Hisab Wujudul Hilal Muhammadiyah Menghadapi Masalah Dalil dan Berpotensi Menjadi Pseudosains


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI

(Ilustrasi pseudosains dari internet)

Mengapa harus mengkritis hisab wujudul hilal (WH, perhitungan munculnya bulan di atas ufuk)? Hisab WH itu menjadi penyebab utama perbedaan penetapan hari raya karena tidak mungkin mencapai titik temu dengan metode rukyat. Bagaimana pun, di masyarakat ada dua metode yang digunakan dalam penetapan awal bulan qamariyah (berbasis bulan), terutama dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, yaitu metode rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan).

Ide awal hisab wujudul hilal sebenarnya sama dengan hisab imkan rukyat (perhitungan kemungkinan hilal bisa diamati) yang mendasarkan pada hadits terlihatnya hilal (Lihat https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-dan-hisab-imkan-rukyat/ ). Hisab wujudul hilal hanyalah bentuk PENYEDERHANAAN ketika kerumitan efek cahaya senja memberikan ketidakpastian. Maka faktor atmosfer yang diperhitungkan hanyalah faktor refraksi (pembiasan) cahaya, sedangkan hamburan cahaya matahari yang menjadi penggangu terlihatnya hilal diabaikan. Tetapi semestinya kemudian tidak berkelanjutan. Penelitian tentang efek cahaya senja yang mempengaruhi ketampakan hilal terus dilakukan dan melahirkan usulan-usulan baru kriteria imkan rukyat yang terus berkembang. Kriteria imkan rukyat yang dalam implementasinya perlu kesepakatan semua pihak, selalu diupayakan menghasilkan keputusan yang sama dengan hasil rukyat. Itulah titik temu antara penganut rukyat dan penganut hisab yang mewujudkan keseragaman kelender dan penetapan hari-hari raya Islam.

Namun dalam perkembangannya, para penganut fanatik hisab wujudul hilal cenderung mengabaikan rukyat, bahkan menganggap rukyat tidak penting. Seolah hisab segalanya dan seolah hisab itu hanya WH. Kenyataan perkembangan astronomi visibilitas hilal tidak sedikit pun dipertimbangkan untuk menyempurnakan kriteria usang WH. Ada dua masalah prinsip dengan WH yang perlu kita kritisi bersama. Pertama terkait dengan dalil dan kedua terkait dengan logika ilmiah astronomis. Logika astronomis telah direduksi oleh fanatisme organisasi menjadi sekadar logika matematis yang lepas dari kontek fisis astronomisnya. Kalau itu terus dipertahankan, logika WH akan terjerumus menjadi pseudosains alias sains semu. Seolah didasarkan oleh logika sains, nyatanya hanya logika pembenaran yang jauh dari metode saintifik.

 

Masalah Dalil

Pertama, masalah dalil. Para penganut WH selalu menekankan secara syar’i hisab dibolehkan dan bisa menggantikan rukyat. Sekian banyak dalil bisa dikemukakan. Sampai batas ini saya sepakat, karena secara astronomi pun (sebagai dalil aqli-nya), rukyat dan hisab itu setara (Baca juga https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/ ). Hisab dan rukyat yang kompatibel bisa saling menggantikan. Namun, masalahnya hisab itu hanya menghasilkan parameter posisi bulan dan matahari. Untuk menentukan masuknya awal bulan harus digunakan kriteria (batasan tertentu).

Untuk menentukan awal bulan, kriteria imkan rukyat saat ini lazim digunakan oleh banyak ormas Islam di Indonesia dan banyak negara dalam pembuatan kalender Islam. Memang kriterianya masih beragam, tetapi hal terpenting ada kriteria yang disepakati untuk diimplementasikan menjadi pedoman bersama. Kriteria imkan rukyat adalah tafsir ijtihadi atas pemaknaan “terlihatnya hilal” yang secara astronomi disebut juga kriteria visibilitas hilal. Dalilnya cukup menggunakan dalil-dalil terkait dengan rukyat, karena sesungguhnya hisab hanya alat bantu untuk menggantikan rukyat. Tafsir ijtihadi kriteria imkan rukyat itu mirip dengan kriteria awal-awal waktu shalat terkait dengan posisi matahari. Jadi, kriteria imkan rukyat itu mendefinisikan syarat-syarat bisa terlihatnya hilal (tinggi bulan, umur bulan, jarak sudut bulan-matahari, lebar sabit, dsb) sebagai penentu masuknya awal bulan, mirip dengan syarat ketinggian matahari untuk munculnya fajar dalam penentuan masuknya waktu shubuh. Jadi, kriteria imkan rukyat didukung oleh logika fikih yang jelas.

Namun, kriteria WH hanya didukung oleh interpretasi QS 36:39-40 yang secara astronomi keliru. Ayat itu bermakna, “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk pelepah kurma yang kering. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” Ayat itu oleh penggagas dan pendukung WH dimaknai sebagai berukt: Awal bulan ditandai dengan wujudnya hilal saat “matahari mulai mengejar bulan” dengan terbenam lebih dahulu pada saat “malam menggantikan siang”. (Rinciannya bisa dibaca di “Hisab Awal Bulan” Saadoe’ddin Djambek halaman 10-12 dan “Pedoman Hisab Muhammadiyah” halaman 78-82). Interpretasi itu terlalu mengada-ada. Ayat itu hanya menjelaskan kondisi fisis bulan dan matahari yang berbeda orbitnya (disebut pada akhir ayat sebagai kesimpulan) sehingga menyebabkan terjadinya fase-fase bulan (manzilah-manzilah) dari sabit, menjadi purnama, dan kembali ke sabit akhir bulan. Jadi, tidak ada dalil qath’i (tegas) tentang kriteria WH, selain interpretasi yang janggal secara astronomi itu.

Kita semua tahu, ibadah harus didasarkan pada dalil yang shahih. Ibadah yang tidak didasari dalil yang shahih tergolong bid’ah. Kalau QS 36:39-40 yang dianggap mendasari kriteria wujudul hilal sangat lemah untuk dijadikan dalil, maka mestinya jangan dipakai karena cenderung mengarah ke bid’ah, setidaknya terjerumus pada bid’ah pelaksanaan ibadah sebelum waktunya. Padahal Muhammadiyah pada awal sejarahnya sangat berhati-hati terhadap TBC (Tahyul, Bid’ah, dan Churafat).

 

Masalah Logika Pseudosains?

Mari kita simak logika astronomis yang direduksi menjadi sekadar logika matematis dengan pengabaian faktor hamburan cahaya matahari oleh atmosfer yang mengganggu ketampakan hilal. Semestinya itu hanya penyederhanaan model yang tidak digunakan selamanya. Namun karena matinya semangat tajdid (pembaruan) hisab di Muhammadiyah, penyempurnaan model sederhana yang usang itu tidak pernah terjadi. Sebaliknya, muncul semangat “pemujaan” seolah hisab WH adalah “batas akhir ilmu pengetahuan” yang tidak bisa berubah lagi.

Ada tiga tahap perhitungan WH:

  1. Hitung saat terjadinya ijtimak (newmoon). Info ini bisa diperoleh juga di internet, misalnya http://eclipse.gsfc.nasa.gov/phase/phases2001.html
  2. Hitung saat terbenamnya matahari di kota rujukan (misalnya Yogyakarya). Ini mudah diperkirakan dengan melihat jadwal maghrib (biasanya maghrib sudah ditambah waktu ikhiyati sekitar 2 menit setelah matahari terbenam) atau bisa cari di internet, misalnya http://www.sunrisesunset.com/custom.asp

Dengan dua data itu kita bisa menentukan dua syarat WH: telah terjadi ijtimak dan ijtimak terjadinya sebelum matahari terbenam. Tinggal satu syarat lagi.

3. Hitung apakah matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan, dengan menghitung ketinggian piringan atas bulan saat matahari terbenam.

Nah, pada bagian ini konsep astronomis direduksi menjadi sekadar konsep matematis. Untuk menghitung ketinggian piringan atas bulan, langkah berikut harus dilakukan:

a. Hitung ketinggian titik pusat bulan dengan rujukan pusat bumi (geosentrik).

b. Lakukan koreksi paralaks bulan, karena kita mengamatinya dari permukaan bumi, bukan dari pusat bumi, dengan cara mengurangi nilai ketinggian geosentrik.

c.  Lakukan koreksi refraksi atmosfer, karena cahaya hilal melalui atmosfer, dengan cara menambahkan pada nilai ketinggian setelah koreksi paralaks.

Nilai akhir itulah yang dianggap ketinggian “hilal” dalam konsep wujudul hilal, yang sesungguhnya adalah ketinggian piringan atas bulan. Dengan logika matematis seperti itu “hilal” dianggap sudah wujud bila nilainya positif. Interpretasi matematis yang tampak sedikit rumit itu, konsep dasarnya hanyalah “bulan terbenam lebih lambat daripada matahari”. Itu sebabnya yang dihitung piringan atas bulan.

Logika berfikir matematis, tanpa mempertimbangkan aspek fisisnya, dianggap aneh dan rancu secara astronomi. Satu sisi WH ingin mengabaikan faktor rukyat, tidak perlu mengamati dengan mata, yang penting wujud. Apanya yang wujud? Hilal? Bukan hilal. Karena cahaya sabit bulan yang akan tampak sebagai hilal adanya di dekat arah matahari, bukan di piringan atas. Ketika posisi matahari tepat di bawah bulan, justru bulan sabit adanya di piringan bawah, bukan di piringan atas. Kalau begitu penamaan hilal pada “wujudul hilal” sangat rancu.

Lalu apa sih makna wujud? Wujud artinya “ada di atas ufuk”, karena itu perlu bersusah-sudah menghitung koreksi refraksi? Betulkah? Koreksi refraksi dilakukan pada objek astronomi, kalau objek itu ada cahayanya. Sehingga cahaya itu dibiaskan oleh atmosfer yang menyebabkan objek astronomi itu tampak lebih tinggi dari sebenarnya. Kalau tidak ada cahayanya, karena itu hanya piringan atas bulan yang tak bercahaya, lalu apa yang dibiaskan? Kalau begitu koreksi refraksi hanya “gaya-gayaan” supaya dianggap “astronomis”, karena setiap objek astronomi di ufuk selalu dilakukan koreksi refraksi. Ya, memang setiap objek terang astronomi di ufuk selalu dilakukan koreksi refraksi atmosfer untuk memperhitungkan ketampakannya. Astronom selalu memperhitungkan aspek ketampakannya dengan mata atau dengan alat optik. Nah, terkait ketampakan, bukan hanya  refraksi yang harus diperhitungkan, kontras dengan cahaya senja akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer juga harus dipertimbangkan. Namun pendukung WH selalu menghindari masalah kontras karena WH tidak perlu pengamatan.

Para pendukung WH selalu berlogika seolah ilmiah, bahwa yang penting “wujud” tidak harus tampak.Kalau tidak perlu diamati, cukuplah cahaya sabit beberapa saat setelah ijtimak. Itu sudah pasti wujud di permukaan bulan. Silakan lihat simulasi fase-fase/manzilah bulan, pasti memunculkan cahaya sabit walau sangat tipis, beberapa saat setelah ijtimak. Namun, saya yakin ijtimak tidak akan dijadikan rujukan sebagai awal bulan, karena dalil syar’i-nya tidak ada. Tetapi berlogika seolah berbasis astronomi, yang nyatanya rancu dari sudut pandang astronomi, hanya akan menjerumuskan pada logika pseudosains, alias sains semu. Bagaimanapun sains itu harus bisa diterima dan diuji oleh saintis, menurut kaidah saintifik yang baku. Bukan sekedar keyakinan sekelompok orang.

Bersikukuh dengan pseudosains, sah-sah saja sih. Para pendukung astrologi, UFO, dan crop circle yang fanatis dengan pseudosains yang terkait astronomi juga banyak. Nanti akan lahir pseudosains baru dalam daftar pseudosains astronomi, yaitu WH. Sama dengan pseudosains lainnya, potensi meresahkan juga ada, setidaknya WH meresahkan ketika posisi bulan rendah yang menyebabkan perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, atau Idul Adha.

95 Tanggapan

  1. Yang jadi pertanyaan saya cuma satu Pak, kemana astronom2 islam yang lain ? tidak kah ada yang juga gigih menyuarakan hal yg sama ? atau banyak yg memilih cuma duduk2 saja mengamati, tanpa berusaha ikut menjelaskan pada masyarakat umum

    saya hanya khawatir, energi pak Thomas untuk memperjuangkan imkanur rukyat akan habis jika tidak ada astronom2 lainnya yg juga gigih dan produktif sebagaimana pak Thomas,

    • Nama Negara: kerajaan JAHIL Liyah
      Nama Raja: Yg DiperToehan tan sri Dajjaludin bin luciferuddin binti gerandongudin
      Agama: scientologi sekuler INGKAR RUKYAT
      Hari Kemerdekaan: 2 syawal 1432H

      • INGKAR RUKYAT, tidak ada ruang sedikitpun bagi seorang badui apalagi seorang kyai falakhi utk diterima persaksiannya manakala kesaksian rukyatnya dibawah batas kriteria ingkar rukyat. Semua hrs berdasar astrologinomi.
        Tdk penting yg namanya “teladan nabi” bagi penganut ingkar rukyat

  2. Subhnllh, sprti it adx, ana sepakat.

    • Kalau wh tdk sesuai dan menggunakan rukyat dlm penentuan awal bln qomariah, bagaimana dengan umat muslim di daerah kutub atau yg lain yg tdk bisa melihat bulan dgn mata. Kalau setiap penentuan penanggalan qomariah hrs dgn rukyat, mk kalender hijriah tdk bisa dong dibuat u satu thn, krn sistim penentuannya hrs melihat bulan. Bagaimana klo umat muslim di dunia ini ikuti di mekkah aja dlm penentua ramadhan, syawal, dzulhijah. Biar gk ada perbedaan, krn indonesia saja yg selalu berbeda

      • Kelender dibuat atas dasar hisab, tidak mungkin rukyat. Semua ahli hisab-rukyat sudah faham hal itu. Agar kalender sesuai dengan rukyat, kriteria hisabnya harus kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal). Itulah yang dilakukan secara internasional saat ini.
        Untuk wilayah ekstrem di lintang tinggi, bukan hanya masalah awal bulan, tetapi juga masalah waktu shalat. Untuk waktu shalat lazim digunakan waktu normal sebelumnya. Dan untuk penentuan awal bulan, sangat mudah mengikuti garis tanggal qamariyah. Lihat https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/25/menuju-kalender-hijriyah-tunggal/

  3. Pak Djamaluddin,

    Bersikukuh dengan metode kuno (visibilatas hilal) yang (kebetulan) syar’i adalah sah-sah saja. Makanya kebanyakan penganut wujudul hilal memberi toleransi yang juah lebih tinggi terhadap para penganut rukyat dan imkanu rukyat dibanding mereka terhadap para penganut wujudul hilal.

    Wujudul hilal tidak berbicara tentang hilal, tetapi posisi bulan terhadap matahari dalam peredarannya. Penggunaan kata “wujud” dan “hilal” bisa diaggap sebagai gaya bahasa “prolepsis”, seperti yang dijelaskan Pak Syamsul Anwar. Silakan cari di internet kalau anda belum pernah membacanya. Penggunaaan refraksi, karena yang dihitung adalam posisi bulan terhadap matahari ketika matahari tenggelam. Posisi matahari sudah dikoreksi terhadap refraksi atmosfer (menurut definisi waktu maghrib), maka posisi bulan pun perlu dikoreksi dengan cara yang sama, karena yang ingin diketahui apakah bulan sudah “mendahului” matahari atau belum. Kalau anda tidak melihat ini sebagai sesuatu yang yang logis di sini, silakan berdiskusi secara spesifik. Mungkin ada cara perhitungan yang lebih baik untuk menentukan apakah kriteria wujudul hilal sudah terpenuhi atau belum. Catatan: cara perhitungan tidak sepenuhnya mendefinisikan apa itu wujudul hilal, karena wujudul hilal hanya sebatas konsep dan kriteria.

    Dengan mengaggap wujudul hilal sebagai salah satu kriteria imkanu rukyat, anda sepertinya sedang mendefinisikan wujudul hilal menurut anda sendiri. Kemudian dengan sepenuh hati dan lantang menyalahkannya.

    • Pak Djamaluddin,

      Saya melihat kesalahan fatal dengan logika dan pemahaman anda tentang penggunaan refraksi/pembiasan dalam perhitungan posisi bulan seperti yang saya sudah tulis di atas.

      Mohon komentar anda mengenai hal ini.

      • Gaya bahasa prolepsi untuk hilal dimaknai oleh Pak Syamsul Anwar “…yakni wujud sesuatu yang diantisipasi akan menjadi hilal”. Itulah interpretasi “matematis” yang tidak dilandasai pemahaman fisis astronomis. Piringan atas bulan TIDAK AKAN PERNAH MENJADI HILAL, karena tidak pernah mendapat cahaya matahari saat berada di atas ufuk.
        Mendefinisikan “wujudul hilal” ala Muhammadiyah yang tak lazim secara sains, makin menguatkan stigma bahwa WH memang pseudosains, hanya dikemas seolah sains dengan rumus-rumus matematika astronomis, namun nyatanya ANEH secara astronomi.
        Kalau saya yang sudah puluhan tahun “bermain” dengan astronomi dan sempat menjadi pengajar diklat bagi beberapa ahli falak MTT Muhammadiyah dianggap salah fatal, berarti memang WH itu di luar definisi astronomi. Itu menjadi ranah “pseudosains” setara dengan pemahaman astrologi, UFO, dan crop circle yang sangat diyakini kebenarannya HANYA oleh komunitasnya, tetapi tidak diakui secara sains.

      • Pak Djamaluddin,

        Anda justru tidak memberi jawaban terhadap permintaan saya yang berhubungan dengan penggunakan refraksi atmosfer dalam perhitungan posisi bulan. Seperti yang sudah saya sebutkan, koreksi refraksi adalah logis & perlu, karena posisi bulan dihitung untuk “menentukan apakah Bulan sudah mendahului matahari atau belum” [1], sedang posisi matahari sebenarnya sudah dibawah horizon pada waktu tenggelam dikarenakan faktor refraksi atmosfer. Tidak ada hubungannya dengan faktor ada atau tidaknya cahaya dari bulan yang dibiaskan oleh atmosfer bumi. Saya meminta anda untuk memberi argumentasi tambahan yang bisa mendukung klaim anda bahwa penggunaan refraksi atmosfer hanya sekedar “gaya-gayaan supaya dianggap astronomis”.

        Sekali lagi saya meminta kejujuran anda dalam berdiskusi.

        Mengenai istilah “wujudul hilal”, silakan kalau anda memang ingin menggunakan definisi anda sendiri. Hanya saja, mengingat konsep wujudul hilal berasal dari Muhammadiyah, tidak ada istilah “wujudul hilal ala Muhammadiyah”, yang mungkin ada adalah “wujudul hilal ala T. Djamaluddin”, dimana kemungkinan besar sudah mejadi dua konsep yang tidak identik lagi.

        Wawasan ilmu dan pengalaman tidak bisa menjamin seseorang terhindar dari melakukan kesalahan, jadi silakan berdiskusi masalah substansi, sesuai dengan pesan anda kepada pembaca yang meninggalkan komentar di blog anda.

        [1] Pedoman Hisab Muhammadiyah, hal. 81

      • Di tulisan di atas, saya juga faham bahwa konsep dasar WH hanya atas dasar “bulan terbenam lebih lambat daripada matahari”. Ya, secara MATEMATIS benar, refraksi harus dihitung untuk menentukan posisi bulan di ufuk, sama seperti matahari. Tetapi tetapi secara fisis astronomis, konsep secara keseluruhan yang terasa aneh. Kerumitan matematis itu, dalam sudut pandang astronomi, dapat dipandang sekadar “gaya-gayaan” agar terlihat astronomis. Refraksi yang berasal dari konsep rukyat diadopsi, tetapi hamburan atmosfer yang juga dari konsep rukyat dicampakkan. Masalahnya berawal dari pemahaman dalil QS 36:39-40 yang secara astronomis terasa mengada-ada (silakan baca bagian awal tulisan saya di atas).

      • Terimakasih, Pak Djamaluddin. Meksipun hanya secara implisit, anda mengakui bahwa ada kesalahan di poin c dan penjelasannya dalam tulisan anda mengenai cara perhitungan posisi bulan dalam wujudul hilal. Sekarang argumentasi dari klaim “gaya-gayaan” sudah anda pindahkan lagi ke tempat lain, yaitu “konsep secara keseluruhan yang terasa aneh”, mejadikannya semakin kabur karena tidak jelas apa yang sedang anda kritik.

  4. Siapa bilang kita astronom islam disini cuma diam2x saja. Kami menyimak.

  5. Pak thomas….sebenarnya pendapat anda ini sudah usang (pendapat lama yang diulang-ulang). Muhammadiyah tidak jumud. Kajian soal ini di Muhammadiyah akan terus dilakukan. Wujudul hilal bukan harga mati bagi Muhammadiyah. Sepanjang kesimpulan kajian soal itu harus berubah, Muhammadiyah akan mengubahnya tanpa harus bergantung kritikan anda. Kajian soal apapun di Muhammadiyah akan terus dilakukan. Anda tidak perlu merasa menjadi pahlawan dalam soal ini. Saya takut, jika Muhammadiyah berkesimpulan belum saatnya berubah dan WH masih layak dipakai, anda malah sakit hati. Kegusaran dan kegeraman yang terakumulasi terus-menerus dari waktu ke waktu bisa menjadi kebencian yang mendalam dan ini bisa membuat seseorang terkena penyakit yang juga berbahaya (sama bahayanya dg pseudosains yg anda sebutkan itu). Makanya, saya sarankan anda tidak perlu agresif menyerang Muhammadiyah, soalnya jika Muhammadiyah enjoy aja….justru bisa menjadi bumerang bagi anda sendiri.

    • Mas Prasojo yg terhormat
      Jika Wujudul Hilal bukan harga mati bagi Muhammadiyah, mengapa sampai sekarang msh dipertahankan? Bukankah Persis jg dulu menggunakan teori ini jg, tapi sekarang sdh mau berubah..terus mengapa MD msh tetap bertahan… Tolong, kami mohon kpd yg memiliki otoritas (yg bisa berhubungan dgn pengurus pusat MD) untuk memberikan penjelasan di forum ini, biar kita bisa memahami dgn baik.
      Sy lsangat salut dgn ormas2 lain yg mau diduduk bersama2 untuk menentukan kriteria bersama..Keputusan MABIMS adalah sebuah contoh adanya keinginan bersama untuk menyatukan pendapat2 yg ada, terlepas apakah keputusannya ilmiah atau tdk ilmiah. sama dgn tdk ilmiahnya teori Wujudul Hilal.
      Sy sangat berharap MD jg mau duduk bersama dgn ormas2 lain dan pemerintah..lepaskan keegoan, baju2 organisasi…pikirkan persatuan dan kesatuan umat..

      Comment anda:
      “Kegusaran dan kegeraman yang terakumulasi terus-menerus dari waktu ke waktu bisa menjadi kebencian yang mendalam dan ini bisa membuat seseorang terkena penyakit yang juga berbahaya (sama bahayanya dg pseudosains yg anda sebutkan itu). Makanya, saya sarankan anda tidak perlu agresif menyerang Muhammadiyah, soalnya jika Muhammadiyah enjoy aja….justru bisa menjadi bumerang bagi anda sendiri.”

      Hehehe…Sy pikir anda tdk bisa melihat niat baik dari perjuangan prof. Djamaluddin. Beliau sdh menjelaskan secara detail kelemahan dari Wujudul Hilal. Beliau menginginkan agar masyarakat tdk taqlid buta dalam mengikuti paham ini. Padahal sdh ada kriteria yg sebagian besar ormas dan pemerintah sdh setuju dgn kriteria tsb. Apakah Ormas2 Islam yg lain (selain MD) dan pemerintah memegang paham yg salah??? Apa untungnya Ormas2/pemerintah mempertahan kriteria tsb?
      Kalo sy berpikir sederhana aja yaitu pentingnya kemaslahatan Umat (persatuan dan kesatuan) dan sy pikir dgn mengikuti pemerintah (Ormas2 Islam selain MD) kemaslahatan itu akan terwujud..bgm bro?

      Wassalam

    • ENJOI DAN MERASA BENAR SENDIRI DAN YANG PALING PINTAR SEMUA ORANG DIANGGAP BODOH KALAU TAK SEPAHAM DG ANDA

  6. Saya yang akan ada di depan Prof Thomas! Sama-sama Saintis dan saya seorang Matematika, Fisika, dan Informatika.

  7. Kritik atas wujudul hilal sudah sedemikian rupa disampaikan. Ada warga Muhammadiyah yang akhirnya faham dengan wujudul hilal, dan faham thd substansi kritik atas wujudul hilal. Ada pula warga Muhammadiyah yang tidak kunjung faham dengan wujudul hilal dan tidak faham thd substansi kritik atas wujudul hilal.

    Yang saya fahami, wujudul hilal memang bukan menghisab hilal. Ia hanya menghisab posisi rembulan dan matahari. WH melakukan ijtihad dengan mendefinisikan posisi tertentu rembulan dan matahari yang diinterpretasikan sebagai tanda masuk bulan baru. Jadi, acuan masuknya bulan baru bukan lagi hilal, melainkan posisi tertentu dari rembulan dan matahari yang dirumuskan dalam 3 syarat WH sebagaimana yang kita kenal.

    Katakanlah ijtihad itu sah dari segi metodologi fiqih. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan:

    1. Bukankah Allah jelas jelas menyebut hilal sebagai acuan waktu masuknya bulan baru ?
    2. Bukankah Rasulullah SAW memerintahkan untuk memulai puasa dan mengakhirinya dengan mengetahui hilal baik dengan ru’yat (ketika bulan berumur 29 hari) maupun dengan hisab (ketika bulan sudah berumur 30 hari atau bulan berumur 29 hari dan 4 bulan sebelumnya bertutut turut selalu berumur 30 hari) ?
    3. Mengapa Muhammadiyah membuat definisi baru tentang hilal, atau membuat definisi baru tentang acuan masuknya bulan baru, yang (sedikit) berbeda dari AlQur’an dan As-sunnah ?

    Kalau memang merasa sudah lebih pandai dari nabi Muhammad dalam hal hisab, silahkan saja meninggalkan perintah ru’yat dan menggunakan hisab. Akan tetapi hisablah hilal, definisikan hilal sesuai dengan praktek Rasulullah SAW, dan janganlah membuat definisi baru yang berpotensi menyalahkan praktek Rasulullah SAW. Definisi hilal itu harus memperhitngkan kemungkinan terlihatnya oleh mata agar berlaku universal, bisa diru’yah dan bisa pula dihisab.

    Bola sekarang ada di kaki para pemegang otoritas PP Muhammadiyah. Semoga mereka segera menyadari kritik ini, dan memberikan jawaban atau klarifikasi terbuka atas kritik ini dan tidak sekedar berlindung di balik jargon “menghormati keyakinan dalam beragama” dan bahkan memunculkan isu “poliltisasi sidang isbat”.

    Wallahu a’lam bis-shawab.

    • Pak Rois,

      Saya sangat yakin bahwa apa yang anda sebutkan di atas sudah menjadi pertimbangan anggota majlis tarjih sejak konsep wujudul hilal tersebut dirumuskan berpuluh-puluh tahun yang lalu. Saya tidak akan memberikan komentar karena saya tidak mempunya kompetensi untuk memberikan penjelasan. Hanya saja satu saja yang saya paham dengan benar: bahwa sistem yang dilandaskan rukyat hilal adalah sistem yang mengandung banyak masalah meskipun dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi. (catatan: mungkin yang paling syar’i justru pengamalan di Arab Saudi: bahwa bulan baru bisa dimulai ketika ada laporan hilal yang bisa disumpah, meskipun laporan tersebut secara astronomi adalah hal yang tidak mungkin).

      Bahwa wujudul hilal menggunakan parameter posisi bulan terhadap matahari (bukan hilal) adalah hal yang sangat jelas, dan juga telah dijelaskan berulang-ulang. Sekarang coba anda coba cermati kembali apa isi “kritik” dari Pak Djamaluddin: bahwa metode wujudul hilal adalah kuno, usang, anomali astronomi, pseudoscience, interpretasi janggal terhadap astronomi, dan lain-lain. Kritik diaku sebagai kritik murni dari kacamata astronomi. Hanya saja semua dipaksakan dalam konsep visibilitas hilal, metode yang sudah ditinggalkan dalam konsep wujudul hilal. Sebagai orang yang terdidik (sedikit latar belakang fisika, meskipun bukan astronom), saya melihat ketidakjujuran dalam pengungkapan kritik-kritik tersebut. Silakan kalau ternyata Pak Rois menganggap itu sebagai cara yang baik dan benar dalam mencapai tujuan penyatuan kriteria bulan baru di Indonesia.

    • Saudara Rois, di ayat mana Allah menyebut kata hilal dalam al-Qur’an? Setahu saya hanya ada kata al-ahillah. Jelas sangat beda maknanya. Apakah al-ahillah di situ berarti hilal-hilal awal bulan, atau phase-phase bulan dari awal hingga urjun al-qadim?
      Saudara Rois, tidakkah pernah terlintas di pikiran anda, bahwa Nabi saw memerintahkan puasa/berbuka atas dasar informasi yang jelas telah terlihatnya hilal adalah karena beliau tidak mau menduga-duga atau berspekulasi, dengan mempercayai kriteria visibilty of new moon yang sudah ada sejak zaman babylonia?
      Saudara Rois, Muhammadiyah tidak membuat definisi baru tentang hilal, lha wong Muhammadiyah memang tidak menggunakan hilal yang tampak atau mungkin tampak itu sebagai acuan kok.

    • ketika suatu saat nanti perdebatan wh dg lainnya mentok, maka MD akan mengatakan ‘pokoke beda’ atau waton suloyo

  8. Saya sedih dan kasihan dng prof thomas, sebegitu sering dan gigihnya mengkritisi wh dng tujuan untuk kebersamaan umat, tapi tidak mendapatkan tanggapan yg mencukupi dan tetap bergeming dari pihak yg dikritisi, sehingga saya berfikir mungkin penganut wh ini malah enjoy apabila tetap berbeda…

  9. Pak Rois….ilmu astronomi masih akan berkembang terus, termasuk ilmu2 terkait lainnya. Jadi jangan menganggap imkan rukyat itu paling mutakhir dan pak thomas itu ‘tuhannya’ ilmu astronomi. Santai saja…. Muhammadiyah akan selalu mengikuti dan mengkaji ilmu astronomi, dengan atau tanpa ‘tuhannya’ ilmu astronomi, pak thomas djamaluddin.

  10. Menyampaikan kritisi secara tertulis berulang-ulang ala Prof. Thomas ini mengesankan setidaknya 2 hal :
    1). Pak Thomas seakan menganggap Muhammadiyah ini pekak dan tuli sehingga perlu terus dikritisi dan jika perlu dibodoh-bodohi supaya sadar dan segera berubah. Padahal saya yakin, anggota majelis tarjih dan tajdid muhammadiyah telah membaca dan mencermati seluruh tulisan pak thomas dan boleh jadi telah melakukan diskusi-diskusi internal. Harap diketahui, penggunaan wujudul hilal itu adalah keputusan organisasi, sehingga kalaupun ada keinginan untuk memperbaikinya tentu harus didiskusikan secara komprehensif terlebih dahulu. Berbeda kalau konsep WH itu yang menggunakannya individu. Jadi, tidak mungkin hari ini muncul kritik lalu esok hari ada perubahan keputusan. Ini pun kalau anggota majelis setuju ada perubahan. Kalau tidak ada perubahan ya harus dihormati.

    2). Kritisi yang bertubi-tubi dan berulang-ulang mengesankan bahwa si pengkritik memendam rasa ‘sakit hati’ terhadap muhammadiyah. Saya tidak tahu persoalannya di mana. Stadium ‘sakit hati’ ini sudah sedemikian kronis (level mengkhawatirkan), meskipun ia selalu berdalih ‘mencintai muhammadiyah. Jangan-jangan……sudah…..(ooppss…..tak elok untuk disampaikan). Pembaca pun sudah mulai jenuh memberikan komentar, terbukti semakin sedikit yang terlibat perdebatan.

    • Mas Prasojo menyampaikan:
      “1). Pak Thomas seakan menganggap Muhammadiyah ini pekak dan tuli sehingga perlu terus dikritisi dan jika perlu dibodoh-bodohi supaya sadar dan segera berubah. Padahal saya yakin, anggota majelis tarjih dan tajdid muhammadiyah telah membaca dan mencermati seluruh tulisan pak thomas dan boleh jadi telah melakukan diskusi-diskusi internal. Harap diketahui, penggunaan wujudul hilal itu adalah keputusan organisasi, sehingga kalaupun ada keinginan untuk memperbaikinya tentu harus didiskusikan secara komprehensif terlebih dahulu. Berbeda kalau konsep WH itu yang menggunakannya individu. Jadi, tidak mungkin hari ini muncul kritik lalu esok hari ada perubahan keputusan. Ini pun kalau anggota majelis setuju ada perubahan. Kalau tidak ada perubahan ya harus dihormati.”

      Jika Muhammadiyah tdk pekak dan tuli, seharusnya kritik dan masukan dari Prof.Djamaluddin pd forum ini atau forum2 yg lain segera dijawab. Sy yakin niat prof. baik. Beliau ingin agar umat ini bisa bersatu dlm menentukan satu kriteria dalam penentuan hari lebaran. Ormas2 yg lain serta pemerintah bahkan MABIMS sdh membuat sebuah kriteria bersama. Bukankah itu sebuah kemajuan??? Tinggal MD yg msh ngotot dgn wujudul hilalnya.. Nah, selaku umat muslim dan dianugerahi kepakaran dlm bidang Astronomi, prof.Djamaluddin terpanggil untuk menyuarakan suara persatuan yg sebenarnya persatuan tsb bisa kita gapai. MD selalu berlindung dibalik kata: Perbedaan itu adalah Rahmat.. Padahal perbedaan tsb seharusnya muncul jika mau duduk bersama2 dgn membuang prasangka jelek terhadap ormas lain atau pemerintah..

      Comment berikut:
      “2). Kritisi yang bertubi-tubi dan berulang-ulang mengesankan bahwa si pengkritik memendam rasa ‘sakit hati’ terhadap muhammadiyah. Saya tidak tahu persoalannya di mana. Stadium ‘sakit hati’ ini sudah sedemikian kronis (level mengkhawatirkan), meskipun ia selalu berdalih ‘mencintai muhammadiyah. Jangan-jangan……sudah…..(ooppss…..tak elok untuk disampaikan). Pembaca pun sudah mulai jenuh memberikan komentar, terbukti semakin sedikit yang terlibat perdebatan.”

      Anda sdh berburuk sangka…mungkin anda sdh mulai goyah dgn paham Wujudul Hilal yg anda anut…hehehe.. sehingga anda menuduh pada bukan tempatnya.. Sy semakin menyukai forum ini… sy semakin paham perbedaan tentang kapan datangnya hari raya islam. Mengapa wujudul hilal perlu dikritisi.. Terima kasih banyak prof.

      Wassalam

  11. inilah kalau wilayah privat dipublikkan pasti terjadi perdebatan yang tak kunjung usai, bagaimana tidak? fiqh yang semestinya wilayah privat kemudian mau diambil alih oleh lembaga/negara pasti individu/lembaga tersebut mempertahankan pendapatnya masing-masing. ingat fiqh adalah pemahaman, wajar jikalau pemahaman orang berbeda-beda…solusinya adalah konsensus antar individu/ormas terhadap kriteria yang disepakati. jikalau sudah tercapai kesepakatan maka tinggal menjalankan. jikalau dalam perjalanan ada pihak yang melanggar maka negara berhak untuk mengambil tindakan karena pihak tersebut telah melanggar kesepakatan. tindakan negara ini sah karena secara historis sudah dicontohkan oleh Nabi SAW ketika menyerang Bani Quraidhoh karena mengkhianati perjanjian….untuk itu marilah kita cari kriteria yang akan disepakati.semoga perbedaan menjadi rohmat bukan laknat.

    • Bagaimana kalau sepakat untuk tidak sepakat… 🙂

      Eh kemudian semua jadi sepakat…
      Apakah semua harus ditindak sebagai pengkhianat ?… 😦

      Anda itu kejauhan… Jauhhhhhh banget…
      Nyamain antar umat Islam dengan Bani Quraidhoh… emangnya kalau ada yang tidak sepakat, Hukum nya sama seperti Yahudi ?…

      • Emang mas Ivan ini bisanya cuma bisa memprovokasi.. Coba mas Ivan menjelaskan kepada kami bgm itu Wujudul Hilal; latar belakang dan implementasinya?? Sy jadi berpikir, bhw yg membela Muhammadiyah di forum ini jg belum paham dengan Wujudul Hilal.
        Membela sesuatu yg esensinya blm dipahami dgn baik..Sehingga timbul kesan mas Ivan dan yg lain hanya melemparkan statement yg tdk fokus pd diskusi…lompat2 dan sekedar nyerang…wkwkwkwk
        Ayo tunjukkan kami bhw Wujudul Hilal itu patut kami percayai…Ayo bro..

      • Udah saya coba jelaskan bro… coba lihat di thread Menuju Titik Temu Hisab…
        Kalau masih nggak ada… cari aja di toko sebelah… 🙂

  12. All…..kami2 ini hanya warga muhammadiyah kelas cabang dan ranting, yang sekedar tau kulit2nya saja soal astronomi. Sementara, pakar2 astronomi muhammadiyah tentu tidak mau menanggapi kritikan kelas kaki lima seperti di blog ini. Mereka tentu akan terpanggil dan bertanggungjawab untuk menjelaskan sekaligus urun rembuk manakala forumnya resmi. Pimpinan muhammadiyah bukan pengecut, tapi untuk forum yang remeh temeh seperti ini tentu bukan porsi mereka. Kecuali ada penyebutan nama atau pencemaran nama baik terkait soal pribadi, tentu mereka akan meluruskan. Tapi soal kebijakan organisasi, mereka tentu tidak akan membahas di forum remeh temeh seperti ini. Terlalu kecil bagi muhammadiyah untuk ngurusi blog yang dimiliki pak thomas seperti ini. Bukannya mereka tidak paham. Kalau mereka tdk paham, tentu tidak lahir buku pedoman hisab muhammadiyah yang selalu akan disempurnakan sesuai dengan perkembangan iptek itu sendiri. Majelis tarjih dan tajdid itu secara berkala mengkaji soal2 fikih dan muammalah. Apalagi menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang dikembangkan untuk mendukung kemaslahatan ummat.

    Saya jadi tanda tanya, apa sebenarnya yang dimaui oleh prof thomas dkk? Seakan muhammadiyah dg wujudul hilalnya itu dosa besar. Padahal boleh jadi (dan saya yakin) itu benar. Mengapa hal2 kemaksiatan, pelanggaran2 hukum dan praktek2 syirik di masyarakat justru dibiarkan? Padahal seharusnya itulah agenda utama yang harus dibenahi, bukan sekedar perbedaan hari raya atau soal kalender. Jangan2 memang ada agen2 tertentu di balik ini, yang tidak menginginkan muhammadiyah jadi besar. Ada semacam ketakutan, sehingga muhammadiyah harus (dalam tanda kutip) ”diperangi”. Seperti dunia islam di mata zionisme. Zionisme telah berhasil meruntuhkan adidaya islam seperti Irak dan Libya. Kini Iran jadi target berikutnya. Nah, dalam skope Indonesia, jangan2 muhammadiyah memang sedang dibidik? Jawabanya : Anda yang lebih paham.

    • Comment Mas Prasojo:
      “All…..kami2 ini hanya warga muhammadiyah kelas cabang dan ranting, yang sekedar tau kulit2nya saja soal astronomi. Sementara, pakar2 astronomi muhammadiyah tentu tidak mau menanggapi kritikan kelas kaki lima seperti di blog ini. Mereka tentu akan terpanggil dan bertanggungjawab untuk menjelaskan sekaligus urun rembuk manakala forumnya resmi. Pimpinan muhammadiyah bukan pengecut, tapi untuk forum yang remeh temeh seperti ini tentu bukan porsi mereka. Kecuali ada penyebutan nama atau pencemaran nama baik terkait soal pribadi, tentu mereka akan meluruskan. Tapi soal kebijakan organisasi, mereka tentu tidak akan membahas di forum remeh temeh seperti ini. Terlalu kecil bagi muhammadiyah untuk ngurusi blog yang dimiliki pak thomas seperti ini. Bukannya mereka tidak paham. Kalau mereka tdk paham, tentu tidak lahir buku pedoman hisab muhammadiyah yang selalu akan disempurnakan sesuai dengan perkembangan iptek itu sendiri. Majelis tarjih dan tajdid itu secara berkala mengkaji soal2 fikih dan muammalah. Apalagi menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi yang memang dikembangkan untuk mendukung kemaslahatan ummat.”

      My comment:
      Harusnya pakar2 Astronomi Muhammadiyah mau meluangkan waktu untuk share di forum ini (walau remeh temeh menurut anda)…bukankah menuntut dan menebarkan ilmu itu wajib bagi kita semua.
      Saya sebagai umat Islam (non ormas) sangat mengharapkan adanya respon balasan (pakar Astronomi MD yg membuat buku pedoman hisab MD) terhadap argumentasi dan kritik yg dibangun oleh Prof.Djamaluddin, sehingga pemahaman dan sudut pandang kami makin lebih baik terhadap masalah ini. Bukankah dgn menimbang dan mempelajar argumentasi dan logika yg terbangun kita kan bisa melihat mana yg lebih benar atau tdk.
      Adanya kesepakatan MABIMS sebenarnya membuat sy sangat optimis bhw kriteria bersama dlm penentuan hari H lebaran dpt di capai. Tinggal MD aja yg blm mau berembuk, msh ngotot dgn WH-nya..

      Comment Mas Prasojo:
      “Saya jadi tanda tanya, apa sebenarnya yang dimaui oleh prof thomas dkk? Seakan muhammadiyah dg wujudul hilalnya itu dosa besar. Padahal boleh jadi (dan saya yakin) itu benar. Mengapa hal2 kemaksiatan, pelanggaran2 hukum dan praktek2 syirik di masyarakat justru dibiarkan? Padahal seharusnya itulah agenda utama yang harus dibenahi, bukan sekedar perbedaan hari raya atau soal kalender. Jangan2 memang ada agen2 tertentu di balik ini, yang tidak menginginkan muhammadiyah jadi besar. Ada semacam ketakutan, sehingga muhammadiyah harus (dalam tanda kutip) ”diperangi”. Seperti dunia islam di mata zionisme. Zionisme telah berhasil meruntuhkan adidaya islam seperti Irak dan Libya. Kini Iran jadi target berikutnya. Nah, dalam skope Indonesia, jangan2 muhammadiyah memang sedang dibidik? Jawabanya : Anda yang lebih paham.”

      My Comment:
      Prof. dkk, dalam forum ini memberikan kritik dan saran buat MD.. Saran dan kritik yg terbangun (Insya Allah) dgn niat yg baik..demi kemaslahatan umat.. Sy yakin tanpa tendensi yg lain. Dan sy percaya warga MD jg terdiri dari orang2 yg intelek yg tdk akan “kaget” jika mendapat krtitk. Bukankah dgn kritik kita bisa jd lebih maju?? Hargailah kritik itu jika kita ingin maju..
      Sy yakin bhw semua kita disini sangat menghargai dan bangga dgn sepak terjang MD dalam perannya membangun bangsa ini. Tapi kami jg berharap MD mau bersikap terbuka terhadap kritik dan saran dari luar agar MD dan ormas2 Islam yg lain bisa maju bersama2 membangun bangsa dan negara ini.. Janganlah kritik ditanggapi sbg “perang”…:)

      Wassalam

    • kalau membaca dari komentar anda, sudah terlihat kok kalau anda hanya akar rumput di Muhammadiyah. Orang mengeritik kok dibilang sakit hati…

  13. Saya hanya bisa berharap yang mengaku menggunakan Kriteria Imkan Rukyat, untuk ke depannya bisa benar-benar membuktikan bahwa memang mereka menggunakan Kriteria Imkan Rukyat…

    Yaitu dengan cara mengumumkan Ketetapan Resmi Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha jauh-jauh hari… seperti halnya Muhammadiyah…

    Agar jangan sampai terjadi lagi Kejadian Bikin Opor Ayam sebelum waktunya… 🙂

    Mengenai Implementasi dari WH yang ditanyakan mas Indar… Saya sampaikan saja lagi postingan pak Agus di Topik Menuju Titik Temu Hisab :

    Mengenai astronom profesional dan wujudul hilal, apakah anda lupa bahwa kalender Ummul Qura merubah kriteria bulan baru yang pada dasarnya sama kriteria wujudul hilal pada tahun 2002? (padahal Muhammadiyah sudah menggunakan kriteria ini sejak 1938 — karena konsep wujudul hilal lahir dari Muhammadiyah). Kalender Ummul Qura adalah produk dari Astronomy and Geophysics Research Institute, King Abdulaziz City for Science and Technology. ISNA (Islamic Society of North America), FCNA (Fiqh Council of North America), dan ECFR (European Council for Fatwa and Research) mendukung penggunaan kalender ini.

    Mas indar,
    Kriteria WH itu sudah digunakan kok…
    dan anehnya kalau di luar Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah… saya mendapat kesan bahwa sebenarnya umat Islam itu walaupun tidak secara resmi dinyatakan tetapi sepertinya sudah bisa menerima secara aklamasi penggunaan Kriteria WH ini…

    Hanya sayangnya karena Terbelenggu Konsep Hilal harus terlihat mata pada Penetapan bulan-bulan “Ibadah”…
    maka menjadi aneh…
    Kalau pada bulan-bulan lain bisa menerima Kriteria WH… Tapi di bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah kok tidak bisa ?…

    Alasan yang selalu dikemukakan adalah “oh itu tidak bisa… 3 bulan itu untuk ibadah”…
    Mungkin bakal jadi timbul pertanyaan “Lho, kalau yang untuk ibadah itu cuman 3 bulan itu… lalu 9 bulan lain itu untuk apa, untuk maksiat ?”…

    Jadi sepertinya Paradigma “Penetapan 3 Bulan itu Harus berbeda dengan 9 bulan yang lain” sangat urgen untuk diperbaiki…

    Semua bulan yang jumlahnya 12 bulan itu… adalah semuanya Ketentuan Allah swt… Semuanya diatur oleh Allah swt dengan perhitunganNya… Bukan dengan penglihatan mata manusia…

    Jadi kalau pada 9 bulan yang lain umat Islam bisa menerima Kriteria WH, seyogianya juga bisa menerima penerapan Kriteria WH pada bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah…

  14. Indar…kritik yang dilakukan bertubi-tubi itu sama saja caci maki. Apalagi pakai kata pseudosains segala. Intelektual cara menyampaikan kritiknya bukan seperti itu. Kalau saya melihatnya kritikan itu diliputi hawa nafsu, bukan kejernihan pikiran dan hati. Coba putar ulang saat sidang itsbat kemarin….prof thomas interupsi paling pertama dan langsung menyerang muhammadiyah. Seharusnya ilmuwan itu menjelaskan berdasarkan disiplin ilmu yang dikuasainya dan tidak perlu menyebut nama (organisasi) yang menganutnya. Cukup dijelaskan, katakanlah kriteria imkan rukyat yang dia agungkan itu. Lha kalau misalnya NU menyebut-nyebut muhammadiyah dan muhammadiyah menyebut-nyebut NU dll, suasana sidang tentu menjadi tidak kondusif. Ini pangkal persoalannya. Saya menghargai kepakaran pak thomas, tapi saya tidak menghargai etika berbicaranya saat sidang itsbat. Kata2nya benar2 tidak menunjukkan tingkat intelektualitasnya, apalagi (mohon maaf), di keningnya terpampang dua titik hitam semoga menjadi pertanda ahli ibadah. Seharusnya dalam sidang itsbat bisa menyejukkan dari sisi kesalehannya dan menjernihkan dari sisi kepakarannya. Lalu, kritik dilanjutkan ke blog pribadinya dan ditulis bertubi-tubi, seolah muhammadiyah laksana orang yang dungu dan dialah tuhannya ilmu astronomi. Tugas seorang ulama atau pakar itu hanya menyampaikan kebenaran, tanpa harus menyebut-nyebut nama. Cukuplah dia menyebut konsep wujudul hilal, imkan rukyat dan rukyat (murni/klasik) dari sisi kelebihan dan kekurangannya. Itu saja. Sesungguhnya keengganan anggota majelis tarjih dan tajdid muhammadiyah merespon tulisan pak thomas di blog pribadinya, saya kira lebih disebabkan sikap tendensius pak thomas dalam menilai muhammadiyah. Jika pak thomas berlaku selayaknya seorang pakar astronomi sejati, tentulah para anggota majelis tarjih dan tajdid bersedia membuka dialog atau diskusi. Sesungguhnya, dalam beragama masih terlalu banyak persoalan2 yang menyangkut ibadah yang patut diperbaiki, bukan sekedar soal hari raya saja. Terus terang saya mengamati, gairah beragama bangsa ini menunjukkan peningkatan, tetapi malah pada hal2 yang tidak ada dalil syar’inya. Terus terang saya sangat prihatin, bukan soal perbedaan hari raya saja. Tapi para ulama terus-terang pada tutup mata. Siapa sebenarnya yang justru menyimpang dari ajaran agama yang benar? Jawablah masing2.

  15. Sy copas definisi pseudoscience:

    Pseudoscience is a claim, belief, or practice which is presented as scientific, but which does not adhere to a valid scientific method, lacks supporting evidence or plausibility, cannot be reliably tested, or otherwise lacks scientific status.

    Lha imkan rukyat, yg mengambil acuan hilal dari ranah agama, apa tdk masuk dalam ranah pseudoscience jg?

    apa dasar rasional hilal sbg acuan awal bulan kalender?
    Mana dalilnya dari Al Quran?

    al ahillah dlm 2:189 berarti jamak dari hilal. hilal ini adl salah satu bentuk muka bulan. ahillah adl bentuk2 muka bulan dari sabit..membesar..mengecil…gelap..lalu timbul sabit awal bulan lg.
    silakan dicek asababun nuzulnya. al ahillah bukan hilal awal bulan, lbh tepat dipahami sbg bentuk2 muka bulan atau moonphases.

    Apalagi scr astronomi, siklus sinodik didefinisikan dari konjungsi ke konjungsi. bukan dari hilal ke hilal. Konjungsi adl titik terunik dlm siklus sinodik, krn mthr & bulan segaris bujur dlm bidang ekliptika.
    lha kok hilal dpt nylonong masuk ranah sains begitu sj tanpa alasan yg jelas? apa dasar saintifik hilal sbg acuan awal bulan?

    Kalau tdk ada alasan saintifiknya, ya sama sj masuk ranah pseudoscience?

    • dan menjadi pertanyaan adalah ada perkataan “ru’yah” (Kelihatan) dan “fain ghumma” (jika ragu) itulah yang harus kita pahami dulu
      terima kasih mudah-mudahan ada kebaikannya bagi kita semua

    • Imkan rukyat itu bahasa astronominya visibilitas hilal atau “crescent visibility”. Itu ada di jurnal-jurnal astronomi (silakan browsing). Jelas itu bukan pseudosains, karena memang dikaji berdasarkan data yang dikumpulkan dalam waktu panjang dan dianalisis menurut metode saintifik. Sebagai bandingan, silakan browsing wujudul hilal, selain tidak ada padanan yang tepat untuk wujudul hilal, konsep astronominya juga sangat rancu, seperti saya tulis di atas.
      Islam mengambil produk ilmiah (imkan rukyat atau visibilitas hilal) tersebut sebagai tafsir kuantitatif atas dalil fikih penentuan awal bulan, sama dengan pengambilan kajian posisi matahari untuk dijadikan dasar kriteria awal waktu shalat dalam pembuatan jadwal shalat.

      • Terima kasih prof.

      • Anda sendiri yang mengatakan, bahwa imkan rukyat sebagai tafsir. Menurut saya, demikian juga wujudul hilal, juga sebuah tafsir. Tafsir itu bagian dari ijtihad. Ijtihad yang satu tidak dapat menggugurkan ijtihad yang lain.
        Anda harus banyak belajar. Salah satunya, soal psikologi. Di mana-mana orang kalau dicerca, pasti akan membela diri. Anda sendiri juga begitu kok. Jadi, kalau anda memang punya “niat baik” mengubah pendirian Muhammadiyah tentang konsep wujudul hilal, tunjukkan saja kelebihan-kelebihan konsep imkan rukyat yang anda agung-agungkan itu. Kalau memang terbukti lebih baik, lama-lama orang akan ngikut juga.

      • Ya, ijtihad tidak bisa menggugurkan ijtihad. Tetapi ijtihad bisa ditinggalkan demi kepentingan yang lebih besar, persatuan ummat. Ijtihad imkan rukyat bisa mempertemukan penganut rukyat dan penganut hisab. Sedangkan ijtihad WH tidak mungkin sejalan dengan penganut rukyat dalam kasus posisi bulan rendah seperti yang sering terjadi. Ijtihad WH sering menjadi pemecah belah ummat, seperti Idul Fitri lalu. Para ulama besar senantiasi mengedepankan ukhuwah daripada ijtihadnya. Karena hal-hal yang ijtihadi sifatnya dzhanni (dugaan kuat yang diyakininya), tetapi ukhuwah (persatuan ummat) adalah qathi’ (pasti) harus kita utamakan.

      • Jika kriterianya masih pada hilal yang tampak atau yang mungkin tampak, sampai kapanpun “persatuan umat” yang semu itu tidak akan pernah terjadi. Mestinya kita berpikir ke arah “persatuan umat” yang hakiki. Dari sudut pandang al-Qur’an, persatuan yang hakiki adalah satunya aqidah, satunya keimanan. Innama al-mukminuna ikhwatun. Perbedaan pada tataran ibadah bukan indikasi umat tidak bersatu. Sementara dari sisi muamalat duniawiyat, persatuan umat itu hanya dapat dilakukan dengan menyepakati satu kalender. Jika hanya satu neraga, Indonesia, itu bukan persatuan umat. Dan satu kalender itu hanya bisa diwujudkan dengan meninggalkan kriteria hilal yang ada sekarang. Meninggalkan kriteria hilal TIDAK SAMA dengan meninggalkan hadis tentang perintah puasa, karena bukan hadisnya yang ditinggalkan, tapi cara pandang kita terhadap hadis itu.

  16. “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216). sebagai ilustrasi silahkan buka http://www.facebook.com/thomas.djamaluddin/posts/10150373056877270?notif_t=like

  17. knp org pada emosi semua? kalo emg ada pendapat lebih baik, silahkan d posting di sini ja, ssaya yakin pak professor orang yang terbuka. saya mendukung pak professor, karena sejak dulu hanya islam agama yang sejalan dengan sains.

  18. Kesimpulannya: Muhammadiyah (Para pakar muhamadiyah) tidak mau merubah konsep wujud hilalnya.

  19. Alhamdulillah.
    Iedul Adha hari terasa lebih nyaman dihati. Tidak terdengar kata-kata berbeda hari raya.(kecuali yang di sumatera barat).
    Dengan dasar Al Quran yang sama, sholat yang sama, arah kiblat yang sama. Sudah seharusnya kita merayakan hari raya bersamaan.
    Aktifitas untuk menyamakan hari raya harus diupayakan dan disupport oleh semua komponen umat Islam.
    Bukan pada tempatnya kita berlindung pada hadits “perbedaan adalah rahmat”
    Semoga dimasa yang akan datang kita Umat Islam di Indonesia dan Dunia akan menjadi lebih baik lagi.

    Amin.

    • Ketentraman seperti saai inilah yang kita dambakan bersama. Semestinya, kondisi seperti ini bukan hanya saat posisi bulan cukup tinggi, tetapi juga pada setiap kondisi. Itu memerlukan kesepakatan kriteria bersama, yang juga bisa mempertemukan semua metode yang saat ini digunakan. Mari kita upayakan bersama untuk bersatu.

      • Ass.Wr.Wb
        Sebelumnya sy mau mengucapkan :
        Selamat Hari Idul Adha
        Mohon maaf lahir dan bathin..
        Semoga dgn semangat idul adha, keshalehan sosial kita semakin meningkat dan dgn keshalehan tsb akan menjadi solusi bagi bangsa ini yg lagi dirundung krisis sosial (mis:korupsi, materialisme, dan individualisme yg semakin menguat dll).

        Prof, sy lagi melakukan kajian yg berhubungan dgn Artificial Intelligent pada Power System. Setelah mengikuti diskusi di forum ini sy mendapatkan kejelasan tentang bgm mendudukkan hisab dan rukyah. Ternyata kedua metode tsb saling mengisi satu dgn lainnya..

        Ada keinginan sy untuk menerapkan ilmu AI (mis: Neural Network atau Extreme Learning Machine) dlm memprediksi posisi hilal dgn men-training data Rukyah yg kita miliki. Dengan semakin banyaknya data maka Rukyah, maka Insya Allah diperoleh hasil dgn tingkat error yg kecil.. Bgm dgn ide ini prof?
        Kita bisa membandingkan dengan metode hisab yg lain termasuk WH sebagai validasi dan komperasi..

        Wassalam

      • Terima kasih prof atas link bukunya.

        Sy mau bertanya, apakah di Depag RI memiliki data Rukyah di Indonesia dan apakah kami diizinkan untuk memperoleh data rukyah tsb?

        Sy yakin dgn menerapkan ilmu kecerdasan buatan (AI), kita bisa mempolakan posisi hilal dgn lebih baik. Pengaruh2 perubahan dinamik sistem tata surya (persamaan yg non linear) bisa diselesaikan dgn AI. Sedangkan jika menerapkan matematika (seperti: WH) terkadang aspek2 non linear dari sistem yg diamati tdk dimasukkan..krn keterbatasan kemampuan untuk memodelkan sistem dgn orde yg besar, akibatnya banyak penyederhanaan model untuk meyederhanakan hitungan..padahal kenyataannya tdk demikian.

        Mungkin prof, bersedia membantu sy untuk mendapatkan data2 Rukyah tsb..Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.

        Wassalam

      • Kemenag juga mengarsipkan data rukyat, hanya perlu dikaji lagi secara astronomi, karena data lama banyak yang diragukan secara astronomi. Data terbaru silakan hubungi teman-teman di Rukyatul Hilal Indonesia http://rukyatulhilal.org/

  20. Artikel ini adalah salah satu bentuk kesombongan seorang Profesor yang merasa paling pintar se-Indonesia, beserta dengan kebenciannya yang tidak berdasar terhadap Muhammadiyah. Padahal telah jelas bukti-bukti kebenaran perhitungan Wujudul Hilal (bulan purnama yang tampak jauh sebelum tanggal 15 Syawal lalu dan Idul Fitri Indonesia berbeda dengan hampir seluruh negara lain) .

    “Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan masuk kedalam surga, seseorang yang didalam hatinya terdapat kesombongan (takabur) seumpama biji sawi.” Seorang laki-laki bertanya :”Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai supaya bajunya bagus dan sandalnya bagus.” Nabi menjawab : “Sesungguhnya Allah itu Indah, Dia menyukai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain.” (HR. Muslim)

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita (mengolok-olok).” (Al-Hujurat:11)

  21. Kritikan yg langsung menunjuk sebuah organisasi dan terkesan mengolok-olok itu bukan ciri seorang ilmuwan dan ulama. Seorang ilmuwan berkewajiban atau boleh menyampaikan kritikan, tapi cukup menyampaikan kelemahan dari metode yang dikritik dan menyampaikan keunggulan yang disodorkannya. Tanpa harus menyeret organisasi yang menganutnya. Kalau menyeret organisasi yang menganutnya, itu namanya bentuk provokasi. Atau memang itu yang dikehendaki?

    Seorang ulama dalam menyampaikan kritik harus dengan hikmah. Bukan dengan kesombongan dan keangkuhan. Manusia tak sepatutnya berlaku sombong, karena ilmu manusia hanya setitik air di lautan. Kita patut meneladani Nabi saw, ulama2 besar pada zamannya dan juga kerendahan hati ilmuwan2 yang sangat legendaris seperti Albert Einstein, Michail Farady, James Watt dan segudang ilmuwan lainnya. Betapa ilmu kita masih jauh dari mereka. Kalau kita sekarang cuma menggunakan temuan2 ahli lain, belum menemukan teori sendiri meski telah melakukan penelitian yang cukup panjang dengan biaya negara. Bandingkan dg ilmuwan2 pada zamannya, yang melakukan penelitian dg biaya sendiri. Jd, kita tak perlu sombong.

    • Mengkritik, bukan mengolok-olok. Mengkritik didasari keinginan untuk mengubahnya menuju yang lebih baik, tanpa rasa kesombongan karena tidak ada nilai ilmiah yang tinggi untuk membahas WH. Saya ingin menunjukkan bahwa WH yang berpotensi memecah belah ummat itu sudah seharusnya ditinggalkan. WH pasti menimbulkan perbedaan hari raya (sebagai simbol kesatuan ummat) ketika posisi bulan rendah. Padahal WH tinggal selangkah lagi menuju imkan rukyat. Konsep WH, kalau dikaji lebih mendalam, cenderung anti astronomi, dengan membangun konsep sendiri yang terasa aneh secara astronomi dan berpotensi menjadi pseudosains. Itu bukan mengolok-olok, tetapi mengingatkan bahwa kalau itu diteruskan, komunitas astronomi bisa menempatkan WH setara dengan konsep astrologi yang telah jelas tergolong pseudosains.

      Mengapa menyebut Muhammadiyah? Karena tinggal Muhammadiyah yang menggunakan kriteria usang tersebut. Persis (Persatuan Islam) sudah meninggalkannya belum lama ini. Mengapa kritik itu dilakukan secara terbuka? Untuk membuka mata kita semua, bahwa WH adalah penyebab perbedaan hari raya yang sering berulang. Sebelumnya kritik disampaikan secara terbatas dalam forus diskusi, lokakarya, atau langsung kepada tokoh-tokoh MTT Muhammadiyah. Nyatanya itu belum cukup. Ada kecenderungan taqlid terhadap WH sangat kuat. Jiwa tajdid Muhammadiyah lenyap begitu saja oleh taqlid WH. Ketika WH dikritik, sekian banyak hujatan diarahkan kepada pengkritik, bukannya bantahan substantif yang muncul.

      Saya menyadari, kritik bisa dimaknai beragam, tergantung kondisi psikologis penerima kritik. Silakan siapa pun berhak menilai. Jangan sekadar memberikan cap “provokator”, “sombong”, “tidak cerdas”, dan sekian banyak sebutan lagi yang mencerminkan kondisi psikologis terpojok. Mari kita bangkitkan jiwa tajdid (pembaru), bukan taqlid (pengekor). Silakan bantah soal dalil WH tersebut diatas. Silakan bantah soal kerancuan logika astronomi WH. Silakan publikasikan bantahan tersebut di media on-line atau media massa lainnya. Itu akan lebih mencerdaskan ummat dan menunjukkan tajdid tidak mati. Saya mengkritis WH, tetapi tetap mencintai Muhammadiyah.
      Balas

      • Pak thomas, memang persatuan ummat bs tercapai klu sdh tercapai kesepakatan hari raya bersamaan. Yg menganggap yasinan, tahlilan, dll itu benar..mrk ttp mengamalkanya. Sdg yg menganggap itu bid’ah ttp menolaknya. Jd persatuan ummat yg mn yg anda harapkn. Kan dlm Al Qur’an Alloh sdh menerangkan, bhw manusia itu senang tisasa berselisih faham.

  22. Saya setuju dgn prof. Harusnya kritik terhadap WH secara ilmiah jg dibalas dgn bantahan yg ilmiah. Tidak perlu ditanggapi sbg secara emosional dan asal koment dgn nada mencaci dgn kata2 yg tdk sepantasnya. Dan biasanya yg melakukan cara2 emosional adalah para pengekor (taqlid)..hehehe.. Kalo bukan pengekor maka pasti akan memberikan bantahan balik dgn cara yg ilmiah..

    Wahai penganut paham WH, silahkan bantah tulisan2 Prof. Djamaluddin dgn carayg beretika dan dalam koridor ilmiah. Silahkan memberikan bantahan melalui media on-line atau media massa lainnya.

    • mengapa ini jadi masalah bagi kamu, apa hanya ingin terkenal saja. kamu baca lagi hadist2 yang berhubungan dengan puasa; salah satunya adalah hadist dari Aisyah ra, bahwasanya rasulullah Saw lebih banyak berpuasa 29 hari dari pada 30 hari (Bukhari & Muslim). Pertanyaannya mengapa kementrian agama lebih banyak yang berpuasa 30 hari dibanding 29 hari dan selama bertahun-tahun baru kali inilah memutuskan berpuasa 29 hari.

  23. Ini juga bentuk2 pemaksaan kehendak. Kritik harus diikuti, dan kalau yg dikritik tidak mau mengikuti lalu dicap macam2. Pengritik juga harus fair. Jika yg dikritik tidak segera mengikuti, juga jangan emosional. Sama saja kan. Siapa sebenarnya yang emosional? Pengkritik juga emosional. Santai saja bung. Kalau penulisnya tidak emosional, tentu cara menyampaikannya dengan hikmah. Soal tanggapan soal WH, itu sepenuhnya menjadi ranahnya MTT, bukan jamaah. Dan, perkara MTT mau menggunakan hak jawabnya atau tidak, itu juga wewenangnya MTT. Jika MTT memandang urgen utk dijawab, tentu mereka akan menjawab. Jika tidak tentu ya tidak. Kenapa? Ada yang salah? Tidak dong. Kok kalian ngotot minta tanggapan? Anda lucu sekali. Dengan atau tanpa prof thomas, MHD akan selalu melakukan kajian dlm berbagai hal (ibadah dan muamalah) termasuk soal astronomi. Itu sudah jati diri MHD. Jadi jangan sok merasa jadi pahlawan lah. Kalaupun jd pahlawan, udah kesiangan bung.

  24. Eh…ngapain juga sy nimbrung di sini ya? Kaya’ nggak ada kerjaan aja. Cabut aaahhhhh…..

  25. ORMAS YANG SATU INI MENGAPA “TAKLID BUTA”???

  26. Senjata pak Thomas mulai dulu :
    – WH tidak ada dasar….
    – Pengikut WH taklid buta…
    – dan buannnyyaakk lagi….

    Silahkan dibuka salah satu link tulisan mencerdaskan dan sedikit memberi gambaran ilmiah ttg WH :

    Link : http://cis-saksono.blogspot.com/

    Btw, Pak Thomas, Trimakasih telah membuka jendela berdiskusi. Kita semakin tahu bahwa menjadi peneliti LAPAN ternyata tidak menjamin seseorang faham keterpaduan ilmu (hisab,astronomi,fiqih,tafsir ayat)…intinya, ilmu kita masih sedikit….semoga anda bisa menyadarinya…amin

    wassalam

    • Memang ilmu yang disebarkan oleh Alloh Swt kepada manusia itu bagaikan air yang menempel dijari kita bila jari itu dicelupkan di samudra yang luas dan ilmu Alloh itu seluas samudra, maka dari itu Pak T. Djamaludin itu dengan pengetahuannya ingin menengahi antara ru’yat dan hisab sebagai mana Imam Syafi’i menengahi antara Madzhab Hanafi dengan Madzhab Maliki. Mari kita semua bersemangat menuntut ilmu sebagai fardu ‘ain.Terima kasih semoga kita semua ada dalam rahmat-Nya Amin.

    • Semoga kegaduhan perbedaan penetapan awal bulan hijriyah ini menyadarkan umat Islam untuk Mau mengoptimalkan Penggunaan Kalender Hijriyah di segala bidang…

      Kalau hanya ribut-ribut… tapi tetap saja Kalender Hijriyah hanya digunakan untuk Kalender Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha…
      Memangnya Kalender Qomariyah yang terdapat petunjuknya dalam Al Quran ini… Allah swt cuman tetapkan buat Puasa dan lebaran saja ?… 😦

      Alhamdulillah, DKM Mesjid dekat rumah saya sudah mulai merencanakan Penagihan Tabungan buat persiapan Kurban tahun depan dengan menggunakan Bulan Hijriyah… yang akan dimulai Muharram depan… 🙂

    • Ada ustad yg punya pendapat begini
      Yang jadi masalah terkait “madzhab” Muhammadiyah itu bukanlah menjawab pertanyaan kapan puasa Arofah itu? Bersamaan hari wuquf ataukah pada tgl. 9? Ya bukan disitu letak masalahnya. Namun masalah utamanya justru terletak pada metode wujudul hilal yang tak dikenal diikuti oleh ulama dan madzhab manapun! Jadi metode wujudul hilal itulah yang masalah.

  27. […] Mematikan Tajdid HisabDengan Menyamakan Kriteria Mereka bisa Bersatu, Kita pun (Semestinya) Bisa!Hisab Wujudul Hilal Muhammadiyah Menghadapi Masalah Dalil dan Berpotensi Menjadi PseudosainsProgram Konversi Kalender Masehi-HijriyahCrop Circle Sleman: Rekayasa Pola Geometris di Lahan […]

  28. Alhamdulillah ada sedikit pencerahan…
    tapi masih ada sedikit kebingungan dalam mengaplikasikan setelah melihat penjelasan dari sini :

    gmn tanggapan prof tentang video diatas..?
    mohon penjelasannya..

    • Itulah bedanya hisab tanpa konsep astronomis yang benar. Saya tidak bisa mengomentari rinci video. Kalau ada naskah tertulis akan saya komentari hal-hal yang janggal, terjadi karena ketidakfahaman konsep astronominya.

  29. Jika tidak salah, tiadanya titik temu Prof Thomas dan Hisab wujudul hilal yang diterapkan oleh Muhammadiyah terletak pada kriteria hisab itu sendiri yang antara lain menyebutkan bahwa: ~ Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk yang menjadi tanda mutlak bahwa bulan baru telah wujud~ Masalahnya adalah, saat posisi matahari lebih dulu terbenam adalah tidak mungkin melihat piringan atas bulan tersinari matahari, yang terlihat pasti adalah cahaya bulan sabit di bagian bawah. Namun tidak menutup kemungkinan dengan perhitungan2 tertentu akan bisa di ketahui apakah piringan atas bulan dengan pasti dapat dinyatakan berada diatas ufu.

    Pertanyaan saya pada prof thomas adalah:
    * dengan melihat waktu Ijtimak (konjungsi geosentris) apakah mungkin bagi kita untuk melihat peredaran bulan di petang harinya? seperti misalnya menentukan kemungkinan bahwa pada jam sekian (?) bulan pasti berada pada posisi diatas ufuk hanya saja tidak bisa di lihat?

    *tanpa mengabaikan sunnah rosul, apakah tidak mungkin dengan semakin tingginya pengetahuan astronomi, berdasarkan pergerakan bulan dan matahari kita dapat menentukan awal bulan tanpa harus melihat hilal terlebih dahulu? Bahwa hilal sudah wujud, tanpa perlu di lihat?

    * Apakah tidak mungkin kita melihat hasil hisab dan rukyat yang lampau bahwa jika ijtimak terjadi pada jam sekian (….) maka pada jam sekian (…) bulan akan berada pada posisi (….) MISAL:

    1. jika pada 31 Juli 2010, Ijtimak terjadi pada pukul 01:41:00 WIB maka pada jam 17.45 Hilal akan berada pada posisi +06° 49¢ 10² diatas ufuk. (FAKTA)
    2. Maka, apakah tidak mungkin jika pada 31 juli 2012, dengan itjimak terjadi pada pukul 01:41:00 WIB (sama seperti poin 1) akan menempatkan bulan pada posisi yang sama di jam yang sama seperti pada poin 1? (dengan perhitungan)

  30. Sebaiknya para pakar hisab-falak dan sejenisnya duduk bersama dan rumuskan kebersamaan untuk yang terbaik buat islam indonesia. jangan terus membingungkan umat yang tidak pakar. kalau toh belum bisa silahkan mereka berdialog (berdebat) secara terbuka dan ditonton secara live melalui media TV oleh masyarakat indonesia. Hilal, kontroversi tahunan umat islam indonesia….

  31. Astaghfirullah, saya pesen di sini jangan saling hujat, antar sesama muslim, Prof. Djamaluddin tetap seorang ilmuwan, bulan lalu saya melakukan tabayyun dengan membaca seluruh pendapatnya, saya sangat salut atas perjuangan Beliau untuk menyatukan umat Islam ini, hanya saya sebagai peneliti juga kelas teri, sangat sangat sangat mempertanyakan keakuratan pedoman yang dirujuk Prof Djamaluddin, accurate time, saya suka dan lama mempelajari ilmu hisab dan rukyah, ternyata accurate time, meleset jauh dari kenyataan, rujukan tersebut seharusnya tidak perlu dilakukan, saya yakin Prof. punya kemampuan untuk mengakuratkan dari yang belum akurat,
    pesen pada yang lain, wa laa talmizuu bil alqoob,
    panggil sesuai namanya, jangan pake gelar-gelar jelek

    • Tinggal sampaikan saja pak, bagian mana perhitungan Accurate Times yang tidak akurat… Supaya Accurate Times bisa lebih diperbaiki oleh pembuatnya…
      Malah kalau saya boleh berharap, mudah-mudahan ada Programmer Muslim yang bisa menggabungkan Accurate Times dengan Stellarium (secara dua-duanya program freeware yang bagus)…

      Apakah melesetnya itu dengan perhitungan yang bapak gunakan, atau dengan pengamatan yang bapak lakukan ?…

      Kalau melesetnya dengan pengamatan yang bapak lakukan, apakah ada bukti pendukung dengan pengamatan yang dilakukan bapak ?… bukti foto hilal misalnya ?…

      • saya cuma sarankan yang berkaitan dengan accurate time diaplikasikan ke lapangan, langsung aja turun dan buktikan, terutama lakukan mulai bulan maret hingga saat ini, dalam hal ini pengamatan terus menerus baik yang berkaitan dengan mata dan alat astronomi dilibatkan, nanti njenengaan akan mendapatkan jawabannya, seberapa akurat accurate time, saya sangat setuju dengan pendapat bung ivan, programmer muslim kalo bisa membuat software yang mumpuni, kalo bisa Prof Djamaluddin dilibatkan karena teori beliau dibutuhkan sehingga ketepatannya dapat dipertanggungjawabkan

  32. Setelah baca link yang dianjurkan di atas (linknya csi-saksono), sekali lagi saya tetap melihat, berbeda pendapatnya bukan pada itu secara astronomi bisa diterima apa nggak, atau itu psudoscience apa nggak. Tapi pada penafsiran hadist. Jadi kalau inti diskusi pada penafsiran hadist, kayaknya lebih masuk akal buat saya..ini yang saya kurang bisa temukan di sini..

    • (Kata pak Thomas: Namun, saya yakin ijtimak tidak akan dijadikan rujukan sebagai awal bulan, karena dalil syar’i-nya tidak ada.). Kalau saya pribadi, saya berpendapat ijtimak bisa dijadikan rujukan awal bulan. Memang tidak ada kata-kata ijtimak dalam hadist, tapi saat ini, keyakinan saya, hadist itu mengisyaratkan bahwa ijtimak sebelum saat maghrib lah yang mestinya dijadikan acuan awal bulan.

      Sama seperti ketika ada hadist yang kurang lebih berkata, jika sudah buang hajat, kalau tidak ada air, bersihkan dengan batu atau daun.

      Kalau orang saklek, pasti akan melakukan persis sesuai dengan hadist itu, yaitu jika tidak ada air, membersihkannya dengan batu atau daun. Saya pernah punya teman yang seperti ini. Ketika dalam perjalanan, tak ada air, setelah buang air dikasih tisu gak mau, karena lebih baik pakai batu/daun, krn dalilnya seperti itu. Ya..tak masalah sih, itu masalah keyakinan dia. Tapi saya berbeda pendapat. Inti dari hadist itu adalah kebersihan, terutama bersih dari najis. Jadi pake alat apa pun, apa itu daun, batu, atau tisu, atau kain, pokoknya bisa bersih dari najis, ya boleh saja. Walaupun di hadist itu tak ada kata-kata ‘benda-benda lain selain batu atau daun’.

      Mungkin akan ada orang2 yang berpendapat, itu kan masalah bersuci, ini masalah awal bulan, awal puasa, mestinya beda cara menafsirkannya. Ya memang berbeda, tapi yang saya pahami, selalu ada maksud di balik kata-kata seseorang, termasuk perkataan nabi, yg mestinya kita tangkap.Saya berkeyakinan, bahwa maksud dari nabi menyuruh kita melihat hilal untuk puasa itu, karena dengan melihat hilal itulah indikasi bulan baru, yg berarti awal bulan. Adapun maksud di baliknya, tentunya adalah terbentuknya bulan sabit, berdasarkan posisinya terhadap bumi.

      (Kata pak Thomas: Kalau tidak perlu diamati, cukuplah cahaya sabit beberapa saat setelah ijtimak. Itu sudah pasti wujud di permukaan bulan. Silakan lihat simulasi fase-fase/manzilah bulan, pasti memunculkan cahaya sabit walau sangat tipis, beberapa saat setelah ijtimak.) Jadi, bulan sabit terbentuk. Bulan sabit itu bisa dilihat atau tidak, ia terbentuk. Keyakinan saya adalah, maksud dari hadist nabi Muhammad itu adalah awal bulan dimulai ketika bulan sabit, dari posisi bumi, terbentuk. Tidak masalah itu bisa terlihat atau tidak.

      Sekali lagi, ini masalah keyakinan saya saat ini. Tentunya saya masih membuka pemikiran dengan keyakinan lain, dan saya menghargai keyakinan yg mengatakan bahwa mestinya awal bulan adalah ketika hilal bisa dilihat, atau ketika bulan ‘diperkirakan’ bisa dilihat.

      • Ass wr wb.
        Ada du hadist ttg penampakan hilal sebagai p[ertanda masuknya awal bulan hijriyah, yaitu :
        1. …….jika tertutup awan maka perkirakanlah…….
        2. …….jika tersembinyi darimu maka genapkanlah bilangan Syakban menjadi 30………
        Kesimpulannya :
        1. Pada saat cuaca tertutup awan, maka awal bulan hijriyah sepenuhnya ditentukan dg hisab. Namun demikian usaha maksimal mencari lokasi yg tidak tertutup awan sudah dilakukan.
        2. Pada saat tidak tertutup awan (cuaca cerah), maka meskipun hilal diperkirakan sudah ada namun jika tertutup cahaya syafak dll yg merupakan kodrat Allah SWT sehingga hilal tidak dapat terlihat meskipun dg teleskop tercanggih, maka saat itu belum dapat dikatakan telah memasuki awal bulan hijriyah (………genapkanlah bilangan Syakban men jadi 30…….).
        Wass wr wb.

  33. Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
    Pertama,semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
    Kedua,jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
    Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
    Ketiga,dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
    Keempat,rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
    Kelima,jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
    Keenam,rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
    Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
    Sebagaimana diketahui pada garis besarnya sistem penetapan awal bulan Qamariyah ada dua yaitu hisab dan ru’yah. Kedua sistem ini bermaksud untuk mengamalkan sabda Rasulullah SAW tentang penentuan awal bulan khususnya bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, yaitu :
    Ru’yatuI hilalyang dalam istilah astronomi disebut observasi secara langsung awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal yaitu sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan (bulan sabit Ramadhan) dan berbukalah kamu ketika melihat bulan (bulan Syawwal) maka jika mendung hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. (hadis ru’yah, dalam Kitab Shahihul al-Bukhari, hadis yang ke-940). Menurut prinsip ru’yat penentuan awal bulan harus dibuktikan dengan melihat bulan sabit (hilal) di atas ufuk pada hari yang ke 29. Jika hilal tidak berhasil dilihat karena mendung atau tertutup awan maka harus diistikmalkan/disempurnakan 30 hari. Ru’yah berasal dari akar kata ra’a yang artinya melihat dengan mata telanjang sebagaimana di zaman Rasulullah Saw. Jadi golongan ahli ru’yah ini berpatokan kalau sudah melihat bulan sabit (baru), baru hidup bulan (datang bulan baru). Kalau tidak melihat bulan karena mendung atau tertutup awan maka bulan masih belum hidup (masih tanggal 30), sehingga tanggal satu bulan baru pada besok lusa. demikianlah pendapat ulama dari kalangan mazhab Syafi’i antara lain Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Tuhfah juz ke IIIhal 374 yang intinya mewajibkan puasa dikaitkan dengan ru’yatul hilal yang terjadi setelah terbenam mata hari bukan karena wujudnya hilal walaupun bulan sudah tinggi di atas ufuk kalau bulan tidak terlihat belum masuk bulan baru.
    Sistem hisabmenurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A.yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY. “Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtima’, ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk.”
    Pada prinsipnya hisab berdasarkan sistem ijtima, yaitu antara bumi dan bulan berada pada satu garis lurus astronomi. Bulan menyelesaikan satu kali putaran mengelilingi bumi dalam waktu 29 hari 44 menit 27 detik atau satu keliling. Jika ijtima terjadi setelah matahari terbenam pada hari ke 29 maka besoknya terhitung hari yang ke 30 (bulan baru belum wujud), tetapi jika ijtima terjadi sebelum mata hari terbenam hari yang 29 maka besoknya terhitungbulan baru atau tanggal 1. Hisab ini berdasarkan firman Allah Surah Yunus ayat 5 yang artinya :
    Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
    Dalam hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya: Sebenarnya bulan itu dua puluh sembilan hari maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berhari raya sebelum kamu melihat bulan, jika mendung “kadarkanlah” olehmu untuknya.
    Para ulama berbeda pendapat tentang arti kata-kata “kadarkanlah”. Ada yang menafsirkan sempumakanlah 30 hari. Ada pula yang berpendapat arti “kadarkanlah” tersebut adalah “fa’udduhu bil hisab” artinya kadarkanlah dengan berdasarksn hisab dari pendapat lbnu Rusyd dalam kitabnya Bidayalul Mujtahid. Demikian pula Ibnu Syauraidi Mutarrif dan Ibnu Qulaibah bahwa yang dimaksud “kadarkanlah” ialah dihitung menurut ilmu falak. Ulama Syatriyah yakni Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatul Mujtahid Juz III hal. 148 menyatakan: Bahwa bagi ahli hisab dan orang orang yang mempercayainya wajib berpuasa berdasarkan hisabnya. Demikian pula kalau ada orang yang mengaku telah melihat bulan padahal menurut perhitungan hisab bulan belum terwujud maka kesaksian ituditolak (Tuhfah Juz IIIhal. 382). Aliran baru Imam Qalyubi menjelaskan ada 10 pengertian yang dikandung dalam hadis shumu liru’yatihi, diantaranya adalah ru’yah diartikan pada ilmu pengetahuan, maka pendapat ahli hisab tentang bulan atau tanggal dapat diperpegangi (Qalyubi Juz II hal 49), jadi ru’yah tidak mesti dengan mata telanjang.

    Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
    Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
    Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
    Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
    Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
    Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.

    Tags: Hisab

    • Masalahnya bukan hisab, tetapi ketika dimaknai hisab = wujudul hilal. Wujudul hilal berpotensi menimbulkan perbedaan ketika posisi bulan rendah. Hisab sebenarnya bisa juga imkan rukyat. Hisab imkan rukyat adalah titik temu hisab dan rukyat, sehingga bisa mempersatukan pengamal hisab dan pengamal rukyat.

  34. Berbicara mengenai ru’yat sebagai suatu dalil yang bisa digunakan untuk penetapan waktu-waktu ibadah boleh dikatakan semua orang muslim memahaminya dalam tataran konsep.Walaupun dalam tataran praktis penggunaan hisab bukanlah hal yang baru, apalagi untuk penetapan waktu-waktu shalat. Hampir bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa lepas dari yang namanya hisab. Hal ini bisa dibuktikan dari hampir selalu adanya jadwal waktu-waktu shalat di masjid-masjid maupun mushalla-mushalla yang kita jumpai. Demikian pula halnya dengan keberadaan kalender hijriyah yang secara praktis merupakan produk hisab, masih bisa diterima di seluruh lapisan muslim. Sedikit berbeda ketika berhubungan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan dan awal Dzulhijjah, perbedaan mengemuka di kalangan ummat dengan kepentingannya dan argumentasinya sendiri-sendiri.
    Secara garis besar terdapat tiga faham yang berbeda dalam penetapan penanggalan Islam:

    Hanya menggunakan ru’yat khususnya untuk bulan-bulan ‘ibadah.
    Menggunakan ru’yah, dan hisab digunakan untuk validasi kebenaran kesaksian ru’yat
    Hisab dapat digunakan secara mandiri untuk penetapan penanggalan dan waktu-waktu ‘ibadah lainnya.

    Kelompok-kelompok yang ada tersebut tidak ada yang menolak mengenai sahnya penetapan penanggalan dengan ru’yat, hanya saja bagi yang bermadzhab hisab, hisab memiliki lebih banyak aspek mashlahatnya karena lebih memberikan kepastian mengenai posisi hilal yang menjadi dasar penetapan penanggalan Islam. Sementara bagi penganut ru’yat, ru’yat hilal merupakan aspek ta’abbudi yang harus diikuti untuk mengawali dan mengakhiri bulan-bulan ‘ibadah. Namun bila dinyatakan bahwa hisablah sebenarnya yang dianjurkan Islam untuk penetapan waktu-waktu ‘ibadah mungkin banyak orang yang mempertanyakannya termasuk mungkin bagi mereka yang menggunakan hisab.

    Hisab sesuai Sunnatullah
    Ilmu hisab falak adalah ilmu yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya secara langsung, sekaligus sebagai bukti al-Qur’an kalam Allah bukan buatan Muhammad seorang yang ummi sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang-orang kafir, sekaligus sebagai bukti kebenaran berita al-Qur’an yang merupakan mu’jizat sepanjang zaman. Dalil-dalil ini di antaranya:

    الرحمنعلمالقرءانخلقالإنسانعلمهالبيانالشمسوالقمربحسبان (الرحمن:1-5)

    “(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur’an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”

    هوالذيجعلالشمسضياءوالقمرنوراوقدرهمنازللتعلمواعددالسنينوالحسابماخلقاللهذلكإلابالحقيفصلالآياتلقوميعلمون(يونس:5)

    “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

    Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu hisab bukan sebagai ilmu Islam justru bertentangan dengan banyak dalil dari al-Qur’an, dan jelas suatu pendustaan terhadap firman Allah. Pandangan sebagian ulama terdahulu yang menentang hisab terutama muncul dari kalangan mereka yang kurang memahami Ilmu ini dan mengabaikan firman-firman Allah dalam al-Qur’an mengenai hisab dan ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian diikuti fara muqallidin dari kalangan ulama khalaf yang mengikuti pendahulunya dengan menisbahkannya sebagai sunnah. Inilah yeng menjadi akar timbulnya pertentangan di kalangan ummat karena mereka telah meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
    Sikap penolakan terhadap ilmu hisab khususnya untuk penetapan bulan-bulan ‘ibadah terutama dilatarbelakangi oleh:

    Ketidak-fahaman sebagian ulama (bukan ahli hisab) tentang hakikat ilmu hisab dan menganggapnya sebagai ilmu meramal yang tidak bisa mencapai derajat yakin.
    Adanya anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya.
    Ketidak-fahaman para penentang hisab yang menganggap hisab sama-sekali lepas dari ru’yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam terutama bulan-bulan ‘ibadah.

    Alasan-alasan di atas dengan jelas ditentang oleh Allah seperti dalam dalil-dalil tersebut di atas, yang menyatakan bahwa sifat ‘bi-husbaan’ merupakan sunnatullah yang sama sekali berbeda dengan ilmu meramal nasib oleh para ahli nujum (astrologi), bahkan mendalami astronomi sangat dianjurkan oleh Allah Ta’ala. Penolakan terhadap ketetapan Allah ini jelas-jelas merupakan kekufuran terhadap ayat-ayat Allah yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi awal ummat ini, dengan demikian terbantahlah anggapan bahwa telah adanya ijma’ dari generasi awal ummat bahwa mereka menolak hisab. Yang benar adalah mereka belum menguasai ilmu hisab falak sehingga mereka tidak sepenuhnya menggunakannya, sebagaimana yang akan kita bahas berikut ini. Anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan bertentangan dengan firman Allah bahwa itu merupakan ketetapan-Nya yang haq (sunatullah) dan sama sekali tidak sama dengan ilmu ramalan bintang. Pendapat ini muncul dari kebodohan orang tentang ilmu ini dan enggan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah tentang alam semesta, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

    إنفيخلقالسمواتوالأرضواختلافالليلوالنهارلآياتلأوليالألباب(190)الذينيذكروناللهقياماوقعوداوعلىجنوبهمويتفكرونفيخلقالسمواتوالأرضربناماخلقتهذاباطلاسبحانكفقناعذابالنار (ألعمران :191)

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

    Anggapan bahwa hisab sama-sekali lepas dari ru’yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam jelas suatu pendapat yang sangat keliru, karena ilmu hisab falak ini lahir dari serangkaian penelitian data-data ru’yat yang dilakukan selama periode yang panjang bahkan dari generasi ke generasi, serta melalui tahap ujicoba dan analisis yang cermat sehingga ditemukan formulasi hisab, yang akurat dan teruji dengan baik. Al-Qur’an menekankan Hisab untuk Penentuan Penanggalan Landasan penanggalan kalender Islam (kalender hijriyyah) ditetapkan langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dalam beberapa ayat yang terpisah-pisah.

    إنعدةالشهورعنداللهاثناعشرشهرافيكتاباللهيومخلقالسمواتوالأرضمنهاأربعةحرمذلكالدينالقيمفلاتظلموافيهنأنفسكموقاتلواالمشركينكافةكمايقاتلونكمكافةواعلمواأناللهمعالمتقين (التوبة:36)

    “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

    Berdarakan ayat di atas, Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita bagaimana kalender Islam seharusnya dibangun yang berbeda dengan kalender luni-solar yang sebelumnya digunakan oleh Arab pra Islam. Kalender Arab pra-Islam adalah kalender qamariyah yang disesuaikan dengan periode pergantian musim tahunan, sehingga setelah periode tertentu, satu tahun ada penambahan satu bulan untuk menyesuaikan dengan musim tahunan. Bulan tersebut dikenal dengan bulan Nasi. Dan oleh Islam kebiasaan tersebut dibatalkan. Selanjutnya Allah berfirman:

    إِنَّمَاالنَّسِيءُزِيَادَةٌفِيالْكُفْرِيُضَلُّبِهِالَّذِينَكَفَرُوايُحِلُّونَهُعَامًاوَيُحَرِّمُونَهُعَامًالِيُوَاطِئُواعِدَّةَمَاحَرَّمَاللَّهُفَيُحِلُّوامَاحَرَّمَاللَّهُزُيِّنَلَهُمْسُوءُأَعْمَالِهِمْوَاللَّهُلَايَهْدِيالْقَوْمَالْكَافِرِينَ(التوبة:37)

    “Sesungguhnya an-nasi’ (mengundur-undurkan bulan haram) itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

    Allah juga menegaskan bahwa wujud hilal-lah yang menjadi batas-batas berawal dan berakhirnya suatu bulan, yaitu hilal yang dapat disaksikan di akhir setiap bulan. Dan oleh karena pergantian hari kalender Islam adalah maghrib maka hilal tersebut adalah hilal yang muncul bersamaan dengan terbenamnya Matahari. Allah berfirman:
    يسألونكعنالأهلةقلهيمواقيتللناسوالحج (البقرة:189)

    “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”

    Allah menjelaskan suatu fenomena sekaligus mengajarkan bahwa Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.

    الرحمن(1)علمالقرءان(2)خلقالإنسان(3)علمهالبيان(4)الشمسوالقمربحسبان(الرحمن:5)

    “(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur’an, Yang telah menciptakan manusia, Yang mengajarinya ilmu pengetahuan. Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.”

    Bahkan Allah menjelaskan bahwa sebagai akibat dari peredaran tersebut, fase-fase bulan terbentuk dan membentuk siklus bulanan. Allah berfirman:

    وَالْقَمَرَقَدَّرْنَاهُمَنَازِلَحَتَّىعَادَكَالْعُرْجُونِالْقَدِيمِ(يس: 39)

    “Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”

    Fase dari hilal pertama ke hilal berikutnya dari satu siklus itulah yang dinamakan satu bulan. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa terbentuknya fase-fase tadi merupakan suatu ketetapan Allah yang semuanya bisa diukur, bisa dihitung dan dengannyalah Allah mengajarkan ilmu bagaimana menghitung tahun dan menghisabnya kepada kita.

    هوالذيجعلالشمسضياءوالقمرنوراوقدرهمنازللتعلمواعددالسنينوالحسابماخلقاللهذلكإلابالحقيفصلالآياتلقوميعلمون(5) إنفياختلافالليلوالنهاروماخلقاللهفيالسمواتوالأرضلآياتلقوميتقون(يونس:6)

    “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.”

    Allah menjelaskan dengan itu bukti-bukti kebenaran firmanNya, bahwa al-Qur’an adalah kalamullah mustahil dibuat oleh Muhammad saw seorang yang ummi melainkan semata-mata wahyu Allah yang diterimanya dan disampaikannya kepada ummatnya apa adanya. Bukti-bukti ini memang pada masa-masa awal Islam belum bisa dipahami sepenuhnya oleh kaum muslimin karena kebanyakan dari mereka adalah kaum yang ummi, namun al-Qur’an adalah mu’jizat sepanjang zaman yang akan membatalkan setiap tuduhan siapapun yang mengatakan al-Qur’an buatan Muhammad. Dan bukti-bukti ini telah terbukti bagi kita sekarang. Lalu apakah kita masih akan ragu dengan kebenaran al-Qur’an? Inilah mungkin rahasia yang terungkap dari turunnya ayat al-Qur’an surat Ali Imran 190-191.

    إنفيخلقالسمواتوالأرضواختلافالليلوالنهارلآياتلأوليالألباب(190)الذينيذكروناللهقياماوقعوداوعلىجنوبهمويتفكرونفيخلقالسمواتوالأرضربناماخلقتهذاباطلاسبحانكفقناعذابالنار (ألعمران :191)

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

    Dalam suatu riwayat dijelaskan setelah turun ayat ini Rasulullah terus menerus menangis sepanjang malam bahkan ketika Rasulullah melaksanakan shalat malam, hingga ketika waktu shubuh datang dan Rasulullah belum hadir Bilal mengunjunginya dan menanyakannya apa gerangan yang membuat seorang Rasul yang ma’shum menangis. Rasulullah menjawab turunnya ayat inilah yang membuatnya menangis. Lantas beliau mengatakan celakalah orang yang membacanya tapi tidak mau mentafakurinya.
    Rasulullah Mengajarkan Prinsip-prinsip Dasar Hisab
    Penggunaan hisab ini sebagai dalil penentuan penanggalan qamariyah maupun waktu-waktu ibadah lainnya ditetapkan dan dijamin oleh Allah, namun kaum muslimin saat itu bukanlah orang-orang yang bisa menghisab bulan. Pengetahuan ilmu hisab belum berkembang saat itu di kalangan kaum muslimin. Perhitungan yang dikenal dan dikuasai umumnya sebatas perhitungan-perhitungan sederhana yang biasa digunakan dalam transaksi jual-beli, takar-menakar, dan sebagainya. Untuk menentukan waktu harian mereka biasa melihat posisi Matahari; dan untuk menentukan penanggalan, mereka melihat posisi dan fase bulan. Praktek ru’yat ini merupakan praktek yang sudah terbiasa dikalangan bangsa Arab pra Islam, tidak ada yang asing dalam hal bagaimana meru’yat hilal, dan memahami perubahan fase-fase bulan. Mereka bisa secara langsung memprediksi tanggal berapa hanya dari melihat posisi dan fase bulan yang muncul.
    Rasulullah menyampaikan sesuatu yang baru dalam menetapkan penanggalan dalam Islam sesuai ketentuan Allah. Beliau mengoreksi sistem penanggalan era pra-Islam yang mengenal adanya bulan ke-13 pada tahun-tahun tertentu dan menetapkan hanya ada 12 bulan dalam satu tahun sebagaimana telah dijelaskan di muka. Beliau juga menjelaskan dan memperkenalkan hisab secara sederhana dan bertahap tanpa secara langsung meninggalkan ru’yat. Apa yang dijelaskan Rasulullah adalah membimbing kaum muslimin bagaimana memahami hisab secara sederhana dengan menekankan pada kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi, yang bisa dijadikan rujukan baik bagi kalangan awam maupun para ulama Islam berikutnya.
    Berikut ini di antara dalil-dalil yang menceritakan panduan-panduan yang diajarkan Rasulullah untuk menghisab bulan.

    وحدثنيزهيربنحربحدثناإسماعيلعنأيوبعننافععنبنعمررضياللهعنهماقالقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلمثمإنماالشهرتسعوعشرونفلاتصومواحتىتروهولاتفطرواحتىتروهفإنغمعليكمفاقدرواله ( مسلم ) وحدثنيحميدبنمسعدةالباهليحدثنابشربنالمفضلحدثناسلمةوهوبنعلقمةعننافععنعبداللهبنعمررضياللهعنهماقالقالرسولاللهصلىاللهعليهوسلمثمالشهرتسعوعشرونفإذارأيتمالهلالفصومواوإذارأيتموهفأفطروافإنغمعليكمفاقدرواله ( مسلم )

    Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihatnya dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Muslim)

    حدثناأبوبكربنأبيشيبةحدثناأبوأسامةحدثناعبيداللهعننافععنبنعمررضياللهعنهماثمأنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمذكررمضانفضرببيديهفقالالشهرهكذاوهكذاوهكذاثمعقدإبهامهفيالثالثةفصوموالرؤيتهوأفطروالرؤيتهفإنأغميعليكمفاقدروالهثلاثينوحدثنابننميرحدثناأبيحدثناعبيداللهثمبهذاالإسنادوقالفإنغمعليكمفاقدرواثلاثيننحوحديثأبيأسامة ( مسلم ) وحدثناعبيداللهبنسعيدحدثنايحيىبنسعيدعنعبيداللهبهذاالإسنادوقالثمذكررسولاللهصلىاللهعليهوسلمرمضانفقالالشهرتسعوعشرونالشهرهكذاوهكذاوهكذاوقالفاقدروالهولميقلثلاثين ( مسلم )

    Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata, kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan memberi isyarat dengan kedua tangannya kemudian bersabda: “Satu bulan itu begini, begini dan begini kemudian nabi melipat jempolnya pada yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah 30. Di riwayat lain dari Ubaidillah dengan isnad ini kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan kemudian beliau bersabda: “Satu bulan itu 29, satu bulan itu begini, begini dan begini dan berkata maka perkirakanlah baginya, dan beliau tidak menyebut 30. (Muslim)

    وحدثنيعنمالكعنعبداللهبندينارعنعبداللهبنعمرأنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمقالثمالشهرتسعةوعشرونفلاتصومواحتىترواالهلالولاتفطرواحتىتروهفإنغمعليكمفاقدرواله ( مالك )

    Dari Ibn Dinar dari Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Kemudian satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Malik)

    Hadits-hadits tersebut mengajarkan bagaimana prinsip-prinsip hisab dibangun, sekaligus Rasulullah menjelaskan mengenai apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an:
    Dasar lamanya satu bulan adalah 29 hari.
    Dalam banyak hadits yang shahih Rasulullah mengatakan bahwa satu bulan adalah 29 hari (malam). Pengenalan ilmu hisab pertama dari Rasulullah. Bahwa satu bulan cukup menghitung 29 hari dari saat pertama terlihatnya hilal tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari-ke hari. Hilal baru tidak mungkin muncul di hari-hari kurang dari itu. Dan ini merupakan batas minimal satu bulan yang diajarkan Rasulullah, selanjutnya:
    Yakinkan wujudnya hilal pada akhir hari ke-29 (saat ghurub), jika hilal diyakini ada maka tetapkanlah lama bulan 29 hari. Jika wujud hilal pada saat itu dipastikan tidak ada maka tetapkanlah hitungan bulan 30 hari.
    Kaidah ini merupakan kaidah hisab praktis yang dapat dengan mudah diterima oleh kaum muslimin, karena sesuai dengan realita. Jika pada akhir tanggal 29 hilal dipastikan tidak wujud, maka dapat dipastikan bahwa keesokan harinya sudah jauh di atas ufuk, walaupun mendung menghalangi pandangan. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya ru’yat, cukup hisablah bulan 30. Dan tentunya kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti ru’yat yang cukup panjang.

    Meyakinkan wujudnya hilal dengan hisab bukanlah hal yang sulit, namun dalam kondisi awal-awal Islam kaum muslimin boleh dikata belum menguasai ilmu hisab, kemampuan ilmu hisab hanya terbatas penjumlahan dan pengurangan sederhana yang sering dipakai dalam transaksi jual beli atau takar menakar. Bahkan alat ukur waktu seperti yang ada sekarang belum pernah diberitakan ada. Semua dibaca dari tanda-tanda alamiah alam, sehingga diperlukan suatu kaidah transisi, yang diajarkan Rasulullah yang kemudian diceritakan dan atau disampaikan para sahabat apa adanya atau sesuai pemahaman mereka.
    Jika pada akhir hari ke-29 (saat ghurub) hilal tidak terlihat (tidak wujud) karena terhalang, maka yakinkanlah akan wujudnya hilal, dan tetapkan hitungan 30 hari saat wujud hilal tidak bisa dibuktikan (tidak ada berita kesaksian hilal).
    Pernyataan ini menolak anggapan bahwa penghalang menjadi illat hukum ikmal jumlah hari menjadi 30, karena illat hukumnya sendiri adalah wujud hilal (diyakini wujudnya hilal). Dan ini sesuai kaidah ushul:

    الحكميدورمععلتهوجوداوعدما

    “Hukum berjalan sesuai ‘illatnya ada dan tiada.”

    Wujud hilal itulah yeng menjadi illat hukum ditetapkannya tanggal baru, bukan mendung sebagaimana difahami sebagian orang. Kaidah ikmal menjadi tiga puluh hari saat mana hilal diyakini belum wujud pada akhir tanggal 29 adalah sejalan dengan kaidah ushul ini, karena bila pada tanggal 29 hilal tidak wujud naka dapat dipastikan bahwa hilal wujud pada tanggal 30 walaupun pandangan kita terhalang untuk melihatnya. Argumentasi bahwa wujud hilal sebagai illat hukum ditetapkan awal bulan sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

    يسألونكعنالأهلةقلهيمواقيتللناسوالحج (البقرة:189)

    Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.

    Dan ini secara praktis diakui oleh kaum muslimin bahwa terhalangnya pandangan dari segolongan besar muslim akan melihat hilal gugur manakala ada kesaksian walaupun sebagian kecil tentang adanya hilal. Dengan demikian sesungguhnya yang menjadi ijma’ di kalangan shahabat adalah wujud hilal sebagai dalil ditetapkannya awal bulan, dan bukan melihatnya itu sendiri. Dan ini sesuai dengan firman Allah di atas. Dari uraian ini maka akan jelaslah makna firman Allah Ta’ala:
    فمنشهدمنكمالشهرفليصمه

    “Maka barang siapa di antara kami menjadi syahid (datangnya) bulan maka hendaklah ia berpuasa.”

    Makna syahid berdasarkan banyak dalil lebih mengarah kepada pengetahuan dan keyakinan dan bukan kepada kesaksian dengan mata. Dan keyakinan datangnya bulan bisa diketahui dengan melihat langsung, dengan kesaksian orang lain atau dengan hisab sebagaimana yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an. Coba perhatikan bagaimana Rasulullah menuntun para sahabatnya yang ummi untuk bisa menghisab dengan mengajarkan bahwasanya satu bulan 29 hari tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari ke hari, kemudian apa yang kemudian difahami para sahabat tentang menghisab atau menetapkan hitungan 30 saat sama sekali hilal tidak bisa disaksikan mata pada akhir tanggal 29. Dan dengan penggunaan hisab prediksi wujudnya hilal lebih bisa dipastikan daripada dengan ru’yat dan inilah yang disinyalir dalam al-Qur’an:

    هوالذيجعلالشمسضياءوالقمرنوراوقدرهمنازللتعلمواعددالسنينوالحسابماخلقاللهذلكإلابالحقيفصلالآياتلقوميعلمون

    Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

    Berdasarkan ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia telah menetapkan fase-fase bulan dan memungkinkan untuk menghisabnya. Sehingga fase-fase hilal tersebut sebenarnya bisa dihitung untuk menetapkan apakah hilal sudah ada atau belum. Ayat inipun memberi indikasi bahwa ilmu hisab tidaklah lahir dengan sendirinya tetapi melalui proses yakni proses ru’yat dan pencatatan data-data ru’yat yang selanjutnya dianalisis, diuji dan diformulasikan sehingga dihasilkan formulasi hisab seperti yang ada sekarang. Namun kaum muslimin saat itu adalah kaum tidak menguasai ilmu hisab, sehingga untuk meyakinkan hadirnya hilal dimintailah kesaksian orang-orang dari daerah-daerah sekitar tentang tampaknya hilal pertama tadi. Di satu daerah bisa jadi berkabut, mendung atau karena halangan-halangan lainnya sehingga hilal tidak bisa disaksikan, namun di daerah-daerah lainnya yang berdekatan bisa jadi hilal bisa dilihat. Dan kesaksian inilah yang diakui. Ini menggambarkan bahwa begitu ada halangan melihat hilal tidak serta merta satu bulan dihitung menjadi 30, tapi menunggu kepastian ada tidaknya hilal dari hasil penglihatan orang-orang lainnya. Hal inilah bisa jadi rahasia mengapa Allah menekankan hisab, karena kemampuan melihat seseorang bisa terhalang oleh berbagai hal seperti lokasi, mendung, debu dan sebagainya. Berkaitan ini saya nukilkan beberapa riwayat yang menggambarkan fenomena ini:

    Dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187)[i].

    Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103) Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)[ii]1993
    حَدَّثَنَامُحَمَّدُبْنُبَكَّارِبْنِالرَّيَّانِحَدَّثَنَاالْوَلِيدُيَعْنِيابْنَأَبِيثَوْرٍحوحَدَّثَنَاالْحَسَنُبْنُعَلِيٍّحَدَّثَنَاالْحُسَيْنُيَعْنِيالْجُعْفِيَّعَنْزَائِدَةَالْمَعْنَىعَنْسِمَاكٍعَنْعِكْرِمَةَعَنِابْنِعَبَّاسٍقَالَجَاءَأَعْرَابِيٌّإِلَىالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهمعَلَيْهِوَسَلَّمَفَقَالَإِنِّيرَأَيْتُالْهِلَالَقَالَالْحَسَنُفِيحَدِيثِهِيَعْنِيرَمَضَانَفَقَالَأَتَشْهَدُأَنْلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُقَالَنَعَمْقَالَأَتَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًارَسُولُاللَّهِقَالَنَعَمْقَالَيَابِلَالُأَذِّنْفِيالنَّاسِفَلْيَصُومُواغَدًا *(أبوداود)

    Fenomena di atas menjelaskan bahwa kepastian hilal yang dilakukan melaui ru’yat perlu dikonfirmasi dengan kesaksian-kesaksian yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang meyakinkan tentang wujudnya hilal. Sehingga untuk kasus ini berlaku kaidah bahwa yang melihat secara langsung setelah diketahui kejujurannya didahulukan dari yang tidak bisa melihat, bahkan informasi yang tertunda tetap diterima walau hari sudah berjalan. Dengan demikian jelaslah sebenarnya hisablah yang ditekankan dalam Islam dan diajarkan Rasulullah. Rasulullah telah mengajarkan prinsip-prinsip dasar hisab kepada kaum muslimin saat itu sebagai bahan rujukan bagi generasi sesudahnya, sekaligus memandu bagaimana ilmu hisab itu bisa terwujud dengan digalakkannya ru’yat hilal, yang dari data-data yang ada yang dikumpulkan selama waktu yang panjang, para ulama yang terpanggil dengan seruan Allah bisa mempelajarinya, merumuskannya, lantas mengujinya dan menuangkannya menjadi suatu ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu hisab (falak). Ayat-ayat al-Qur’an ini tidak hanya memandu orang beriman, bahkan juga telah memberi inspirasi dan mendorong orang-orang kafir mempelajari ilmu pengetahuan tentang jagat raya dan mengungkap rahasia-rahasia kebesaran Allah lainnya di alam semesta ini sehingga mereka bisa mencapai pengetahuan dan teknologi seperti yang terjadi sekarang ini. Dan inilah salah satu hujjah atas orang-orang kafir yang membantah kebenaran al-Qur’an sebagai kalamullah. Namun adakah mereka masih meragukannya, setelah bukti-demi bukti kebenaran al-Qur’an dibukakan dihadapan mereka? Lalu bagaimana mungkin ada segolongan yang mengatakan beriman dan mau tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah justru mengatakan ilmu ini sebagai bagian dari ajaran paganisme? Kalau memang demikian keimanan kepada siapakah yang dianut ketika ungkapan penolakan ini dilontarkan. Ingatlah saudara-saudaraku dan segeralah kalian bertaubat kepada Allah agar kalian diampuni-Nya.

    أَفَرَأَيْتَمَنِاتَّخَذَإِلَهَهُهَوَاهُوَأَضَلَّهُاللَّهُعَلَىعِلْمٍوَخَتَمَعَلَىسَمْعِهِوَقَلْبِهِوَجَعَلَعَلَىبَصَرِهِغِشَاوَةًفَمَنْيَهْدِيهِمِنْبَعْدِاللَّهِأَفَلَاتَذَكَّرُونَ(الجاثية: 23)

    Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

    Wahai saudara-saudaraku, berhentilah dari mencaci-caci kebenaran dan menuduhnya sebagai sesuatu yang bid’ah, padahal hati kalian menerimanya. Kalian bertahan hanya karena mengikuti faham orang-orang terdahulu yang belum tentu mereka itu rela untuk diikuti setelah mereka tahu dalam hal ini mereka keliru padahal kalian meyakini mereka adalah orang-orang yang selalu siap kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian seperti kaum yang disinyalir Allah dalam al-Qur’an:

    وَإِذَافَعَلُوافَاحِشَةًقَالُواوَجَدْنَاعَلَيْهَاءَابَاءَنَاوَاللَّهُأَمَرَنَابِهَاقُلْإِنَّاللَّهَلَايَأْمُرُبِالْفَحْشَاءِأَتَقُولُونَعَلَىاللَّهِمَالَاتَعْلَمُونَ(الأعراف: 28)

    Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

    Orang-orang beriman akan bersikap:

    وَالَّذِينَإِذَافَعَلُوافَاحِشَةًأَوْظَلَمُواأَنْفُسَهُمْذَكَرُوااللَّهَفَاسْتَغْفَرُوالِذُنُوبِهِمْوَمَنْيَغْفِرُالذُّنُوبَإِلَّااللَّهُوَلَمْيُصِرُّواعَلَىمَافَعَلُواوَهُمْيَعْلَمُونَ(ألعمران: 135)

    Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.

    • Subhanallah setuju sekali. Lha sekarang jg musti pinter2lah pilih ulama, soalnye masih banyak ulama yg beristiqamah dlm hal yg dibenci allah (Kemakruhan- spt Ngerokok)…pdhl level ulama itu mestinya “Halal dan thoyib” spy terbuka utk mengkaji ayat2 allah dg lbh baik….:)

      Dlm hal rokok lbh bnyk yg tdk ikut ulil amri, pdhl sdh ada UUnya lhoooo…hehehe.

  35. yg pny android, download aja http://www.moonphasepro.com. Wis oke bagi kita yg awam2 ini. anak saya saja (kelas 2 SD) sdh pake ini wkt dpt PR sekolahnya utk membuat bentuk bulan selama 1 bulan…..tmn2nya bnyk yg gak bisa nggambarnya krn bulannya sering ketutup mendung, apalagi ada kabut asap dll.
    Dia nggak usah melongok keluar bisa dg santainya buat dg software ini…Dan tnyt selalu sama dg WH, yg jelas ini softwarenya murni bukan buatan Muhammadiyah ya hehehe ….(sy ngintip softwarenya 1 thn 3x ajah, 1 ramadhan, 1 syawal dan 10 1 dzulhijjah).

  36. Dua-Dua bener,..yang tak bener yang buat peryataan ini,..menyudutkan satu kelompok. Kenapa tak datang aja ke Dewan Tarjih Muhammadiyah,..bukan diforum ini. Sama halnya orang Kristen yang menjelekkan Islam karena ketidakpahamannya terhadap Islam. Berdebat yang saling menjatuhkan adalah perbuatan Setan.

  37. Semakin ke bawah, komentarnya semakin jauh dari substansi materi. Silakan dibaca dan dipahami dulu substansinya, kalau ada link, silakan dibaca link-linknya, baru komentar. Atau kalau malas, gak usah komentar, jadi silent reader saja, biar diskusinya tetep asyik dan ilmiah, kasihan mereka yang sdg menncari ilmu di sini.

  38. Baik dengan wujudul hilal maupun rukyat, tidak bisa menyatukan penanggalan islam (idul fitri/idul adha tetap bisa berbeda).

    Hadits tentang rukyat adalah hadits yang kuat.

    Konsep hari sekarang ini, Indonesia dan arab saudi dianggap hari yang sama karena garis batas penanggalan internasional berada di Samudera Pasifik. Jika garis itu berada di India misalnya, maka indonesia dan arab saudi selalu berada di hari yang berbeda. Padahal garis tersebut adalah khayal dan kesepakatan manusia, bukan hadits atau bahkan ijtima ulama.

    Bagaimana pendapat Prof antara hadits dan kesepakatan manusia tersebut?

    • Kita menggunakan dua sistem kalender. Hari dan nama-namanya merujuk pada kalender Masehi yang saat ini menjadi kalender internasional. Garis tanggalnya ditetapkan dengan konvensi, yaitu di Samudera Pasifik. Tanggal kalender hijriyah merujuk pada ketampakan hilal, baik secara rukyat maupun hisab. Ketampakan hilal itu tidak tetap. Setiap bulan berubah. Solusi yang ditawarkan ulama adalah menyamakan untuk satu wilayah hukum (karena berada pada satu otoritas). Itulah sebabnya masing-masing negara boleh menetapkan sendiri berdasarkan ketampakan hilal di negaranya. Tiap negara bisa saja berbeda, karena perbedaan ketampakan hilal. Satu tanggal bisa berbeda hari. Itulah kesepakatan yang dibenarkan secara syar’i.
      Namun bagaimana bila kita ingin satu-hari-satu-tanggal? Bisa kalau ada kesepakatan yang bersifat global dengan menggunakan garis tanggal internasional dan menetapkan rujukan ketampakan hilalnya. Pada rekomendasi Jakarta 2017 diusulkan kelender global dengan (1) kriteria tinggi bulan 3 derajat, elongasi 6,4 derajat dengan rujukan kawasan Barat Asia Tenggara, (2) garis tanggal menggunakan garis tanggal internasional, (3) harus ada otoritas global tunggal (diusulkan OKI). https://tdjamaluddin.wordpress.com/2018/01/29/rekomendasi-jakarta-2017-upaya-mewujudkan-kalender-islam-tunggal/

  39. Ayo para tokoh muhammadiyah jangan kekeh dengan pendapatnya…. penjelasan Tdjamaludin sangat gamblang dan benar sekali hisab termasuk bidah tentunya… sekaranh rukyat sudah canggih demuli persatuan ummat kembalikan pada dalil awalnya yaitu rukyat al hilal

Tinggalkan komentar