Dokumentasi “KIPRAH” Media Indonesia: THOMAS DJAMALUDDIN Menyatukan Perbedaan dengan Astronomi


Kiprah - Media Indonesia 6 Sep 2013

Media Indonesia memuat “Kiprah” saya pada terbitan 9 September 2013.  Berikut hasil wawancara wartawan Media Indonesia, Rudy Polycarpus:

THOMAS DJAMALUDDIN Menyatukan Perbedaan dengan Astronomi

RUDY POLYCARPUS

Perbedaan penanggalan Islam yang selama ini terjadi dinilai bisa disatukan dengan ilmu pengetahuan astronomi.

SETIAP tahun, menjelang penetapan awal tahun kamariah, Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia selalu saja ada perbedaan. Penetapan menurut Muhammadiyah kerap lebih awal satu hari ketimbang penetapan sidang isbat Majelis Ulama Indonesia berdasarkan perhitungan mayoritas ormas Islam, salah satunya Nahdlatul Ulama (NU). Penerapan perhitungannya juga berbeda. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yakni perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan awal bulan pada kalender Hijriah. Sementara itu, NU mengandalkan metode rukyat, yakni aktivitas mengamati visibilitas hilal atau penampakan bulan sabit pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi).

Perbedaan itu yang selalu menjadi perdebatan hingga kini. Di tengah perdebatan, sosok Thomas Djamaluddin kerap dimintai pendapat. Peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) itu menilai perbedaan sebenarnya mengakibatkan keresahan dan ketidaknyamanan di kalangan masyarakat. “Kalau ada yang masih berpuasa, sedangkan masyarakat yang lain sudah berhari raya, ini kan bikin enggak nyaman. Bahkan saya dengar di daerah Sulawesi pernah terjadi kontak fisik,“ ujar Thomas yang ditemui Media Indonesia di Lapan, Rawamangun, Jakarta, Rabu (4/9).

Menurut pria berusia 51 tahun itu, kedua perbedaan tersebut bisa disatukan, dengan syarat kedua ormas itu bersedia mengalah dan menuju satu titik temu perhitungan. “Hisab dan rukyat itu seperti dua sisi mata uang, jadi bisa disatukan,“ tegasnya. Syarat yang diajukan Thomas ialah kedua metode itu harus menggunakan kriteria yang sama. Pasalnya, baik rukyat maupun hisab bukan persoalan dalil fikih berdasarkan ayat Alquran dan hadis sebagai landasannya, sehingga bisa disatukan dengan ilmu pengetahuan.  “Padahal, kriteria semacam itu hanya hasil ijtihad yang bisa berubah dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan,“ jelasnya.

Namun, Thomas sadar dengan sekelompok masyarakat yang tidak sepakat dengan pendapatnya. “Sebagai ilmuwan, saya hanya meluruskan sesuai dengan ilmu yang saya kuasai karena ilmuwan harus berperan dalam mencerdaskan masyarakat,“ ujar Thomas yang mengaku terbuka untuk berdiskusi mengenai perkembangan teori dan informasi terbaru. Thomas berharap bisa menjembatani ilmu pengetahuan dan agama, bahkan mampu menjembatani perbedaan pendapat masyarakat. Bagi dia, mempelajari ilmu astronomi semakin memperdalam keimanan dia. “Banyak fenomena dan misteri Tuhan di ilmu astronomi ini,“ ujarnya.

Berkat upayanya memberikan advokasi ilmiah kepada pemerintah dan masyarakat luas serta metode penanggalan kamariah itu, Thomas diganjar Sarwono Prawirohardjo Award XII oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kepala LIPI Lukman Hakim dalam pidato pemberian penghargaan itu di LIPI, Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan, “beliau juga sering kali ikut serta sebagai anggota Dewan Isbat di Kementerian Agama. Doktor lulusan Kyoto University, Jepang, ini juga banyak bicara tentang isu-isu antariksa seperti fenomena gerhana, misi antariksa, dan badai matahari.“ Thomas juga dinilai memberikan kontribusi pengetahuan dalam berbagai karya ilmiah yang sudah dimuat di tingkat nasional serta internasional. “Sebagai peneliti senior, beliau juga aktif memberikan penilaian angka kredit peneliti dan juga memberikan pelatihan di tingkat nasional,“ ujar Lukman.

Fenomena

Peneliti utama dan profesor riset bidang astronomi-astrofisika yang menjabat Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN itu pun kerap dimintai pendapat untuk meluruskan fenomena astronomi dan sejenisnya. Sebut saja isu kiamat pada 2012 yang sempat menghebohkan dunia, fenomena badai matahari, perubahan arah kiblat pascagempa, dan kemunculan alien dengan adanya crop circle di Sleman, DI Yogyakarta, pada 2011. Ia memang dikenal sebagai peneliti yang aktif berbagi informasi soal astronomi kepada masyarakat lewat media massa atau jejaring sosial.  “Informasi itu untuk dibagi, biar berguna. Kalau saya tahu, untuk apa ditutup-tutupi. Masyarakat juga berhak menjadi cerdas,“ ujarnya.

Di samping makalah ilmiah, Thomas sudah menghasilkan sejumlah buku tentang astronomi dan keislaman, seperti Menggagas Fiqih Astronomi: Telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, Menjelajah Keluasan Langit Menembus Kedalaman Al-Quran, dan Bertanya pada Alam: 13 Worthy to Know Facts.

Ia juga menjadi anggota sejumlah lembaga, seperti International Astronomical Union (IAU), National Committee di Committee on Space Research (Cospar), Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI dan BHR Provinsi Jawa Barat, serta Himpunan Astronomi Indonesia (HAI).  Ia bergabung di Lapan sejak 1986 seusai menamatkan kuliahnya di Institut Teknologi Bandung. Dua tahun kemudian, ia melanjutkan studi magister dan doktornya di Kyoto University, Jepang, pada 1988-1994. Tesis master dan doktornya berkaitan dengan materi antarbintang dan pembentukan bintang.
Ganti nama

Nama Thomas Djamaluddin memang terkenal di kalangan astronom Indonesia. Padahal, nama asli anak pasangan Sumaila Hadiko dan Duriyah itu hanya Djamaluddin. Di masa kecilnya, ia banyak beristirahat karena kerap sakit. Melihat hal itu, orangtua Djamaluddin mengganti namanya dengan Thomas. Nama itu ia pakai hingga duduk di sekolah menengah pertama. “Karena ada perbedaan data kelahiran saat duduk di sekolah menengah pertama, nama saya akhirnya digabung jadi Thomas Djamaluddin. Sekarang nama saya sering disingkat T Djamaluddin,“ ujarnya.

Pemahaman Thomas akan agama Islam ternyata tidak semata berawal sejak ia terlibat di Lapan. Sejak kecil, di Cirebon, Jawa Barat, ia telah mempelajari Islam secara autodidak dari keluarga dan aktivitas di masjid. Bahkan di Jepang, ia menjabat Secretary for Culture and Publication di Muslim Students Association of Japan (MSA-J). (M-5) rudy@mediaindonesia.com

EMAIL
rudy@mediaindonesia.com

3 Tanggapan

  1. Mengapa ya yang diangkat perbedaan hanya dg Muhammadiyah, padahal justru yg terus berbeda adalah dg komunitas muslim adat, seperti Jama’ah Satariyah, Aboge, dst? Tanya kenapa?

    Meskipun metode “gado-gado” imkanurrukyat (IR) dimaksudkan untuk menyatukan perbedaan hari raya, namun faktanya tiap tahun selalu saja ada perbedaan baik soal kapan awal puasa maupun awal lebaran. Dan yg pasti adalah perbedaan dg komunitas muslim adat. Jk masih ada orang yg memandang keampuhan metode IR dalam menyatukan perbedaan itu 100%, orang tsb perlu lebih jujur lagi.

    Ini membuktikan bahwa upaya penyatuan lebaran selama ini, hanyalah sebatas upaya, dan selamanya akan begitu. Apakah ini kondisi yg mengecewakan bagi para penggagas metode IR itu? Saya tidak yakin. Justru boleh jadi bahwa situasi itu adalah sesuatu yg diharapkan dan memang sengaja dipertahankan. Mengapa? Karena dg adanya situasi itu maka anggaran negara utk proyek penyatuan lebaran tiap tahun akan terus berjalan dan itu tentu sangat menguntungkan bagi segelintir kelompok orang penikmat proyek tsb.

    Rakyat makin sadar tentang cara kerja semacam itu.

    • Pemerintah mengupayakan persatuan, bukan hanya kepada ormas-ormas besar, tetapi juga kepada kelompok-kelompok kecil yang sering berbeda. Kemenag sering mengundang mereka untuk berdiaog. Sumber perbedaan pada kelompok-kelompok kecil (seperti An-Nadzir, Naqsabandiyah, dan lainnya) umumnya karena mereka masih menggunakan metode hisab-rukyat lama yang diajarkan oleh guru-guru mereka. Persoalannya berbeda dengan sumber perbedaan antar-ormas Islam yang sudah menggunakan hisab-rukyat modern, yaitu persolaan perbedaan kriteria.

      • Dan kesimpulan akhirnya jelas dan terang benderang Bp Prof. Thomas. Perbedaan tanggal lebaran tiap tahun tetap ada dan eksis. Dan pada saat bersamaan, ada sekelompok orang yg mengaku ahli di bidang astronomi merasa mampu menyatukan perbedaan itu, sehingga merasa lebih berhak menikmati kucuran dana dari uang negara. Mereka terus berupaya. Terus dan terus. Namun hasilnya: nol besar! Perbedaan tanggal lebaran tetap ada dan eksis. Dan sekelompok ahli itu pun dinilai telah berjasa dalam “upaya” menyatukan lebaran dg “pil” yg bernama imkanurrukyat. Ya, sebatas “upaya”, tanpa bukti.

Tinggalkan komentar