ada apa2nya” dibandingkan dengan kebenaran yg datang dr Allah SWT.
      Wass wr wb.

    • Ass wr wb.

      Komunitas astronom internasional boleh saja sepakat dengan Teori Newmoon yg diajarkan dibangku sekolah/kuliah yg menyatakan bahwa “akhir bulan” adalah saat konjungsi/ijtimak yaitu saat puncak bulan mati.
      Namun para astronom muslim harus sadar bahwa Teori Newmoon itu “tidak Islami” karena tidak sesuai dg dalil syar’i yang mengisyaratkan bahwa “akhir bulan hijriyah” adalah saat berakhirnya bulan mati yg ditandai dg adanya “penampakan hilal”. Disamping itu, diisyaratkan pula bahwa pergantian hari/tanggal dan bulan adalah pd saat magrib.

      Karena itu, tgl 19 Juli 2012 sebelum magrib adalah merupakan hari ke 29 bln Syakban 1433 dimana dilaksanakan rukyatul hilal. Dan karena saat itu tidak ada penampakan hilal, maka bulan Syakban 1433 digenapkan menjadi 30hr, sehingga tgl 19 Juli 2012 magrib sampai dengan tgl 20 Juli 2012 magrib adalah hari ke 30 bln Syakban 1433,.
      Dengan demikian, mulai tgl 20 Juli 2012 magrib hingga tgl 21 Juli 2012 magrib adalah tgl 1 Ramadhan 1433, sehingga sholat tarawih dilakukan mulai pd tgl 20 Juli 2012 malam hari dan makan sahur serta puasa dilakukan mulai tgl 21 Juli 2012 pagi hari.

      Mengenai Idul Fitri, tgl 18 Agustus 2012 sebelum magrib adalah merupakan hari ke 29 bln Ramadhan 1433 dimana akan dilaksanakan rukyatul hilal.

      Pd tgl 18 Agustus 2012 magribketika dilaksanakan rukyatul hilal ternyata ada penampakan hilal, maka tgl 18 Agustus 2012 magrib sampai 19 Agustus 2012 magrib adalah tgl 1 Syawal 1433 (Idul Fitri), sehingga takbir dilaksanakan mulai tgl 18 Agustus 2012 magrib dan sholat Ied dilaksanakan pagi hari tgl 19 Agustus 2012.

      Seandainya pada saat rukyatul hilal tgl 18 Agustus 2012 ternyata tidak ada penampakan hilal, maka bulan Ramadhan 1433 digenapkan menjadi 30hr sehingga tgl 18 Agustus 2012 magrib sampai dengan tgl 19 Agustus 2012 magrib adalah hari ke 30 bln Ramadhan 2012, sedangkan tgl 19 Agustus 2012 magrib s.d. 20 Agustus 2012 magrib adalah tgl 1 Syawal1433. Jika demikian, maka takbir dilaksanakan mulai tgl 19 Agustus 2012 magrib dan sholat Ied dilaksanakan pada pagi hari tgl 20 Agustus 2012.

      Wass wr wb.

  91. Pak Bambang,

    Kalau memang konsekwen mengabaikan BULAN, seharusnya kalender masehi tdk perlu dibagi menjadi 12 bln tetapi satu thn hanya dibagi berdasarkan HARI saja yaitu dr tgl 1 s.d. tgl 365 utk th biasa dan s.d. tgl 366 utk th kabisat. Terlepas dr itu semua, para pakar astronomi muslim memang wajib mengglobalkan kalender hijriyah dan apabila krn keterbatasan kecerdasan shg mengalami kebuntuan dan kebingungan dlm menerapkan teori ilmiah dr Al Qur’an dan Hadist maka TETAPLAH BER-IMAN

    (Komentar 14 Januari 2012 05:18)

    Bila pemakaian penanggalan per bulan dalam kalender Syamsiah dirasakan bisa membuat rancu, bisa saja Penanggalan Kalender Syamsiah Muslim kita ambil berdasarkan 4 Musim :

    – Musim Semi (Spring)
    – Musim Panas (Summer)
    – Musim Gugur (Autumn)
    – Musim Dingin (Winter)

    .

    – Musim 1 = 92 hari = 20 Maret s.d 19 Juni
    Musim 1 = Musim Semi Utara / Musim Kemarau Utara Khatulistiwa = Musim Gugur Selatan / Musim Hujan Selatan Khatulistiwa
    Musim 1 = Tanggal 1 s.d tanggal 92

    – Musim 2 = 94 hari = 20 Juni s.d 21 September
    Musim 2 = Musim Panas Utara / Musim Kemarau Utara Khatulistiwa = Musim Dingin Selatan / Musim Hujan Selatan Khatulistiwa
    Musim 2 = Tanggal 1 s.d tanggal 94

    – Musim 3 = 90 hari = 22 September s.d 20 Desember
    Musim 3 = Musim Gugur Utara / Musim Hujan Utara Khatulistiwa = Musim Semi Selatan / Musim Kemarau Selatan Khatulistiwa
    Musim 3 = Tanggal 1 s.d tanggal 90

    – Musim 4 = 89 / 90 hari = 21 Desember s.d 19 Maret
    Musim 4 = Musim Dingin Utara / Musim Hujan Utara Khatulistiwa = Musim Panas Selatan / Musim Kemarau Selatan Khatulistiwa
    Musim 4 = Tanggal 1 s.d tanggal 89 / 90

    .

    Kalender Syamsiah Muslim (dan tentunya juga KALENDER MASEHI) bisa dikatakan MENGGUNAKAN SEMACAM METODA PENGHITUNGAN HISAB URFI, Bukan berdasarkan Peredaran Semu Matahari Faktual…
    Bisa kita lihat :

    – Titik equinox Vernal ( March Equinox)
    = awal Musim Semi di Hemisfer Utara
    = Posisi Matahari tepat ada di atas khatulistiwa (δMatahari = 0°) itu :
    Bisa di tanggal 20 atau 21 Maret

    – Titik Balik Musim Panas di Hemisfer Utara
    = awal Musim Panas di Hemisfer Utara
    = Posisi Matahari tepat ada di atas Titik Balik Utara (δMatahari = 23,5°) itu :
    Bisa di tanggal 20, 21 atau 22 Juni

    – Titik equinox Autumnal
    = awal Musim Gugur di Hemisfer Utara
    = Posisi Matahari tepat ada di atas khatulistiwa (δMatahari = 0°) itu :
    Bisa di tanggal 22, 23 atau 24 September

    – Titik Balik Musim Dingin di Hemisfer Utara
    = awal Musim Dingin di Hemisfer Utara
    = Posisi Matahari tepat ada di atas Titik Balik Selatan (δMatahari = -23,5°) itu :
    Bisa di tanggal 21 atau 22 Desember

    Perhitungan Awal Musim tiap tahun, Bisa kita lihat di sini :
    http://www.timeanddate.com/calendar/seasons.html

    .

    Jika kalender syamsiah harus saklek seperti kalender hijriyah sesuai dengan pendapat pak bambang dll yang bersikeras batas awal bulan hijriyah harus sesuai dengan penampakan peristiwa alamnya (dalam hal ini garis penampakan hilal), MAKA :

    Kalender Syamsiah pun konsekuensinya akan mempunyai Garis Batas Tanggal Internasional yang berubah-ubah, sebab posisi matahari tepat lurus di atas permukaan bumi pada saat posisi matahari ada pada Titik Equinox terjadi di tempat yang tidak sama setiap tahunnya…

    Dari situs timeanddate.com bisa kita lihat :
    (Waktu yang berbeda-beda menunjukkan bahwa Tempat Titik Equinox di muka bumi berbeda-beda tiap tahunnya)

    March Equinox
    1967 21 Mar 14:37 WIB
    2011 21 Mar 06:21 WIB
    2012 20 Mar 12:14 WIB
    2013 20 Mar 18:02 WIB
    2014 20 Mar 23:57 WIB
    2015 21 Mar 05:45 WIB
    2048 20 Mar 05:33 WIB

    June Solstice
    1967 22 Jun 09:23 WIB
    2011 22 Jun 00:16 WIB
    2012 21 Jun 06:08 WIB
    2013 21 Jun 12:04 WIB
    2014 21 Jun 17:51 WIB
    2015 21 Jun 23:38 WIB
    2048 20 Jun 22:54 WIB

    September Equinox
    1967 24 Sep 00:38 WIB
    2011 23 Sep 16:04 WIB
    2012 22 Sep 21:49 WIB
    2013 23 Sep 03:44 WIB
    2014 23 Sep 09:29 WIB
    2015 23 Sep 15:20 WIB
    2048 22 Sep 15:00 WIB

    December Solstice
    1967 22 Dec 20:16 WIB
    2011 22 Dec 12:30 WIB
    2012 21 Dec 18:12 WIB
    2013 22 Dec 00:11 WIB
    2014 22 Dec 06:03 WIB
    2015 22 Dec 11:48 WIB
    2048 21 Dec 12:02 WIB

    Konversi Tanggal Masehi ke Tanggal Syamsiah Muslim :


    .

    Kesimpulannya :

    Penetapan Batas Tanggal (termasuk HARI) Internasional Yang Tetap Yang Ada sekarang ini, yang digunakan oleh dunia internasional adalah :
    Bukan karena Faktor Kalender Syamsiah…

    PENETAPAN BATAS TANGGAL YANG TETAP TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN KALENDER SYAMSIAH !

    Tapi itu hubungannya adalah dengan Kebutuhan Fitrah Manusia dalam Kalender (tidak ada bedanya mau kalender Qomariyah ataupun Syamsiah) yang digunakan untuk berhubungan satu sama lain baik di dalam 1 wilayah maupun antar wilayah…

    Jadi bila kita menginginkan adanya Kesatuan Kalender Hiriyah untuk seluruh dunia, Maka :
    PENETAPAN BATAS TANGGAL HIJRIYAH INTERNASIONAL YANG TETAP ADALAH SUATU KEHARUSAN…

    • Ass wr wb.
      Usul pak Ivan mengenai kalender Syamsiyah Muslim berdasarkan 4 musim itu sah2 saja. Namun demikian jika kemudian mendapati kenyataan bahwa kalender berdasarkan 4 musim itu ternyata awal bulannya ‘tidak tetap” baik waktu maupun tempat dimulainya sehingga mengambil kesimpulan bahwa garis tanggal syamsiyah seharusnya juga tidak tetap,maka inilah yg perlu dipertanyakan.
      Kalender Syamsiyah yg dibuat berdasarkan 4 musim memang seperti itu, jadi lebih tepat kalau dikatakan bahwa yg “tidak tetap” adalah “garis tanggal kalender syamsiyah 4 musim”, sedangkan IDL (Garis Tanggal Internasional) adalah “tetap”
      Apalagi kemudian menyimpulkan bahwa konvensi penetapan IDL dibujur 180 derajat dg pergantian hari/tgl pada saat tengah malam itu tidak ada hubungan sebab akibat dg kalender syamsiyah, ini lebih dipertanyakan lagi.
      Coba kita cermati dari namanya saja yaitu IDL = International Date Line = Garis Tanggal Internasional dan saya lebih senang menyebutnya sebagai Garis Perubahan Tanggal Internasional, IDL itu mengandung kata “TANGGAL” dimana kita semua tahu bahwa yg nama nya tanggal itu adanya di PENANGGALAN = ALMANAK = KALENDER, dan yg dimaksud adalah kalender syamsiyah yg berlaku sekarang.
      Kemudian jika Kalender Syamsiyah itu tidak dilengkapi IDL, bagaimana cara kita mengaplikasikan urut2an tanggalnya diseluruh permukaan bumi ini.
      Dan yg lebih mengundang tanya lagi adalah, apa tujuan menetapkan IDL melalui konvensi internasional kalau bukan untuk mengaplikasikan urut2an tanggal yg ada dlm kalender syamsiyah diseluruh permukaan bumi.

      Dengan demikian, mengenai ILDL yg kenyataannya memang unik dan dinamis, selalu bergeser ketimur setiap bulannya, juga tidak bisa digantikan dengan IDL yg tetap, sehigga kalender hijriyah yg sesuai dg tuntunan dalil syar’i adalah yg menggunakan garis tanggal ILDL, “bukan IDL”
      Wass wr wb.

      • Ass wr wb.
        Maaf ada sedikit kesalahan, yaitu :
        TERTULIS : ……………bahwa kalender berdasarkan 4 musim itu ternyata awal bulannya ‘tidak tetap”, ……………………..
        SEHARUSNYA : …………bahwa kalender berdasarkan 4 musim itu ternyata awal musimnya ‘tidak tetap”, …………………….
        Wass wr wb.

  92. […] Wujudul hilal (WH) di dalam “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang dihitung adalah piringan atas bulan (baca halaman 88). Mengapa piringan atas? Karena konsep WH adalah “ketika bulan terbenam lebih lambat dari matahari”, jadi ketika piringan atas masih di atas ufuk dianggap wujud. Secara astronomi jelas itu bukan hilal, tetapi Muhammadiyah menyebutnya “wujudul hilal”. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/13/membongkar-paradoks-wujudul-hilal-untuk-mendorong-seman… […]

  93. […] memenuhi kriteria hilal tidak terlihat. Kriteria wujudul hilal tidak didukungnya, karena memang wujudul hilal mengandung paradoks dan bermasalah. Namun, ketika mengusulkan kembali ke ijtimak qoblal ghurub (ala Muhammadiyah pra-1960-an) pada […]

  94. […] Konjungsi BISA dibuktikan dengan pengamatan pada saat gerhana matahari, lalu dikoreksi dari toposentrik menjadi geosentrik. Tetapi WH TIDAK BISA dibuktikan, bukan hanya sulit dibuktikan. Konsep WH, bila sunset (matahari terbenam) lebih dahulu daripada moonset (bulan terbenam) adalah konsep penyederhanaan rukyat ketika ilmu hisab masih dianggap rumit. Konsep sebenarnya keliru. Untuk bulan rendah, cahaya sabitnya bulan sudah terbenam pada saat matahari terbenam, jadi tidak mungkin wujud. Karena sudah terbenam, TIDAK BISA dibuktikan dengan pengamatan. Untuk bulan yang agak tinggi, tetapi masih di bawah kriteria IR, tidak ada teknologi untuk mengamatinya karena panjang gelombang bahaya matahari yang dipantulkan bulan hampir sama dengan panjang gelombang cahaya matahari yang dihamburkan atmosfer, sehingga peningkatan kontral hilal tidak mungkin dilakukan. Paradox WH saya jelaskan di blog saya. […]

  95. sy sbg org biasa, lulusan SD lagi. saya hanya ‘niteni’ menyimpulakan dengan pengalaman saja; bahwa penetapan 1 ramadhan da 1 syawal oleh pemerintah – mungkin terpengaruh ilmu p djamaludin- SELALU SALAH. Posisi bulan sudah terlalu tinggi untuk ukuran tanggal satu. Anda jangan menggiring opini masyarakat untuk membenci Muhammadiyah. lihat dong kenyataan… masyarakat sering disesatkan keputusan pemerintah. Mestinya Anda sbg ilmuan berikan solusi yang bijak. Jangan berpihat kpd satu fihak saja….

    • Sebagai orang biasa, semestinya belajar. Jangan menyalahkan Pemerintah tanpa ilmu. Ayo belajar astronomi agar faham permasalahan yang ada dan ikut mencarikan solusi.

    • Ki Setyo, saya kira perlu berhati-hati menyebut “Selalu Salah”. Jika anda belajar falak, tentu akan tahu bahwa yang disampaikan Prof Thomas sangat ilmiyah, memihak pada syar’i dan ilmu pengetahuan. trims

  96. satu aja aku mau nanya, dalilnya mana tinggi hilal MINIMAL harus 2 derajat???

    • Ketinggian hilal adalah syarat terlihatnya hilal agar hilal yang tipis bisa mengalahkan cahaya syafak (senja). Jadi dalil ketinggian itu ya dalil “shuumu lil ru’yatihi …”.

  97. saya mau tanya pak, apakah pembiasan berpengaruh pada penentuan hilal?

    • Pembiasan atmosfer atau refraksi memang mempengaruhi perhitungan posisi hilal. Pembiasan atmosfer menyebabkan posisi bulan lebih tinggi dari sesungguhnya. Jadi koreksi refraksi (sekitar 15 menit busur) harus ditambahkan pada ketinggian bulan atau hilal.

    • Ya, dalam hisab posisi hilal, pembiasan diperthitungkan. Bulan sebenarnya sdh di bawah ufuk, namun karena pembiasan atmosfer hilal/bulan terlihat lebih tinggi.

  98. Topik nya mentukan tgl hijriyah ,,dgn metode wujudul hilal.. ,tetapi contoh di atas kok gerhana matahari…,

    • Karena gerhana matahari di ufuk bisa menjadi contoh kesalahan konsep wujudul hilal. Gerhana matahari bisa tampak, bukan sekadar konsep wujud.

Tinggalkan komentar