ANALISIS VISIBILITAS HILAL UNTUK USULAN KRITERIA TUNGGAL DI INDONESIA


Thomas Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika,  LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

(Publikasi di buku ilmiah “Matahari dan Lingkungan Antariksa”, Seri -4, 2010,  hlm. 67 – 76, Dian Rakyat, Jakarta)

Abstrak. Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan oleh perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria. Saat ini sudah ada kesadaran untuk menyamakan kriteria di antara ormas-ormas Islam. Untuk itu kajian ilmiah perlu dilakukan untuk memberikan masukan alternatif kriteria yang nantinya perlu dikaji untuk dipilih menjadi kriteria tunggal yang disepakati. Makalah ini membahas beberapa alternatif kriteria berdasarkan analisis data rukyat di Indonesia dan internasional. Kriteria harus memperhatikan dalil-dalil syar’i yang disepakati para ulama serta didasarkan pada kemudahan aplikasinya dan kompatibilitas hisab – rukyat sehingga hisab dan rukyat bisa benar-benar setara dalam pengambilan keputusan dalam sidang itsbat. Berdasarkan analisis yang dibahas makalah ini diusulkan ”Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut: Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o dan beda tinggi bulan-matahari > 4o.

Kata kunci: Kriteria visibilitas hilal, Hisab-Rukyat, Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia

1. Pendahuluan

Persoalan perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Walau saat ini perbedaan hari raya tidak menimbulkan masalah serius, tetapi masalah tersebut selalu menimbulkan ketidaktentraman di masyarakat. Jika tidak segera diatasi itu berpotensi berdampak pada gangguan ekonomi dan sosial, karena menyangkut aktivitas massal dalam skala luas. Satu sisi kemajuan teknologi informasi membantu menyebarkan informasi ke seluruh penjuru dunia, pada sisi lain teknologi itu juga dengan cepat menyebarkan keresahan ketika terjadi perbedaan penetapan.

Perkembangan pemahaman astronomi kini telah memasuki semua lapisan masyarakat, termasuk juga ormas-ormnas Islam yang memanfaatkannya untuk penentuan awal bulan Islam, khususnya terkiat dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Momentum ini sangat baik untuk digunakan dalam upaya mencari solusi perbedaan hari raya. Perdebatan dalil syar’i (hukum agama) antarormas atau kelompok masyarakat yang selama ini mendikhotomikan rukyat (pengamatan) dan hisab (perhitungan) cenderung tak terselesaikan karena masing-maisng menganggap dalil yang diyakininya yang paling shahih dan kuat. Perdebatan semacam itu sudah saatnya diakhiri dan cukup dijadikan khazanah keberagaman pemikiran hukum. Sebaliknya, pemahaman astronomi yang semakin luas perlu terus dibangun untuk mencari titik temu antarormas tanpa mempermasalahkan perbedaan rujukan dalil syar’i.

Dengan pemahaman astronomi yang lebih baik, hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi, karena keduanya saling melengkapi. Hanya persoalannya adalah cara mempersatukan hisab dan ruyat tersebut.  Secara astronomi  hisab dan rukyat mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (ketampakan bulan sabit pertama) atau imkanur rukyat (kemungkinan bisa dilihat). Kriteria itu didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga dua pendapat hisab dan rukyat dapat terakomodasi. Kriteria itu digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat akan selalu seragam. Makalah ini mengkaji berbagai kriteria visibilitas hilal di Indonesia dan internasional untuk digunakan sebagai dasar penyusunan kriteria tunggal hisab rukyat di Indonesia.

2. Pokok Masalah Perbedaan Hari Raya

Perbedaan hari raya yang sering terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh penggunaan kriteria yang tidak seragam. Baik para penganut hisab maupun rukyat pada dasarnya mereka menggunakan kriteria penentuan awal bulan. Di kalangan ormas penganut hisab ada perbedaan: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (wujud di sebagian wilayah  diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia), sedangkan Persatuan Islam (Persis) menggunkan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia (sebelumnya menggunakan kriteria imkanur rukyat 2o). Di kalangan ormas penganut rukyat (terutama Nahdlatul Ulama, NU) kadang terjadi perbedaan ketika ada yang melaporkan hasil rukyat padahal ketinggian hilal masih di bawah kriteria imkanur rukyat yang mereka gunakan, yaitu ketinggian hilal 2 derajat.

Ketika ketinggian hilal positif, tetapi kurang dari atau sekitar 2 derajat potensi terjadinya perbedaan hari raya sangat terbuka. Tabel 2.1. menunjukkan ketinggian hilal pada awal Ramadhan, Syawal (Idul Fitri), dan Dzulhijjah (untuk penentuan Idul Adha) saat terjadinya perbedaan pada beberapa tahun lalu dan potensi pada beberapa tahun mendatang. Itu menunjukkan bahwa persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya kadang muncul dan berpotensi menimbulkan masalah sosial. Maka hal utama yang harus diupayakan adalah memformulasikan kriteria tunggal yang dapat digunakan oleh semua ormas Islam dan pemerintah (yang secara teknis dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama).

Tabel 2.1.

Bulan-Bulan Rawan Terjadi Perbedaan

Tahun(Hijriyah/Masehi) Derajat Tinggi Bulan di Bandung pada Awal Bulan
Ramadhan Syawal Dzulhijjah
1422/2001-2002 1,7 2,5
1423/2002-2003 1,2 1,3
1427/2006 0,9
1428/2007 0,7
1431/2010 1,7
1432/2011 2,0
1433/2012 2,0
1434/2013 0,7
1435/2014 0,8 0,8

3. Kriteria Visibilitas Hilal Internasional

Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan sekadar untuk keperluan penentuan awal bulan qamariyah (lunar calendar) bagi ummat Islam, tetapi juga merupakan tantangan saintifik para pengamat hilal. Dua aspek penting yang berpengaruh: kondisi fisik hilal akibat iluminasi (pencahayaan) pada bulan dan kondisi cahaya latar depan akibat hamburan cahaya matahari oleh atmosfer di ufuk (horizon).

Kondisi iluminasi bulan sebagai prasyarat terlihatnya hilal pertama kali diperoleh Danjon (1932, 1936, di dalam Schaefer, 1991) yang berdasarkan ekstrapolasi data pengamatan menyatakan bahwa pada jarak bulan-matahari < 7o hilal tak mungkin terlihat. Batas 7o tersebut dikenal sebagai limit Danjon. Dengan model, Schaefer (1991) menunjukkan bahwa limit Danjon disebabkan karena batas sensitivitas mata manusia yang tidak bisa melihat cahaya hilal yang sangat tipis. Pada Gambar 3.1 Schaefer (1991) menunjukkan bahwa kecerlangan total sabit hilal akan semakin berkurang dengan makin dekatnya bulan ke matahari. Pada jarak 5o kecerlangan di pusat sabit hanya 10,5 magnitudo, sedangkan di ujung tanduk sabit pada posisi 50o kecerlangannya hanya 12 magnitudo. Pada batas sensitivitas mata manusia, sekitar magntitudo 8, hilal terdekat dengan matahari berjarak sekitar 7,5o. Pada jarak tersebut hanya titik bagian tengah sabit yang terlihat. Untuk jarak yang lebih jauh dari matahari busur sabit yang terlihat lebih besar, misalnya pada jarak 10o busur sabit sampai sekitar 50o dari pusat sabit ke ujung tanduk sabit (cusps).

Gambar 3.1. Kurva kuat cahaya sabit bulan. Semakin dekat ke arah matahari (dinyatakan dalam derajat di masing-masing kurva), kuat cahaya semakin redup (angka magnitudonya semakin besar), dan semakin ke arah tanduk sabit (Cusps) juga semakin redup.

Pada Gambar 3.2. ditunjukkan perbandingan hasil model dan ekstrapolasi empiris limit Danjon (Schaefer, 1991) dengan limit jarak terdekat bulan-matahari (sun-moon angle) sekitar 7o. Hasil model tersebut menunjukkan bahwa batasan limit Danjon disebabkan oleh batas sensitivitas mata manusia. Oleh karenannya sangat mungkin untuk mendapatkan limit Danjon yang lebih rendah dengan meningkatkan senitivitas detektornya, misalnya dengan menggunakan alat optik seperti yang diperoleh oleh Odeh (2006) yang mendapatkan limit Danjon 6,4o.

Gambar 3.2. Perbandingan limit Danjod dari hasil ekstrapolasi pengamatan dibandingkan dengan model (Schaefer, 1991). Ekstrapolasi jarak sudut bulan-matahari (Sun-Moon Angle) pada besar busur hilal (crescent arc length) 0o merupakan limit Danjon sekitar 7o.

Beberapa peneliti membuat kriteria berdasarkan beda tinggi bulan-matahari dan beda azimutnya. Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi minimal 4o untuk beda azimut yang besar dan 10,4o untuk beda azimut 0o (lihat Gambar 3.3). Sedangkan Caldwell dan Laney (2001) memisahkan pengamatan mata telanjang dan dengan bantuan alat optik. Pada Gambar 3.4 Caldwell dan Laney memberikan kriteria beda tinggi minimum 4o untuk semua cara pengamatan pada beda azimut yang besar dan beda tinggi minimum sekitar 6,5o untuk beda azimut 0o untuk pengamatan dengan alat optik. Beda tinggi minimum untuk beda azimut 0o identik dengan limit Danjon dengan alat optik (Odeh, 2006).

Gambar 3.3. Ilyas (1988) memberikan criteria visibilitas hilal dengan arc of light (beda tinggi bulan-matahari) bergantung pada beda azimuth dengan minimum 4o untuk beda azimuth yang besar dan 10,4o untuk beda azimuth 0o.

Gambar 3.4. Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o.

Kriteria visibilitas hilal dengan limit Danjon mendasarkan pada fisik hilalnya, tanpa memperhitungkan kondisi kontras cahaya latar depan di ufuk barat. Dengan memperhitungkan arc of light (beda tinggi bulan-matahari), aspek kontras latar depan di ufuk barat sudah diperhitungkan, tetapi aspek fisik hilal hanya secara tidak langsung diwakili oleh beda azimut bulan-matahari yang di dalamnya mengandung jarak sudut minimal bulan-matahari. Odeh melakukan pendekatan sedikit berbeda dengan menggunakan aspek fisik hilal lebih khusus dengan kriteria lebar sabit (W) dalam satuan menit busur (’) seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1, yang dipisahkan dengan alat optik (ARCV1), dengan alat optik, tetapi masih mungkin dengan mata telanjang (ARCV2), dan dengan mata telanjang (ARCV3).

Tabel 3.1. Kriteria Visibilitas Hilal Odeh (2006) dengan (1) alat optik, (2) alat optik, masih mungkin dengan bata telanjang, atau (3) dengan mata telanjang.

4. Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia

Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Djamaluddin (2000) mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia (dikenal sebagai Kriteria LAPAN): (1). Umur hilal harus > 8 jam. (2). Jarak sudut bulan-matahari harus > 5,6o. (3). Beda tinggi > 3o (tinggi hilal > 2o) untuk beda azimut ~ 6o, tetapi bila beda azimutnya < 6o perlu beda tinggi yang lebih besar lagi. Untuk beda azimut 0o, beda tingginya harus > 9o (Lihat Gambar 4.1). Kriteria tersebut memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2o, tanpa memperhitungkan beda azimut.

Gambar 4.1. Kriteria visibilitas hilal berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI (Djamaluddin, 2000).

Kriteria tersebut sebenarnya lebih rendah dari kriteria visibilitas hilal internasional yang dibahas di bagian 3. Tetapi, itu merupakan kriteria sementara yang ditawarkan berdasarkan data yang tersedia setelah mengeliminasi kemungkinan gangguan pengamatan akibat pengamatan tunggal atau gangguan planet Merkurius dan Venus di horizon. Kriteria itu akan disempurnakan dengan menggunakan data yang lebih banyak sehingga tiga data terbawah kemungkinan akan terpencil secara statistik sehingga dapat dihilangkan. Bila tiga data terbawah dihilangkan, maka kriterianya akan sama dengan kriteria internasional. Data pengamatan di sekitar Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) menunjukkan sebaran data beda tinggi bulan-matahari > 6o (Sudibyo, 2009).

Untuk mendapatkan kriteria tunggal yang diharapkan menjadi rujukan bersama semua ormas Islam dan pemerintah (Kementerian Agama RI), perlu diusulkna kriteria yang dalam implementasinya tidak menyulitkan semua pihak. Kriteria berbasis beda tinggi bulan-matahari dan beda azimut bulan-matahari dianggap cocok karena telah dikenal oleh para pelaksana hisab rukyat dan sekaligus menggambarkan posisi bulan dan matahari pada saat rukyatul hilal. Tinggal yang harus dirumuskan adalah batasannya.

Dua aspek pokok yang harus dipertimbangkan adalah aspek fisik hilal dan aspek kontras latar depan di ufuk barat. Karena kriteria ini akan digunakan sebagai kriteria hisab-rukyat yang membantu menganalisis mungkin tidaknya hasil rukyat dan menjadi kriteria penentu masuknya awal bulan pada penentuan hisab, maka kriteria harus menggunakan batas bawah.

Aspek fisik hilal bisa diambilkan dari limit Danjon dengan alat optik, karena pada dasarnya saat ini alat optik selalu dipakai sebagai alat bantu pengamatan. Limit Danjon 6,4o dari Odeh dapat kita pakai. Kriteria menggunakan lebar sabit yang digunakan Odeh (2006) tampaknya kurang dikenal dikalangan pelaksana hisab rukyat di Indonesia, sehingga kurang cocok untuk digunakan. Aspek kontras latar depan di ufuk barat dapat menggunakan batas bawah beda tinggi bulan-matahari dari Ilyas (1988), Caldwell dan Laney (2001), dan Sudibyo (2009), yaitu minimal 4o. Dengan demikian kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) dapat disempurnakan menjadi “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dengan kriteria sederhana sebagai berikut (lihat Gambar 4.2):

  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.

Gambar 4.2. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” diusulkan sebagai kriteria tunggal hisab rukyat Indonesia. Dua kriteria berikut digunakan bersama-sama: jarak matahari – bulan > 6,4o dan beda tinggi bulan – matahari > 4o.

5. Pembahasan

Kriteria baru hisab rukyat yang tunggal (bisa disebut “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”) diperlukan agar menjadi rujukan pedoman bersama. Kriteria baru tersebut semestinya sederhana dan aplikatif, sehingga mudah digunakan oleh semua pelaksana hisab rukyat di ormas-ormas Islam, pakar individu, maupun di Badan Hisab Rukyat (BHR) sebagai badan kajian Kementerian Agama RI. Kriteria baru itu pun sebaiknya tidak terlalu berbeda dengan kriteria hisab yang selama ini dipakai untuk meminimalkan resistensi perubahan dari kriteria semula. Kritera baru juga harus tetap merujuk pada hasil rukyat masa lalu di Indonesia agar kriteria itu pun tidak lepas dari tradisi rukyat yang mendasarinya dan kriteria itu dapat dianggap sebagai dasar pengambilan keputusan berdasarkan “rukyat jangka panjang”, bukan sekadar rukyat sesaat pada hari H. Dengan demikian, kalau pun ada penolakan rukyat yang bertentangan dengan kriteria ini dapat dianggap sebagai penolakan “rukyat sesaat” oleh “rukyat jangka panjang”. Sehingga resistensi para penganut rukyat pun dapat diminimalisasi.

“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” hanya merupakan penyempurnaan dari kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh BHR, kriteria tinggi bulan 2o yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), kriteria wujudul hilal dengan prinsip wilayatul hukmi (setara dengan kriteria tinggi bulan 0o) yang digunakan Muhammadiyah, dan kriteria wujudul hilal di seluruh Indonesia yang digunakan oleh Persatuan Islam (Persis). Jangan sampai kriteria yang menjadi pedoman sekadar berdasarkan interpretasi dalil syar’i tanpa landasan ilmiah astronomi atau berdasarkan laporan rukyat lama yang kontroversial secara astronomi, sehingga hanya akan menjadi ‘olok-olok’ komunitas astronomi internasional terhadap kriteria yang digunakan di Indonesia. Penyempurnaan pada “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” dilakukan untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria ini pun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setuap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan terbaru.

6. Kesimpulan

Dengan menganalisis berbagai kriteria visibilitas hilal internasional dan mengkaji ulang kriteria LAPAN (Djamaluddin, 2000) yang didasarkan pada data rukyat di Indonesia yang dikompilasi oleh Kementerian Agama RI dan data baru rukyat di wilayah sekitar Indonesia yang dihimpun Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), diusulkan kriteria baru “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai kriteria tunggal hisab-rukyat di Indonesia. “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” sebagai berikut:

  1. Jarak sudut bulan-matahari > 6,4o.
  2. Beda tinggi bulan-matahari > 4o.

Kriteria baru tersebut hanya merupakan penyempurnaan kriteria yang selama ini digunakan oleh BHR dan ormas-ormas Islam untuk mendekatkan semua kriteria itu dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut kajian astronomi. Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekadar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi operasionalnya berdasarkan sains-astronomi yang bisa diterima bersama.

Daftar Pustaka

Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.

Djamaluddin, T. 2000, “Visibilitas Hilal di Indonesia”, Warta LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137 – 136.

Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.

Sudibyo, MM, Arkanuddin, M., dan Riyadi, ARS 2009, “Observasi Hilaal 1427–1430 H (2007–2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas Di Indonesia”, makalah pada Seminar Nasional: Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalendar Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Obs. Bosccha, 19 Desember 2009

Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.

Schaefer, BE, 1991, “Length of the Lunar Crescent”, Q. J. R. Astr. Soc., Vol. 32, p. 265 – 277.

Contoh masalah perbedaan penentuan awal Ramadhan dan hari raya, silakan klik tulisan saya https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/21/garis-tanggal-ramadhan-syawal-dzulhijjah-1431/

Contoh penerapan kriteria LAPAN 2011, silakan klik di sini.

22 Tanggapan

  1. […] karena tawaran kriteria astronomi juga beragam. Antara lain, kriteria Yallop, kriteria Odeh, dan Djamaluddin-LAPAN. Accurate Time menggunakan kriteria Odeh. Berikut ini garis tanggal awal Ramadhan dan Syawal 1433 […]

  2. […] [1]      Depag menetapkan 1 Syawal 1432 H jatuh tanggal 31 Agustus 2011. [2]      Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai persyaratan jumlah saksi, yang masing-masing membawakan dalil yang menguatkan pendapatnya : a.     Maalikiyyah berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali persaksian dua orang laki-laki yang ‘adil untuk seluruh hilaal bulan. b.    Abu Tsaur, Ibnul-Mundzir, Ibnu Hazm, dan dikuatkan oleh Ibnu Rusyd berpendapat : diterima persaksian seorang yang ‘adil untuk seluruh hilaal bulan. c.     Syaafi’iyyah dan Hanaabilah berpendapat : tidak diterima persaksian kecuali dari dua orang yang ‘adil; kecuali hilaal bulan Ramadlaan, maka mencukupi persaksian satu orang yang ‘adil. d.    Hanaafiyyah berpendapat : jika langit cerah, maka hilaal harus disaksikan oleh sejumlah besar manusia. Adapun jika langit mendung, maka persaksian dua orang ‘adil mencukupi. Saya tidak akan membahasnya lebih lanjut tentang pentarjihannya, karena bukan ini fokus pembicaraan artikel ini. [3]      Alasannya : Jika memang langit cerah, maka tidak mungkin hilaal hanya terlihat oleh satu orang atau dua orang saja. Beda halnya jika langit tidak cerah, maka sangat mungkin hilaal hanya terlihat oleh satu atau dua orang saja. [4]      Beberapa ulama menjelaskan bahwa riwayat dan persaksian itu termasuk bagian dari khabar. Ada persamaan dan perbedaannya. Akan tetapi di sini, saya menekankan bahwa khabar (baik riwayat maupun persaksian) dapat ditolak jika ada indikasi kuat untuk menolak khabar. [5]      Di antaranya : Ibnu Juraij, Muhammad bin Abi Hafsh, Ma’mar bin Raasyid, Sufyaan bin ‘Uyainah, Husyaim bin Basyiir, Yuunus bin Yaziid Al-Ailiy, ‘Uqail bin Khaalid Al-Ailiy, Al-Auza’iy, Yaziid bin Al-Haad Al-Laitsiy, Zam’ah bin Khaalid Al-Yamaaniy,’Abdullah bin Budail, dan lain-lain. [6]      Walau dalam hal ini, hadits Faathimah adalah benar lagi shahih (dan ‘Umar telah keliru), sehingga wanita yang telah dithalaq tiga tidak lagi berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari mantan suaminya. [7]      Di sini saya tidak mengatakan bahwa puasa atau berbuka ditentukan melalui hisaab. Hanya saja maksudnya adalah : Jika menurut hisaab falakiy hilaal memungkinkan untuk dilihat di suatu malam, jika ada orang yang mengaku melihat hilaal, maka kesaksiannya itu diterima dan dimulailah ibadah puasa atau berbuka (‘Ied). Jika tidak terlihat, maka bulan digenapkan tigapuluh hari. Kebalikannya, jika menurut hisaab falakiy yang shahih hilaal tidak memungkinkan untuk dilihat dan kemudian ada seseorang yang mengaku telah melihat, maka kesaksiannya itu ditolak. Hisaab digunakan untuk menafikkan, bukan untuk menetapkan; karena penetapan waktu ibadah berdasarkan ruyatul-hilaal sebagaimana telah diketahui bersama. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Imaam As-Subkiy, Asy-Syaikh Al-Maraghiy (ulama Al-Azhar), Asy-Syaikh ‘Aliy Ath-Thanthawiy (ulama Mesir), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Sulaimaan bin Manii’, dan Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Ubaikaan. Ibnu Hajar Al-Haitamiy (Tuhfatul-Muhtaaj, 3/383) berpendapat bahwa ru’yah dapat ditolak berdasarkan hisaab jika hisaab tersebut disepakati oleh ahli hisaab secara mutawaatir. Pendapat ini sangat kuat. Penelitian modern telah membuktikan bahwa tingkat akurasi perhitungan astronomi sudah mencapai orde detik. Oleh karena itu, perkiraan para astronom untuk waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan jarang yang meleset. [8]      Sebagai suplemen : https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/19/garis-tanggal-ramadhan-dan-syawal-1432/ http://www.enersi.com/2011/08/prediksi-awal-bulan-syawal-1432.html http://tmcblog.com/2011/08/29/disinyalir-hilal-bakalan-sulit-dilihat-sore-ini/ http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/14/33777/Teknologi/Hilal_Imajiner_1_Syawal_1432_dari_Cakung.html. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tungga… […]

  3. […] cari referensi ilmiah soal imkan rukyat atau visibilitas hilal di majalah atau jurnal ilmiah. Untuk penerapan pembuatan kalender, pengguna harus memilih salah satunya atau menggabungkannya. Bandingkan dengan wujudul hilal, […]

  4. […] posisi bulan sudah memenuhi kriteria WH, IR 2 derajat, dan IR LAPAN. Sehingga berdasarkan hisab, disimpulakan 1 Syawal di Indonesia jatuh pada 8 Agustus […]

  5. […] pada 15 Oktober 2013. Namun, kalau menggunakan kriteria Odeh (arsir biru, magenta, dan hijau) atau kriteria LAPAN (2010) yang mensyaratkan beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat (seperti yang dilakukan ormas Islan […]

  6. […] ada juga kriteria usulan dari Bapak T. Djamaluddin mengenai kriteria Hisab Imkan Rukyat, […]

  7. […] Kriteria yang digunakan adalah kriteria tinggi bulan 2 derajat yang diasa digunakan Kementerian Agama RI dan Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia (Kriteria LAPAN (2010) ).  […]

  8. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  9. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  10. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  11. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  12. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  13. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  14. […] In 2010, through a paper published by Lapan, Thomas proposed a new criterion for seeing the new moon, namely a height of 3 degrees and an elongation of 6.4 degrees. He also published the paper in his personal blog. […]

  15. […] Pada 2010, melalui sebuah makalah yang diterbitkan Lapan, Thomas mengusulkan kriteria baru untuk melihat hilal, yaitu ketinggian 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Makalah tersebut juga ia muat di blog pribadinya. […]

  16. […] Accurate Hijri Calculator yang dibuat Abdurro’uf. Kriteria baru MABIMS sama dengan kriteria “Hisab Rukyat Indonesia”. Sebagai perbandingan digunakan aplikasi Accurate Times oleh Odeh, sekaligus untuk melihat garis […]

Komentar ditutup.