Hanya karena Membela Bid’ah Wujudul Hilal yang Usang, Muhammadiyah Memilih Tafarruq


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Anggota Tim Tafsir Ilmi, Kementerian Agama RI

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (tafarruq). Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan (ingatlah) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3/Ali-Imraan:102-105)

Dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan C[k]hurafat). Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan, baik mengawalinya maupun mengakhirinya. Bid’ah adalah praktek yang terkait dengan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Wujudul hilal merupakan contoh bid’ah karena menjadi dasar penentuan waktu ibadah tetapi tidak ada dalilnya yang sahih, seperti saya jelaskan di  https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/ . Banyak yang tidak sadar akan bid’ah wujudul hilal karena warga Muhammadiyah terfokus pada dalil-dalil hisab (perhitungan) yang dulu selalu dipertentangkan dengan rukyat (pengamatan) hilal. Seolah-olah hisab hanya dengan kriteria wujudul hilal. Saat ini hisab sudah disetarakan dengan rukyat, sepanjang hisabnya memperhatikan kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat). Padahal, hisab juga bisa dilakukan dengan kriteria imkan rukyat yang berupaya menerapkan sunnah (ajaran Rasul) dalam penentuan awal bulan dengan cara rukyat. Parameter rukyat itu dikuantifikasi dengan parameter-parameter astronomis berdasarkan data-data rukyat jangka panjang.

Secara lebih rinci, di blog saya ini saya tuliskan kritik saya pada kriteria wujudul hilal (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/). Dengan kritik itu berbagai hujatan saya terima, termasuk gelar baru sebagai “provokator” karena menggunakan kata “usang” (obsolete) yang sebenarnya bahasa netral dalam sains. Semoga provokasi saya masih dalam kerangka amar ma’uf nahi munkar yang diperintahkah Allah dalam QS 3:104, seperti tertulis di atas. Secara ringkas, fokus kritik saya pada penentuan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya kriteria yang digunakan juga harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah QS 36:40 dengan tafsir astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab. Dalil rukyat ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal) yang dalam bahasa teknis astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya. Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat.

Astronomi menawarkan sekian banyak alternatif kriteria imkan rukyat sebagai hasil kajian ilmiah berdasarkan data pengamatan yang terus berkembang. Namun jangan berharap astronom untuk membuat kesepakatan soal kriteria, karena produk sains bukan harus dipersatukan, masing-maisng peneliti berhak untuk menyajikan data dan analisisnya, kemudian menyimpulkan kriteria yang dianggapnya terbaik menggambarkan visibilitas hilal. Untuk aplikasi dalam pembuatan kalender dan penentuan waktu ibadah, kita lah yang harus memilih salah satu kriteria itu kemudian menyepakatinya untuk diimplementasikan. Pemilihan kriteria harus didasarkan pada kemudahan dalam aplikasinya bagi seluruh ahli hisab dan ahli rukyat. Bagi ahli hisab, kriteria itu sebagai penentu masuknya awal bulan. Bagi ahli rukyat, kriteria sebagai pemandu rukyat.

Mengapa harus ada kesepakatan? Ya, demi persatuan dalam sistem kalender dan penentuan awal bulan, harus ada kesepakatan kriteria. Kita belajar dari penerapan astronomi dalam penentuan jadwal shalat. Kriteria posisi matahari untuk jadwal shalat sebenarnya beragam, khususnya untuk Shubuh, Asar, dan Isya. Namun, kita sudah bisa memilih salah satunya dan menyepakatinya sehingga secara umum semua jadwal shalat yang diumumkan Kementerian Agama sama dengan jadwal yang dikeluarkan ormas-ormas Islam. Jadwal kumandang adzan di TV sama dengan jadwal di masjid. Demikianlah kalau kesepakatan kriteria sudah tercapai.

Beberapa kali kesepakatan antar-ormas Islam yang difasilitasi Kementerian Agama sudah tercapai. Kesepakatan pertama tahun 1998 dan yang terakhir 2011 (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/26/lokakarya-kriteria-awal-bulan-perwakilan-ormas-islam-bersepakat/). Tetapi Muhammadiyah selalu memisahkan diri dari kesepakatan. Muhammadiyah memilih tafarruq, berpisah dari ummat dalam hal penentuan awal bulan. Mereka lebih membela bid’ah wujudul hilal daripada persatuan ummat. Mereka lebih menjunjung pasal 29 UUD RI “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” daripada perintah Allah yang qath’i dalam Al-Quran Surat Ali-Imran (3): 103  “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”.

Muhammadiyah merasa dipojokkan oleh Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1432/2011 sehingga memilih tidak akan ikut lagi sidang itsbat berikutnya. Mari kita tengok sejarah. Ketika terjadi perbedaan Idul Fitri 1998 karena perbedaan masalah kriteria wujudul hilal vs imkan rukyat, Menteri Agamanya Dr. Tarmizi Taher dari Muhammadiyah (Ketua Korps Mubalig Muhammadiyah). Keputusan sidang itsbat menetapkan Idul Fitri jatuh pada 30 Januari 1998, berdasarkan masukan sebagian besar peserta sidang yang menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat digunakan. Kesaksian di Cakung dan Bawean ditolak. Hisab wujudul hilal tidak ada yang mendukung selain Muhammadiyah, karena Persis sebagai pengamal hisab juga menggunakan imkan rukyat. Ya, tidak perlu memojokkan Muhammadiyah. Kalau inginnya berbeda dengan yang lain, pasti Muhammadiyah akan terpojok dengan sendirinya. Perdebatan hangat saat sidang itsbat adalah hal yang biasa, bukan hanya saat sidang itsbat penetapan Idul Fitri 1432/2011. Saat sidang itsbat penetapan idul fitri 1998, sidang itsbat juga diwarnai debat hangat gara-gara masalah perbedaan kriteria. Menteri asal Muhammadiyah pun harus mengalah, karena sebagian besar peserta sidang itsbat menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat yang digunakan, baik dalam menilai hasil hisab maupun rukyat. Muhammadiyah terpojok, lebih tepatnya memojokkan diri, tafarruq dari persatuan ummat.

534 Tanggapan

  1. Thomas hebat berargumen,tapi mitodenya thomas dengan rukyahnya masih jauh dari yang di gambarkan Nabi.

    • Pak Thomas argumennya benar berdasarkan keilmuan yang beliau miliki, sedangkan Muhammadiyah secara berjamaah bersama dengan para anggotanya dan pertimbangannya telah menetapkan ‘ketetapan yang besar’ tentang metode dalam penentuan bulan. Muhammadiyah dengan ‘WH’ atau wujudul hilal, dan Pak Thomas dengan KVH atau ‘kriteria visibilitas hilal’. Kerucut perso’alan terjadi disini.

      Sekiranya Pak Thomas benar dan Muhammadiyah secara berjamaah salah, itu Allah yang akan membalas – dan sekiranya Muhammadiyah yang benar sedangkan Pak Thomas yang salah – itu juga hanya Allah SWT saja yang tahu dan yang adil lagi maha bijaksana.

      Sampai disini, saya kira cukup agar ukuwah tetap terjaga… Insya Allah.

      • pendapat yang mencerahkan,…

      • Substansinya adalah terletak pada ijtihad. Seandainya salah pun, ganjarannya tetap ada meskipun cuma satu. Jadi, kenapa saling menyalahkan?

    • MasyaAlloh saya baru tahu dengan membaca komentar yang ada ternyata sebagian orang yg mengaku”muhammadiayah” hanya mau benar sendiri. tidak mau memahami pemikiran dan pendapat orang lain. Setahu saya HISAB apapun jenisnya adalah BID’AH tetapi kategori BID’AH HASANAH. saya sebagai orang awwam jadi heran mengapa muhammadiyah ngotot mempertahankan WH dan tidak mau bersatu, padahal mayoritas sepakat dengan IM, yg punya semangat unuk menyatukan umat dan itu lebih penting dari pada merasa paling benar dengan membuat pengumuman jauh jauh hari tanpa mempertimbangkan KEBINGUNGAN orang awwam. kalo memang mau berbeda boleh dan saya hargai tapi tidak usah digembar-gemborkan lewat media, cukup untuk internal warga muhammadiyah saja.saya kira itu lebih bijak. karena tidak semua orang yg ngaku muhammadiyah taat dengan fatwa majelis tarjih, apalagi diluar muhammadiyah. nyatanya banyak orang muhammadiyah yg tetap merokok meskipun itu diharamkan oleh majelis tarjih. Pak Djamaluddin semoga diberi kebaikan dan kesabaran karena saya mendukung semangat bapak prof. untuk menyatukan umat ini, meskipun sunatullohnya hal itu sangatlah berat, kecuali apabila harus dipaksa dengan aturan pemerintah. Semoga ALLOH memberi rahmat dan keberkahan pada umat islam semuanya.

      • Semoga anda tidak termasuk orang yang terprovokasi. Amiin.

      • saya seorang yang telah berumur (sekarang) 61 th. waktu remaja saya aktif sebagai anggota dan pengurus pemuda Muhamadiyah di Sumatera Barat, pengalaman saya hampir sama yang dialami sdr TDjamaluddin dalam menghilangkan TBC pada kelompok2 masyarakat, dihujat, diancam dsbnya; inilah jihad, sepanjang saya tahu dari ceramah buya Hamka dan tokoh Muhamadiyah lainnya di Mesjid Muhamadiyah kota Padang-Sumatera Barat; adalah benar dan sesuai apa dikemukakan oleh sdr TDjamaludin bahwa Muhamadiyah didirikan bukan organisasi dogma, tetapi organisasi rational yang menghargai kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan, saya ingat ucapan Buya Hamka pada kami(jajaran Pengurus Pemuda & Pelajar Muhamadiyah Sumbar-sekitar tahun 1968) pada saat itu, kata beliau : Selalu lah belajar terus menerus karena dengan belajar itulah, kita tahu bahwa kita bodoh. (sumadri, Padang-Sumatera Barat)

      • tulisan Prof. sangat-sangat tendensius dan sangat merasa dirinya yang paling benar dengan mengabaikan argumentasi dari pihak lain. apakah hal ini biasa dalam ranah “ke-ilmuan-an”?????

      • apa menurut anda sidang isbat tidak membingungkan bagi orang awam? sidang isbat yang terkesan sangat banyak memakan waktu sehingga selesainya lebih dari adzan isa’ sangat membingungkan. apalagi kalau diputuskan besok masih ramadhan banyak orang awam menjadi tidak mengerjakan sholat sunah tarawih..

      • Assalamuálaikum pak.., Nah itu tahu bapak… tidak semua orang yang ngaku muhammadiyah taat dengan fatwa majelis tarjih, apalagi diluar muhammadiyah. nyatanya banyak orang muhammadiyah yg tetap merokok meskipun itu diharamkan oleh majelis tarjih. Begitu juga pak banyak orang yang ngaku organisasi di luar muhammadiyah (nggak usah saya sebut organisasinya…tau sendirilah)…fatwa MUI puasa ramadhan jatuh tanggal, tidak semua orang yang ngaku organisasi tertentu berpuasa pada bulan ramadhan …paham kan pak….Jadi tergantung pada keimanan seseorang…yang salah orang islam yang nggak puasa pada bulan romadhan..Allahua’lam Wassalamualaikum..

    • 1. Dari judul tulisannya …sangat bisa di tebak dan dibaca kalo Pak Thomas sangat benci Muhammadiyah. Orang yg di dalam hatinya ada kebencian…ngomong masalah persatuan umat….. nggak nyentuh sama sekali.

      2. Hisab usang? masak iya …Rukyat kali pak yg usang…..
      Satu pertanyaan : Adakah hadits yang menerangkan bahwa Rasul SAW pernah melakukan rukyat?!
      Sepanjang pengetahuan sy…gak ada hadits yg menceriterakan bahwa Rasul SAW pernah melakukan rukyat (sendiri maupun berjam’ah) apalagi melakukan sidang isbat. Ya karena “mungkin” krn memang tdk penting…

      3. Rukyat & hisab kan cuma metode saja…. masak sampai pada bid’ah…

      4. Belajar tentang bid’ah seyogyanya bukan kedapa ahli bid’ah…minimal supaya bisa mendefinisikan bid’ah secara benar.

      • ini dia fanatik muhamadiyah…gk mau menerima masukan

      • Rasul SAW ga pake internet pak… jadi pake internet tu bid’ah… dosa loh pak… wkwkwkkwkw

      • masyaAlloh buat antum juga tlg sebutkan dalil yang shoheh klo Rosululloh dulu pernah pake metode hisab karena emang Rosululloh dan para sahabnya yang mulia bukan ahli hisab

      • sabda Nabi s.a.w : “shumuu li ru’yatihi” (puasalah kalian karena melihat hilal/bulan) …. itu hadis sohih bukhari muslim

      • Sedih sy Baca moment anda… banyak2 lah belajar.. ilmu alloh Sangat luas tidak sesempit yg anda bayangkan.. jd jgn asal ngomong… Saudi Arabia juga berdasar rukyat, tarewih 20 rokaat, adzan jum’at 2 Kali. Blajarlah pak burhan

      • Ah ini si Burhanuddin Kholis sepertinya orang yang tidak banyak ngerti ttp mau bicara keras dengan ilmu agama yang sangat minim.
        1. Emang Pak Thomas yg sangat benci Muhammadiyah??? Coba baca lagi referenci kamu.
        2. Justru Nabi saat itu hanya dengan rukyat dalam menentukan awal dan akhir bulan. Cara ini sepertinya sdh diketahui oleh ummat Islam, kecuali kamu yang masih sangat awam.Coba baca buku agama atau tanya ustadz.
        3. Kamu pasti ga tau yang namanya bid’ah. Pasti!!!
        4. Kamu akan cukup sulit mengerti tentang bid’ah, kalau kamu masih nol besar tentang fiqh dan ushul fiqh.

        Mudah-mudahan kamu menyadari ke-jahil-an kamu dalam ilmu Islam, dan mudah-mudahan Allah berikan kemudahan kepada kamu untuk menjadi ilmuwan Islam (jika punya niat menjadi ilmuwan Islam). Amiiin.

      • Haidst tentang Rasul melakukan Rukyat banyak : nih salah satunya: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah ( HR. Bukhari )

      • Pak, Hadist Nabi mengatakan : “Melihat Hilal” Bukan “Menghitung Hilal”
        Melihat ya dengan mata, gak ada ceritanya melihat dengan mulut, hidung, ataupun akal. Berfikir/menghitung dengan akal. Jangan dibalik melhat dengan akal menghitung dengan mata.
        Kalau hilalnya terlalu kecil ya dibantu dengan teleskop, kalau teleskop tercanggih di planet bumi tidak bisa melihat bearti memang belum/tidak terlihat jangan dipaksa2kan untuk terlihat hanya karena secara itung2an sudah wujud/nampak. Hadist Nabi secara sangat jelas kata2nya yaitu “MELIHAT/RUKYAH” HILAL bukan “MENGHITUNG/HISAB” HILAL.

    • Thomas ini bahasanya barbar

    • Sodara2 Muhammadiah yang mau komentar di sini sebaiknya belajar tentang Hisab dulu, biar gak kelihatan bodoh 😀

    • Mengapa pahlawan ‘Kembali kepada Al-Quran dan Hadits’ itu dalam hal penentuan awal dan akhir Ramadan tidak tampak lagi pendiriannya itu? Lebih taat kepada organisasi daripada taat kepada Rasulullah Saw?

    • Om Lanange jagat: bisa dijelaskan penggambaran rukyah yang dilaksanakan pada jaman Rasululloh!

    • malah sy nilai argumenx thomas udh melampui nabi, krn dgn visibilitas hilal 2 drajat, siapapun saksi yg dpt mlihat bulan dgn kondisi hilal di bwh 2 drajat psti kesaksianx di tolak.. luar biaaaasaaaa

      • Islam mengajarkan untuk menggunakan akal. QS 17:36 mengingatkan “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”. Mengikuti atau menerima begitu saja rukyat yang keliru, bukanlah cara yang dibenarkan. Kesaksian hilal yang terlalu rendah sangat nyata ketidakmungkinannya, karena hilal yang sangat redup tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak.

    • hebatnya pak Thomas ini, bisa pula membilang bid’ahkan wujudul hilal!!!?….na’uzubilah…

    • ROSULULLAH TIDAK PERNAH MENGUMUMKAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN JAUH2 HARI SEBELUM MASUK BULAN RAMADHAN.

      Rosulullah Seumur hidupnya nggak Pernah mengumumkan Penetapan Permulaan Puasa dan Hari raya Jauh2 hari, Dimulainya Puasa dan Hari Raya pada masa Rosulullah sesudah adanya orang yang melihat Bulan (Ru’yatul hilal), bukan di tetapkan sebelum melihat Bulan (Ru’yatul hilal) seperti sebagian orang sekarang yang menetapkan tanggal 1 Romadhon/Hari Raya jatuh pada hari sekian tanggal sekian jauh2 hari sebelum masuk bulan puasa.

      ini adalah Perintah Jelas Nabi untuk melihat Bulan (Ru’yatul Hilal) sebelum penetapan jatuhnya tanggal 1 Romadhon. bukan penetapan dulu baru meru’yah hilal.

      صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

      “Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).

      Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :

      إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له

      “Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah (semprnakanlah bulan).”[8] (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).

      Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal

      Maka sebagai orang Islam yang cerdas, cukup satu kata…….Ikutilah apa yang selalu di Jalankan oleh Rosulullah, dan tinggalkan apa yang tidak pernah di jalankan Rosulullah…..

      SALAM ASWAJA.

      • kalau cuaca mendung atau berawan dan hilal tertutup bagaimana menetapkannya,……apa musti terlihat dulu hilalnya sementara waktu terus berjalan…….lebaran 2011 pemerintah dan NU salah menetapkan satu syawal dan kementrian agama mengatakan kesalahan bukan pada pemerintah (buang badan)……..hadist2 shahih ttg penetapan awal bulan gak satu …..banyak yang lain

      • hehehehehehe sempit pembahasannya …….jadi kalau kalau tentang waktu sholat gimana pula….kan jauh hari sudah ada ditetapkan waktunya…..

      • 1. Rosululloh juga tidak pernah sidang isbat untuk memutuskan kapan lebaran.
        2. Rosululloh juga tidak pernah menggunakan uang rakyat untuk menentukan lebaran.
        3. Rosululloh juga tidak pernah memakai teleskop untuk melihat hilal.

        Jk Muhammadiyah dinilai bid’ah dg WH-nya, bagaimana pihak yg menerapkan tiga poin itu ? Bukankah mereka juga bid’ah?

  2. anda sangat keliru mendefinisikan bid’ah…..

    • Silakan tanggapi dengan definisi “bid’ah” yang biasa dilakukan Muhammadiyah dalam menilai berbagai praktek di masyarakat.
      Untuk memahami lebih dalam makna bid’ah pada tulisan saya tersebut, silakan simak kuliah shubuh “BAHAYA BID’AH, TAHAYUL DAN KHURAFAT, dalam Kajian Kuliah Subuh Ahad Pagi Muhammadiyah Temanggung, Tanggal 17 Juni 2012” yang masih hangat di http://muhammadiyahtemanggung.blogspot.com/2012/06/bahaya-bidah-tahayul-dan-khurafat.html.
      Ringkasnya bid’ah itu:
      (1) Mengadakan ibadah yang baru dalam Islam,
      (2) Dimaksudkan sebagai bentuk ibadah dengan kaifiyat tertentu,
      (3) Kreatifitas untuk menuju kebaikan di luar yang diajarkan Nabi.
      Nah, wujudul hilal termasuk kategori (3).
      Apa sih bahaya bid’ah?
      Bahaya Bid’ah (Aspek I’tiqody) :
      (A). Tasabbuh / menyerupai dengan umat Yahudi dan Nasrani, sudah menjadi kebiasaan Yahudi dan Nasrani untuk menambah ajaran agama.
      (B). Melecehkan kesempurnaan agama Islam yang telah dibawa Nabi Muhammad SAW, karena menganggap ajaran Nabi masih kurang.
      (C). Penentangan terhadap firman Allah dan penyelisihan terhadap hadits-hadits Nabi SAW tentang bid’ah dan perintah untuk menjauhinya.
      (D). Menuduh Nabi SAW menutupi ajaran yang mesti harus disampaikan kepada umatnya.
      (E). Menempatkan diri sederajat dengan Rasul SAW sebagai pembawa risalah/penentu ajaran.
      (F). Menyesatkan diri dan orang lain, karena maksud yang baik dilakukan dengan cara yang salah (dlolalah)
      Bahaya Bid’ah (Aspek Amaliah):
      (a). Merusak amalan-amalan syar’i yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya. (b). Tersingkirnya amalan sunnah yang disyariatkan oleh bid’ah yang melembaga
      (c). Cenderung kepada perbuatan syirik, ghuluw (berlebihan) yang merusak kemurnian Islam
      (d). Mengaburkan nilai-nilai ibadah dan ketentuan syariat
      (e). Amalan tertolak dan berdosa.
      Bahaya Bid’ah (Aspek Syi’ar Islam):
      (i). Memudarnya citra Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan secara holistik, (hablun minallah dan hablun minannas)
      (ii). Memecahbelah umat Islam, karena bid’ah tidak mungkin selalu sama dan meluasnya fitnah dalam agama/syirik
      (iii). Hilangnya perhatian umat terhadap aspek-aspek pokok ajaran (ushul) dan lebih mengedepankan aspek-aspek cabang (furu’).
      Tuh kan, bid’ah WH menyangkut banyak aspek yang disebutkan di atas, salah satu bahaya terbesar bid’ah adalah butir (ii) memecah belah ummat Islam.

      • Kenapa harus Wujudul Hilal yang dijadikan alasan untuk memecah belah umat??? Kenapa bukan yang lain??? Bapak terlalu membela kelompok tertentu….

      • Kenapa harus WH? Karena fokus perhatian perbedaan hari raya yang berpotensi memecah belah ummat saat ini ya WH. Saya tidak membela kelompok tertentu. Saya sudah lebih dari 10 tahun mengkaji soal perbedaan hari raya di ummat ini. Apakah cukup toleransi atau mencarikan solusi? Dengan ilmu saya, astronomi, saya carikan solusi. Solusinya adalah mencari titik temu antara hisab dan rukyat, yaitu hisab dengan kriteria imkan rukyat, yang kompatibel antara hisab dan rukyat. Dengan kriteria imkan rukyat, NU saya kritisi soal rukyat yang terlalu rendah. Alhamdulillah mereka menerima kritik tersebut dan mau berubah. Persis (Persatuan Islam) saya kritisi juga karena dulu pun sempat menggunakan kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal. Alhamdulillah Persis pun berubah. Muhammadiyah saya kritisi soal kriteria WH-nya. Tetapi resistensinya luar biasa. Sepuluh tahun lebih saya kritisi dengan bahasa yang diperhalus dalam forum-forum terbatas dan tulisan di media massa. Namun tak ada perubahan. Masalah perbedaan hari raya tidak sama dengan masalah khilafiyah seperti soal qunut, karena implikasi sosial dan syiarnya cukup besar. Kalau dibiarkan akan makin parah. Maka sejak perbedaan Idul Fitri 1432 lalu, saya memilih mengkritisi dengan bahasa lugas, bukan kasar, dan kritik terbuka, bukan lagi dalam forum terbatas di MTT atau kepada PP Muhammadiyah.

      • “Karena fokus perhatian perbedaan hari raya yang berpotensi memecah belah ummat saat ini ya WH”

        itu pandangan bapak, tapi jika menurut pandangan saya menjadi:

        “Karena fokus perhatian perbedaan hari raya yang berpotensi memecah belah ummat saat ini ya IMKANU RUKYAT”

      • anda nyata memusuhi Muhammadiyah,itu saja,saya ga percaya anda sebaik argumen anda ini,sebab ada kemungkinan kebiasaan anda dengan berbid’ah dalam ibadah anda sehari-hari itu masih jalan terus,WH anda masukkan kebid’ah adalah sebagai senjatamu memusuhi Muhammadiyah,lantas anda asli pengguna bid’ah sejak lahir,anda tidak bisa di percaya hati anda adalah bias permusuhan.

      • Sepuluh tahun lebih saya kritisi dengan bahasa yang diperhalus dalam forum-forum terbatas dan tulisan di media massa.

        Saya juga ingat dengan jelas bagaimana pemahaman Pak Djamaluddin terhadap WH dengan sejarahnya masih perlu banyak tambal dan sulam dalam diskusi saya tahun lalu. Angka sepuluh tahun sepertinya bukan angka keramat, dan hanya berguna untuk menakut-nakutin orang lain.

      • Yth. Pak Thomas,
        Mohon maaf sebelumnya, berikut ini saya copas-kan pembahasan mengenai HISAB oleh DR. Syamsul Anwar, dimana dalam pembahasan oleh beliau terasa sekali semangatnya adalah untuk mempersatukan umat Islam sedunia dan juga alasan Syar’i yang mendasari HISAB sebagai METODE membuat kalender Islam ( didalamnya termasuk menentukan awal Ramadhan, Syawal dan hari Arafah ) dibandingkan METODE RUKYAT. Saya termasuk yang setuju dengan pendapat beliau, karena sangat masuk akal, memenuhi hukum Syar’i dan bisa membawa persatuan Umat Islam. Mohon tanggapanya ya Pak Thomas….terimakasih. Wassalam…

        SEKALI LAGI MENGAPA MENGGUNAKAN HISAB
        Syamsul Anwar
        (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)
        Website Muhammadiyah telah banyak memuat kajian tentang masalah hisab
        dan rukyat. Bahkan website ini juga memuat buku Pedoman Hisab Muhammadiyah,
        yang di dalamnya masalah hisab dan rukyat dibahas secara luas. Namun ketika
        Website ini melangsir berita “Muhammadiyah telah tetapkan Awal Ramadhan, Idul
        Fitri, dan Idul Adha” ada beberapa pembaca yang memberikan tanggapan. Intinya
        yang bersangkutan merasa ada ganjalan dengan penetapan bulan-bulan ibadah
        dengan hisab. Kenapa tidak memakai rukyat yang diajarkan oleh Rasulullah?
        Pembaca lain menanggapi bahwa untuk Iduladha supaya mengikuti Arab Saudi saja.
        Oleh karena itu sekali lagi perlu diturunkan penjelasan tentang mengapa harus
        menggunakan hisab dan tidak menggunakan rukyat.
        Sebelum lebih lanjut masuk ke masalah ini, terlebih dahulu secara lengkap
        tanggapan kedua pembaca di atas dikutipkan di sini secara utuh sebagai berikut:
        Mohon maaf, saya besar dan hidup di lingkungan Muhammadiyah, namun ada
        yang sedikit mengganjal tentang penetapan awal puasa dan lebaran. Kenapa
        lebih mengutamakan dengan hisab bukan dengan melihat hilal. Ya walaupun saya
        juga sadar ilmu astronomi berkembang pesat, namun ilmu yang terbaik adalah
        ilmu yang datang dari sisi Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw. Hasil
        dari melihat secara langsung hilal dibanding dengan perkiraan bukankah lebih
        mantap dengan melihat hilal? Mohon maaf, saya ini hamba Allah yang masih fakir
        ilmu. Jika saya salah, tolong diingatkan.
        Pembaca lainnya menulis, “Menurut saya khusus untuk 10 Dzulhijjah
        walaupun sudah ada perhitungan tepat, pada waktunya ikutin saja pelaksanaan
        ibadah haji. Kalo jamaah haji wukuf hari Senin, ya Selasanya Idul Adha.
        Wallahu a’lam.”
        Apa yang dikemukakan oleh kedua penanggap di atas bukanlah perasaan
        pribadi, melainkan merupakan pandangan banyak orang, bahkan di tingkat dunia.
        Pada berbagai konferensi dan pertemuan internasional tentang hisab dan rukyat
        masalah tersebut selalu muncul. Terakhir dalam Konferensi Astronomi Emirat Kedua
        yang dilaksanakan awal Juni baru lalu, salah seorang pembicara, yakni Dr. Nidhal
        Guessoum, menyatakan bahwa kita harus membuat kalender hijriah bizonal
        (kalender hijriah yang membagi dunia menjadi dua zona penanggalan) demi
        menghindari memasuki bulan kamariah baru, tanpa terjadinya rukyat di dunia Islam
        [walaupun yang beliau maksud dengan rukyat bukan rukyat sesungguhnya karena
        rukyat sesungguhnya tidak bisa membuat kalender, tetapi maksudnya adalah hisab
        imkanu rukyat]. Jadi aspirasi rukyat masih melekat kuat pada banyak orang. Begitu
        pula pandangan mengikuti Arab Saudi, juga banyak diamalkan. Pemerintah Mesir,
        2
        misalnya, khusus untuk bulan Zulhijah mengikuti Arab Saudi karena haji dan puasa
        Arafah. Akan tetapi untuk Ramadan, Idulfitri dan bulan-bulan lain Mesir membuat
        penetapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan Arab Saudi. Barangkali penanggap
        di atas pernah atau sedang kuliah di sana.
        Kembali ke persoalan kita, akan halnya ilmu Allah yang diturunkan kepada dan
        diajarkan oleh baginda Rasulullah saw haruslah difahami secara kaffah, tidak hanya
        sebagian-sebagian. Di dalam ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw
        itu ada perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu ada yang
        tidak berilat (tidak berkausa, tidak disertai keterangan sebab/alasan) dan ada yang
        berilat. Perintah Rasulullah saw agar salat zuhur empat rakaat dan salat subuh dua
        rakaat, misalnya, tidak ada kausanya (ilatnya) mengapa penetapan baginda itu
        demikian. Kalau dipikir-pikir menurut akal, mestinya salat zuhurlah yang dua rakaat
        karena biasanya para pekerja di pabrik atau di kantor mempunyai waktu istirahat
        siang hanya singkat, terkadang tidak cukup untuk salat dan makan siang ditambah
        mengaso sedikit. Sebaliknya di subuh hari orang masih punya banyak waktu dan
        sekalian sambil olah raga, sehingga mestinya rakaat salatnya lebih banyak. Itu
        semua menurut akal. Perintah baginda tersebut tidak dapat diakal-akali, karena
        merupakan perintah yang tidak berilat, dan semua orang harus menjalankan apa
        adanya sesuai perintah itu. Kata Imam al-Gazzali, ketentuan tak berilat ini
        kebanyakannya dalam hal-hal ibadah, walaupun ada juga dalam selain ibadah.
        Macam kedua perintah dan larangan itu adalah perintah dan larangan yang
        berilat, yaitu ada keterangan sebab (alasan) mengapa diperintahkan atau dilarang
        seperti itu. Ilat perintah atau larangan itu ada yang disebutkan secara bersamaan
        dengan penyebutan perintah atau larangannya, dan ada pula yang disebutkan
        terpisah, bahkan ada yang tidak disebutkan sama sekali, namun dapat ditemukan
        melalui ijtihad. Diagramnya dapat dilihat sebagai berikut:
        Contoh ilat yang disebutkan bersamaan adalah ilat kebolehan tidak berpuasa
        Ramadan di bulan Ramadan. Ilatnya ialah bepergian (safar) atau sakit. Ilat safar dan
        sakit ini disebutkan mengiringi perintah puasa Ramadan. Sedangkan ilat yang
        disebutkan terpisah, dan ini yang penting di sini, contohnya adalah ilat perintah
        rukyat. Perintah rukyat disebutkan dalam hadis, “Berpuasalah kamu karena telah
        melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal” [Diriwayatkan oleh jamaah
        ahli hadis]. Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun
        keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat
        perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah
        3
        umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab”
        [riwayat jamaah ahli hadis]. Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad
        Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi perintah rukyat (melihat hilal)
        itu adalah perintah berilat dan ilatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman
        Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan
        perhitungan hisab. Untuk mengetahui pendapat ketiga ulama ini baca terjemahannya
        dalam edisi ke-2 dari buku Muhammad Rasyid Rida dkk., Hisab Bulan Kamariah:
        Tinjauan Syar‘i tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, diterbitkan
        oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, 2009.
        Menurut Rasyid Rida lebih lanjut, adalah tugas Rasulullah saw untuk
        membebaskan umatnya dari keadaan ummi itu dan beliau tidak boleh membiarkan
        mereka terus dalam keadaan ummi tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah,
        “Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan
        mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
        mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya
        mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari
        kenyataan ini kemudian Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ummi
        berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.”
        Maksud beliau adalah bahwa pada zaman di mana orang belum dapat
        melakukan perhitungan hisab, seperti di zaman Nabi saw, maka digunakan rukyat
        karena itulah sarana yang tersedia dan mudah pada zaman itu. Akan tetapi setelah
        masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan
        astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi rukyat. Ini sejalan
        pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada
        atau tidak adanya ilat.” Artinya apabila hisab belum bisa dilakukan karena belum ada
        yang menguasainya, maka digunakan rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi
        ummi di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat,
        maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunkan hisab. Bahkan
        Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli hadis – yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai
        seorang salafi tulen yang biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah –
        menegaskan, “Pada waktu itu adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk
        orang yang menentang pendapat Syaikh Akbar itu [yakni Syeikh al-Maraghi yang
        berpandangan hisab, pen.]. Sekarang saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya
        menambahkan: wajib menetapkan hilal dengan hisab dalam segala keadaan, kecuali
        di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.”
        Rasyid Rida, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa rukyat itu bukan
        bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan syariah, melainkan hanya sarana
        (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih
        akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara
        khusus al-Qaradawi menegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan
        sarana yang tidak menjadi tujuan syariah sendiri.”
        Apabila kita mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini
        4
        memerintahkan pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan
        menimbulkan kerugian (Q. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan
        melakukan pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi
        beberapa petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan
        berbagai benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari
        dan Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [Q. 55: 5]. Ini bukan hanya
        sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif
        yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya
        bagi kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui
        bilangan tahun dan penandaan waktu [Q. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan
        apabila dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal
        ini membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan
        bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.”
        Jadi demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw
        sebagaimana difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain
        alasan sayr’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama,
        pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan.
        Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan tidak
        bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari, Ketua Asosiasi
        Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem
        penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia
        disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.
        Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan
        agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta
        cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat
        mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan
        pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena
        jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak
        dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena
        tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
        Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat
        menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari
        yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi
        momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan
        baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi.
        Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka
        bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru
        malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki
        bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat
        melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas
        peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-
        Daqiqah].
        5
        Ragaan 1: Rukyat Syawal 1439 H
        Ragaan 2: Rukyat Zulhijah 1439 H
        Ragaan 3: Rukyat Zulhijah 1455 H
        Ketiga ragaan di sebelah kiri
        memvisualisasikan rukyat hilal.
        Kawasan di dalam lengkungan
        kurve rukyat adalah kawasan yang
        dapat melihat hilal, sementara yang
        di luarnya tidak dapat merukyat.
        Ragaan 1 menampakkan rukyat
        hilal Syawal 1439 H pada hari
        Kamis petang 14-06-2018 M sesaat
        sesudah matahari terbenam. Pada
        sore Kamis itu yang diperkirakan
        dapat melihat hilal Syawal 1439 H
        adalah sebagian besar benua
        Amerika, seluruh benua Afrika,
        sebagian kecil benua Eropa dan
        Asia. Indonesia terbelah: seluruh
        Sumatera dan pulau-pulau
        sekitarnya termasuk Babel serta
        sebagian Jawa termasuk
        Pelabuhanratu dapat merukyat hilal
        Syawal 1439 H bilamana cuaca
        terang dan baik. Seluruh Austraia,
        sebagian benua Amerika, sebagian
        besar Eropa dan Asia tidak dapat
        melihat hilal Syawal 1439 H sore
        Kamis 14-06-2018 M.
        Ini menggambarkan bahwa
        rukyat tidak pernah dapat
        menyatukan penanggalan Islam di
        seluruh dunia. Kalau kita
        konsekuen memegangi hadis-hadis
        rukyat secara harfiah, maka
        kawasan yang belum dapat
        merukyat mestinya belum
        memasuki bulan baru meskipun
        satu negara, karena ada di antara
        versi hadis rukyat itu yang
        menegaskan jangan berpuasa atau
        beridulfitri sebelum melihat hilal.
        6
        Ditambah lagi dengan hadis Kuraib yang terkenal itu yang menyatakan bahwa rukyat
        tidak dapat ditranfer ke kawasan yang tidak berhasil merukyat seperti rukyat
        Damaskus tidak dapat ditransfer ke Madinah sebagaimana ditegaskan dalam hadis
        tersebut meskipun kedua kota itu waktu itu satu negara. Oleh karena itu timbul
        perbedaan pendapat di kalangan para ulama pendukung rukyat tentang boleh atau
        tidaknya transfer rukyat, dan kalau boleh sejauh mana. Ada yang mengatakan rukyat
        dapat ditransfer (diberlakukan ke daerah yang tidak bisa merukyat) sejauh batas salat
        belum dapat diqasar. Ada yang berpendapat boleh ditransfer ke negeri berdekatan,
        bahkan ada yang berpendapat boleh transfer rukyat ke seluruh dunia, walapun
        pendapat ini secara astronomis adalah mustahil. Di zaman modern, para pendukung
        kalender bizonal (kalender yang membagi dunia ke dalam dua zona tanggal dan
        kalender yang disemangati rukyat) membolehkan transfer rukyat dalam satu zona
        tanggal (separoh muka bumi, karena transfer ke seluruh muka bumi mustahil). Jadi
        apabila rukyat terjadi di suatu tempat di zona barat, rukyat itu dapat diberlakukan ke
        seluruh zona itu, dan tidak dapat diberlakukan ke zona timur. Akibatnya tanggal
        antara kedua zona itu tidak bisa disatukan, timbul masalah puasa Arafah seperti akan
        dijelaskan.
        Itulah problematika rukyat. Metode ini tidak dapat menyatukan kalender Islam
        secara menyeluruh dengan mencakup seluruh dunia. Karena itu dalam Temu Pakar II
        tahun 2008 para peserta yang hadir menyimpulkan bahwa untuk menyatukan
        kalender umat Islam sedunia tidak ada jalan lain kemcuali menggunakan hisab.
        Ketiga, rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena
        rukyat itu terbatas liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum ada rukyat
        sementara di daerah lain (sebelah barat) sudah terjadi rukyat. Atau di Mekah sudah
        terjadi rukyat sementara di kawasan lain (sebelah timur) belum terjadi rukyat.
        Problemnya adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat
        bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh
        bersamaan dengan hari Iduladha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari
        raya dilarang. Bagi kawasan di sebelah timur Mekah, problemnya adalah bisa jadi
        hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung
        timur bumi. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada
        ragaan 2 dan 3.
        Ragaan 2 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-
        08-2018 M hanya terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera
        Pasifik sebelah timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari
        Sabtu tidak mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore
        itu di Kepulauan Hawai dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota
        Honolulu ketinggian Bulan sore Sabtu tersebut 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi
        untuk dapat dirukyat. Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu
        memasuki tanggal 1 Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9
        Zulhijah (hari puasa Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari
        Iduladha) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M.
        7
        Sementara itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun
        Bulan sudah di atas ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”.
        Data astronomis Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi
        kriteria Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun
        juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari
        konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh hari
        Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu 22-08-
        2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa 21-08-2010
        M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana tidak
        mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang
        hukumnya [tetang hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Iduladha di zona
        barat baca dalam website ini dua artikel, yaitu: KORESPONDENSI KALENDER
        HIJRIAH INTERNASIONAL: DARI JAMALUDDIN KEPADA SYAMSUL ANWAR, dan
        satu lagi DARI SYAMSUL ANWAR KEPADA JAMALUDDIN].
        Jadi rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak
        dapat melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus
        ditinggalkan. Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa
        untuk haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya
        lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan
        Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah,
        maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar
        ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu
        melihatnya berharirayalah.”
        Kasus paralel ditampilkan oleh ragaan 3 di atas. Sebalik dari ragaan 2, pada
        ragaan 3 rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan di Mekah bilamana cuaca
        terang dan baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12”
        dan busur rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data ini telah memenuhi kriteria rukyat
        Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada hari
        Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10
        Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia
        belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal
        masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Ketinggian ini menurut kriteria
        internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan memasuki 1
        Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M,
        dan iduladha jatuh kamis 2 maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa hari Arafah di
        Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di Indonesia. Di sini timbul
        pertanyaan apa orang puasa Arafah tanggal 8 Zulhijah? Inilah problem rukyat yang
        tidak dapat menyatukan tanggal secara global.
        Mengenai rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia
        biasanya diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian
        ilmiah tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa
        selama 7 tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah
        terjadi bahwa bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.
        8
        Memang sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah,
        bahkan masih di bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang
        ada dorongan psikologis untuk cepat-cepat melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di
        mana orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di
        berbagai negeri baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian
        tentang 45 kali Ramadan sejak Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H,
        menunjukkan bahwa dari 45 kali Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah
        ufuk tetapi diklaim telah terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga
        ternyata Bulan masih di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan
        Zulhijah Arab Saudi oleh Majlis al-Qadla’ al-A’la mendapat kecaman teramat pedas
        dari Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut
        penetapan tersebut. [Mengenai rukyat Saudi lihat dalam website ini artikel berjudul
        RUKYAT SAUDI, PUASA ARAFAH, DAN MENDESAKNYA PEMBUATAN
        KALENDER ISLAM TERPADU].
        Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
        memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu
        tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh
        dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam
        di dunia internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan
        tidak lagi menggunakan rukyat. Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas
        masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada
        tradisi yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga
        menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat
        nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang
        menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum
        sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu
        penyatuan penanggalan Islam itu harus internasional.
        Sebagai catatan akhir dapat disimpulkan bahwa metode rukyat tidak dapat
        menyatukan penanggalan umat Islam dan menyebabkan kawasan ujung barat bumi
        tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Ini artinya kita harus menggunakan hisab.
        Oleh karena itu marilah kita coba melapangkan dada dan menengok
        permasalahannya secara luas baik dari segi dalil-dalil nas al-Quran dan hadis
        maupun dari segi ilmu astronomi yang juga merupakan ilmu Allah “yang diuraikannya
        untuk menguak ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui” [cf. Q. 10:5]. [Untuk
        melengkapi bacaan ini baca juga dalam website ini PUASA, IDULFITRI DAN HISABRUKYAT].
        Kalasan, Yogyakarta, 18 Syakban 1431 H
        30 Juli 2010 M
        Syamsul Anwar

      • rukyat dengan teropong juga termasuk bid’ah, karena Rasulullah tidak menggunakan teropong apapun saat melakukan rukyat. so, sesama bid’ah dilarang saling menggonggong. memutuskan kalau ada yang mengaku mampu merukyat dibawah sekian derajat maka rukyat tertolak demi ilmu pengatahuan dan tekhnologi adalah BID”AH yang sangat bid’ah. karena berlawanan dengan apa yang terjadi pada masa Rasulullah. Saya kutipkan lagi hadits ini untuk yang merasa hebat sehingga menisbikan yang lain :
        “Sifat SOMBONG itu selendang-KU, dan keagungan itu pakaian-KU. Barangsiapa yang menentang-KU dari keduanya, maka AKU masukkan ia ke neraka Jahannam. (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).

      • Kesimpulan yang ditarik (a, b, c, d, … dst) merupakan kesimpulan dia sendiri, bukan hasil dari definisi bid’ah di atasnya. Kalo no (3) “kreatifitas untuk menuju kebaikan di luar yang diajarkan Nabi” ini diikuti, maka orang pergi haji jangan naik pesawat, tapi naik kuda aja… Kalo sakit jangan masuk RS, diobati pake jamu aja… dst…Kalo semua orang Islam berpikiran sempit kayak gini, maka agama ini akan terpuruk terus… akibat kepicikan penganutnya sendiri.

      • Catatan untuk Pak Prof. Thomas Djamaluddin :
        1. Apakah kriteria imkanur rukyat dapat memastikan bahwa hilal dapat dirukyat? Kalau tidak dapat memastikan hilal dapat dirukyat, berarti imkanurrukyat bersifat kemungkinan, kalau kemungkinan berarti tidak pasti. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak pasti dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan.
        2. Kalau rukyat tidak berhasil pada ketinggian dua derajat, apakah Bapak mau memulai dan mengakhiri puasa, sementara Nabi melarang berpuasa dan beridulfitri kalau tidak melihat hilal.
        3. Menurut Bapak, berapa derajat ketinggian hilal yang pasti dapat dirukyat? Kalau hilal berdasarkan pengetahuan dan kompetensi Bapak secara pasti dapat dirukyat pada posisi 4 derajat, mengapa Bapak tidak menggunakan kriteria ini sebagai pijakan yang pasti.
        4. Kalau pada posisi hilal empat derajat, hilal tertutup awan sehingga tidak dapat dirukyat sebagaimana pesan Nabi, apakah Bapak akan memulai atau mengakhiri puasa?
        5. Apakah menurut Bapak kalau memakai kriteria WH, hilal sudah ada di atas ufuk secara pasti? Kalau hilal sudah ada di atas ufuk secara pasti, berarti kriteria WH bersifat pasti, tidak berdasarkan kemungkinan
        6. Apakah suatu metode yang memiliki tingkat keakuratan yang tinggi tetap dianggap out of date, apabila ditemukan metode lain yang bersifat kemungkinan? Yang mana yang lebih pasti?
        7. Yang saya tahu, muhammadiyah pernah memakai kriteria IR, tetapi kemudian ditinggalkan, salah satu alasannya adalah bagaimana mungkin kita tidak berpuasa atau beridulfitri hanya karena hilal tidak terlihat padahal hilal sudah di atas ufuk
        8. Perkembangan ilmu pengetahuan tentang hisab telah mengajarkan kepada kita, bahwa tidak terlihatnya hilal bukan hanya karena faktor terhalang awan (mendung), tetapi bisa jadi karena hilal masih di bawa ufuk, atau karena posisinya di bawah kriteria IR. Kalau mau konsisten secara harfiah kepada pesan nabi, bahwa kalau terrhalang awan maka cukupkan 30 hari, mestinya penggenapan bulan menjadi 30 hari hanya berlaku apabila hilal terhalang awan saja, bukan ketika hilal masih di bawah ufuk.
        9. Kriteria qur-an mengatakan bahwa makan dan minumlah sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam (fajar) dan sempurnakan puasa sampai malam. Mestinya kita juga merukyat fajar, dan tibanya malam. Tidak boleh menggunakan jam, karena jam itu hasil hisab. Kalau menggunakan jam (hisab) tidak sesuai dengan perintah qur-an
        10. Terakhir saran buat Pak Prof, (a) alangkah baiknya kalau Bapak mengembangkan dan mendalami terus keilmuan dan kompetensi Bapak sebagai pakar astronomi sehingga suatu saat dapat menemukan alat yang lebih canggih sehingga dapat merukyat hilal secara pasti pada posisi nol sampai dua derajat; (b) alangkah baiknya kalau Bapak tidak memaksakan pendapat kepada pihak lain hanya karena berbeda kriteria, bukankah dalam dunia keilmuan kita bisa saling kritik, tetapi tidak memaksakan dan memutlakkan pendapat; Muhammadiyah setahu saya tidak memaksakan kriteria WH kepada Bapak termasuk kepada pemerintah tetapi muhammadiyah mampu meyakinkan jama’ahnya keakuratan WH dan dalil2 syar’inya. (c) Terlalu naif jika persatuan umat diukur hanya dengan keseragaman awal puasa dan idul fitri, kemudian menuduh pihak lain sebagai perusak persatuan / pemecah belah umat.

      • (3) Kreatifitas untuk menuju kebaikan di luar yang diajarkan Nabi.?
        saya kira semua pemanfaatan hasil teknologi yang ada sekarang termasuk kategori ini

      • waduh… microsoft punya yahudi bos… jadi haram nih pake komputer? apa harus pake sempoa yah?

      • @zudi dwi purnomo> anda bijak dan santun dan jawaban anda sungguh mencerahkan.
        Pak Prof Thomas, menurutku anda harus memperdalam ilmu fiqih dulu sebelum berfatwa dalam ranah ini karena gelar anda yang ada saat ini (ilmu astronomi) belum cukup untuk mengeluarkan fatwa tapi hanya sebatas nara sumber aja.

      • Mengikuti begitu saja Imkanur Rukyat yang disarankan, saya kira itu juga bukan hal yang pak Thomas sarankan, seperti yg bapak Thomas bilang sendiri, mengikuti sesuatu tanpa ada pengetahuan, itu bukan hal yang bapak sarankan kan?

        Sampai saat ini, saya masih sependapat dengan Muhammadiyah (saya bukan anggota atau bagian dari Organisasi Muhammadiyah) Tapi itu saya berusaha memahami apa maksud pak Thomas, Saat ini saya sependapat dengan Muhammadiyah krn alasan seperti yg pernah saya tulis beberapa waktu lalu…ada di bawah).

        Ini pengertian yang saya peroleh dari baca-baca tulisan Mengikuti begitu saja Imkanur Rukyat yang disarankan, saya kira itu juga bukan hal yang pak Thomas sarankan, seperti yg bapak Thomas bilang sendiri, mengikuti sesuatu tanpa ada pengetahuan, itu bukan hal yang bapak sarankan kan?

        Sampai saat ini, saya masih sependapat dengan Muhammadiyah (saya bukan anggota atau bagian dari Organisasi Muhammadiyah). Tapi saya berusaha memahami apa maksud pak Thomas, krn saya ingin membuka pikiran saya, Saat ini saya sependapat dengan Muhammadiyah krn alasan seperti yg pernah saya tulis beberapa waktu lalu…ada di bawah).

        Ini pengertian yang saya peroleh dari baca-baca tulisan bapak, tolong dijelaskan lagi jika pengertian saya keliru. Bahwa Imkanur Rukyat adalah menentukan awal bulan dengan menentukan berapa derajat bulan kemungkinan bisa dilihat. Sperti yg bapak tuliskan di atas, IR memberikan prakiraan ketampakan hilal. Bnr demikian kah?

        Jika demikian, itulah cara Bapak Thomas MENAFSIRKAN ayat perintah puasa tersebut (Yg kurang lebih berbunyi “Berpuasalah setelah melihat hilal”). Yaitu, dengan pengetahuan astronomi sekarang ini, mestinya awal bulan Ramadhan atau bulan Syawal dimulai dari ketika posisi bulan ‘KEMUNGKINAN’ bisa dilihat. Jika ada kemungkinan bulan bisa dilihat, itulah awal bulan. Bnr demikian kah?

        Bila benar demikian, saya tetap berbeda pendapat dengan pak Thomas. Perbedaan tersbut, karena perbedaan cara saya MENAFSIRKAN ayat perintah puasa tersebut, seperti yg sudah saya tulis di bawah…

        Tuilisan bapak Thomas: “Muhammadiyah tidak mau beranjak dari WH yang secara astronomi keliru.” Jadi maksudnya perhitungan astronomi oleh Muhammadiyah keliru? Bagaimana bisa dibilang keliru, jika hasilnya sama dengan perhitungan/hisab yang lain? Karena yg saya dengar dari sidang istbat itu, pihak organisasi2 Islam lain bilang tak ada masalah dan tak ada perbedaan dengan metode hisabnya Muhammdiyah. Yang jadi perbedaan kan cara penafsiran ayat perintah puasanya?

        Atau sebenarnya PENAFSIRAN Muhammadiyah terhadap ayat perintah berpuasanya yang bapak anggap keliru? Jika demikian, secara astronomis benar tapi penafsiran ayatnya yang keliru? Atau bagaimana?

        Dan jelas saja Muhammadiyah tak mau beranjak dari WH. Kenapa pak Thomas gak mengerti hal itu ya? Karena memang itulah yang mereka yakini. Saya sendiri juga tak mau (mungkin belum, saya masih membuka pemikiran terhadap penjelasan Imkanur Rukyat oleh pak Thomas) beranjak dari WH nya Muhammadiyah, bukan saya org Muhammadiyah atau bukan, tp karena saya yakin itu yg benar..

        Ini masalah keyakinan, ketika kita gak mengikuti sesuatu yang kita yakini, bukankah ada perasaan tak enak dalam hati? Bukankah ini seperti membohongi diri sendiri? Bukankah ini seperti mengingkari apa yang kita yakini sebagai perintah dari Tuhan? Jadi, kita mesti ingkar dari Tuhan?

        Jadi, kenapa alasan kita tidak mengikuti keyakinan pak Thomas, pemerintah, atau ormas2 lain sebagai bentuk taffaruq atau pemisahan diri?

        Sekarang jika ada teman bapak Thomas yang tidak setuju dengan pendapat bapak, apa bapak langsung menganggap bahwa teman tersebut membangkang bapak?

        Ketika ada masyarakat yg yakin bahwa awal puasa tidak seperti yang ditentukan oleh pemerintahnya, apakah ini berarti pemisahan diri?? Ini seperti kita menghakimi umat lain memisahkan diri, padahal mereka gak merasa ingin memisahkan diri…betapa anehnya diri kita jika demikian?

        Saya kira, “perbedaan adalah rahmat” itu terjadi jika kita bisa saling menghargai perbedaan. Perbedaan awal puasa, atau perbedaan2 penafsiran yang lain, saya pikir letak masalah sebenarnya bukan pada perbedaannya, tapi pada sikap kita yang belum bisa menerima perbedaan sebagai keniscayaan. Perbedaan menjadi hal yang laknat, karena kita memaksakan penafsiran kita terhadap yang lain, sehingga timbul kekacauan. Perbedaan awal puasa bisa kita upayakan menjadi perbedaan yang penuh rahmat, dengan tetap ada upaya menyatukan sudut pandang, tapi tanpa memaksakan atau menyudutkan pihak lain kan?
        nah, bagaimana bisa kita menyatukan sudut pandang, jika kita sudah sejak awal menghakimi bahwa yang lain adalah sudut pandang yang usang? Bagaimana kita bisa membuka hati dan pikiran kita terhadap pemikiran yang lain, jika dari awal kita berpikir bahwa yang lain pasti salah dan kita yang pasti benar? Berani tidak pak Thomas menguji pemikiran bapak sendiri dengan mulai bersikap netral?

      • Jika Bp Prof. Thomas memakai pengertian bid’ah seperti itu, maka metode IR yg diagung-agungkan Bp itu juga termasuk bid’ah. Pelaksanaan sidang isbat itu juga termasuk bid’ah. Penggunaan uang rakyat (APBN) untuk membiayai penentuan tanggal lebaran itu juga bid’ah. Pemakaian teropong untuk melihat hilal itu juga bid’ah. Karena itu semua tidak pernah dilakukan Rosululloh.

        Masalahnya, jk Bp dkk melakukan bid’ah, mengapa Bp menyalahkan yg lain?

  3. saya merasa tulisan anda menuruti nafsu “membenci” muhammadiyah.

    • Saya membenci Muhammadiyah? Tidaklah :-). Sama sekali tidak ada perasaan negatif seperti itu. Saya sudah lebih dari 10 tahun mengkaji soal perbedaan hari raya di ummat ini. Apakah cukup toleransi atau mencarikan solusi? Dengan ilmu saya, astronomi, saya carikan solusi. Solusiinya adalah mencari titik temu antara hisab dan rukyat, yaitu hisab dengan kriteria imkan rukyat, yang kompatibel antara hisab dan rukyat. Dengan kriteria imkan rukyat, NU saya kritisi soal rukyat yang terlalu rendah. Alhamdulillah mereka menerima kritik tersebut dan mau berubah. Persis (Persatuan Islam) saya kritisi juga karena dulu pun sempat menggunakan kriteria ijtimak qablal ghurub dan wujudul hilal. Alhamdulillah Persis pun berubah. Muhammadiyah saya kritisi soal kriteria WH-nya. Tetapi resistensinya luar biasa. Sepuluh tahun lebih saya kritisi dengan bahasa yang diperhalus dalam forum-forum terbatas dan tulisan di media massa. Namun tak ada perubahan. Masalah perbedaan hari raya tidak sama dengan masalah khilafiyah seperti soal qunut, karena implikasi sosial dan syiarnya cukup besar. Kalau dibiarkan akan makin parah. Maka sejak perbedaan Idul Fitri 1432 lalu, saya memilih mengkritisi dengan bahasa lugas, bukan kasar, dan kritik terbuka, bukan lagi dalam forum terbatas di MTT atau kepada PP Muhammadiyah. Saya memberikan data astronomis dalam kritik saya, bukan sekadar klaim. Kajian fikih saya pelajari, karena sebagai Muslim, saya pun berkepentingan dalam menyempurnakan ibadah saya.

      • Pak Thomas, apakah Imkan Rukyat dikemudian hari bisa dijadikan metode untuk menyusun kalender hijriyah/komariah secara Internasional untuk umat Islam sedua?

      • Ya, bisa. Itu yang diupayakan dalam berbagai pertemuan penyatuan kalender. Imkan rukyat memungkinkan kalender sama dengan rukyat, sehingga bisa mempertemukan pengamal hisab dan pengamal rukyat. Contohnya bisa di lihat di http://www.icoproject.org/confe.html dan http://www.icoproject.org/conf2.html.

      • pak TJ, gimana pak kalau semua pakai WH. Kayaknya persatuan dan kesatuan tak terancam

      • Itu pola pikir menyingkirkan saudara-saudara pengamal rukyat. Untuk merangkul pengamal rukyat dan hisab, gunakan kriteria imkan rukyat, suatu kriteria titik temu antara rukyat dan hisab. Secara global, WH hanya digunakan oleh Muhammadiyah, Arab Saudi (tetapi hanya untuk kalender administratif, bukan untuk ibadah), dan ISNA (Amerika Utara, tetapi bukan WH lokal seperti Muhammadiyah, WH untuk Mekkah).

      • @Djamaluddin,
        Status kuno dan bid’ah yang Pak Djamluddin tempelkan ke hisab WH dari tidak akan berubah meskipun FCNA dan ECFR menggunakan standar hisab dengan acuan di Makkah. Jadi yang kuno dan bid’ah ini ternyata digunakan pula oleh organisasi Islam modern yang lain.

      • perintah utk memulai puasa ada dalam surat Al Baqarah ayat 185, mohon prof thomas menjelaskan kandungan ayat tersebut, …..rasanya sangat tidak mungkin Rasulullah mengganti Syahr dg qomar? bukankah semua mengakui bahwa Al quran adalah penjelasan yg sempurna dr Allah dan menjelaskan segala sesuatu…? kenapa kita masih ragu tentang Al Quran…?

      • sepertinya ibadahnya pak thomas masih banyak dipenuhi bid’ah ya … kalaumenurut pak thomas perbedaan qunut dianggap enteng tpi perbedaan awal puasa dianggap hal yg besar. kebalik pak … maaf menurut saya pak thomas belum layak dipakai sbg acuan orang Islam …

      • Ada baiknya Prof baca tulisan Agus Mustofa di Jawa Pos hari ini tgl 24 Juli 2012 yang berjudul ” MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT”. Walau AM belum Prof seperti Bapak namun secara emosional, intelektual, spiritual dan pengetahuan Insya Allah AM jauh lebih dewasa dibanding Bapak. Sekali lagi saya sarankan kepada Prof untuk segera membaca tulisan AM tsb di atas agar wawasan Prof lebih terbuka seperti kebanyakan Prof lainnya.

      • Apakah perjalanan bulan/bumi dan matahari itu nggak konsisten ya???, artinya terkendala macet seperti arus mudik sekarang. sehingga kalau biasanya Jkt-Brebes bisa 1 jam, karena lebaran bisa menjadi 18 atau 20 jam, Artinya kalau sudah ijmak jam sekian kan seharusnya sekian jam kemudian sudah bisa dibisa ditentukan posisinya. Artinya dengan hisab apalagi dengan ilmunya pak Thomas ini seharusnya hisabnya semakin presisi. Jadi tidak seperti sekarang dengan adanya ilmunya pak thomas bukan makin mencerahkan tetapi makin buat runyam!!!!..
        Jadi rukyatnya kenapa tidak sehari atau 2 hari sebelumnya atau sebulan atau 2 bulan sebelumnya dst.., kemudian dihisab kan posisinya sudah dapat ditentukan…..

      • pak…..judul antum tak mencerminkan kelilmuan dan pribadi antum sebagai muslim…..seenaknya antum Muhammadiyah memilih perpecahan,……sadar bapak…..tulisaan antuk dengan judul kyk gitu apa tak menjurus perpecahan gak….hahahahahahahaha

    • Seorang ilmuwan seharusnya netral, tp membaca ini sy jd ragu, memojokan yg ini membela yg itu, blog ini tak cocok sy teruskan baca.

  4. Sangat terkesan dengan kalimat ini:
    “Dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan C[k]hurafat). Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid…”

    • Bisa jadi Pak Thomas sangat sayang kepada Muhammadiyah 🙂

    • Sudah saat-nya kita berpikir global dan mendunia…

      Di era sekarang, informasi sudah sedemikian canggih, hendaknya cara kita menentukan awal puasa, juga semakin baik dari sebelumnya…

      Tidaklah salah kita menggunakan hitungan astronomi, alat teropong bintang dan sebagainya. Selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil Al Qur’an dan Al Hadits…

      Permasalahan Rukyat, ada baiknya kita mencontoh Rasulullah, yang tidak hanya berpatokan kepada satu negeri (madinah), tetapi juga mempertimbangkan hasil Rukyat dari tempat-tempat lainnya, sebagaimana Hadits beliau…

      … ‏ أنـَّـهـُـمْ شـَـكـّـوا فـِـي هـِـلال رَمـَـضـَـانَ مـَـرَّة فـَـأرَادُو أنْ لا يـَـقـُـومـُـوا و لا يـَـصـُـومـُـوا فـَـجـَـاءَ أعـْـرَابـِـيّ مـِـنْ الـْـحـَـرّةِ فـَـشـَـهـِـدَ أنـَّـهُ رَأى الـْـهـِـلالَ فـَـأتـِـيَ بـِـهِ النـَّـبـِـيَّ صـَـلـَّـى اللهُ عـَـلـَـيـْـهِ وَ سـَـلـَّـمَ فـَـقـَـالَ أتـَـشـْـهـَـدُ أنْ لا إلاهَ إلا اللهُ وَ أنـِّـي رَسـُـولُ اللهِ قـَـالَ نـَـعـَـمْ وَ شـَـهـِـدَ أنـَّـهُ رَأى الـْـهـِـلالَ فـَـأمـَـرَ بـِـلالا فـَـنـَـدَى فـِـي النـَّـاس أنْ يـَـقـُـومـُـوا وَ أنْ يـَّـصـُـومـُـوا . ( سنن أبي داؤود / ٨ / ١٤ : ١٩٩٤ ) “ … Suatu ketika orang-orang meragukan penampakan hilal Ramadhan sehingga tidak hendak salat tarawih atau puasa. Seorang Badui datang dari Al Harrah dan bersaksi bahwa dia melihat hilal. Dia diantarkan ke Rasulullah. Rasulullah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa saya utusan Allah?” Badui itu menjawab, “Ya.” Dia juga bersaksi bahwa dia melihat hilal. Rasulullah lalu menyuruh Bilal menyeru orang-orang salat tarawih dan puasa. ” (Sunan Ab i Daud/VIII/14: 1994)

      أغـْـمـِـيَ عـَـلـَـيـْـنـَـا هـِـلالُ شـَـوَّال فـَـأصـْـبـَـحـْـنـَـا صـِـيـَـامـًـا فـَـجـَـاءَ رَكـْـبٌ مـِـنْ آخـِـر النـَّـهـَـار فـَـشـَـهـِـدُوا عـِـنـْـدَ النـَّـبـِـيَّ صـَـلـَّـى اللهُ عـَـلـَـيـْـهِ وَ سـَـلـَّـمَ أنـَّـهـُـمْ رَأوْا الـْـهـِـلالَ بـِـالامـْـس فـَـأمـَـرَهـُـمْ رَسـُـولُ اللهِ صـَـلـَّـى اللهُ عـَـلـَـيـْـهِ وَ سـَـلـَّـمَ أنْ يـُـفـْـطـِـرُوا وَ أنْ يـَـخـْـرُجـُـوا إلـَـى عـِـيدِهـِـمْ مـِـنْ الـْـغـَـدِ . ( سنن إبن ماجه / ٨ / ٦ : ١٦٤٢ ) “ Hilal Syawal tertutup mendung maka kami berpuasa keesokan harinya. Besoknya menjelang sore, datang beberapa musafir. Mereka bersaksi di hadapan Rasulullah bahwa mereka melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah memerintahkan segera berbuka dan melaksanakan salat id keesokan harinya. ” ( Sunan Ibnu Majah /VIII/6 : 1642 )

      Jika kita mempelajari, situasi astronomi pada petang hari Kamis, 19 Juli 2012. Untuk wilayah Amerika Selatan dan Polinesia bisa dengan mudah melihat bulan sabit. (Sumber : http://blog.al-habib.info/id/2012/07/peta-terlihatnya-bulan-sabit-untuk-ramadhan-1433-h/)

      Dengan demikian, apabila kita menggunakan kriteria untuk Rukyat secara Global,bisa diambil kesimpulan awal puasa (1 Ramadhan), jatuh pada hari Jum’at 20 Juli 2012…

      Bagaimana dengan di Indonesia ?

      Berdasarkan Perhitungan ahli Hisab, semua sepakat bahwa pada petang hari Kamis, 19 Juli 2012, posisi astronomis Indonesia, bulan sudah di atas ufuk, dengan demikian tidak-lah menyalahi, apabila awal puasa (1 Ramadhan) di Indonesia, jatuh pada hari Jum’at 20 Juli 2012… Terima Kasih

      Mengenai dalil Perhitungan Hisab, bisa baca2 di sini…

      Merintis Lebaran Internasional, dengan 2HA-RI (Hisab Hakiki – Rukyat Internasional)
      http://kanzunqalam.wordpress.com/2011/09/12/merintis-lebaran-internasional-dengan-2ha-ri-hisab-hakiki-rukyat-internasional/

      Peta Rukyat Global, untuk Ramadhan 1433 H, bisa dilihat disini…
      http://blog.al-habib.info/id/2012/07/peta-terlihatnya-bulan-sabit-untuk-ramadhan-1433-h/

      Posisi astronomis Indonesia, untuk Ramadhan 1433 H, bisa di lihat disini…

      Keterangan :
      Gambar di atas adalah garis tanggal pada saat maghrib 19 Juli 2012. Garis antara arsir merah dan putih adalah garis wujudul hilal (WH) dan ijtimak qabla ghurub (ijtimak sebelum maghrib). Artinya, di Indonesia pada saat maghrib 19 Juli bulan di atas ufuk…

  5. Pak Prof yang terhormat….sebelumnya saya mengucapkan hatur nuhun atas kerja usaha pak prof yang sepertinya susah-susah mencari suatu hal yang menyebabakan kesinisan umat terhadap perbedaaan. Pak Prof paham maksud sayakan?

    Sekarang apa pak Prof meyakini bahwa metode yang digunakan itu paling benar?Bagaimana bila hal yang diyakini pak prof sebagai paling benar itu juga ternyata salah?

    Pak prof saya belum selesai, saya akan kembali lagi dengan beberapa petanyaan.

    • iya lho pak prof,,, imkan ru’yat itu kan nggak pasti…. sedang Wujudul Hilal tu jelas itungannya dan semua mengakui keakuratan wujudul hilal yang dihisab Muhammadiyah meski itsbatnya beda-beda

      • Hisab itu memberi kepastian, baik hisab wujudul hilal maupun imkan rukyat. Tetapi kalau kita pilih hisab WH, itu akan meninggalkan saudara-saudara pengamal rukyat. Untuk merangkul semuanya, baik pengamal hisab maupun rukyat, gunakan hisab imkan rukyat. Untuk melihat contoh bandingan kriteria WH dan imkan rukyat untuk hasil hisab yang sama, silakan pelajari garis tanggal Ramadhan 1433 https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/06/19/analisis-garis-tanggal-awal-ramadhan-dan-syawal-1433-h/

      • bukankah hisab itu juga ru’yat karena bisa memudahkan mengetahui posisi bulan secara pasti prof. lha kalau imkan ru’yat itu kan hitungan mengada-ada yang nggak pasti tepatnya tergantung di posisi mana or mathla’ tempat meru’yat,,, masing-masing mathla’ beda

      • Saya sarankah belajar dulu ilmu hisab (lebih baik diperluas ke astronomi) sebelum berkomentar atau tanya pada hali hisab, bukan ahli fikih yang tak faham hisab. Hisab bukan rukyat. Dalam astronomi ada hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi) yang setara. Yang dipermasalah bukan hisab dan rukyat, karena keduanya setara. Yang bikin masalah adalah hisab WH yang usang dan bid’ah, dengan hisab imkan rukyat yang dikembangkan astronomi modern.

      • lho bukankah imkan ru’yat itu adalah hisab hasil tawar-menawar? bukankah itu juga tidak ada masa Rasulullah saw?

      • Yang bikin masalah adalah hisab WH yang usang dan bid’ah, dengan hisab imkan rukyat yang dikembangkan astronomi modern.

        Dari ribuan kata dan tulisan dan penjelasan dari Pak Djamaluddin mengenai usangnya WH, saya tetap tidak menemukan argumentasi logis yang bisa masuk ke kepala saya. Padahal perhitungan astronomi antara WH dan IR adalah sama, dengan astronomi modern. Yang beda dalah, WH menggunakan kriteria bulan di atas ufuk (baca “hilal sudah wujud” — buat yang tidak paham tentang definisi ini silakan baca lagi literatur tentang WH) sebagai permulaan bulan baru hijriyah, sedang IR berpatokan kepada kemungkinan terlihatanya hilal dari posisi bulan dan matahari. Perbedaan pilihan itu bukan urusan astronomi lagi, tetapi sekedar perbedaan ijtihad.

  6. jangan mudah membid’ahkan orang bapak prof. sesama muslim kok bid’ah2an

    • Muhammadiyah sudah biasa memberantas bid’ah, jadi diskusi soal bid’ah hal yang lazim bagi mereka. Mereka getol membid’ahkan praktek di masyarakat. Jika keberatan WH disebut bid’ah, kita tunggu saja tanggapannya.

      • Kalau memang melakukan bid’ah berarti harus diperingatkan tapi saya tegaskan sekal lagi WUJUDUL HILAL BUKAN BID’AH

      • Kalau nyata-nyata tak ada dalilnya, padahal itu menyangkut ketentuan ibadah, lalu apa namanya? Kalau itu taakuli, mengapa tidak langung saja ambil newmoon/ijtimak sebagai batas masuknya tanggal, tidak perlu berdalil-dalil untuk merumuskan WH?

      • Merukyah hilal itu bukan ibadah pak thomas yang mulia. sehingga tidak dapat dikatakan bid’ah. sama seperti melihat jam dinding dan jadwal waktu shalat untuk mengetahui masuk atau belumnya waktu shalat. jika merukyat adalah ibadah, maka kaifiyat, tempat, waktu, sabab, kadar dan lainnya harus sama persis dengan rasul. apakah yang pak thomas yang mulia lakukan sama dengan rasul dalam merukyah, jika tidak sama maka pak thomas yang mulia juga telah melakukan bid’ah.

      • wujudul hilal tu bukan bid’ah,,, tapi masholihul mursalah pak prof

      • Itu tinjauan sekilas. Kalau kita fahami alur pikirnya, kita akan mendapati pemilihan kriteria WH dalam penentuan awal bulan ibadah, tanpa dalil yang qath’i. Itulah bid’ah. Para ahli hisab biasanya mencari dalil untuk mendasari pendapatnya. Tetapi, mengambil dalil QS 36:40 keliru, karena itu sekadar mengada-ada. Mengapa tidak mengambil dalil yang banyak soal rukyat, sehingga kita bisa menggunakan hisab berlandaskan rukyat, itulah kriteria imkan rukyat. Masalah “alergi” atas rukyat oleh Muhammadiyah sudah bermakna menafikkan sunnah, menggunggulkan bid’ah. Itu harus difahami. Padahal, kalau Muhammadiyah menggunakan hisab kriteria imkan rukyat, hisab bisa dilaksanakan sunnah bisa dijalankan.

      • manakah yang menafikan sunnah? bukankah hisab adalah metode ru’yat bil matematik untuk mengetahui posisi hilal

      • Yang dipermasalahkan bukan hisab vs rukyat, tetapi hisab WH yang bid’ah dengan hisab imkan rukyat yang mengimplementasikan sunnah.

      • @Djamaluddin,

        Tetapi, mengambil dalil QS 36:40 keliru, karena itu sekadar mengada-ada.

        Terus yang tidak mengada-ada itu seperti apa? Ketika seorang pakar astronomi mengatakan penafsiran ayat teserbut dalam kerangka orbit semu geosentris hanyalah mengada-ada, saya justru menganggap penafsiran orbit matahari dari ayat tersebut sebagai orbit matahari yang mengelilingi pusat galaksi adalah bentuk pemerkosaan terhadap maksud dari ayat tersebut. Ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang pergantian siang dan malam dan manzilah bulan, sedang semua orang tahu orbit matahari tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal ini. Hanya karena kita tahu secara pasti bahwa orbit matahari tidak mengelilingi bumi, penafsiran yang mecoba keluar dari konsep geosentris bukanlah hal yang logis lagi.

      • Jika ingin mendapat pemahaman lengkap, baca mulai ayat sebelumnya, lengkapnya QS 38-40″Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”
        Jelas sekali QS 36:40 adalah kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya. Kerena matahari berjalan di orbitnya dan bulan berjalan diorbitnya sehingga menampakkan fase-fase bulan (manzilah), maisng-masing beredar pada orbitnya, tidaklah mungkin matahari mengejar bulan.

      • Pak Thomas yang saya hormati,
        Hisab itu bukan Bid’ah karena ada dalil Syar’i nya, ada baiknya Bapak membaca Shahih Bukhari. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, kurang lebih seperti ini “……………………, karena kami adalah ummat yang ummi ( tidak bisa membaca ) dan tidak bisa menulis ( melakukan hisab ). Dan hari dalam sebulan itu begini dan begini ( duapuluh sembilan ) atau begini dan begini ( tigapuluh hari )…”( Bukhari & Muslim ). mohon koreksi jika ada yang salah….
        Pada masa Rasulullah memang tidak pernah melakukan hisab dalam menentukan awal dan akhir bulan karena sebab tersebut, dalam ilmu fiqih itu namanya illat ( syarat/sebab ). Demikian Pak Thomas, terimakasih dan mohon maaf sebelumnya.

      • Yang dipermasalahkan bukan hisabnya, tetapi kriterianya. Hisab Wujudul hilal vs hisab imkan rukyat. Hisab wujudul hilal tidak punya landasan syar’i dan astronomis yang kuat (baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/). Sedangkan hisab imkan rukyat mencoba menafsirkan dalil-dalil sayar’i tentang rukyat dalam bentuk kriteria visibilitas hilal.

      • @Djamaluddin

        Jelas sekali QS 36:40 adalah kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya. Kerena matahari berjalan di orbitnya dan bulan berjalan diorbitnya sehingga menampakkan fase-fase bulan (manzilah), maisng-masing beredar pada orbitnya, tidaklah mungkin matahari mengejar bulan.

        Sekali lagi, jika “matahari berjalan pada orbitnya” di artikan matahari yang mengedari pusat galaksi, maka peredaran ini tidak ada hubungannya dengan manzilah bulan. Justru pergerakan semu matahari dikarenakan rotasi bumi yang menjadikan fase-fase bulan terbentuk. Jadi penafsiran geosentrik lah yang lebih sesuai dengan konteks ayat-ayat tersebut. Mungkin anda takut akan klaim Alquran yang sempurna dan sesuai dengan ilmu pengetahuan (dalm hal ini astronomi) akan runtuh dengan penafsiran geosentrik tersebut, tapi itu adalah tema diskusi yang lain. Yang jelas, anda perlu objektif dan logis dalam menafsirkan ayat, apalagi ketika anda sedang menyalahkan penafsiran pihak lain terhadap ayat yang sama.

      • Menurut penilaian saya bahasa anda itu menantang Muhammadiyah dan sekalian ingin balas dendam masalah bid’ah. mungkin anda termasuk salah seorang yang suka Yasinan, do’a dan zikir bersama.

      • Thomas…..
        Dari pernyataan anda, kelihatannya anda sangat dendam dengan Muhammadiyah yang dalam da’wahnya, sering mengkritisi praktek bid’ah dalam masyarakat. Anda mungkin sudah diperalat untuk menyerang Muhammadiyah. Anda mungkin salah seorang dari mereka yang suka Yasinan, doa dan zikir bersama.

      • kalau definisi bid’ah nya pak thomas ini…semua kerjaan sekarang ini ya bid’ah semua dong????, padahal yang dibid’ahkan nabi adalah masalah ta’abudi,

      • diedit pak kata2nya……”Muhammadiyah sudah biasa memberantas bid’ah…….”…..antum Muhammadiyah juga kan (pengikut Muhammad)….tapi kalo antum pake kata ormas atau warga didepan Muhammadiyah itu baru betul>>>>>yg perkara kecil gini aja bapak gak tau……

  7. Pak Thomas jadi “SESAK NApas” bila bertemu dg Konsep Wujudul Hilal, apa yang kau cari sebenarnya?…

    • Yang saya cari? Persatuan ummat demi ridha Allah.

      • Pak Thomas, apakah Imkan Rukyat bisa menyatukan umat Islam sedunia dalam menentukan awal ramadhon,syawal dan zulkijah?

      • Imkan rukyat digunakan dalam membuat garis tanggal. Pemisahan wilayah yang melihat hilal dan yang belum pasti terjadi, karena bumi kita bulat.

      • bukankah sebaiknya ada masholihul mursalah untuk menetapkan tanggal? bukankah yang lebih tepat adalah dengan hisab? bukankah bila kita ru’yat pakai satelit, posisi hilal lebih presisi dan pas sesuai wujudul hilal?

      • Saya sarankan belajar astronomi dulu ya jika ingin berkomentar menggebu-gebu. Untuk menetapkan tanggal bisa dengan rukyat maupun hisab. Hisab dan rukyat akan sama hasilnya kalau kriteria hisab adalah kriteria imkan rukyat. Rukyat dengan satelit tak ada lagi ufuk yang menjadi pembatas definisi WH, jadi jangan berasumsi rukyat dengan satelit pas dengan WH.

      • mudah-mudahan suatu saat ada teknologi dan metode ru’yat yang bisa diterima sebagai ijma’ ummat,,, dan itu nanti akan menjadi pemersatu dunia di bawah satu mathla’. ketetapan itu akan berupa wujudul hilal yang tidak bisa ditawar dan itu akan didukung teknologi masa depan. jadi wh bukanlah bid’ah dan ru’yat akan terimplementasi dalam usaha menetapkan tanggal baik dengan teknologi, mata telanjang, dan perhitungan falak

      • Masalah “alergi” atas rukyat oleh Muhammadiyah sudah bermakna menafikkan sunnah, apa maksd statemen bpk ini? sy agak sulit memahaminya, mhn di baca artikel pk syamsul anwar

      • Asssalamu’alaikum wr. wb.
        Bapak Prof. T. Djamaluddin, Kalau mau main bid’ah-bidah’an maka baik WUJUDUL HILAL (WH) maupun IMKANUR RUKYAH (IR) sama-sama bid’ah, karena keduanya berangkat dari pijakan hisab. Wujudul hilal menambah/mensyaratkan 2, 4, 6 atau 8 atau mensyaratkan 8 jam setelah Ijtimak sementara Imkanur-rukyah mengambil tambahan yang minim. Kedua-duanya tidak ada landasan dalil syar’iy (tekstual), sebab Ijtimak tambah “imkan” atau Ijtimak “wujud” itu tidak ada dalilnya.
        Kita semua tau bahwa Muhammadiyah gethol menyuarakan bid’ah, tetapi kita tahu bahwa bid’ah yang dimaksud Muhammadiyah bukan dalam urusan semacam IMKANUR TUKYAH dan saya yakin yang demikian ini Bapak juga paham.
        Bapak adalah figur yang mewakili Pemerintah untuk tugas ini, sebaiknya tidak menggunakan bahsa-bahasa yang bomastis, itu akan menjadi kontra produktif dan tujuan yang Bapak inginkan “mempersatukan ummat demi ridlo Allah” tambah jauh dari harapan.
        Bapak sebagai ilmuwan, kewajiban bapak hanya menyampaikan apa yang bapak ketahui, perkara orang mau terima atau tidak serahkan meraka. Ibarat berdagang serahkan “pasar” untuk membeli, yang pentng perbagus dagangan Bapak, Insyaallah Muhammadiyah akan membeli, sebab selama ini mungkin Muhammadiyah memandang bahwa dagangan Bapak masih ada cacat. Sementara ada pedagang lain yang juga menawarkan barang yang sama yang “dianggap” MD lebih layak dibeli/digunakan.
        Bapak berijtihad, ada selain bapak yang juga berijtihad. Setiap hasil Ijtihad berkemungkinan mengandung kesalahan. Saya kira demikian akan menambah kearifan kita.
        Banyak dari bapak-bapak yang memberikan tanggapan dengan kata-kata yang kasar dan emosi, tapi bapak selaku “ulul al-baab” tidak usah membalas dengan kata-kata yang sama
        Bagi bapak yang suka memberikan tanggapan, sampaikanlah kebenaran dan kebaikan dengan kata-kata yang baik, pertanda kita ihlas karena Allah.
        Wassalam

      • haha…..tulisan antum aja bisa mengakibatkan perpecahan……ngaca bos…..baca kembali tulisan anda dan analisa dengan lebih teliti lagi….

  8. Pak Thomas mewakili siapa? Pemerintah? lho Pemerintah sendiri menghargai dan menghormati Muhammadiyah utk berbeda pendapat, kenapa yg sesak napas pak thomas? jadi maunya apa pa Thomas itu?

    • Tidak mewakili siapa pun. Sesak napas karena Muhammadiyah ormas yang besar mempertahan kriteria usang WH dan selalu enggan untuk bersatu dengan oramas-ormas Islam lainnya, seolah WH bagian dari aqidah yang tidak bisa berubah. Mau apa? Persatuan ummat demi ridha Allah.

      • Apakah dg membidah kan Muhammadiyah, Persatuan Umat akan terwujud? bukankah dg Statemen itu,, Pak Thomas mengibarkan bendera Permusuhan? justru pa thomas yg tdk mau bersatu dg Muhammadiyah, apakah Pa Thomas mewakili Umat Islam ? sekali lagi Pemerintah saja menghormati dan Menghargai Muhammadiyah, kenapa yg sesak napas nya Pa Thomas?

    • pak thomas , bukan dr ormas, tp beliau peduli terhadap umat, maka y didudkung oleh pemerintah dan ormas lain adalh beliau yangtdk berfihak kpd seseorang. klo pd ribut disini kenapa pd waktu munas dr kalangan MD dian sj dlm arti siap menyatukan tp berbeda ketika d luar forum

      • saya dukun Pak Thomas……… SANGAT ILMIAH DAN BERTANGGUNGA JAWAB

  9. Percuma anda Thomas,mengeluarkan banyak sanggahan ribuan kata,isi hati anda tidak bias apa apa kecuali memusuhi ORMAS tetangga ORMASmu.jelas sudah itu..hanya saja anda Profesor jadi memusuhinya hebat dengan tulisan tulisamu di atas itu…kok aneh anda Thomas? ada apa? mau apa? hah omong kosong anda Thomas..hentikan ulahmu.

    • saya termasuk yang tidak ‘sependapat’ dengan Pak Thomas, dan saya sangat mendukung usaha Muhammadiyah dalam penyatuan sistem kalendar islam yang berlaku seluruh dunia. Kritikan Pak Thomas yang ahli dalam bidang astonomi justru harus bisa dihadapi oleh Muhammadiyah atas pertimbangannya dalam persoalan ini.

      “Sebuah keputusan besar tanpa kritikan, maka itu bukan keputusan besar!” Dengan kritikan ini akan membuat Muhammadiyah harus ‘berfikir ulang’ apakah dasarnya sudah benar ataukah ada yang ‘harus diluruskan lagi?’.

      sebagai umat Islam kita harus menghargai usaha saudara kita yang muslim dalam memberikan sumbangan keilmuan, apalagi dengan latar belakang ‘amar ma’ruf dan mencari ridha Allah… tak baik mencela, tak baik mencaci, nanti bisa balik ke diri sendiri… salam… 🙂

      • Tapi tak segampang itu bagi thomas,artinya jika saja seandainya bisa disatukan akan ada sela lagi bagi Thomas untuk berulah sperti halnya tulisan tulisan Thomas,sudah saya curigai bahwa apa yang dilakukan thomas tidak bias apapun kecuali memusuhi ORMAS tetangganya,Thomas harus minta maaf

  10. Payah Pak Profesor tHomas..

  11. Ngomong saja kalau ingin mengeksplorasi khasanah keilmuan Muhammadiyah,mancing agar Muhammadiyah mengeluarkan sanggahannya tentang tulisan anda itu,yang pasti akan di jawab oleh Muhammadiyah berapapun juta argumenmu Thomas.

  12. jadi Pak Thomas yang saya hormati dan rekan-rekan sekalian, jika melihat : https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/04/26/musyawarah-nasional-hisab-rukyat-2012-membuka-jalan-penyatuan-hari-raya-dan-kalender-islam-di-indonesia/, dimana ada semangat menjaga ukhuwah, toleransi yang ditekankan pada pertemuan tersebut, dimana poin yang saya maksud ada di poin (5) pertemuan tersebut yang berbunyi :
    “(5). Selama kesatuan takwim itu belum tercapai, semua pihak hendaknya bisa menahan diri untuk menjaga kemaslahatan umat dengan mengedepankan toleransi”, Jadi menurut Pak Thomas dan rekan-rekan pembaca sekalian, bagaimana semangat tulisan diatas dengan poin (5) pertemuan tersebut ????

    Ada lagi : ada tulisan/komentar salah satu penanya di wall facebook beliau, beliau dengan jelas menulis : “Mari kita merenung. Bila yang kita bicarakan bukan ilmu kita, mari kita belajar.Saya pun terus belajar. Kepakaran saya adalah astronomi. Untuk bisa membantu memberi solusi penyatuan kalender Islam saya harus belajar juga fikihnya dengan dalil-dalil yang mendasarinya. Janganlah kita berkomentar pada sesuatu yang tidak kita kuasai, karena itu cenderung berdasarkan emosi, bukan akal.”. Dan dengan tulisan diatas dengan diawali dengan (QS 3/Ali-Imraan:102-105) yang akhirnya (sebenarnya judulnya) menjudge (boleh tidak jika saya bilang mem-fatwa-kan) bahwa Muhammadiyah “bid’ah”, apa dalam kurikulum astronomi terbaru (yang tidak usang) ada mata kuliah “fatwa” bid’ah yang lebih dekat dengan fiqh, jadi Pak Thomas ahli fiqh atau ahli astronomi ? atau ahli Fiqh Astronomi? Atau bahkan ahli Astronomi Fiqh ? Atau Fiqh Ahli Astronomi ? atau juga Astronom ahli fiqh ??

  13. biar blognya rame dikunjungi… terus dapat fulus… haha…

    • Janganlah begitu Pak … Prof. Thomas sedang memberikan nasihat sesuai dengan keilmuannya, janganlah dibalas dengan fitnah. Kita resapi saja, jalankan jika setuju dengan hati nurani, dan tinggalkan jika tak setuju.

  14. Untuk renungan pak profesor, ada baiknya pak profesor perlu membuka ayat lain di Surat Al-Hujurat 11: Hai orang-orang yg beriman, janganlah segolongan kaum MERENDAHKAN segolongan yg lain, (karena) boleh jadi mereka (yg direndahkan) LEBIH BAIK dari mereka (yg merendahkan)…..
    Kemudian lanjut ke ayat 12: Hai orang-orang yg beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (prejudice), (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu MENCARI-CARI KESALAHAN orang lain…..
    Mudah-mudahan lain kali pak profesor tidak sesombong ini, saya banyak kenal profesor-profesor lain, tapi umumnya mereka sangat santun dan rendah hati, tawadhu’…. Afwan, jazakallahu khairan….

    • padahal muhammadiyah senang merendahkan orang lain,,,, akhirnya sadar juga tuh

    • Saya sangat tersentuh dengan kutipan Surat Al-Hujurat yang anda tampilkan,semoga dalam menilai orang lain kita selalu ingat dengan kutipan itu.Amin.

    • Assalaamu alaikum Wr. Wb,
      Menurut yang saya amati , pa thomas berbicara sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki, bukan prasangka apalagi mencari-cari kesalahan pihak lain. Kalaupun ada yang merasa tersudut atau disalahkan dengan tulisan pak thomas, harusnya kita bisa lebih bijak dan arif membaca dulu tulisan-tulisan pak thomas, karena bisa jadi memang pa thomas sedang berusaha mempersatukan ummat dalam hal penentuan awal dan akhir ramadhan dengan ilmu astronomi yang beliau miliki (saya berpendapat ilmu apapun untuk kemajuan islam sama pentingnya). Bukankah dengan selalu berpikir positif dengan kritikan pihak lain dapat berbuah kebaikan untuk kita. Maaf saya melihat sebahagian yg kontra dengan tulisan-tulisan pa thomas mungkin memang ahli fiqih…. tetapi minim dalam hal ilmu astronomi. Maaf tidak bermaksud menyinggung… hanya sekedar sharing. Jazakumullaah.. khairan..

    • Assalaamu alaikum Wr. Wb,
      Menurut yang saya amati , pa thomas berbicara sesuai dengan standar keilmuan yang dimiliki, bukan prasangka apalagi mencari-cari kesalahan pihak lain. Kalaupun ada yang merasa tersudut atau disalahkan dengan tulisan pak thomas, harusnya kita bisa lebih bijak dan arif membaca dulu tulisan-tulisan pak thomas, karena bisa jadi memang pa thomas sedang berusaha mempersatukan ummat dalam hal penentuan awal dan akhir ramadhan dengan ilmu astronomi yang beliau miliki (saya berpendapat ilmu apapun untuk kemajuan islam sama pentingnya). Bukankah dengan selalu berpikir positif dengan kritikan pihak lain dapat berbuah kebaikan untuk kita. Maaf saya melihat sebahagian yg kontra dengan tulisan-tulisan pa thomas mungkin memang ahli fiqih…. tetapi minim dalam hal ilmu astronomi. Maaf tidak bermaksud menyinggung… hanya sekedar sharing. Jazakumullaah.. khairan..

  15. Saya pengennya bersatu aja, jangan beda lagi penanggalan. Saya dukung 100% akur penanggalan.

  16. Tulisan itu mencerminkan HATINYA

  17. Dalam Al-Qur-an ilmuwan itu disebut “ulul albaab”, kata tersebut memang susah dicari terjemahnya yang pas dalam bahasa Indonesia. Tetapi kurang lebihnya adalah “orang yang memahami secara mendalam dan rijit tentang fenomena”.
    Orang yang mendalam pengetahuannya biasanya juga mengetahuai pula apa dan bagaimana pendapat orang lain yang berbeda secara mendalam pula.
    Kalau Prof. ingin mempersatukan pendapat ummat Islam, maka pihak yang berpendapat “WH” tentu mempunyai alasan yang logis pula, itu juga perlu didalami dulu alasan logisnya, tidak diabaikan begitu saja.
    “WH” bisa saja berubah sebab bukan Al-Qur-an, tapi palingkan mereka dengan alasan yang logis agar mereka tidak membantah dan bisa menerima.
    Ilmu yang bukan wahyu, sebenarnya yang diperlukan adalah kesepakatan. Kesepakatan bisa terjadi jika alasan yang mendasarinya dianggap logis.

    • Assalaamu alaikum wr. wb
      Setuju pak…. dan salut untuk pak thomas yang berusaha berbuat untuk kemajuan islam dengan ilmu yang dimiliki, terus berkarya pak thomas, mudah-mudahan pa thomas bisa lebih arif dalam menyikapi pihak-pihak yang kontra, dan pihak-pihak yang kontra bisa termotivasi membaca tulisan-tulisan pak thomas yang lain…. amiin.

  18. Kalau Indonesia menggunakan Imkanur Rukyat kenapa idul fitri tahun kemarin bisa berbeda dengan negara tetangga http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat
    Itu karena pemerintah dan KOLEGANYA mendukung ormas tertentu bukan untuk “Persatuan ummat demi ridha Allah” itu hanya alasan tidak berdasar

  19. Dulu masalah perbedaan hari Ramadhan bukan hal besar tapi kenapa sekarang menjadi perdebatan???
    Itu karena ada orang yang ingin memecah belah umat Islam di Indonesia

    • Dulu, informasi tidak secepat sekarang. Perbedaan di Jakarta baru sampai Tasik beberapa hari kemudian, jadi perbedaan diketahui setalah berlangung. Tetapi, saya mendapat info dari seorang Hakim Agung asal Sulawesi Selatan, tahun 1930-an sempat terjadi bentrok fisik gara-gara perbedaan lebaran. Saat ini informasi mudah tersebar. Peran media massa sangat besar dalam memberitakan perbedaan. Potensi dampaknya pun lebih besar kalau perbedaan dibiarkan. Contoh paling nyata, di beberapa daerah kadang terjadi ketegangan soal tempat shalat ied.

      • Benar dan banyak orang yang menggunakan media untuk memecah belah umat seperti Amerika dan Israel

      • THOMASLAH SUMBER PEMECAH UMMAT. SEORANG PROFESOR GALIBNYA ORANGNYA RENDAH HATI. ANDA? PROF YG SOMBONG. ORANG YANG DIBAWA NUN DISANA TENANG2 SAJA DG PERBEDAAN AWAL PUASA/ HARI RAYA. ANDA ? MULUT ANDA YANG BESAR ITULAH YANG BISA MEMECAH UMMAT …

  20. Hah, buat apa juga nanggepin Thomas, buang2 energi mending ngobrol sama kerbau.

  21. Pa Prof..
    Sy masih ingat penejelasan Pemerintah ttg 1 syawal 1432, yg mengatakan semua negara ASEAN dan seluruh negara arab juga negara lain menetapkan 1 syawal jatuh tgl 31 Agustus 2011. Faktanya HOAK !!!! cm 4 negara se-DUNIA dan mungkin bangsa UFO yg sm dgn versi Pemerintah.
    Pemerintah setelah itu tanpa ada rasa malu dan legowo, tdk menjelaskan informasi global tsb dan menjelaskan kekeliruan.

    Pertanyaan saya; Kemana Bapak waktu itu?? yg menggebu2 mengatakan “juling” yg melihat hilal sore 29 Agustus???

    Kesimpulan saya; Bapak sendiri bisa menilai siapa Bapak sebenarnya??

  22. Thomas telah mempersiapkan argumen bila ada yang komentar tentang tulisan thomas di atas,artinya thomas mencari argumen pembenar sebagai senjatanya,padahal itu hanya kecerdikan dia dalam memusuhi ORMAS tetangganya,tidak benar mutlak semua yang di sampaikan thomas dengan tatanan bahasanya yang maut itu,Muhammadiyah bukan Thomas,biarkan saja Thomas sesak napas sampai kiamat,Muhammadiyah tidak akan minggir oleh pukulan Thomas.

  23. simplenya kalu thomas mau mengajak persatuan dialah yang memulai dengan dirinya mengalah,”ikut kriterianya WH” mau? pasti tidak mau,Thomas hanya memusuhi Muhammadiyah itu saja,dan tidak ada itikad baik..yakin !! itu

    • WH pasti akan berbeda denagn rukyat saat bulan rendah, seperti awal Ramadhan ini, jadi tidak mungkin diusulkan jadi titik temu pemersatu. Hisab imkan rukyat adalah titik temu antara hisab dan rukyat.

      • Pak Thomas, dari banyak artikel yang saya baca banyak yang menjelaskan bahwa metode rukyat tidak akan pernah menyatukan umat dalam memulai romadhon, idul fitri dan hari arafah. salah satu penyebabny adalah bahwa rukyat tidak bisa dilakukan disemua wilayah didunia ( beberapa wilayah tidak akan mampu merukyat hilal ), sebab yang lain adalah semakin timur letak geografis suatu wilayah, akan semakin sulit melakukan rukyat. Mohon tanggapan Pak Thomas,terimakasih.

      • Rukyat bukan untuk membuat kalender, tetapi untuk menentukan awal waktu ibadah. Ketampaknnya tergantung pada beberapa faktor visibilitas hilal (umur hilal, ketinggian hilal, jarak bulan-matahari, dan lainnya). Makin ke arah Barat, peluang rukyat akan semakin besar.
        Penyatuan ummat tentu dalam konteks kalender. Kalender harus berdasarkan hitungan atau hisab, dengan kriteria tertentu. Hal yang terpenting dalam membuat kalender global yang mempersatukan ummat adalah membuat kesepakatan kriterianya. Kriterianya bisa disesuaikan dengan vibilitas hilal (kemungkinan rukyat atau imkan rukyat), sehingga kalender menjadi alat prakiraan rukyat yang akurat. Dengan kalender berbasis imkan rukyat, ummat akan mendapatkan kepastian dan kecocokan dengan hasil rukyat. Itulah konsep mempersatukan ummat, antara pengamal rukyat (perlu pembuktian rukyat) dan pengamal hisab (cukup berdasarkan kalender) akan seragam, dan antar wilayah dalam satu wilayah garis tanggal juag akan seragam.
        Contoh hisab yang memperhitungkan kemungkinan rukyat (imkan rukyat) bisa dilihat di http://www.icoproject.org/icop/ram33.html.

      • Kalau bisa menghargai yang lain mengapa tidak menghargai? jangan merasa jadi pahlwan pemersatu Thomas,Muhammadiyah kuat dengan WH,karena pasti punya dasar kuat,ya marilah saling menjalankan hasil kita masing masing,gak perlu anda maju dengan kehebatanmu itu sebagai ahli IR merecoki putusan ORMAS tetangga,yang lain bisa mengatakan bid’ah juga dengan astronomi,anda ini sepertinya tidak enak hati masalahnya dengan ORMAS tetangga,hatimu jelak Thomas.

      • pk thomas, knp bpk tdk membuat satu kalender unt penyatuan islam global pdahal kepakaran bpk ada tentang itu

      • Kalender mudah dibuat. Tetapi untuk implementasi, perlu kesepakatan para penggunanya. Untuk penyatuan, mulailah dari tingkat lokal-nasional, baru regional, dan global. Yang dilakukan ICOP (http://www.icoproject.org/res.html) adalah membuat konsep kalender global, hanya implementasinya bergantung pada kesediaan para penggunanya (negara dan organisasi) untuk bersatu dengan kriteria yang disepakati. Konsep saya, saya tuliskan di buku kecil saya, silakan download https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/19/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat/

  24. sebenarnya tak perlu meributkan pilihan metode muhammadiyah ataupun ormas lainnya dalam menentukan tanggal 1 ramadhan. kalau memang yakin dengan metode yang dianut, tinggal laksanakan saja selama mau mempertanggungjawabkannya. tapi seyogyanya tidak perlu lah menuding salah satu ormas yang berbeda pendapat sebagai bid’ah, sesat, memecah umat dsb karena sesungguhnya kebenaran hanya milik Tuhan. lebih baik diskusi saja secara sehat dan terbuka dengan menyingkirkan ego masing-masing. tidak malu kah saya, kita atau anda ketika mengklaim diri paling benar yang secara tidak disadari telah mengambil sebagian peran Tuhan di bumi ini?

  25. mungkin mereka salah, tapi cara anda dlm penyampaian, dari tahun lalu , hingga sekarang, membuat orang menjauhi “kebenaran” yg anda maksudkan.

    anda kurang adab atau tdk ada adab thd mereka, terutama di Muhammadiyah. padahal di sana juga ada kader dakwah yg tanpa pamrih berdakwah, dan ada juga ulama.

    ada adabnya mengkritik ulama.

    dan anda juga kurang adab terhadap penganut rukyat, terlebih yg di cakung. padahal di antara mereka juga ada ulama.

    ulama tdk ma’shum, tapi daging mereka beracun.
    kurang atau tdk ada adab thd mereka…para ulama…pewaris nabi…sungguh dosa yg patut dicemaskan.

    jadi ada 2 kesalahan…yg pertama adalah …yg menurut sebagian orang karena berbeda pendapat bahkan memakai hisab….wujudul hilal lagi….
    dan yg satu lagi adalah….pastinya semua orang sepakat , yaitu kurang adab atau tdk ada adab….

  26. Buat rekan-rekan yang berkomentar di sini, silahkan membaca tulisan ini:

    Ad Hominem, Salah Satu Kesalahan Berpikir

  27. malu sama gelar professornya…..hati lho busuk sebusuk bangsa israel n AS….sukanya memecah belah bangsa…kalo ente merasa sok benar berarti nte tergolong org sombong…sifat sombong hanya punya Allah bukan punya ente…kalo nte sombong berarti ente tergolong org musyrik (sesuai makna tauhid) …jadi jangan hiraukan ocehan orang ini yang mau memecah belang bangsa….
    @buat tdjamaluddin bukan professor ……belajar dulu fiqih jangan setengah2….hanya org bodoh yang mampu terprovokasi….

    • Kasih identitas dong, jangan bicara dengan berlindung kepada anonimitas

      • teorimu tunjukkan di page ini dengan cara argumenmu,jadi tidak hanya sekedar kamu berbagi pengetahuan ad hominem,tapi tunjukkan hebatmu dengan ilmu itu,argumen dengan tema tulisan Thomas itu.

  28. Prof..apakah mungkin jika umat islam menetapkan sendiri semacam GMT/UTC untuk sistem kalender hijriah..?
    Jadi pada kasus tahun lalu, sebenarnya umat muslim Indonesia tetap berlebaran pada 1 Syawal (regardless tanggal Masehi). akan tetapi secara geografis, kebetulan saja tanggal 1 syawal memang dimulainya di Malaysia Barat dan berakhir di Indonesia…

    Analoginya adalah, ketika tahun baru (Masehi), masyarakat Australia akan lebih dulu merayakan tahun baru dibanding Masyarakat Amerika yang bahkan bisa selisih lebih dari 12 Jam, kenapa tidak Masyarakat Amerika yg lebih dulu merayakan tahun baru dan Australia belakangan?

    Setahu saya, Matahari juga tidak merotasi bumi secara tepat 365 hari, sehingga dalam sistem kalender gregorian, dimasukan semacam “adjustment” berupa 1 hari tambahan setiap 4 tahun sekali di bulan Februari (tahun kabisat).

    Jika kesepakatan dapat dicapai pada sistem kalender gregorian, kenapa umat islam tidak bisa mencapai kesepakatan secara global untuk sistem kalender Hijriah? Soalnya bangsa China yg juga menggunakan lunar sistem dalam kalendernya bisa menetapkan kesepakatan dengan mengulang suatu bulan tertentu (jadi bisa saja dalam setahun ada 2 kali bulan Februari) sebagai bentuk “adjustment”

    • GMT/UTC yang terkait dengan garis tanggal internasional tidak bisa ditetapkan sepihak, tetapi harus dengan konvensi internasional. Untuk kalender Hijriyah kita juga bisa membuat garis tanggal dengan kriteria yang disepakati. Silakan baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/12/28/kesepakatan-garis-tanggal-mutlak-diperlukan-untuk-mewujudkan-kalender-global/

      • kalau begitu kenapa nggak sepakat dengan kriteria wujudul hilal? bukankah garis wujudul hilal itu bila disepakati bisa mewujudkan kalender global?

      • Sejak lama para astronom dan praktisi kalender Islam menolak wujudul hilal, karena tidak sesuai dengan hasil rukyat. Bagaimana pun pengamal rukyat dalam penentuan waktu ibadah merupakan mayoritas di masyarakat Islam dunia. Garis tanggal imkan rukyat mudah juga dibuat. Silakan lihat contohnya dalam penafsiran garis tanggal https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/06/19/analisis-garis-tanggal-awal-ramadhan-dan-syawal-1433-h/

      • @Djamaluddin

        Sejak lama para astronom dan praktisi kalender Islam menolak wujudul hilal, karena tidak sesuai dengan hasil rukyat.

        Ada dua kemungkinan: (1) pernyataan di atas adalah berita bohong; (2) Astronom dan praktisi kalender Islam terlalu ignoran untuk mencoba membadingkan konsep wujudul hilal dengan kriteria keterlihatan hilal melalui rukyat.

        Jujur dan obyektif — hanya dua ini yang paling saya harap dari Pak Djamaluddin, tetapi susah sekali untuk didapat.

      • Ilmuwan tidak bisa didikte untuk membela yang memang tidak benar. Tak satu pun astronom yang mendukung wujudul hilal. Tak satu pun makalah astronomi (silakan browsing) yang membahas apliaksi wujudul hilal. Jadi dua kemungkinan itu tidak benar. WH memang bukan konsep astronomi.

      • Kebenaran yang berdasar agama adalah subjektif. Fakta mengatakan bahwa mayoritas ilmuwan besar dunia memilih yang salah (dengan asumsi Islam sebagai yang benar). Makanya yang saya harapkan dari seorang pakar astronomi adalah obyektivitas dan kejujuran. Tidak lebih dari itu.

      • Tak satu pun makalah astronomi (silakan browsing) yang membahas apliaksi wujudul hilal.

        Ada sebuah paper astronomi yang membahas sebuah kriteria yang pada dasarnya sama dengan WH untuk pendefinisian kalender Umm Al-Qura, alasan-alasan astronomi yang mendasarinya, juga alasan agama dan kondisi sosial yang turut melatarbelakanginya. Saya kira paper ini jelas masuk dalam kategori makalah astronomi yang anda maksud.

    • Hisab itu sekarang gampang, karena sudah banyak program komputernya, baik yang freeware maupun yang komersial. Asal bisa pakai komputer, janagn kana 100 tahun, membuat kalender 1000 tahun ke depan pun bisa. Semua ormas Islam pun sudah bisa buat kalender, jadi bukan hanya Muhammadiyah.

      • coba mana link softwarenya…yang free aja…ane mo nyoba valid gak tu program…katanya banyak…kalo gak ngasih berarti anda pembohong…

      • apa bedanya kegampangannya dengan rukyat yang menggunakan teropong? lebih gampang lagi kan? asal tidak buta saja mata,tahun 2011 sudah cukup bukti bulan sabit malam itu terlalu nampak besar untuk di katakan sebagai awal romadhon versi jamaluddin dan pemerintah,sudahlah thomas tak perlu rangkai kosa kata pembenar dirimu,lagi pula Muhammadiyah tidak mengatakan IR itu tidak boleh,kau pakai sajalah sampai kiamat.

      • Kalau begitu kita tidak usah menggunakan wujudul hilal atau Imkanur Rukyat karena sudah bisa membuat kalender sendiri

      • Untuk membuat kalender pasti harus ada kriteria. Tanpa kriteria, angka hasil hitung hisab tak punya makna apa-apa.

      • Sesuai kata bapak “Asal bisa pakai komputer, janagn kana 100 tahun, membuat kalender 1000 tahun ke depan pun bisa”

        Berarti kita hanya perlu menggunakan komputer untuk membuat kalender

        “Hisab itu sekarang gampang, karena sudah banyak program komputernya, baik yang freeware maupun yang komersial.”

        Berarti hisab itu mudah tidak ribet

  29. Thomas tidak akan berhenti memukul Muhammadiyah meski titik temupun di dapat,thomas itikadnya tidak ke mufakat tapi membela diri dengan kehebatannya,tapi itu bukan yang menakutkan,itu bentuk ketidakbaikan hatinya THOMAS,thomas menunjukkan kesaktiannya untuk memusuhi Muhammadiyah,tapi hanya sekedar unjuk gigi saja dan tdak akan meminggirkan Muhammadiyah,thomas pendekar jelek hati.

  30. Thomas kebakaran jenggot,semua tulisan thomas itu menunjukkan ketakutan thomas,takut kalau nantinya IR tidak terpakai,padahal tdak perlu takut tidak terpakai sebab Thomas dan kelompoknya tidak dilarang memakai IR,biarkan WH dipakai sama yang pakai begitu juga IR,perbedaan bukanlah pencetus pecah belahnya persatuan tetapi pecah belah bisa terjadi sebab tidak adanya lagi rasa saling menghargai,seperti halnya anda Thomas,andalah yang bisa jadi pemicu permusuhan bahkan akan menjadi tokoh pemicu utama pecah belahnya ummat,segera minta maaf ke Masyarakat saran saya,jika tidak maka anda di cap sebagai figur utama pemicu masalah besar itu.

  31. Kalau saya jadi beliau, saya bilang gni ah.. “Anda matahari di tangan kananku, dan rembulan di tangan kiriku, saya tidak akan berhenti untuk mengusik Muhammadiyah”.. hhe..

  32. Cape pak diskusi terus.. Saya hanya ingin mengungkapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah dengan sukarela mewakafkan diri untuk menjadi common enemy warga Muhammadiyah. Berkat Pak Thomas Muhammadiyah yang sudah 1 abad ini menemukan kembali gelora mudanya.. hhe.. Jangankan yang muda seperti saya, yang tua-tua saja jadi panas lagi ghirah kemuhammadiyahannya berkat pak Thomas.. Militansi kader-kader untuk tetap bermuhammadiyah juga semakin meningkat berkat Pak Thomas. Dan orang yang sebelumnya tdak mengenal muhammadiyah menjadi mempelajari Muhammadiyah.. hhe..

    • siiip mas…..panas juga ni jadinya. semoga Allah SWT. memberi petunjuk pak Thomas….dan dijauhkan dari siksa api neraka….

  33. Alhamdulillah, Muhammadiyah sdh meninggalkan sidang isbat. Dgn demikian saya tdk perlu lagi menanggapi gonggongan pak Djamal lagi.
    Jadi saya persilahkan pak Djamal terus menggonggong dgn semangat. Halal kok kan ada pepatah berbunyi, …………. Menggonggong kafilah tetap berlalu..
    Ayo pak Djamal…, guk.. Guk.., aoouuui ooaaaooo

  34. Apalagi yang ingin anda lakukan Thomas? ,,,mau pakai istilah bid’ah untuk memboomerang Muhammadiyah? jangan terlalu percaya diri Thomas,anda hanya manusia bukan apa apa,merasa hebat silahkan tapi hebatmu takkan membuat Muhammadiyah minggir atau terpinggirkan,sebab Muhammadiyah tidak akan minggir dan meminggirkan,Muhammadiyah tetap tegak di pijakannya,anda Thomas semakin beringas dangan Muhammadiyah maka semua akan mantul ke anda sendiri,pilihlah hidup saling menghargai bila itikadmu adalah persatuan,jangan yang berbeda di katakan sebagai pemecah belah ummat,apakah anda ingin disebut pahlawan berkat hebatnya tulisanmu itu? anda belum hebat Thomas,jangan terlalu percaya diri.

  35. Bener Kang Robby Karman….. kemarin di kantorku ketika ada perbincangan awal puasa ada yang tanya sama saya….”pak…ikut yang banyak kan pak”. Maksudnya ikut pemerintah. Lalu saya jawab…”yang banyak belum tentu benar. Contoh, merokok. Kalau di kantor ini diadakan polling, mayoritas akan milih merokok. Padahal jelas merokok itu merugikan kesehatan. nah…yang banyak belum tentu benar”. Begitu saya ilustrasikan. Dan mereka sadar….”iya juga ya” katanya.

  36. Assalamualaikum Wr.Wb.
    Terima kasih prof. atas tulisannya yang sangat jelas ini, saya jadi merenung akankah umat islam akan bersatu atau akan terpecah belah seperti takdir kiamat, tapi yang pasti memang ke-egoisan-lah yang membuat kita terpecah belah.
    Wassalam

    • setuju keegoisan baik kubu IR maupun WH yang tetap berpegang teguh pada prinsip masing-masing, tapi klo menurut saya, bukan soal IR dan WH saja, tapi bagaiamana sikap sesama ummat dan pengikut Rasulullah dalam menghadapi setiap perbedaan. Karena bisa saja yang keliru itu adalah IR atau WH. Saya sebenarnya berharap, para tokoh agama saat ini mampu meberikan teladan seperti tokoh ummat terdahulu, seperti Buya Hamka dengan KH Abdullah Syafi’i, saat KH A. Syafi’i shalat jum’at di Al Azhar, saat ini Buya mendaulat KH. A. Syafi’i untuk menjadi khatib dan karena KH. A. Syafi’i biasa dengan azan dua kali maka saat itu adzan pun dilakukan 2 kali , padahal Al Azhar hanya satu kali adzan. Bandingkan dengan sidang isbat tahun lalu, di mana masing2 ormas seperti memperlihatkan bahwa pendapat ormasnya lah yang paling benar, yang lain salah, tidak ada kata atau kalimat yang sejuk dari para peserta sidang itu adalah wakil dari ormas yang namanya menggunakan istilah2 ISLAM. sidang isbat itu MIRIP sidang anngota DPR yang sedang meributkan jatahnya masing2. Saya malah sampai pada kesimpulan, terkadang perpecahan ummat ini bukan berasal dari perbedaan dalam ummat tapi justru dari para PEMIMPIN ummatnya yang tidak siap berbeda karena KHAWATIR akan eksistensinya di masyarakat.
      wallahualam.
      lagi saya kutipkan tentang bahayanya sikap membanggakan diri (SOMBONG)

      “Tidak akan masuk surga orang yang hatinya terdapat seberat biji sawi dari sikap sombong”. (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

      “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (QS. An-Nahl [16]: 23)

      Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. (QS. Al-A’raaf [7]: 146)

      silahkan anda meyakini IR atau WH tapi jauhi sikap sombong.

      • sip!!!! ini baru pencerahan.

      • waluna a’maluna walakum a’malukum
        Ibadahmu ibdahmu, ibadahku ibadahku…
        Barometer persatuan bukan dari penetuan awal ramadhan dan awal syawal, tapi bagaimana kita bersatu menyemarakkan siar dakwah islamiah

  37. Kalau ilmunya sudah ditemukan, mengapa tidak digunakan? inilah sebodoh-bodoh manusia. Seperti saya gambarkan, kita berpuluh tahun mempelajari pesawat terbang. Komputer untuk merancang pun sudah dibuat. Lalu kita merancang sebuah pesawat terbang yang super canggih laksana Sukhoi Superjet 100. tetapi ketika akan mencetak mesin, body pesawat dan kelengkapannya, kita justru pergi ke bengkel manual (tangan) dan kita mengerjakan pembuatan pesawat dengan tangan. Ya inilah sebodoh-bodoh manusia.

  38. Muhammadiyah juga memiliki indonesia thomas,sama halnya kelompok
    lainnya yang berORMAS resmi di negeri ini,kasihan anda Thomas cari cari alasan demi memusuhi Muhammadiyah,memboros tulisan ribuan kata hanya untuk menyampaikan pesan emosional yang mencerminkan sifat sinis hatimu kepada ORMAS tetangga ORMASmu,mau bilang apalagi anda Thomas? perasaan banget berada di posisi pemerintah,pemerintah tidak berpihak Thomas,yang getol sifat keberpihakan cuma anda,.pemerintah tidak boleh seperti anda,anda hanya berjalan sendiri,sikap anda justru berpotensi diskriminatif,pemerintah tidak boleh terinfeksi virus diskriminatif.

  39. luar biasa keangkuhan mereka prof,baru saja satu kali di bid’ahkan mereka dengan lantang mereka menunjukan kemarahan!jika berbicara kebenaran dipikir hanya dia dan golongannya saja yg benar!tapi sayang hanya akar rumput yg menanggapi,di mana para tokoh dan pemimpinnya?semoga tidak hanya fokus di dalam politik saja!

    • Sayangnya MUHAMMADIYAH tidak berpolitik

      • benar skli, MD tdk berpolitik…..heran jg ni kok pk thomas tdk prnah menanggapi tulisan pk syamsul anwar,,,,,,,,ada apa sebenarnya dan pk thomas tdk prnah mngusulkan kalender hijriyah global. mudah2an pk thomas ada keinginan unt menguji dan megusulkannya,,

    • coba tanya yang punya rumah, kenapa ga mau menaggapi tulisan syamsul anwar yang merupakan tokoh MD

  40. @prof. thomas, muga yg terjadi dalam diskusi diatas menjadi renungan jelang Ramadhan..,@semua yg mengkritisi pak thomas, tetaplah untuk berkata yg baik dalam kritikan.., untk kalian saudara2ku, janganlah kebencianmu/ketidaksukaanmu/ketdksetujuanmu thd suatu kaum membuatmu berlaku tdk adil, berlaku adillah, krn ia lebih dekat pada ketakwaan…:)

    • siiiip….

    • saya INGATKAN KITA….
      JANGAN SALING BENCI…..DIANTARA PEMBACA DAN KOMENTATOR……iNSYA aLLAH….kEILMUAN pROF…..YANG DILANDASI iMAN DAN KEIKHLASAN iNSYA aLLAH….PAHALANYA AKAN MENGALIR…SELAMA ITU BERMANFAAT DAN DIAMALKAN….,

      BAGI IKHWAN…IKHWAN DI md BARANGKALI JUGA TIDAK PERLU BAHKAN MEMBECI YANG BERLEBIHAN…ATAU BAHKAN SANGAT MEMBENCINYA, JUGA MELAKUKAN INTROSFEKSI…….; DAN KALAU ITU BENAR? YA…….ITU PILIHAN,,,;
      KARENA BENCI TERLALU……MUNGKIN DIMATA ALLAH…MUNGKIN ITU BAHKAN ADALAH KEBAIKAN….

      iNSYA aLLAH…..MARI KITA JAGA pERSATUAN uMMAT….DEMI UKHUWAH iSLAM……SAMBIL SEMUANYA MUHASABAH…… ibda binafsika….. DENGAN KEBENINGAN DAN KEJERNIHAN HATI…… iNSYA aLLAH……
      bISMILLAH…….

  41. Saya punya kritik terhadap Pak Thomas, Bapak terlalu membahas kekurangan Wujudul Hilal tanpa memerinci apa itu Imkanur Rukyat,,,,,, jika bapak terus mengungkapkan kekurangan wujudul hilal tanpa menjelaskan kelebihan Imkanur Rukyat malah akan membuat warga Muhammadiyah semakin tidak percaya kepada bapak, dan juga membuat banyak orang berfikir bapak membenci Muhammadiyah.

    Kalau bapak memang beri’tikad baik, lebih baik bapak menjelaskan kelebihan Imkanur Rukyat daripada membahas kekurangan Wujudul Hilal

  42. Apakah di masa nabi pakai teropong dan keilmuan yang diterapkan ala Thomas dalam IR?kritearia HW dan mitode IR itu perkembangan ilmu pengetahuan hai Thomas,siapa yang disiplin ilmunya di bidang tertentu maka diia akan matang disitu dan bertahan mempertahankan hingga harus memenangkan pendapatnya sesuai disiplin ilmunya dan itu yang anda lakukan padahal IR lebih usang,kalau Thomas berkomentar HW itu bid’ah adilnya boleh juga semua cara yang di terapkan Thomas saat ini lebih bid’ah,penerapan HW dalam menentukan awal bulan puasa dan idul fitri itu bukan bid’ah hai Thomas termasuk IR juga bukan bid’ah,nafsu banget menggunakan istilah bid’ah untuk memukul Muhammadiyah agar menjadi boomerang keMuhammadiyah,ketahuan betul anda itu sengaja memusuhi Muhammadiyah,mau jadi untuk momok untuk MuhammadiyahThomas? anda bukan apa apa Thomas,jangan memancing perpecahan ummat,anda berpotensi merusak persatuan ummat.

  43. Wah nampaknya Muhammadiyah yang kebakaran jenggot yah. Bersabarlah duhai saudaraku.

  44. Orang Muhammadiyah sendiri kayaknya belum paham WH. Sederhananya WH itu “menghitung” posisi bulan untuk penentuan awal bulan. Rukyat “melihat” bulan. Dalam menentukan WH ada kriterianya. Nah Kriterianya ini tanpa menghitung kemungkinan terlihat oleh mata. Kalau dihitung tanpa memikirkan kemungkinan terlihat mata kan berarti kriterianya kurang pas donk. Sedangkan Rasulullah pakai Rukyat juga. IR itu “menghitung” ditambah “kelihatan” oleh mata. Jadi tentu IR lebih menyatukan. WH, rukyat, IR semua cuma istilah yang intinya sama aja melihat bulan. Yang membedakan cuma kriterianya yang mana yang Paling Tepat yang menyatukan semua pendapat.
    Betul begitukan pak prof?

    • Tepat. Masalahnya sebenarnya kecil, kalau mereka faham beda WH dan IR dalam ilmu hisab.

      • Tepat, kalau WH dihakimi menggunakan IR, yang merupakan sebuah kesalahkaprahan. Bulan baru hijriayah yang berdasar WH ataupun “new moon” berawal dari prinsip dan pemahaman bahwa keberadaan hilal sebagai bulan sabit yang terlihat oleh mata bukan hal yang paling utama. Silakan baca literatur yang mendasari konsep WH dalam Muhammadiyah. Jangan tanya ke Pak Djamaluddin karena dalam diskusi tahun lalu, terlihat beliau tidak menguasai sejarah dan literatur WH meskipun mengaku sudah bertahun-tahun melakukan kritik ke Muhammadiyah mengenai konsep WH.

      • itulah masalahnya….kemungkinan tdk relatif;;;;;

      • pk thomas pernah berdiskusi langsung dengan pk syamsul anwar mengenai masalah ini dari sudut syar’i?

      • maksdud sy pk thomas usulan kalender hijriyah global spt kalender global jamaluddin abd.ar-raziq yg tdk membagi2kan dunia dlm 2 zona. sy rasa bpk mampu unt membuatnya. unt sementara jgn dipikirkan masalah kriteria lokal tp unt global. mhn bpk publikasikan

      • masalah menjadi besar ketika ada yang tidak setuju dengan WH tapi menggunakan kalimat2 profokativ dan secara terus menerus menggempur WH, sementara ide dan gagasan yang anda tulis pun menurut saya tidak ada yang baru, yang baru hanya kata atau ungkapan untuk menyudutkan WH, dari mulai kata USANG hingga yang terakhir ini BID’AH, entah kata atau kalimat apalagi yang akan anda sampaikan pada tulisan anda berikutnya. Ya, hanya kalimat atau kata2 PREMAN bertitle akademis yang baru bukan ide atau gagasan.

      • Lluu cuma gaya gayaan …laga Profesor…ilmu pembodohan ga akan di terima,pada saatnya nanti terpental juga,kenapa? sebab yang anda lakukan belum mampu sehebat WH,penjelasan anda hanya berusaha membuat pukulan mematikan lawan padahal itu cuma persaanmu,hem yang namanya Profesor itu mestinya 9 kali lipat einstein untuk abad ini,tapi dirimu jika cuma begitu kemampuannya jika di kurskan dengan peradaban yang sudah sperti sekarang ini ya luuu itU PLAY GROUP ….mudah mudahan ga ada lagi yang bilang lebih rendah dari PLAY GROUP agar anda nanti bisa masuk TK.

      • Saya kira tidak sesimpel itu prof..! yg menjadi perbedaan sebenarnya bukan kriteria hisabnya, tetapi penafsiran dalil hukum dari al qur’an dan sunnah yang berbeda dari sudut pandang.
        penganut Rukyat menafsirkan Rukyat itu dengan Arti kata rukyat itu sendiri “melihat dg. mata” persis apa yg. dilakukan oleh Rasul. Sedangkan Anda hadir dg. membawa angin perubahan untuk kubu penganut rukyat tradisional dg Tawaran Metode IR Hisab dg rasa Rukyat, Hisab itu jelas perintah yg ada di Al quran dan kriteria2 yg. digunakan mengacu sunnah Rasul.
        Terus bagaimana dg. MD yg dari awal sudah meninggalkan rukyat secara fisik ? Kok Sepertinya masih “ngeyel” belum menerima IR
        padahal sama2 hisab

        MD dari awal meninggalkan Rukyat secara fisik, tetapi bukan berarti mengabaikan sunnah, pemahaman sunnah berbeda sudut pandang dg. para penganut rukyat.

        Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

        Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui. Selengkapnya bisa dilihat di link ini :
        http://pondokshabran.ums.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=82:alasan-menggunakan-hisab&catid=54:berita

        Menurut hemat saya kalau ingin menyatukan mereka samakan visi mereka terhadap penafsiran dalil hukumnya.

        Untuk IR bedanya apa dengan Rukyat dg mata ?
        Menghitung yang sudah hampir pasti terlihat (toleransinya terlalu lebar)

        Harusnya Tegas, Hisab ya Hisab, Rukyat ya rukyat, kalau IR Hisab tapi rasa Rukyat atau kebalikannya Rukyat tapi Rasa Hisab.

        – Dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender
        – Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global
        – Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah

        Bisakah IR menyelesaikan masalah di atas ?

      • Tetap, semangat Pak, saya dukung dan klo boleh saran, jika hendak menginformasikan sesuatu, tetap menggunakan bahasa halus, dan sabar 🙂

    • tapi masalahnya ada pada tafsir hadits “Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian karena melihatnya….”
      sebagian ulama mengatakan, “melihat” disini dipahami secara tekstual, yaitu harus pake mata. Sedangkan sebagian ulama lain menerjemahkan kata “melihat” disini secara kontekstual. Pihak yang memakai rukyat ataupun IR ikut faham para ulama yang memahami secara tekstual, sedangkan WH lebih dekat dengan kelompok ulama yg memahami hadits tersebut secara kontekstual. Jadi ini adalah masalah ijtihad. Kedua pandangan tersebut tidak menjadi suatu masalah karena telah disepakati oleh para ulama. Jadi sebenarnya tidak ada masalah golongan A memakai kriteria WH, gol. B IR, gol. C pake rukyat.

      Sebenarnya saya biasa saja menanggapi perbedaan-perbedaan itu. Karena kedua cara tersebut memiliki dasar Qur’an dan Hadits yang sama-sama kuat. Tapi kok semenjak tahun kemaren, euforia “permusuhan” menjadi hangat bahkan sangat panas. Hal ini yang tidak baik karena yang bergejolak adalah masyarakat di tingkat akar rumput. Andaikan saja televisi-televisi kita tidak menyiarkan sidang isbat tahun lalu, yang menghadirkan kritik-kritik pedas bapak terhadap MD, mungkin gejolak tidak akan separah ini.

      Mari kita jadikan perbedaan menjadi momentum pembelajaran masyarakat untuk saling menghargai.

  45. Prof. Sebagai seorang nahdatul muhammadiyah :), saya mendukung profesor dalam menegakkan amar makruf nahi munkar.
    Semoga ke depannya “gengsi” petinggi muhammadiyah dapat melunak dan dengan kepala dingin bisa memutuskan yg terbaik buat umatnya.
    Maju terus prof, saya di belakang anda 🙂

    • saya justru menginginkan para petinggi muhammadiyah untuk “diam”. Karena dengan bicaranya mereka, benih-benih “perpecahan” yang difahami oleh masyarakat justru akan semakin lebar. Saya yakin, orang yang faham WH dan IR di akar rumput tidaklah faham betul masalah ini, termasuk saya. Kebanyakan dari anggota golongan-golongan itu hanya ikut apa yang dikatakan oleh para petinggi masing-masing pihak. Jadi mendingan diam sajalah.. daripada tambah panas. Ingat, ramadhan tinggal 2 minggu lagi.. mari kita persiapkan sebaik mungkin untuk menyambutnya.

    • ada benar sekali menyarankan pk thomas unt maju trs tp beliau tdk sabar orangnya hahahahah…anda sarankan jg pd beliau unt mengusulkan dulu kalendernya unt global, kalau usulan kalender lokal ngak akan bersatu apalagi sm MD. bkn masalah gengsi ormas harap dimengerti

  46. WH itu di gunakan sudah berdasarkan banyak pertimbangan,termasuk IR juga sudah kena di WH,manusia semakin masuk ranah ilmu pengetahuan dan menuntut ilmu memang diwajibkan dalam islam selagi manfaat dalam tanda kutip,zaman nabi memang IR teknologi pada zaman itu,bukan berarti nabi melarang berkembangnya sistem penentuan awal bulan apapun dengan ilmu pengetahuan yang semakin berkembang seiring peradaban,masalah inti dari yang disampaikan atas semua itu tulisan Thomas bukanlah menawarkan solusi,tapi arogannya thomas yang merasa bersama pemerintah,padahal WH itu sempurna dan tidak meleset, tentu jika tidak meleset berarti tidak melenceng dari yang digambarkan Nabi bagaimana menentukan 1 romadhon pada zaman itu,kemudian bila Thomas mengembangkan mitode IR dengan berbagai keilmuannya thomas mengenai penetuan awal bulan romadhon bukankah itu juga mengikuti peradaban teknologi yang semakin berkembang? nah kalau thomas mengatakan WH itu bid’ah adilnya kan IR ala Thomas kan juga bid’ah,kecenderungan Thomas bukan mencari kesepakatan tetapi manyulut perpecahan ummat dan Muhammadiyah menjadi sasaran empuk bola api Thomas,dapat di pahami bahwa Thomas memang sensi,semua yang tulisan terbitan Thomas diatas itu tidak bias kebaikan untuk kelompok lain (Muhammdiyah) tetapi lebih kepada emosional Thomas sebab berseberangan,sepertinya Thomas ingin mengawali meminggirkan yang berbeda dengan kelompoknya lewat momentum tertentu termasuk momen penetuan awal romadhon dengan menempel di pemerintah,emang ini perintahannya Thomas? sensi amat.WH yang dimentahkan Thomas dan menggunakan istilah bid’ah untuk WH itu adalah usaha thomas memukul Muhammadiyah harapan Thomas adalah itu menjadi boomerang ke Muhammadiyah,bikin kriteria bid’ah kok serampangan,ilmu dari mana?

  47. Pemerintah bukan milik kelompok yang menempel atau kelompok yang
    terbesar,adanya pemerintahan itu tujuannya merangkul tanpa diskriminasi,dan pemerintah harus meminggirkan pembawa virus diskriminasi tetapi jangan di anak tirikan,rawatlah pembawa virus diskriminasi itu untuk menetralisirnya atau akan ternetralisir dengan sendirinya dari gejala penyakit pilih kasih

  48. Dalam Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
    http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat

  49. saya tunggu kritikan pedas anda untuk golongan naqsabandiyah… justru saya melihat masalah penentuan hari qamariyah yang yang dilakukan kelompok ini tidak sesuai dengan ilmu astronomi atau Qur’an dan Hadits??.

    Atau anda hanya lebih senang menyudutkan muhammadiyah?

  50. Ada apanya Thomas?

    • pk thomas takut meninggalkan penganut rukyat……..cm itu aja yg sy fahami dari semua tulisan beliau hahahaha. mhn dipelajari semua tulisan pk syamsul anwar baik dari segi syar’i maupun astronomi semuanya sangat jelas…….

  51. Profesor EMPRIT…

  52. Prof….. anda hanya sekedar “tetangga yang berisik”………………

  53. Assalamu’alaikum wr, wb.

    Luar biasa kajian diatass.. tapi saya sebagai orang ‘Muhammad NU’ meminta kepada para ahli agar ‘jaga kesatuan umat islam’ jangan sekali-kali memancing amarah suatu kaum… ataupun pribadi, karena itu tidak baik.. Ingat ‘perbedaan itu adalah rahmat’, semua masing2 punya dalil dan argumen, jadi saya pikir ‘perbedaan yang ada saat ini kalo tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan mala petaka, islam itu agama yang kasih sayang, bukan agama yang saling bercerai berai dalam perbedaan…

    Sekrang saya mau tanya .. Apakah ‘kita sudah benar melaksanakan ajaran islam’ saya miris melihat brbagai macam ‘orang2 pintar’ yang hanya ‘pintar’ mencari uang, cb LIHAT Ulama-ulama dulu dan para orang-orang ‘HEBAT’ beliau-beliau jarang sekali mengeluarkan pendapat kalo itu bukan ‘hasil renungan dan bimbingan allah’, yang jadi masalah saat ini adalah ‘kita’ selalu menganggap bahwa kita itu selalu benar, ‘bagaimana kita bisa mengurus umat kalo disamping kiri dan kanan kita masih saja ada yang kelaparan, masih saja ada yang ‘minta-minta’ cba tanya sama dirri kita…

    ‘ALLAH mengHALALkan yang baik-baik dan ALLAH mengharamkan yang buruk-buruk’… PERBEDAAN ITU RAHMAT.. Bukan untuk saling ‘MENGEJEK, ataupun MERASA PALING HEBAT dan BENAR’ .

    Agama islam akan hancur oleh umatnya sendiri.. jadi ‘HATI-HATILAH’ para bapak, saya sebagai anak bapak semua memohon janganlah kita menjadi manusia-manusia yang dibenci oleh allah atas tindakan kita, biar allah yang pantas menilai semua… kita hanya hambanya yang doif dan penuh dosa. Istigfar dan perbaiki ‘IMAN dan AKHLAK KITA’

    ‘Muhammadiyah dan NU’ adalah ORMAS KITA… 🙂

  54. Sebenarnya masalahnya bukan IR VS WH, TD VS Muhammadiyah, Hisab nya IR dg. Hisabnya WH Logikanya sama tapi Kriteria nya yg berbeda. IR masih mempertimbangkan Rukyat dg dalil2 nya yg. memang banyak Tapi klu. Muhammadiyah arahnya meninggalkan rukyat dg. dalil2 yang kuat juga. Muhammadiyah berijtihad kalau semangat Al Qur’an adalah Hisab ada dalilinya juga. Kalau ditarik ke belakang akar pokok masalahnya adalah “Perbedaan penafsiran hadist2 yg. digunakan oleh masing2 kelompok yg. bebeda”. “Pihak 1 menganggap Ruk’yat adalah rangkaian ibadah, pihak lainnya berpendapat rukyat sebagai “alat” penentuan awal bulan pada waktu zaman rasul.
    Rukyat memang “keliatan” terlalu kuno di zaman sekarang ini, coba di lihat aja mau nentuin awal bulan aja harus berbondong2 melihat bulan di beberapa tempat.

    Kenapa Puasa di 1 syawal haram hukumnya ?
    Alloh sudah sangat tegas dalam pembatasan hari
    harus nya kita juga tegas.

    Nah sekarang muncul tokoh yg. berusaha mendobrak pertentangan antara Hisab dan Rukyat, dg. keilmuan di bidang Astronomi yg dimiliki, Prof TD berusaha menyatukan antara penganut Hisab dan penganut Rukyat dengan Istilah IR.

    Teori nya klu. gak salah :
    Menghisab tapi dg. memasukan Kriteria “kemungkinan bisa di lihat”

    Hampir semua Ormas sudah menggunakan IR, Hanya Muhammadiyah yang masih Kekeh menggunakan Kriteria WH, yg sudah dianggap Usang oleh Prof TD.
    Tapi keliatanya lama2 tulisan Prof TD mulai “menyerang” karena mungkin Muhammadiyah terlalu “Ngeyel”
    Menurut saya perdebatan yg terjadi saat ini sudah keluar jalur, karena sumber perbedaannya terletak di “awal” bukan ‘Kriteria” Perbedaannya yang pokok terletak pada pemahaman dan penaf-siran terhadap sumber atau dalil hukum, yakni al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan yang cukup menarik. Ru`yat disebut-sebut secara eksplisit dalam al-Sunnah, tetapi tidak disebut-sebut dalam al-Quran. Sebaliknya hisab secara eksplisit disebut-sebut dalam Quran tetapi tidak dalam Sunnah.
    Kalau mau bersatu harusnya yg. disepakati adalah “Penafsiran Hukumnya dulu”
    “Sepakati dg. tegas dulu bentuk Pondasinya mau model A apa Model B baru bangun rumahnya”

    Mau “Hisab” Apa “Rukyat” sepakati dulu itu.

    Idenya Prof TD keliatannya bagus tapi tidak mempunyai ketegasan

    Ada sedikit tulisan dari Pak Anwar Penganut WH :
    Penggunaan metode hisab imkanur rukyat yang ditawarkan pemerintah menurut Syamsul Anwar, banyak memiliki kelemahan, diantara kelemahan tersebut adalah kebimbangan kdalam memutuskan ketika ada kesaksian bahwa hilal dapat disaksikan ketika di bawah 2 derajat, dan sebaliknya apabila dalam situasi ketinggian hilal sudah dua derajat atau lebih tapi tidak satupun saksi yang dapat melihat, hal tersebut dapat menjadi masalah.
    Lebih lanjut menurut Syamsul Anwar, apabila menggunakan metode penentuan awal bulan Hijriyah yang ditawarkan pemerintah, maka dalam 18 tahun mendatang untuk Idul Adha, akan terjadi 10 kali perbedaan dengan Arab Saudi. “Akan lebih banyak perbedaan lagi dalam penetapan Idul Adha dengan Arab Saudi selama 18 tahun mendatang, yakni 14 kali apabila menggunakan metode imkanur rukyat 4 derajat yang ditawarkan Thomas Djamaluddin,” jelasnya. Sedangkan dengan metode hisab wujudul hilal yang diterapkan Muhammadiyah menurut Syamsul Anwar, kemungkinan perbedaan selama 18 tahun mendatang mengenai penetapan Idul Adha dengan Arab Saudi adalah empat kali, sehingga lebih mendekati.

    Jadi kalau Pemerintah mau menyatukan keduanya, Pemerintah harus tegas.
    – Pilih Rukyat atau Hisab
    – Hapus Pasal 29 UUD 45

    kebenaran hakiki hanya milik Alloh

  55. kasian saya sama anda,

  56. itulah argumen orang yang tidak ber ilmu belajarlah dulu saudaraku jangan hanya karena ego membela muhamadiyah terus gelap mata. bismillah maju terus pak prof saya mendukung anda bukan karena muhamadiyah. tapi karena memberitahukan yang benar itu wajib. karena kalo kesalahan itu di biarkan apalagi di ikuti orang banyak itu namanya ndolim…. afwan

    • klo gitu anda orang berilmu dong,,hebat deh,,,salut,,,
      pantas aja anda berani bilang klo keyakinan dari sekelompok orang itu salah,,, moga2 anda jg tidak termasuk orang yang karena ego terus berbuat dholim dan gelap mata,, pisss,,,,

  57. Saya melihat pak Thomas sangat ingin umat bersatu, dan melihat jalan yang ditempuh Muhammadiyah dengan WH membuat hal tersebut tidak terjadi. Kedua, saya melihat pak Thomas sangat yakin bahwa dengan kepakaran astronominya dia sudah bisa menetapkan ‘hukum’ fiqih, dalam hal ini kriteria menentukan awal bulan baru. Dalam ilmunya dia yakin bahwa IR adalah “muktamad” alias final. Saya masih belum jelas sebenarnya, apakah final demi persatuan atau final demi syari’ah. tapi kalau melihat cara pak Thomas membid’ahkan Muhammadiyah, dan ini ironi yang menarik, nampaknya pak Thomas meyakini dua-duanya: demi persatuan dan kebenaran syar’y. Saya seperti umumnya Muslim lain, pasti inginkan berpuasa dan berlebaran serta beridul adha “serentak”, tidak ada yang lebaran hari ini, kemaren dan lusa seperti selama ini terjadi. bahkan kalau bisa idul adha di Indonesia serentak pula dengan di Saudi Arabia, karena hari Arafah bagaimanapun juga “terjadi” disana. Tapi tentu pak Thomas tidak sependapat “penyatuan” seluas itu. Pak Thomas hanya ingin penyatuan di Indonesia, walaupun di Malaysia mungkin berbeda hari rayanya yang bagi kami di Riau adalah lebih dekat secara geografis (tapi menurut pak Thomas tetap harus mengikuti Jakarta). Apakah saya terlalu awam dalam hal astronomi atau saya ngacau berbicara politis? Baiklah, harus diakui bahwa masalah ini lebih dari sekedar astronomi…tapi juga menetapkan kaidah-kaidah fiqhiyyah. Sudah lazim dalam domain fiqh, suara ahli fiqh harus didengar. Saya membaca bahwa kutipan-kutipan pak Thomas mengenai kriteria penetapan ramadhan di Mesir dan Saudi sendiri tidak valid. Untuk lebih lengkap mungkin bisa dibaca pada note dalam facebook Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar. Kalau ditanya secara pribadi, dengan sedikit dalil yang saya baca, saya tidak setuju dengan penafian ru’yah sama sekali. Tapi masalah ini juga kompleks karena Nabi SAW sendiri pernah mengisyaratkan dalam masalah melihat bulan ini “nahnu qaumu ummiyyun la naktubu wala nahtasibu, fa in ghumma ‘alaikum faakmilu al-‘iddah-aw kama qoola-” (kami adalah masyarakat yang tidak tahu menulis dan membaca, jadi kalau akhir bulan itu berawan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari). Bagaimana kalau masyarakatnya tidak ummy dan ilmu memungkinkan hisab? Tanya warga Muhammadiyah. Saya tidak yakin Muhammadiyah berlaku bid’ah dalam hal ini sebagaimana saya tidak yakin cara pak Thomas Djamaluddin berhasil “menyatukan” ummah ini. Wallahu a’lam bish showab.

  58. Muhammadiyah pun harus mengalah, karena sebagian besar peserta sidang itsbat menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat yang digunakan.

    Berarti memang selama ini sidang isbat itu cuma pepesan kosong karena mau debat kayak apa tetap saja yang HARUS menang adalah ormas yang paling besar. Sepertinya memang sudah takdir sejarah bagi Muhammadiyah untuk harus banyak mengalah. Dari mulai mushallahnya Ahmad Dahlan dibakar karena menggunaka meja dan kursi, menggunakan peta dan kompas sebagai pencari arah kiblat yang lebih tepat dan berlanjut hingga saat ini.
    Dengan kondisi seperti ini, menurut saya memang keputusan yang tepatlah bagi MD untuk tidak ikut serta dalam sidang isbat, lah hasil akhirnya dah bisa ditebak ko. Secara saya juga kalau tiap miting sama teman n hasil dari miting sudah bisa ditebak, mending ga ikut miting, bedanya, karena saya pegawai dan digaji, ya terpaksa harus ikut miting tapi jiwa dan pikiran saya tidak di ruang miting, kadang saya cari alasan supaya bisa keluar miting terus balik lagi jelang miting selesai. Saya ga suka yang mubazir.

  59. Kalau KH Ahmad Dahlan masih hidup, pasti beliau akan bersedih, mengapa petinggi MHD keras kepala 🙂
    Sebenarnya siapa sih yg memecah umat???
    Emang enak lebaran ada dua versi….
    Lebaran itu syiar coy… klo jadi dua versi kasian umatnya dong brur…
    Dari sekian banyak peserta sidang itsbat dan dari berbagai ormas, cuma MHD, skali lagi cuma MHD yg kekeh bertahan dgn WH.
    Saya tdk menyalahkan institusi, saya cinta MHD karena sejak awal organisasi ini memang konsisten memberantas TBC.
    At last, semoga ahli hisab (baca: smoker) segera sadar karena merokok itu haram 🙂

    • Kalau KHA Dahlan masih hidup, bukan hanya bid’ah, tuduhan kafir yang akan diterima Muhammadiyah, seperti halnya ketika KHA Dahlan meluruskan arah kiblat Masjid Besar Kauman …

    • ah klo menurut saya sih justru bangga,,,
      yang sedih kan anda,,,
      lagian juga ga ada yang namanya lebaran dua versi…setiap orang kan harus milih salah satu,, kalau dua2nya dipilih jadi aneh dong,,,wkwkwk

  60. Mohon dijelaskan dalilnya mengapa pp muhammadiyah lebih memilih hisab daripada rukyatul hilal. Padahal nabi adalah sebaik-baik petunjuk dan beliau telah mencontohkan melihat hilal dalam menentukan awal ramadhan dan syawal. فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ Sesungguhnya sebenarbenar perkataan adalah Kitabullah, sebaikbaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (HR. anNasa`i)
    Marilah kita cermati bagaimana petunjuk Nabi yang merupakan petunjuk terbaik dalam menentukan awal bulan ramadhan dan syawal berikut ini:
    1. Nabi bersabda: إِذَا رَأيْتُمُوهُ فَصُوْ مُوْ هُ وَ أِذَا رَأيْتُمُوهُ فَأفْطرُوا فإنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَأكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ Jika kalian melihatnya (hilal), maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya (hilal) maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh. (Shahih, HR. AIBukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)
    2. Nabi bersabda: Dalam sebuah hadits dalam Shahih AIBukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: صُومُوا لِرُأْيَتِهِ وَأفْطِرُ لِرُأْيَتِهِ فإنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَأكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمَا Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Syaban menjadi 30.
    3. Nabi bersabda: لاَتَصُومُوا حَتَّى تَرَوْالهِلاَلَ وَتُكْمِلُوْاالْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّ تَرَوْالهِلاَلَ وَتُكْمِلُوْاالْعِدَّةَ Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. (Shahih, HR. Muslim no. 2495) Perhatikanlah, dari haditshadits di atas dapat disimpulkan bahwa:
    1. Digunakannya ruyatul hilal (MELIHAT hilal) untuk menentukan awal bulan. Yang disyaratkan di sini adalah visibilitas hilal (terlihatnya hilal) bukan wujudul hilal (munculnya hilal).
    2. Nabi memerintahkan untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) jika kita telah MELIHAT hilal, bukan MUNCULnya hilal.
    3. Jika kita tidak mampu MELIHAT hilal (walaupun jika pada hakekatnya hilal tersebut telah muncul), kita harus MENGGENAPKAN hitungan bulan menjadi 30 bukan dengan menghisabnya. Nabi bahkan melarang penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal bulan. Beliau bersabda: إِنَّا أ ُمَّة ٌ أُمَّيَّة ٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الأبْهَامَ فِيْ الثاَّ لِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari). (Muttafaqun `alaih dari Ibnu `Umar).

    • 4OK: Apakah Nabi menyuruh melihat dengan mata telanjang atau teleskop? Kita bicara tentang “mencontoh Nabi” secara harfiah nich. Saya melihat kesimpulan nomor 3 Bapak/Ibu yang mengatakan Nabi “melarang” menggunakan hisab adalah bermasalah sekali. Bahkan cenderung “berdusta” atas nama Nabi karena ingin menggiring hadits tersebut. Dibagian mana dalam hadits tersebut Nabi melarang menggunakan hisab? Bahkan kata-kata “Innaa ummah ummiyyah…dst” tersebut jelas mengisyaratkan bahwa pada masa Nabi SAW mereka adalah ‘ummy’ sehingga tidak bisa tulis baca atau melakukan perhitungan/hisab (la nahsibu). “La” disitu setahu saya bukan “la naahiyyah” yang artinya “jangan menghitung/menghisab” tetapi “la naafiyah” yang mengatakan “tidak bisa menghitung”. Karena itu dalam teks lain hadits tersebut datang dengan huruf “fa’ al-jawab” sehingga akan terdengar seperti ini: “……….’maka karena itu’ jika cuaca terhalang oleh awan hendaklah kalian menyempurnakan bilangan bulan menjadi 30 hari”. Bagaimana dengan sekarang, saat orang sudah hebat mengkalkulasi gerak benda-benda langit dengan begitu teliti, seperti yang dilakukan Profesor Thomas. Apakah tidak berlaku kaidah ushul fiqh yang mengatakan “al-hukumu yaduuru ma’a as-sababi mujudan wa ‘adaman” (hukum tertakluk kepada sebab, ada sebab maka ada hukum; bila sebab itu hilang maka hilanglah hukum). Maksudnya, apakah salah “la nahsibu” itu dipahami sebagai illatul hukmi? Sehingga bisa dipahami “kalau umat sudah bisa berhitung, lakukanlah perhitungan”. Tapi jelas ini “midarul fiqh” sehingga didalamnya bisa timbul bermacam paham. Itulah makna fiqh. Bid’ah adalah ketika anda beramal tanpa dalil sama sekali. Saya tidak berusaha membela Muhammadiyah. Saya berpendapat Muhammadiyah tidak perlu dibela kalau pendapatnya salah. Tapi seorang ahli astronomi sekalipun perlu memahami mana wilayahnya, mana wilayah fiqh yang memungkinkan terjadinya “ikhtilaf”. Kecuali anda ingin mengatakan “sudah tertutup pintu ijtihad” karena sudah tidak ada lagi orang yang memiliki kriteria seperti Imam Mujtahid terdahulu. Maka kalau begitu, buang saja teleskop gede-gede itu. Yuk kita lihat dengan mata telanjang saja. (Tapi ada yang tidak setuju melihat dengan ru’yatul ‘ayn ini, sebab penglihatan bisa salah kalau tidak dilihat oleh ahlinya. Kata mereka “jangan-jangan yang dilihat bulan tua”. Apakah ini sunnah Nabi SAW juga? Ketika ada persaksian di Cakung tahun lalu, kenapa persaksian itu ditolak oleh orang-orang yang setuju dengan ru’yah? Kalau jawabannya: karena hilal tidak mungkin terlihat, ingin saya katakan: dalil apa lagi ini? Katanya mau ikut Nabi SAW: Nabi SAW nggak pernah bilang “hilal nggak mungkin terlihat” ketika ada yang melapor dia sudah melihat hilal). Karena itu sebaiknya kita “nata’awanu ‘ala mattafaqna alaih, wa natasaamahu ‘ala makhtalafna fieh” dalam konteks ini. Wallahu a’lam bis showab.

  61. hahaha..lucu ne profesor..argumennya untuk amar ma’ruf nahi munkar tapi kok dengan cara yang munkar, menjelek-jelekan kelompok lain di luar kelompoknya sendiri.
    kalo begini caranya bukan amar ma’ruf yang timbul, namun malah menampakan sinisitas si Thomas terhadap Muhammadiyah dan malah menimbulkan polemik di masyarakat antara yg pro dan yg kontra dengan ini profesor.
    klo mank pengen terkenal jangan dengan cara kontroversial gini donk pak….

  62. Memang benar, argumen yang disampaikan mengenai definisi “bid’ah”, beliau memberikan link definisi bid’ah berdasarkan definisi Muhammadiyah, syangnya, tuk Penentuan Bulan Qomariyah dalam Muhammadiyah tidak termasuk Taabudi, tetapi Taaquli,,,, jadi Pak Thomas salah alamat lagi,,,, ! Klo pihak yang menganggap Penentuan Bulan Qomariyah Taabudi, lalu tdk sesuai dengan yang dicontoh (ada penambahan) Naaaaaaaaaah,,, itu yang harusnya pak Thomas sebut “membela bid’ah”,,,,,!!! Karena Pak Thomas menganggap Penentuan Bulan Qomariyah ini adalah Taabudi, dan ketika zaman Nabi tidak ada penolakan kesaksian, dimana saksi tersbut sudah bersumpah atas nama Allah dan Rasul nya (intinya zaman Nabi tidak ada kriteri 2-3-8 atau 4-3-8), Naaaaaaah ,,,,, silakan simpulkan sendiri ya !!!!! 🙂

    • Kalau betul semata-mata taaquli, tak perlu dalil-dalil yang melandasinya. Kalau begitu dalam “Pedoman HIsab Muhammadiyah” dalil-dalil itu hanyalah jadi pembenar. Mengapa repot-repot berdalil seolah berlandaskan dalil?
      Kalau memang tak perlu dalil, itu semata-mata ranahnya astronomi. Bertanyalah pada ahlinya agar tak salah. Saya sebagaqi astronom menyatakan wujudul hilal salah. Artinya taaquli Muhammadiyah dilaksanakan secara keliru, tak menggunakan perangkat ilmu yang tepat. Mengapa yang dipilih WH, bukan langung saja mengikut astronomical newmoon (ijtimak). Tak perlu juga qabla ghurub, karena ghurub berasal dari konsep rukyat.

      • Aduh ini teman-teman MuhammaDiyah betul-betul belum mengerti ya. Saya sendiri orang MD lebih memilih IR daripada WH. Sama sekali tidak ada pertentangan dalil antara rukyat, IR, WH. Hisab itu menghitung,rukyat melihat. IR menyatukan keduanya sehingga tidak ada dikotomi antara rukyat dan hisab. Dengan IR TIDAK ADA dalil yang ditinggalkan. Karena hisabnya WH meninggalkan rukyat, rukyat meniggalkan hisab. IR menghisab SEKALIGUS merukyat. Jadi dalil yang satu dengan yang lain saling menguatkan.
        MAJU terus prof!!!

      • Ilmiahnya IR ala Thomas tidak bisa di terima Muhammadiyah,saya pribadi tidak percaya anda terlalu baik demi Muhammadiyah,alasan demi kemajuan Muhammadiyah hanyalah cara perang dari Thomas untuk menggempur Muhammadiyah,dari sini anda ingin melemahkan Muhammadiyah dan jika berhasil maka berikutnya adalah masuk tahapan pelemahan di sisi lainnya karena memang kepentinganmu,tampak terbaca sekali hasrat besar terencana itu melalui kehebatan Thomas,siapa yang ga tahu kalau Thomas hebat? namanya juga pakar dengan predikat Prof. Warga Muhammadiyah terotomasi dengan daya serap tinggi dalam menganalisa sesuatu yang tidak wajar,termasuk pemikiran Thomas tidak dengan mudah menjadi disimpati oleh warga Muhammadiyah karena memang tendensi kepentingan.sekarang Thomas telah di kenal untuk di kenali hingga akar rumput Muhammadiyah.

      • alfino : jujur saya ragu dengan statement anda.., tidak perlu menyebutkan bahwa anda MD atau apalah,,
        menurut saya kebanyakan pembaca yang mendukung argumen pak Thomas sebetulnya tidak seallu berpihak pada IR tapi justru hanya tidak suka saja dengan Muhammadiyah..
        saya tegaskan Muhammadiyah bukan MD,, 🙂

    • @Djamaluddin
      Memang kalau berdasarkan ijtimak saja, berarti lepas dari stempel bid’ah anda? Saya tidak tahu bagaimana cara anda berpikir, kecuali sebagai cara berlogika yang terkungkung dalam fanatisme beragama. Adakah alasan ijtimak qablal ghurub tidak boleh dipakai hanya karena lebih dekat dengan konsep rukyat yang menjadi praktek Nabi satu-satunya? Bagaimana dengan penjelasan dari Muhammadiyah bahwa pilihan kepada wujudul hilal “ditempuh sebagai ‘jalan tengah’ antara sistem hisab ijtimak (qabla al-ghurub) dan sistem imkanur rukyat”? (kalau anda memang intens berdiskusi dengan ahli WH Muhammadiyah, tentu saja pernah mendengarnya).

      Terlepas dengan itu, dari semua penjelasan Pak Djamaluddin tentang aspek astronomi mengenai crescent visibility (dan beberapa literatur yang mendefinisikan kriteria IR), tidak ada yang susah dipahami, alias konsepnya tidak muluk-muluk. Bagian yang susah, seperti modelling untuk pengaruh hamburan atmosfer, ternyata anda pun tidak mampu untuk membuat teori dan perhitungan yang bisa menurunkan angka-angka IR yang anda ajukan sebagai kriteria tunggal IR Indonesia. Yang ada adalah mengumpulkan data dari pihak lain, terus membuat rumus hubungan antara parameter astronomi dengan fakta keterlihatan hilal — tidak lebih dari itu. Tolong koreksi saya kalau saya yang salah menarik kesimpulan dari isi paper anda.

      • alfino : dari Muhammadiyah tidak pernah menyalahkan Imkanur Rukyat (apalagi mem-“bid’ah”-kan IR), karena di Muhammadiyah sangat menghormati pilihan saudara-saudara yang lain dengan pilihannya, apalagi menyebut nya dengan kata-kata (meminjam istilah Pka Thomas, kata umum) “usang” dll, bagi Mas Alfino yang merupakan orang MD (bukan warga Muhammadiyah, tetapi MD) silakan saja memilih pilihannya, tetapi secara organisatoris anda bisa menjawab sendiri,,,,,

  63. Wujudul Hilal dengan Tawalludul Hilal sama tidak ya?
    Kalau sama, berarti beliau bukan yang pertama mengkritik wujudul hilal…

    Klik untuk mengakses 2004_newmoon.pdf

  64. Saya kira semua perdebatan ini disebabkan masing-masing menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar. Sekarang, kalo sudah terjadi seperti ini, mana yang harus kita ikuti? Menurut Nabi saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dll. beliau meninggalkan dua hal yang apabila kita berpegang teguh pada keduanya, maka kita tidak akan tersesat selama-lamanya. Apa itu? Quran dan Sunnah? Bukan, Quran dan sunnah saya kira sudah diikuti oleh semua kelompok yang berdebat di atas, tapi mereka tetap tidak bisa bersatu. Coba perhatikan betul redaksi hadits mutawatir (yang tingkatannya lebih kuat drpd shahih) yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dll ini: Kitabullah, wa itratii ahla baaitii…. Kenapa para ulama tidak mengkaji lebih dalam pesan penting Nabi ini? Kalo memang betul sahih, maka hadits ini akan sangat berpotensi untuk mempersatukan umat, dari kelompok manapun, di negara manapun…

  65. IR akan selalu mentah,pada saatnya nanti IR ala Thomas tidak akan pernah terpercaya,kasihan Pofesor,,,makanya pebaiki hati dulu sebelum tampil menjadi pakar,hati belum ditata mentalpun jadi rawan,rawan sakit hati dkk,jadi tendensi iri,meski orangnya tidak nongol dari tulisannya saja sudah bias hasutan dan iri hati.

  66. Maaf pak prof, alangkah indahnya kalau pak prof menata hati dulu lah…Sy sangat mendukung ide tentang penyatuan kalender hijriah di seluruh dunia, Tp yg namanya ilmu manusia kan ndak ada yg mutlak benar…Kl prov menganggap metoda WH itu sdh usang dan salah, bisa saja orang lain menganggap metoda IR juga salah kaprah dan sesat…Maka demi persatuan ummat “seperti yg prof nyatakan diatas ” kenapa pemerintah tidak mengakomodasi keduanya saja…Silahkan nanti masyarakat yg milih, beres, kan ?

  67. Keinginan menyatukan hisab dan rukyat saya setuju, hanya cara/dakwah anda menurut saya keliru.
    Berikut hal-hal yang perlu dipertimbangkan :
    1. Tidak perlu menonjolkan disiplin ilmu yang anda miliki, sehingga jauh dari kesan “arogan”
    2. Menggunakan bahasa yang santun tetapi mengena, karena ini menyangkut hal yang sangat sensitif
    3. Lebih dalam memahami sosiokultur Muhammadiyah
    4. Menganalogikan antara NU dan Persis yang bisa anda pengaruhi dengan Muhammadiyah adalah keliru
    5. Anda berasal dari ilmuwan, bukan seorang ulama, apalagi tidak memiliki pengikut, sehingga pengaruh anda bagi Muhammadiyah dikesampingkan
    6. Pemahaman anda tentang Quran dan Hadits tidak komperehensif
    7. Jangan mengabaikan upaya besar yang telah dicapai Muhammadiyah yang umurnya sudah lebih dari satu abad
    8. Perubahan yang berkaitan dengan kebiasaan (baca: kultur) pada kelompok masyarakat, prosesnya tidak bisa instan, 10 tahun yang anda katakan terlalu singkat.
    9. Rujukan yang selama ini dipakai Muhammadiyah tidak dapat dipandang sebelah mata
    10. Perbedaan dalam mengaktualisasikan ajaran Islam sudah berlangsung lama dan itu sudah diprediksi Nabi Muhammad sendiri hingga Hari Kiamat tiba
    11. Seorang ilmuwan harus pula memiliki rasa lapang dada, jika ilmunya tidak digunakan saat ini, tetapi mungkin saja kelak dipakai dan dibenarkan oleh kelompok yang menentangnya, bukan malah menuduh bid’ah kepada penentangnya
    Saya tidak memiliki kemampuan menuangkan pikiran saya dengan tulisan/redaksi yang memadai, semoga anda ke depan bisa menjadi lebih bijak

  68. Anak SD/ MI Muhammadiyah akan selalu Membuang sampah pada tempatnya,itu ide pokok dari tulisan Thomas berikan saja sama anak SD/MI

  69. Sadar ga sih kau ini Thomas kalau anda sudah membuat bibit penyakit
    untuk dampak sosial,dari tulisamu itu,anda itu memukul dan memakai benteng pemerintah,emang pemerintah punya lhuuuu,alih alih untuk persatuan ummat,lihat ini efeknya,berbeda kok di persoal,ada apa anda dengan Muhammadiyah?

  70. Betul…….penentuan mulai puasa dan syawal itu bukan ibadah, tapi muamalah. Ini ranahnya orang-orang yang berpikir. Jadi tidak ada bid’ah dalam soal ini. Kalaupun ada hadits tentang cara mengetahui awal puasa, itu bukan ibadah mahdhoh. Yang ibadah mahdhohnya adalah puasanya. Jadi kalau menganggap WH itu bid’ah……itu nggak paham definisi bid’ah. Ntar orang naik pesawat dibilang bid’ah, sebab dulu Nabi naik onta. Prakteknya Nabi kan menggunakan onta. Pahami dulu pengertian bid’ah prof.

  71. Ass wr wb. Dengan masih tetap berlandaskan pd dalil2 syar’i yg UTUH tanpa mengabaikan RUKYATUL HILAL, software Accurate Time dan pemahaman ttg ILDL dpt dg mudah menghasilkan sebuah KALENDER HIJRIYAH GLOBAL dan KALENDER2 HIJRIYAH LOKAL yg BERWAWASAN GLOBAL. Oleh karena itu, menghimpun dalil2 syar’i utk mencari pembenaran dlm usaha mengabaikan rukyatul hilal hanyalah akan menghasilkan kalender yg BERBEDA saja tetapi TIDAK LEBIH UNGGUL jika ditinlau dr sisi teknis astronomi. Wass wr wb.

  72. IR ala Thomas belum terpercaya di dunia,WH terbukti dunia pakai dan akurat,IR ala thomas akan masuk keranda dan terkubur,dunia tidak akan menggunakannya,WH sudah sukses jadi patokan kalender Hijriyah,berarti sudah terbukti secara ilmiah di atas ilmiahnya ala Thomas,lha ngapa IRnya Thomas meleset di pakai teruuuuuuuuuuuuuus…ga beres nalar pikirnya jelas itu…PAKAR???????? payah ….bawah kabar pembodohan terus terusan…pembodohan jelas tidak akan berlaku,Muhammadiyah tidak mau….cak…hehehehehehehe dasar lhuuuuuu…pesanan israel ya? ga nuduh sih semoga aja tidak

  73. Assalamu’alaikum

    Terima kasih atas diskusi Dinamika Penentuan Awal Ramadhan / Syawal.
    Dan di kesempatan ini, sebagai orang awam, saya ingin menanyakan soal penentuan awal bulan-bulan Hijriyah yang lain (selain Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijah), apakah di bulan-bulan yang semuanya berjumlah 9 (sembilan) tersebut, pada setiap menjelang awal bulannya, ditentukan dengan metode rukyat (misalnya dengan melihat bulan secara langsung), atau telah dihitung jauh-jauh sebelumnya (hisab)?
    Terima kasih.

    Wassalamu’alaikum

    • Bagi pengamal hisab (seperti Muhammadiyah dan Persis) hisab yang tertulis di aklender sudah cukup. Tetapi bagi pengamal rukyat (seperti NU) mereka tetap melaksanakan rukyat. Untuk kepentingan mereka sendiri rukyat dilakukan dan bila perlu dilakukan koreksi kalender bagi yang ingin melaksanakan puasa sunnah hari putih (yaum bidh).
      Karena bulan-bulan lainnya tidak terkait dengan ibadah yang bersifat masal (puasa Ramadhan dan hari raya) pemerintahkan tidak harus menghimpun hasil hisab dan rukyat dalam sidang itsbat.

      • sepertinya pengamal inkamnur rukyat juga tdk perlih lihat lihal, karena kalaupun ada yang lihat hilal dibawah 2 derjat kidira bohong, walaupun sudah berani disumpah, aneh para orng penjunjung sunah lebih percaya pada pendapat ilmuwan dari pada kesaksian orng.. ini baru bid’ah tajudin

      • Rukyat tidak selamanya benar, karena hilal itu sangta tipis dan sangat redup. Faktro utama ketampakan hilal adalah kontras cahaya hilal yang redup terhadap cahaya syafak (cahaya senja) yang cukup terang. maka ada metode-metode untuk mengklarifikasi hasil rukyat, salah satunya membandingkan dengan kriteria imkan rukyat yang merupakan kompilasi dari sekian banyak data rukyat yang berhasil.
        Tentang kesaksian rukyat yang ditolak, seperti di Cakung, Jepara, Bawean, dan Bangkalan, masyarakat pun harua tahu bahwa rukyat mereka tidak murni rukyat. Mereka sebenarnya terpengaruh dengan hisab mereka ynag masih menggunakan metode lama, yaitu hisab taqribi (aproksimasi, pendekatan). caranya sangat sederhana. Jika ijtimak/newmoon terjadi pukul 11.00 dan maghrib pukul 18.00, maka tinggi bulan dihitung secara taqribi/pendekatan = (18-11)/2 = 3,5 derajat. Angak itu jauh lebih tinggi dari keyakinan soal imkan rukyat 2 derajat yang juga mereka percaya. Itu sebabnya ketika mereka merasa melihat ada cahaya (bisa saja cahaya bintang atau cahaya awan tipis, atau cahaya lainnya) mereka segera merasa yakin bahwa yang mereka lihat adalah hilal. Sebenarnya, tinggi sesungguhnya hilal dalam hisab astronomi masih kurang dari 2 derajat.

      • pk thomas sy sdh baca smua konsep usulan bpk unt kalender hijriyah tunggal di indonesia 2o mjd 4o tp sy blm memahami mksd anda unt mempertemukan hisab & rukyat dgn kriteria imkan rukyat. penerapannya tdk konsisten smp pd bln sya’ban dgn alasan bln ramadhan, syawal & zulhijjah mrpkan bln yg terkait dgn ibadah. Mhn diperjelas. Sebenarnya yg diharapkan msyarakat adalah sebuah kalender pemersatu yg konsisten spt kalender masehi shgga masyarakat bs mengatur kegiatannya sehari2…

      • Kalender ditentukan berdasarkan kesepakatan dari segi kriteria dan implementasi. Astronom memberikan solusi kriterianya. Penerapannya ada pada otoritas tunggal yang disepakati. Saat ini Pemerintah RI belum sepenuhnya dianggap sebagai otoritas tunggal, karena ormas-ormas Islam belum semuanya bersepakat dengan kriteria astronomis tersebut dan belum sepenuhnya juga mengimplementasikannya. Itu problem utamanya.

  74. Ada 3 Metode menentukan awal Ramadhan 1 Hisab. 2 Rukyat. 3. Kolaborasi Hisab dan Rukyat. masing-masing ada argumen dan semua bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Semoga ketiga metode in i dapat mengantarkan umatnya kepada taqwa. Penganut metode satu dengan lainnya tidak boleh saling memaksa. karena semua benar. Perbedaan ini tidak akan memecah belah umat. karena metode yang dipakai beda maka sampai kiyamatpun pasti selalu beda. Solusinya saling menghormati dan toleransi saja. Salam hormat buat Pak Thomas tulisannya mencerahkan sekali bagi pembaca. Terimakasih.

  75. Pak Thomas yang saya hormati,
    Kalau bapak berkeyakinan metode imkan ru’yat bisa menyusun kalender hijriyah dengan keakuratan yang tinggi, ada baiknya Pak Thomas menyusun usulan kalender hijriyah berdasarkan metode tersebut. Selanjutnya perlu dilakukan ujicoba untuk mengetahui validitasnya, rentang waktu yang diambil bisa 20,50, 70 atau 100 tahun.
    Saya pernah membaca tulisan Pak Syamsul Anwar, bahwa Muhammadiyah berdasarkan hasil pertemuan Para Ahli ke 2 di Maroko sedang menguji 4 sistem kalender sampai 100 tahun kedepan untuk menguji tingkat validitasnya.

    Nah, dari hasil uji tersebut nanti bisa dibandingkan mana metode kalender yang tingkat validitasnya paling tinggi bisa dijadikan sistem kalender hijriyah global yang akan dijadikan sebagai pedoman oleh muslimin sedunia dalam memasuki bulan baru serta menyelenggarakan ibadah secara berjamaah bersama ( puasa, hari raya, dan puasa arafah /haji ). Terimakasih Pak Thomas, mohon tanggapanya.

    • Kalender mudah disusun karena program perhitungan sudah sangat mudah diperoleh. Saya sudah membuat program sendiri yang juga bisa digunakan untuk jangka panjang. Program gratis pun bisa didownload, untuk bikin kalender sampai 1000 tahun ke depan pun bisa dilakukan, antara lain di http://www.icoproject.org/accut.html?&l=en#dow
      Apa kunci validitas? Secara astronomi, validitas diuji dari kecocokan antara kalender dan fenomena fisis di alam. Maka kalender yang tepat adalah yang berbasis imkan rukyat (visibilitas hilal), bukan kalender Wujudul Hilal. Gagasan unifikasi kalender ala Jamaluddin Abd Raziq yang diusung Pak Syamsul Anwar, hakikatnya berbasis imkan rukyat, bukan wujudul hilal. Silakan baca https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/

      • Yth. Pak Thomas,
        Mohon maaf sebelumnya, beberapa kali Pak Thomas mengatakan mudah untuk membuat kalender menggunakan metode Imkan Ru’yat. Saran saya ( seperti juga saran sdr. Mata Qalbu – anonim ) dibawah ini, sebaiknya Pak Thomas menyusunya saja untuk meyakinkan masayarakat bahwa metode yang Pak Thomas tawarkan bisa meyatukan ummat ( dalam konteks menyatukan awal puasa, Idul Fitri dan Hari Arafah ), kalender yang sudah disusun muat saja di blog Pak Thomas sehingga validitas kalender yang disusun dengan metode Imkan Ru’yat tersebut bisa divalidasi keakuratanya dan juga para ahli bisa memberikan feed back atas kalender yang Pak Thomas susun.
        Sehingga tujuan Pak Thomas untuk menyatukan ummat melalui Imkan Ru’yat bisa terverifikasi, jika kalender tersebut tingkat keakuratanya sangat tinggi, tentu saja itu akan menjadi sumbangan berharga bagi peradapan Islam. Terimakasih sebelumnya Pak Thomas, semoga kalendernya bisa dimuat di blog ini. Terimakasih…

  76. iya sdr zudi sy jg sdh membacanya berulang-ulang hahahah…., pk thomas dari 4 kalender yg di uji salah satunya kalender umul qura arab saudi dgn kriteria wujudul hilal di mekkah…kalau pk thomas sdh membuat program kalender jangka panjang knp ngak langsung di uji kan bpk sdh punya konsep tinggi bulan 4 derajat. menurut sy yg masyarakat hrpkan pk thomas buat dulu sebuah rancangan kalender terserah mau pakai kriteria apa di uji dulu unt sekian thn kalau sdh valid baru dipublikasikan nanti masyarakat yg menilainya. cuma itu aja ngak perlu diributkan seprti tulisan-tulisan bapak di blog ini yg terkesan terlalu memaksakan dan menyudutkan orang lain. yang penting bpk sdh menawarkan solusinya. saya kutipkan komentar sdr hari indra di blog ini (11. Seorang ilmuwan harus pula memiliki rasa lapang dada, jika ilmunya tidak digunakan saat ini, tetapi mungkin saja kelak dipakai dan dibenarkan oleh kelompok yang menentangnya, bukan malah menuduh bid’ah kepada penentangnya)…harapan saya mudah2an pk thomas bisa merenungkannya.

  77. Jika kita dituduh melakukan bid’ah, sebenarnya tidak bijaksana jika kita kemudian menuding balik bid’ah pada si penuduh. Yang terjadi adalah saling tuduh, saling membid’ahkan. Tentu hal ini menjadi tidak baik. Tapi, jika sekedar menunjukkan beberapa titik lemah, saya rasa itu bukan membalas tuduhan bid’ah. Anggaplah itu sekedar mekanisme pembelaan diri yang muncul secara refleks.
    Imkanur Rukyat sesungguhnya mempunyai banyak problem, lebih banyak daripada wujudul-hilal. Apa saja problemnya?
    1. Ketidakjelasan dalil. Sebagai sesama varian kriteria dalam ilmu hisab, Imkanur Rukyat pun sama dengan Wujudul Hilal, dalilnya dianggap tidak jelas. Jika wujudul hilal “dianggap” mengabaikan hadis-hadis tentang rukyat dan memaknai kalimat an tudrika al-qamar secara salah, maka Imkanur Rukyat lebih dari itu. Di satu sisi mengaku tidak meninggalkan rukyat, tapi di sisi lain menggunakan kriteria hisab visibiltas hilal. Pengakuan terhadap rukyat hanya pura-pura saja, sesungguhnya hisablah yang digunakan. Buktinya, ketika ada orang yang bersaksi melihat hilal, tetapi karena syarat imkannya tidak terpenuhi, maka pengakuan rukyat itu ditolak. Lah, dalil menolak kesaksian rukyat itu diambil dari mana … ??? Dalil ketentuan ketinggian hilal juga diambil dari mana … ???
    2. Berpotensi bid’ah. Karena ketidakjelasan dalil, maka Imkanur Rukyat juga berpotensi menjadi bid’ah, bahkan bid’ah jahiliyah.Seperti diketahui, tidak ada satu ketentuan pun yang tegas ada dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah, seberapa tinggi hilal awal bulan yang dapat dilihat. Jadi, angka-angka yang muncul pada kriteria imaknur rukyat semuanya adalah buatan manusia. Ijtihad-kah? Jika itu masalah muamalah, maka itu memang ijtihad. Tapi jika itu masalah ibadah, maka itulah bid’ah. Dan karena imkanur rukyat sudah ada konsepnya sebelum masa Nabi saw, maka termasuk bid’ah jahiliyah. Salah satu yang dituntut dari perintah berpuasa dalam hadis-hadis tentang rukyat adalah kepastian masuknya bulan baru, yang kala itu hanya bisa dilakukan dengan rukyat, bukan dengan perkiraan ketinggian hilal (imkan), bukan pula dengan kalender urfi, dan bukan pula dengan kalender lunisolar.
    3. Ketidakjelasan dasar atronomis. Secara astronomis, kriteria ketinggian hilal yang dapat diamati dari bumi sampai detik ini tidak jelas mana yang benar, MABIMS mempersyaratkan 4 derajat ketinggian, atau dikenal dengan sebutan 2-3-8. LAPAN via Thomas Djamaluddin mempersyaratkan 4 derajat jarak tinggi bulan-matahari dan 6,4 derajat sudut elongasi. DAnjon 7 derajat, dll, dll. Di Indonesia, yang digunakan adalah kriteria MABIMS. Tapi, belakangan Thomas Djamaluddin mengkritiknya, dan mengajukan syarat baru yang ddiklaimnya lebih astronomis. Mana yang benar menurut astronomi? Tentu masing-masing menganggap kriterianyalah yang paling benar.
    4. Tidak ada jaminan dapat menyatukan hari raya. Dengan imkanur rukyat, apalagi masih ber-mindset lokal, tidak akan mungkin bisa menyatukan hari raya umat Islam se-dunia, sama halnya dengan wujudul hilal yang masih menggunakan matlak wilayatul hukmi. Pendapat yang mengatakan “yang penting Indonesia dulu”, itu hanya isapan jempol belaka. Banyak warga negara kita yang memilih mengikuti Arab Saudi, khususnya pada saat lebaran haji, karena ada puasa Arafah di dalamnya. Sungguh, dengan menggunakan imkanur rukyat sebagai alat pemersatu di Indonesia, tidak dapat menjamin mereka akan mau mengikuti.
    Wallahu a’lam.

    • Berikut ini tanggapan saya. Agar jelas, saya tanggapi sesuai butir-butir yang disampaikan:
      1. Soal ketidakjelasan dalil. Baik hisab IR maupun WH keduanya menggunakan dalil-dalil yang membolehkan hisab. Tentu saja para pengamal rukyat masih berkeberatan dengan dalil-dali hisab tersebut. Tetapi MUI telah mengeluarkan Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 yang membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat (mungkin dirukyat), walau hilal tidak terlihat. Fatwa itu tentu mendasarkan pada dalil-dalil syar’i. Fatwa itulah yang digunakan dalam penetapan awal Ramadhan 1407/1987, walau rukyat tidak berhasil. Ya, hisab digunakan dalam menilai rukyat yang tidak mu’tabar (tidak terpercaya), karena terpengaruh oleh hisab yang tidak mu’tabar juga. Rukyat di Cakung tidaklah murni rukyat, tetapi rukyat yang terpengaruh hisab taqribi (pendekatan) Sulamunnayirain. Hisab taqribi hanya menghitung umur bulan dan ketinggian hilal didekati dengan rumus sederhana = 1/2 umur bulan, sehingga ketika hisab hakiki menyatakan tinggi hilal kurang dari 2 derajat, mereka menganggapnya sekitar 3 derajat, sehingga mereka cenderung yakin dengan rukyatnya. Contohnya, ijtimak akhir Ramadhan 1432 lalu terjadi pada pukul 10.04 WIB, maghrib di Cakung sekitar pukul 17.55, maka umur bulan sekitra 17.55 – 10.04 = 07.51 menit, maka tinggi bulan taqribi = 07.50/2, hampir 4 derajat, jauh lebih tinggi dari hisab hakiki yang menyatakan tinggi bulan kurang dari 2 derajat. Karena hisabnya tidak mu’tabar, maka rukyatnya pun tidak mu’tabar.
      2. Bid’ahkah IR? Kalau rujukannya pada rukyat, pasti hisab secara keseluruhan (termasuk WH) sudah dianggap bid’ah. Tetapi dengan dasar dalil-dalil yang membolehkan hisab yang setara dengan rukyat, banyak ulama yang tidak menganggap hisab sebagai bid’ah yang sesat. Lalu, coba kita timbang, antara hisab WH dan hisab imkan rukyat. Hisab WH jelas-jelas meninggalkan rukyat, itu jelas-jelas kreativitas akal dalam menentukan awal bulan, meninggalkan sunnah Rasul yang mencontohkan mendasarkan pada rukyat hilal. Hisab IR mencoba menafsirkan rukyat dalam bentuk rumus yang bisa dihitung, seperti halnya menafsirkan jadwal shalat dari informasi fenomena cahaya matahari dalam dalil-dalil syar’i. Dengan rumus itu selain bisa memprakirakan rukyat, juga bisa digunakan untuk membuat kalender.
      3. Kriteria astronomi tentang imkan rukyat (visibilitas hilal) itu banyak. Masing-masing peneliti tidak mengklaim kriterianya yang terbaik, karena semuanya didasarkan pada data yang disajikan. Para pengkaji yang menilai kesahihan data dan analisisnya. Untuk implementasi, perlu dipilih salah satunya yang paling mudah dilaksanakan oleh ahli hisab di Indonesia. Hal ini juga sama dengan kriteria jadwal shalat yang sangat beragam, tetapi kemudian BHR memilih salah satunya dan kini menjadi kriteria jadwal shalat yang digunakan di seluruh Indonesia. Saat ini krieria imkan rukyat telah disepakati dalam pertemuan BHR 1998 dan 2011 bahwa kriteria yang digunakan di Indonesia adalah kriteria 2-3-8. Kriteria itu bukanlah kriteria astronomis, tetapi lebih didasarkan pada pendapat ulama dalam kitab-kitab falak. Itu kriteria antara, yang nantinya bisa disempurnakan menjadi kriteria yang lebih astronomis. Dari sekian banyak pilihan, saya memilihkan satu kriteria yang saya anggap cocok dan praktis dalam praktek hisab rukyat di Indonesia, https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/08/02/analisis-visibilitas-hilal-untuk-usulan-kriteria-tunggal-di-indonesia/ .
      4. Tidak ada jaminan dapat mempersatukan hari raya? Kalau semangatnya untuk bersatu menurut perintah Allah pada QS 3:103, insya-allah kita bisa bersatu. Syarat pertama, ada kesepakatan kriterianya. Kedua ada kesepakatan wilayahnya, mau penyatuan lokal-nasional, regional, atau global-internasional. Ketiga ada otoritas yang menjaganya, dalam lingkup nasional ada Menteri Agama dan dalam lingkup regional dan global harus didasarkan pada perjanjian multilateral regional/internasional. Semuanya harus bertahap. Tidak mungkin kita mendapatkan kesepakatn global-internasional kalau lokal-nasional saja belum sepakat.

      • kriteria imkan rukyat yg anda usulkan:

        Jarak bulan-matahari > 6,4o dan
        beda tinggi bulan-matahari > 4o

        Dengan ketentuan:
        1. Seandainya ada kesaksian rukyat yang meragukan, di
        bawah kritria tersebut, maka kesaksian tersebut harus
        ditolak.
        2. Bila ada kesaksian rukyat yang meyakinkan (lebih dari
        satu tempat dan tidak ada objek yang menggangu atau ada
        rekaman citranya), maka kesaksian harus diterima dan
        menjadi bahan untuk mengoreksi kriteria hisab rukyat
        yang baru.
        3. Bila tidak ada kesaksian rukyatul hilal karena mendung,
        padahal bulan telah memenuhi kriteria, maka data tersebut
        dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan, karena
        kriteria hisab rukyat telah didasarkan pada data rukyat
        jangka panjang (berarti tidak mengabaikan metode rukyat).

        mhn diperjelas poin nmr 2….

      • Kriteria itu dibuat atas dasar data rukyat jangka panjang yang menyatakan persyaratan minimal yang memungkinkan hilal bisa terlihat. Tetapi, bisa saja bila suatu saat dengan perkembangan teknologi bisa dijumpai hilal yang lebih rendah dari kriteria yang sudah disepakati dan kesaksian itu dapat dipercaya (mu’tabar), maka kesaksian itu harus diterima dan nantinya dijadikan dasar untuk menyempurnakan kriteria baru yang juga harus disepakati.

  78. Pak Prof. Thomas Djamaluddin yang terhormat,
    Saya kagum dengan segala argumentasi bapak dan perjuangan bapak di dalam menyatukan ummat dengan background ilmu yang bapak miliki. Semoga saya bisa meniru keteladanan bapak, dan semoga cita – cita kita bersama untuk menyatukan ummat ini bisa terwujud. Bukankah ilmu pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan syariat yang Allah SWT turunkan…

    Bravo Pak Thomas…..

    • Selamat berjuang,WH juga keras berjuang dengan dasar sangat kuat,WH tidak menjadi kikis akan keilmuan orang IR,WH eksis di Muhammadiyah dan Dunia.

  79. Ah lebaran kemaren aja bo’ong. Katanya negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei lebarannya bareng pemerintah Indonesia. Nyatanya, bareng Muhammadiyah. Eh, pemerintah Indonesia malah bareng sama Iran yang Syi’ah. Lha kalo wujudul hilal dianggap bid’ah, itu nape rukyat pada pake teropong? Emang nabi pake teropongan.

  80. Anggota Dewan Ulama senior di Kerajaan Arab Saudi, Sheikh Abdullah Al-Manie mengatakan awal puasa akan jatuh pada Jumat, 20 Juli mendatang. Sementara Hari Raya Idul Fitri pada Jumat, 19 Agustus.

    Ia melanjutkan, puasa akan berakhir pada Sabtu, 18 Agustus. Hari-hari yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan dan ritus lainnya harus dikonfirmasi via penampakan bulan baru dan perintah kerajaan.
    Dikutip dari Republika Online, 3 Juli 2012
    Ini berarti awal puasa Muhammadiyah = Arab Saudi, bagaimana tanggapan bapak? terima kasih

  81. Ass wr wb. Berdasarkan wawasan global ttg hasil kombinasi gerak matahari, bumi dan bulan, awal bulan2 hijriyah di Indonesia dan negara2 lain di dunia tidak harus sama dg Arab Saudi. Awal bulan2 hijriyah di Indonesia dan negara2 lain di dunia bisa MENDAHULUI Arab Saudi, bisa BERSAMAAN dg Arah Saudi, dan bisa pula BELAKANGAN dr Arab Saudi, semuanya tergantung pd posisi ILDL bln berkenaan krn ILDL unik dan dinamis selalu berpindah ke timur setiap bulan. Wass wr wb.

    • kalender hijriyah indonesia tdk konsisten dan tdk tegas implementasinya mas bambang. baca komentar pk thomas (Kalender ditentukan berdasarkan kesepakatan dari segi kriteria dan implementasi. Astronom memberikan solusi kriterianya. Penerapannya ada pada otoritas tunggal yang disepakati. Saat ini Pemerintah RI belum sepenuhnya dianggap sebagai otoritas tunggal, karena ormas-ormas Islam belum semuanya bersepakat dengan kriteria astronomis tersebut dan belum sepenuhnya juga mengimplementasikannya. Itu problem utamanya).

  82. Perbedaan awal puasa antar negara adalah hal yang bisa difahami, walau pun tidak mesti terjadi pada masa sekarang yang serba canggih bahwa setelah konjungsi hilal sudah muncul di atas horizon setelah terbenam matahari.

    Hal itu disampaikan staf pengajar pada Islamic University of Europa, Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA kepada detikcom, Sabtu (14/7/2012).

    “Namun jika perbedaan awal Ramadan di satu negara apalagi di kota yang sama seperti Jakarta bahkan di satu gang yang sama, maka itu bukan lagi rahmat, namun laknat bagi umat Islam di tanah air,” ujar Sofjan.

    Menurut Sofjan, perbedaan penetapan awal Ramadan sejak dulu bukan karena beda methode antara rukyah dan hisab, namun karena gengsi antara Muhammadiyah yang menerapkan methode horizon bebas dan Kemenag yang didominasi pemikiran horizon lokal.

    “Karena methode apa pun yang dipakai jika masing-masing pihak memahami bahwa tujuan dari rukyah dan hisab adalah sama yaitu hilal, pasti bisa ketemu dan puasa bersama,” tandas Sofjan.

    Lanjut Sofjan, hakekat dan esensi perintah merukyah bukan ibadah dan tidak boleh disakralkan, tapi justru adalah untuk mengetahui apakah hilal sudah muncul atau belum. Jika kita sudah tahu hilal jauh sebelumnya, mengapa lajnatul isbath Kemenag dan ormas islam lainnya harus menunggu 29 Syaban setiap tahun untuk observasi hilal?

    Jika hilal sudah diyakini pasti muncul, mungkin dilihat di tempat lain, namun tidak mungkin dilihat di Indonesia, mengapa Kemenag harus mengerahkan massa memantau hilal di beberapa titik di tanah air pada 29 Syaban?

    “Artinya kenapa anggaran observasi dialokasikan dan dicairkan padahal sudah tahu haqqulyakin bahwa hilal untuk tahun ini pada tanggal tersebut tidak bisa dirukyah?Bukankah ini suatu pembodohan umat?,” gugat Sofjan.

    Dijelaskan, untuk tahun ini konjungsi matahari dan bulan terjadi pada Kamis 19 Juli 2012 pukul 04.24 UT, 07.24 waktu Mekkah. Kondisi hilal di Indonesia sulit dirukyah karena ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, walau pun sebenarnya ketinggian hilal 1 derajat pun pernah bisa dirukyah pada 1971 di Indonesia.

    Yang jelas, lanjut Sofjan, hilal sudah ada setelah matahari terbenam dan berumur lebih dari 8 jam setelah konjungsi. Kemungkinan dilihat di Mekkah ada selama sekitar 6 menit setelah matahari terbenam pada pukul 19.05 waktu setempat, lalu hilal tenggelam pada pukul 19.11.

    Dalam pandangan Sofjan, hanya ada satu solusi yaitu bubarkan lajnatul isbat dan ganti dengan lajnatul falak. Artinya, tidak mesti kumpul dan kongko-kongko lagi di Kemenag pada setiap tanggal 29 Syaban, tapi tentukan jauh sebelumnya bahwa puasa jatuh pada hari sekian dan tanggal sekian.

    Kemenag tahun ini harus berani menggunakan otoritasnya untuk mengumumkan awal puasa beberapa hari sebelum akhir Syaban dan menyiarkan puasa serentak pada 20 Juli 2012. Kemenag harus membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin bukan laknatan lilalamin.

    “Adalah suatu kesalahan besar jika beberapa ormas Islam dan lajnatul isbath Kemenag masih bersikeras mempertahankan tradisi dan adat yang tidak ada kaitannya dengan ibadat. Merukyah sendiri, dengan melakukan methode horizon lokal, berarti mempersempit rahmat dan menyebar laknat terhadap umat Islam di tanah air,” demikian Sofjan.

  83. Ass wr wb. Mas Mata Qolbu, saya memahaminya dr sisi lain bhw kalender hijriyah di Indonesia ada beragam dimana ada 2 pilihan ttg awal blnnya yaitu setelah hr ke 29 atau setelah hr ke 30. Pemerintah RI sendiri tdk menerbitkan kalender hijriyah resmi tetapi bertindak sbg otoritas yg tdk memihak. Krn kalender2 hijriyah yg ada tdk seragam maka rujukan yg digunakan adalah dalil2 syar’i secara utuh dlm Al Qur’an dan Hadist yaitu tetap menggunakan rukyat sbg dasar pengambilan keputusan. Wass wr wb.

    • waalaikum salam wr.wb
      mas bambang. itulah yg sy katakan tidak tegas dan malah tambah diributkan oleh pakar astronom. semua org jg tau penetuan awal bulan qamariah dengan rukyat. yg kt sayangkan cuma sarana yg sdh ada tdk dimanfaatkan.

  84. Simple saja…
    Pak Tomas,, Berhati-hati lah Agama Bukan mainan,, Jangan sampai terjadi seperti penentuan tanggal 1 Syawal tahun lalu,,, Masyarakat Indonesia Telah mencoreng muka sendiri di hadapan negara lain dan dihadapan sang Maha Kuasa, dengan sudah di bagikannya zakat fitrah,, sudah melaksanakan Takbir di malam harinya,,, Ironis nya keputusan Sidang Isbat KEMENAG berbeda. semuanya langsung berhenti melaksanakan Takbir,,,
    Bagaimana dengan hukum Zakat fitrah yang sudah di keluarkan tersebut?? sedangkan Masyarakatnya pada keesokan harinya masih melaksanaakan Puasa…
    INGAT LAAA IKROHA FIDDIIN…
    TIDAK ADA KERAGUAN DALAM AGAMA
    JANGAN PLIN-PLAN
    ISTIQOMAH DENGAN BENAR
    APALAGI MALAH MENYUDUTKAN ORMAS YANG LAIN
    SALAH BESARRRRRRRRRR

    • Saya sangat kagum dengan penjelasan Bapak Prof. Thomas Jamaluddin, penjelasannya sangat Ilmiah. Kepada para komentator, mohon agar kritikan saudara yang ilmiah, tidak emosional. Prof. Thomas Jamaludin memaparkan hal-halnya yang memang faktual yang terjadi di Badan Hisab Rukyat. Beliau memaparkan bagaimana sesungguhnya ormas-ormas Islam itu bersikap perihal Hisab dan Rukyat. Tentang Persis, Tentang Muhammadiyah dan Ormas lain memang demikian adanya. Cobalah ada baca dengan seksama, tinggalkan pikiran sentimentil, anggap diri anda tidak mengikuti salah satu ormas apapun, tetapi posisikan diri anda sebagai orang yang netral yang menginginkan persatuan umat Islam, posisikan diri anda sebagai seorang yang berpikir kritis dan ilmiah. Jadi sekali lagi, mohon komentar-komentar lebih halus dan ilmiah tidak asal bicara. beberapa komentator terbaca sangat emosional.

    • copas komen saudara kukuh Mduammatrix
      “INGAT LAAA IKROHA FIDDIIN…”
      “TIDAK ADA KERAGUAN DALAM AGAMA”
      mohon penjelasan “LAAA IKROHA FIDDIIN…” = “TIDAK ADA KERAGUAN DALAM AGAMA” ?

  85. MENYOAL “IMKANUR RUKYAT atau VISIBILITAS HILAL” SEBAGAI PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH

    Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
    Wakil Ketua Pengadilan Agama Watansoppeng
    Ummat Islam sering bersedih saat berlebaran, seorang suami yang sudah shalat idul fitri di lapangan, tetapi dirumah menemui kenyataan istri dan anak-anak masih berpuasa. Gagasan penyatuan kalender Islam telah bertahun-tahun diupayakan, tetapi hasilnya dead lock, seakan-akan mempersatukan ummat Islam yang dinyatakan oleh Allah sebagai “ummatan wakhidah” itu sulit duwujudkan walaupun untuk hal yang sederhana. Bagai mempersatukan minyak tanah dengan air, walaupun sama-sama tampak cair tapi tapi susah bersatu walau hanya untuk menentukan kapan tanggal 1 Syawal itu. Inilah sisi buruk ummat Islam, untuk meredam itu sebagai obat sementara ummat cukup dininabobokkan dengan hadits dlaif “ikhtilaafu ummati rahmatun”.
    Hari raya bukan sekadar ibadah individu, tetapi terkait juga dengan aspek sosial yang berdampak luas. Saling menghormati perbedaan masalah-masalah furu’iyah adalah obat sementara untuk menyembuhkan keresahan, tetapi penyakit kronisnya harus dibasmi. Idealnya ummat Islam harus memiliki fondasi ukhuwah yang kuat, sekaligus ada keseragaman pandangan dalam menetukan puasa dan hari rayanya.
    Masalah keseragaman berhari raya menjadi cermin yang kasat mata untuk dilihat. Sangat tidak nyaman sekelompok orang sudah makan-makan, sedangkan kelompok lainnya masih berpuasa. Apalagi kemudian ada ungkapan haramnya puasa pada hari itu. Bagaimana pun ummat agama lain melihat berbedanya hari raya ummat Islam digambarkan sebagai perpecahan. Karenanya ummat Islam perlu mempunyai sistem kelender hijriyah yang mapan yang berlaku dalam skala nasional syukur kalo bisa global.
    Hampir dapat dipastikan untuk mengawali puasa Ramadlan 1433 H nanti ummat Islam akan berbeda lagi, hal ini disebabkan karena posisi hilal pada tanggal 29 Sya’ban 1433 H bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2012 di seluruh wilayah Indonesia tidak sampai 2° diatas ufuk saat matahari terbenam (ghurub). Untuk kota Makassar misalnya ghurub pada tanggal 19 Juli 2012 tersebut ketinggian hilal hanya 1°19’ diatas ufuk, Jakarta 1º47’, Yogyakarta 1º48’, Sabang 1º12’ dan Meraoke 0º 52’.
    Perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawwal sebagai tersebut diatas bagi ummat Islam bukanlah yang pertama kali, tetapi telah berkali-kali dan telah berjalan berpuluh-puluh tahun silam. Bahkan keresahan itu akan muncul berulang-ulang tiga tahun berturut-turut 1433,1434 dan 1435 atau tahun 2012, 2013 dan 2014.
    Tanggal 25 April 2012 yang lalu, ada berita bagaikan angin sorga yang menyegarkan bagi kita ummat Islam, karena di Kantor Kementrian Agama di Jakarta, telah dihadirkan 60 perwakilan ormas Islam, Pondok Pesantren, para pakar hisab-rukyat dan instansi terkait; Bosscha ITB, LAPAN, BMKG dan Planetarium & Observatorium untuk menggagas terwujudnya Kalender Islam Tunggal, akan tetapi setelah gagasan-gagasan kesepakatan tersebut dirumuskan dalam butir-butir kalimat, lagi-lagi yang terjadi adalah ketidak sepakatan.
    Butir 2 dan 3 kesepakatan itu berbunyi :
    2). Untuk menuju kesatuan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dibutuhkan 3 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1) pemberian dan pengakuan otoritas kepada lembaga tertentu (MUI sejauh ini memberikan otoritas tersebut kepada Kementerian Agama RI); 2) adanya kriteria yang disepakati; dan 3) adanya wilayah pemberlakuan hukum;
    3) Sejauh ini belum ada kesepakatan butir kedua, yaitu mengenai kriteria awal bulan qomariyah. Untuk menuju ke sana, pihak-pihak yang hadir dalam forum setuju untuk membentuk tim kecil perumus kriteria yang terdiri dari perwakilan ahli hisab rukyat ormas dan instansi terkait, dengan difasilitasi oleh Kementerian Agama dan supervisi pimpinan ormas.
    Bagi kita yang arif, memahami butir-butik kalimat diatas lagi-lagi yang menjadikan ketidak sepakatan adalah criteria ketinggian hilal sebagai dasar penentuan awal bulan yang biasa disebut “imkanur rukyat” yang bahasa ilmiyahnya biasa disebut “visibilatas hilal”
    Problem Pemahaman Hadis
    Imam Syafi’i telah menanamkan pondasi epitimologis yang sangat kuat menghunjam di hati ummat Islam (fuqoha’) ketika beliau mengeluarkan kaidah fiqhiyah “ idza shahhal al-hadits fahuwa madzhabiy”, bahwa “ketika sebuah teks (hadits) telah teruji dan terbukti keshahihannya itulah madzhabku”. Kaidah Syafi’i tersebut secara paradigmatic telah menggerakkan dunia intelektual Islam utamanya dibidang hukum. Sehingga ummat Islam (fuqoha’nya) berkutat dalam “tradisi tekstual”. Kebenaran hukum agama hanya bisa ditentukan sejauh mana kesesuaiannya dengan bunyi literal (teks) hadits, karena itu hadist shahih senantiasa dipegang teguh secara tekstual, tanpa memperhatikan latar belakang sejarah (sosio historis) yang meliputinya yang dalam bahasa ilmu musthalah hadits diistilahkan tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan “asbaabul wurud”nya.
    Paradigma Syafi’i tersebut telah sekian lama mendominasi dan menjadi world-view jalan pikiran ummat Islam dalam wacana hukum Islam, yang kemudian dalam tataran methodology hukum Islam, lahirlah kaidah ushuliyah “al-’ibrotu bi umumil lafdzi la bikhususi sababi”, yang dijadikan pegangan adalah bunyi tekstualnya buka latar belakang yang melingkupinya.
    Selain argumen pemikiran tersebut diatas ummat Islam juga berargumen dengan Al-Quran surat Al-Qolam “wa maa yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuhaa”; Muhammad tidak mengatakan atas dasar hawa-nafsunya, tetapi semua yang dikatakan adalah semata-mata wahyu Allah”.
    Tidak bisa dibantah, bahwa hadits-hadits tentang ru’yat adalah shahih, Imam Bukhari dalam Shahihnya setidak-tidaknya memuat 3 buah hadist dari Sahabat Abdullah bin Umar 2 hadits dan dari Abu Hurairah 1 buah hadits, Imam Muslim dalam Shahehnya juga meriwayatkan haits yang sama, sedangkan dalam Musnad Ahmad terdapat sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas R.A. dan hadits-hadits tersebut sangat masyhur dikalangan ummat Islam, boleh dikatakan semua ummat Islam yang terpelajar mengatahui hadits “shuumu liru’yatihi wa afthiruu liru’yatih.. (al-hadits)”, karena hadits ini senantiasa diceramahkan dimasjid-masjid saat menyambut bulan ramadlan tiba.
    Perintah berpuasa ramadlan sebagai mana Allah firmankan dalam Q.S. Al-Baqarah 183 dan 185 tersebut, maksudnya adalah perintah berpuasa selama bulan ramadlan dari tanggal 1 sampai berakhir, yaitu tanggal 29 atau boleh jadi sampai tanggal 30, yang menjadi persoalan adalah, kapankan tanggal 1 Ramadlan dan atau 1 Syawwal itu ?
    Menentukan pergantian bulan qomariyah adalah domain “ilmu pengetahuan” bukan domain “kerasulan”. Penetuan tanggal 1 Ramadlan maupun 1 Syawal statusnya tidak ada bedanya dengan menentukan tanggal 1 Muharram, 1 Safar, 1 Rabiulawal dan bulan-bulan qomariyah lainnya. Karena bukan domain kerasulan, maka manusia tidak memerlukan wahyu untuk menentukan itu, maka karenanya tidak diperlukan dalil agama baik Al-Qur-an atau Hadits. Keberadaan hadits ”Shuumu liru’yatihi waafthiruu liru’yatihi….”, tidak harus dipedomani untuk menetukan tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal dengan alas an, hadits tersebut substansinya hanya merupakan reaksi kemanusiaan (basyariyah) nabi terhadap laporan sahabat yang melaporkan kepadanya bahwa ia telah melihat hilal, sehingga kemudian beliau member petunjuk (irsyaad), yang kalau diterjemahkan secara bebas : “kalau kalian sudah dapat melihat hilal, berarti bulan Sya’ban sudah habis dan sekarang kita sudah masuk tanggal 1 Ramadlan, maka berpuasalah, nanti juga begitu, kalau kalian sudah dapat melihat hilal berarti bulan Ramadlan telah berakhir dan kita masuk tanggal 1 Syawwal, maka berbukalah”. Sehingga hadits “shuumuu liru’yatih..” tersebut, tidak tepat jika “hanya” dipahami secara tekstual yang kemudian melahirkan pemahaman “puasa ramadlan harus dilakukan kalau sudah melihat hilal, kalau tidak melihal jangan puasa.
    Memahami sebuah hadits dengan memperhatikan konteks adalah perlu sekali, agar tidak terjebak dalam pemahaman yang tidak tepat. Contohnya adalah hadist-hadits berikut:
    – idzaa ataa ahadukum al-ghoita fa laa yastiqbil al-qiblah wa laa tuwalliiha dhahrahu, walaakin syarriquuhu au gharribuuhu”:
    Artinya : “Jika kalian buang air, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, tetapi menghadaplah kalian ke barat atau ketimur”.
    Dalam hadits tersebut Nabi memerintahkan “ menghadaplah kebarat atau ke timur”, menjadi tidak tepat kalau dipahami secara tekstual, sebab bagi orang-orang yang berada di Indonesia menghadap kebarat justru menghadap kearah kiblat. Memamahami secara benar makna hadits tersebut harus mempertimbangkan konteksnya, yaitu itu karena Rasulullah saat itu berada di Madinah, kiblat berada diselatan kota Madinah, sehingga nabi perintahkan supaya menghadap ke barat atau timur agar tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, contoh lain adalah hadits :
    – “Al- aimmatu min quraisyin”
    Artinya : “Kepemimpinan itu harus dipegang oleh suku Quraisy”, harus dipahami dengan mempertimbangkan konteksnya, karena suku Quraisy saat itu adalah suku yang besar, terkenal lebih maju, lebih cakap dan lebih berpengaruh diantara suku-suku yang ada di Zazirah arab, maka untuk kebaikan kiranya bijaksana jika yang memimpin mereka adalah dari suku Quraisy. Hadits tersebut kiranya telah tidak relevan lagi jika tetap kita jadikan acuan saat ini.
    Latar Belakang Budaya Masyarakat Arab
    Jauh sebelum nabi Muhammad diutus, masyarakat arab tentunya sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam menentukan pergantian bulan qomariyah (lunar system) yang jumlahnya 12 itu. Masyarakat arab adalah masyarakat yang sangat sederhana, sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya misalnya Mesopotomia (Mesir) yang sejak 3000 tahun sebelum masehi mereka sudah jauh lebih maju bahkan mereka sudah dapat membuat piramida; Persia dan Rumawi adalah Negara superpower ang jauh lebih maju dari dunia arab.
    Masyarakat arab dimasa Rasulullah benar-benar sederhana (ummiy), mereka belum menemukan teknologi apapun, “roda” saja mereka belum mengenal, padahal roda itu suatu penemuan yang amat membantu kehidupan manusia. Dengan roda system transformasi manusia lebih efektif dan effesien, sehingga alat tranformasi masyarakat arab satu-satuinya adalah hewan, kuda, unta, bighal/keledai, khimar tidak mengenal gerobak, pedati/dokar. Kesederhanaan masyarakat arab dijelaskan oleh Al-Qur-an, sehingga Al-Quranpun menggunakan bahasa yang sederhana dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Pola hidup mereka juga sederhana, semua permasalahan hidupnya senantiasa ditanyakan kepada nabi, sehingga dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat didahului dengan kata-kata “Yas aluunaka ‘anil ahillah, yasalunnaka ‘anil makhiid, yasaluunaka ‘anir ruuh, ya’alunaka ‘anil anfaal, dll ‘.
    Disaat mereka bertanya tentang ketentuan puasa kapan mulai dan kapan mereka dapat berbuka, Allahpun menerangkan dengan bahasa yang amat-amat sederhana sebagaimana disebut dalam Surat Al-Baqoroh ayat 187: “kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul haithul abyadu minal haitil aswadi minal fajar” artinya : “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dengan benang merah pada waktu fajar”. Untuk melaksanakan ketentuan ini terdapat riwayat bahwa para sahabat saat menjelang tidur, mereka menyiapkan dua benang berwarna hitam dan putih, saat dia bangun tidur malam karena belum ada lampu listrik, belum ada jam dinding, belum ada radio, belum ada televisi belum ada hand phon untuk bertanya kepada sahabat yang lain, maka yang dia lakukan adalah upaya membedakan warna benang yang telah disediakan itu, mana yang hitam dan mana yang putih, Jika mereka sudah bisa membedakan maka dia imsak. Itulah keadaan sahabat saat itu, sehingga gejala alam merupakan pedoman mereka.
    Nabi sendiri tidak mengerti ilmu hisab, hadits Ibn Abbas meriwayatkan “ kunna ummatun ummiyatun laa naktubu wa laa nahsibu, wasy-syahru ha kadza wa ha kadza…”. (H.S.R. Al-Buhari, Muslim. Abu Dawud dan Nasa’I dari Ibnu Abbas). Keawaman dan keummiyan nabi dalam hal ini tidak menurunkan derajad beliau sebagai Rasulullah. Saat terjadi gerhana nabi tidak pernah menyinggung sama sekali sebab-sebab ilmiyahnya, nabi hanya menjelaskan itu adalah tanda-tanda kebesaran Allah, kerjakan shalat, berbanyak-banyaklah beristighfar dan bershodaqoh, itulah tugas Rasul. Dari riwayat-riwayat yang ada jelas bahwa Nabi dan para Sahabat belum menggunakan/mengenal ilmu hisab dan bisa dipastikan bahwa Nabi dan para Sahabat tidak tahu fenomena “Ijtima’” sebagaimana yang diketahui ilmuwan sekarang.
    Keterjagaan Rasulullah Dari Kesalahan
    Kema’suman Rasulullah S.A.W. (Al-‘Ishmah) tidak dalam semua aspek perbuatannya, tetapi terbatas dalam hal-hal menyampaikan Al-Qur-an yang diwahyukan kepadanya dalam susunan kata dan maknanya sekaligus, persis sebagaimana beliau menerimanya dari Allah dalam bentuk kata dan ujaran dan beliau terjaga dalam tugasnya dalam menyampaikan risalah kepada manusia. Dan Rasulullah terjaga (tidak terjerumus) ke dalam tindakan haram dan tidak melampaui batas-batas yang ditentukan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
                        ••  •      
    Artinya : “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S. Al-Maidah 67);
    Ketaan kepada Nabi Muhammad S.A.W. adalah dalam dataran Ar-Risalah atau fungsinya sebagai seorang rasul atau pembawa risalah, tidak dalam dataran dan kapasitas beliau sebagai manusia. Dalam masalah-masalah duniawi apalagi masalah teknis duniawi nabi tidak memiliki sifat “ishmah” atau nabi tidak makshum, karena hal itu diserahkan kepada ummanya, contoh:
    1. Hadits nabi kepada petani kurma di Madinah, supaya mereka mengawinkan bunga jantan dan bunga betina, ternyata hasilnya tidak lebih bagus dari yang biasa dilakukan oleh petani Madinah tersebut, sehingga para petani mempertanyakan perintah Nabi tersebut. Maka Nabipun bersabda ” Inkaana min umuri dinikum fa ilayya, in kana min umuri dunyakum faantu a’lamu biumuri dunyaakum”;
    2. Hadits-hadits nabi tentang menyusun pertahanan Negara dan siasat dalam peperangan, setelah ditanyakan kepada beliau apakah ini wahyu atau pendapat Nabi? Nabi menjelaskan itu sekedar pendapat. Sahabat yang ahli strategi peperangan melakukan koreksi, maka Nabipun mengikuti pendapat sahabat yang dirasa lebih strategis dan masuk akal;
    3. Hadits nabi dalam memeriksa, mengadili dan memutus terhadap 2 (dua) orang yang sedang bersengketa dihadapannya. Setelah putusan itu dijatuhkan, nabipun kemudian menyatakan “Innama ana basyarun mitslukum…. , dst; Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian… dst”
    4. Hadits nabi,tentang peristiwa desas-desus bahwa sebagian sahabat-sahabat di Madinah ( yang punya anak perempuan) sangat berkeinginan agar sahabat Ali bin Abi Thalib mau mengawini putrinya (berpoligami) padahal beliau adalah suami Fathimah binti Muhammad S.A.W.; Mendengar berita ini, nabi berkeberatan dan beliau bersabda “ Fathimah adalah darah dagingku barang siapa yang menyakitinya sama halnya menyakitiku !”; Pernyataan nabi ini dalam perspektif ushul fiqih tidak dapat dijadi dasar hokum bahwa nabi tidak menyetujui poligami, karena sikap demikian adalah “Jibilliyah” sifat dari seorang manusia. Keberatan nabi itu bukan cerminan dari sikap nabi sebagai Rasulullah, tetapi sikap nabi sebagai seorang bapak yang tidak tega melihat anaknya dimadu.
    5. Hadits nabi tentang, bahwa nabi bersedih dan bahkan juga menangisi putranya bernama Ibrahim yang meningal dunia, menangisnya Rasulullah tidaklah harus diteladani pula.
    6. Dan lan-lain hadits yang tidak mungkin disebutkan dalam pembahasan ini.
    Dari hadits-hadits tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, tidak semua hadits harus kita pahami dan kita pedomani secara tekstual, mempertimbangkan latar belakang sejarah hadits itu diinstruksikan oleh nabi adalah sangat membatu memberikan makna dan kesimpulan hokum yang lebih tepat.
    Implementasi Hadis Rukyah Di Masa Rasulullah dan Khulafaur-Rasyidin
    Dalam hal-hal penting berkaitan dengan agama, biasanya Nabi membentuk ekspidisi guna mengurus/menjalankan sesuatu perintahnya, penentuan 1 Ramadlan dan 1 Syawal adalah amat penting, karena menyangkut pelaksanaan ibadah, tetapi tidak ada riwayat bahwa Nabi membentuk devisi agar sahabat memantau hilal (merukyat). Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan ummat Islam dilanjutkan oleh khulafaur-rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib juga tidak terdapat riwayat bahwa mereka menugaskan sahabat untuk melakukan rukyatul hilal sebagaimana yang dilakukan orang-orang sekarang ini.
    Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan gemar menjaga dan melaksanakan perintah Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang teks-teks sunnah dan amat peka terhadap apa yang dimaksud Rasulullah kemudian mereka akan bergegas melaksanakan perintah itu. Meraka adalah orang-orang yang menyaksikan dari hari ke hari bersama Rasulullah meskipun sunah-sunah tersebut saat itu tidak ditulis (terkodifikasi). Tetapi tidak ada sebuah riwayatpun bahwa para sahabat menindak lanjuti perintah ru’yat itu seperti yang dilakukan orang sekarang. Ini menunjukkan bahwa perintah nabi tersebut difahami oleh para sahabat hanya berfungsi irsyad (petunjuk), sekaligus mengindikasikan bahwa menetukan pergantian bulan tersebut diserahkan kepada manusia dan kebiasaan-kebiasaan mereka bukan tugas kerasulan. Puasanya memang ta’abbudi tetapi penetuan tanggal 1 Ramadlan dan tanggal 1 Syawal adalah ta’aqquli.
    Karena itulah tidak salah jika ada sementara orang berpendapat bahwa merukyat hilal itu tidak ada sandaran perintahnya dari sunnah nabi dan khulafaur-rasyidin. Tetapi kalau jika itu dilakukan justru akan memicu terjadinya perpecahan, maka sebaiknya kita tinggalkan. Yakinlah dengan kebenaran hisab sebagaimana ummat Islam telah meyakini kebenaran Jadwal Imsakiyah sebagai salah satu produk hisab.
    Selama ummat Islam dalam menentukan pergantian bulan qomariyah untuk bulan Ramadlan dan Syawal dianggap sebagai masalah ta’abbudi sehingga harus berpegang pada hadist-hadits tentang “ru’yah”, maka selama itu pula akan terjebak pada perbedaan, karena akan tetap terikat menggunakan kriteria ketinggian hilal sebagai tafsir kata “ru’yah”; yang harus diartikan “imkanur rukyah”, ketinggiannya semula disyaratkan 8 derajat, kemudian turun 6 derajat, kemudian turun 4 derajat, sekarang populer cukup 2 derajat, karena ketinggian 2 derajat juga susah ditemukan, maka kemudian naik lagi menjadi 3,5 derajat dan seterusnya dan seterusnya.
    Kebenaran Ilmu Pengetahuan dan Kebenara Agama
    Dalam kulliyah Al-Islam sering dinyatakan bahwa kebenaran agama berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebanaran agama bersifat mutlak sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan adalah bersifat nisbi, sehingga kebenaran ilmu pengetahuan terus berproses. Kebenaran pergantian bulan ditandai dengan terlihatnya “hilal” adalah kebenaran ilmiyah, bukan kebenaran agama. Oleh karena itu dapat berubah asal disertai dengan bukti-bukti yang logis dan ilmiyah. Jika kita beranggapan bahwa menentukan tanggal 1 Ramadlan dengan dapatnya melihat “hilal” itu adalah kebenaran agama yang tidak perlu berproses, maka kita tinggalkan saja hisab. Hal tersebut akan bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan bahwa perjalan bulan dan matahari dapat dikethui oleh manusia secara pasti, sehingga ilmu hisab tersebut disebut “ilmu pasti”.
    Mencari tahu kapan terjadinya pergantian bulan qomariyah adalah mencari kebenaran ilmiyah bukan kebenaran agama walaupun kebenaran ilmiyah tersebut kemudian digunakan sebagai pelaksanaan ibadah karena ibadah tersebut berkaitan dengan waktu. Kebenaran ilmiyah bisa diterima jika dilengkapi dasar-dasar dan alasan yang logis sehinga dapat diterima oleh orang sebanyak-banyaknya. Kebenaran ilmu pengetahuan tidak memerlukan dalil agama (Al-Qur-an atau Hadits). Kebanaran yang logis sehingga diterima oleh banyak orang tingkatnya menjadi sangat tinggi sehingga seluruh manusia bisa menerima sehingga mencapai apa yang disebut kesepakatan ilmiyah. Inipun sebenarnya dilihat dari kacamatan filsafat masih kebenaran relative. Contoh :
    1. 4 x 4 = 16 (enam belas) adalah kebenaran logis (ilmiyah)m yang telah lama tidak berubah dan telah menjadi kesepakatan, karena belum ada dalil lebih logis yang mampu merubah kesepakatan tersebut;
    2. Lingkaran itu besarnya 360° dianggap logis dan kesepakatan ilmiyah;
    3. Dalam segitiga jumlah sudutnya adalah 180° dan dalam segitiga sama sisi ketiga sudutnya sama besar, adalah kebenaran ilmiyah dan disepakati;
    4. Garis meredian 0° yang menjadi batas hari menurut solar sestem adalah meridian yang lalui kota Grenwicg, adalah kesepakatan ;
    5. Menurut ilmu hisab matahari beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, yang kemudian kembali pada posisnya semula selama 1 (satu) tahun, adalah kesepakatan ilmiyah, bulanpun demikian beredar dalam orbitnya dari arah barat ke timur, mengitari bumi, kemudian selama 29 hari lebih sedikit, matahari dan bulan sama-sama dalam garis ekleptika langit yang diistilahkan Ijtima’, itu adalah kesepakatan ilmiyah;
    Hal-hal sebagai tersebut diatas oleh ilmu pengetahuan dianggap benar dan disepakati kebenarannya dan kebenarannya tidak memerlukan dalil agama (wahyu). Kebenaran ilmiyah tersebut suatu saat dianggap salah jika ditemukan alasan yang lebih logis bahwa hal tersebut tidak sesuai lagi dengan kebenaran.
    Kiranya argument tersebut membuka pikiran kita bahwa masalah ilmu pengetahuan yang paling diperlukan adalah “kesepakatan”, kesepakatan itu akan terwujud jika orang lain bersedia menerima, supaya orang lain dapat menerima maka diperlukan alasan-alasan yang logis. Menurut hemat saya Ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah memenuhi alasan-alasan logis.
    Fenomena Ijtima (Conjungtion).
    Ijtima (konjungsi) terjadi dalam satu kali sebulan dan itu pasti serta pada saat yang sama di seluruh dunia, jikalau terdapat perbedaan karena perbedaan sistem, maka hal tersebut tidak berpengaruh banyak karena dalam hitungan menit saja, bahkan jika menggunakan hisab haqiqi bit-tahqiq (kontemporer) seperti Jhon Meus, Nautical Almanac, Ephimeris Sistem, New Com, maka perbedaan itu dalam hitungan detik, sehingga tidak ada pengaruh yang signifikan. System ijtima’ memiliki criteria-criteria yang unik dan lebih mempersempit lokasi/daerah kritis (batas tanggal). Ibarat orang membuat lin/garis lapangan tenes, semakin tipis garis/lin tersebut kita buat semakin sedikit bola jatuh di garis tersebut. Sebaliknya semakin lebar garis/lin yang kita buat, semakin banyak bolah yang jatuh digaris itu, dampak logisnya akan lebih banyak menimbulkan perbedaan dan bahkan kekecewaan pemain.
    Sebagaimana telah disepakati bahwa pergantian hari berdasarkan lunar system (qomariyah) adalah waktu ghurub (maghrib). Misalkan berdasarkan hisab ijtima tanggal 29 Sya’ban terjadi pada jam 17.43’.12” WITA, sedangkan ghurub (maghrib) untuk kota Makassar juga pada jam 17.43’.12” WITA (sama persis dengan detiknya), maka hanya kota Makassar saja dan dearah lain yang maghribnya sama persisis jam menit dan detiknya (jam 17.43’.12” WITA) adalah daerah kritis (batas tanggal), adapun kota lain yang hasil hisabnya maghrib jam 17.42’.45” WITA (bedanya tidak sampai 1 menit) sudah tidak termasuk batas tanggal, sehingga kota Bone, kota Wajo, kota Sengkang, kota Pare-Pare, kota Soppeng bisa ditentukan masih bulan yang lama atau sudah masuk bulan baru, karena berdasarkan perhitungan hisab ghurubnya (maghribnya) kota-kota tersebut sudah berbeda walaupun dalam hitungan detik (subhanallah). Itulah kelebihan bila kita menggunakan paradigma ijtima’ sebagai batas awal dan akhir bulan qomariyah.
    Di era digital ini seharus kita ummat Islam percaya kepada hasil hisab. Karena dengan perbedaan hitungan detikpun kita telah mempunyai landasan pemutus. Misalkan waktu maghrib disuatu tempat adalah jam 17.50’.30”, maka masyarakat yang sengaja berbuka jam 17.50.00 adalah batal puasanya karena secara hokum belum masuk waktu maghrib.
    Ilmu hisab kini telah merambah dunia dan bukan ilmu yang sulit, manusia telah dapat menyusun kalender yang dipercayai, tetapi tetap saja setiap tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal senantiasa menjadi pergunjingan seakan-akan tidak lagi percaya dengan kalender yang telah dibuat. Hal tersebut karena kita berpegang pada paradigma yang parsial, untuk tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal itu adalah ibadah (ta’abbudi) harus berpegang pada nash, Sedangkan untuk penentuan 1 Muharram, 1 Safar, 1 Dzulqo’dah adalah dunmiawi (ta’aqquli). Puasanya adalah ibadah untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawwal bukan ibadah.
    Selama kita memakai ru’yat, atau menggabungkan dua madzhab hisab dan ru’yat untuk menetukan jatuhnya tanggal 1 Ramadlan atau 1 Syawwal maka pada saat-saat ketinggian hilal kritis akan memunculkan perbedaan.
    Kalau boleh mengandai-andai, seandainya saat Rasulullah masih hidup dan pada saat itu sudah ada yang tahu ilmu hisab, maka Nabi akan mempedomani hisab “Ijtima’” sebagai pedoman penetapan tanggal baru tiap bulan bukan lagi atas dasar melihat hilal.
    Tanggalkan hadits itu, yang berhak menentukan pergantian bulan qomariyah baik 1 Ramadlan, 1 Syawal atau bulan-bulan lainnya itu tugas ilmuwan, Nabi sendiri sudah pernah menyatakan ” Antum ‘a’lamu bi umuri dunyakum”;
    Kesimpulan:
    1. Menentukan awal bulan qomariyah termasuk bulan Ramadlan dan Syawwal adalah masalah ta’aqquli, tidak perlu pedoman dalil agama (Al-Qur-an maupun Hadits); Nabi sendiri menyatakan ” antum a’lamu bi umuuri dunyakum.
    2. Perintah nabi memulai puasa jika sudah melihat hilal, adalah reaksi basyariyah (kemanusiaan) nabi, yang saat itu masyarakat memahami pergantian bulan qomariyah ditandai dengan terlihatnya hilal. Hal itu bukan kebenaran agama yang bersifat muthlak tetapi kebenaran ilmiyah yang terjadi saat itu. Karena itu terlihatnya hilal bukan satu-satunya cara penentuan masuknya bulan baru, karena kebenaran ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang berubah dan perlu terus dievaluasi. Jika nanti diketemukan hal baru yang lebih rasionil dan ilmiyah maka tentu harus kita terima sebagai suatu kebenaran.
    3. Para sahabat adalah manusia yang paling antusias dan serius menindak lanjuti perintah nabi, tetapi mereka tidak membentuk kelompok-kelompok untuk ru’yat, hal ini dapat diartikan bahwa perintah nabi tersebut hanya “irsyad”.
    4. Gerakan “merukyat hilal” tidak ada landasan perintahnya dari sunnah, tidak efektif dan cenderung tabdzir (pemborosan) karena sudah ada hisab yang lebih bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah. Sulitnya merukyat hilal, menjadikan penyebabkan ketidak percayaan masyarakat kepada hasil hisab. Perkara system yang mana yang kita pakai terserah ilmuwan dan silahkan diefaluasi terus menerus.
    5. Methode hisab yang telah berjalan selama ini secara ilmiyah dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan telah dipercayaai sebagai penentuan waktu (Jadwal Imsakiyah). Maka semestinya kita ummat Islam juga menerima penetapan pergantian bulan atas dasar hisab;
    6. Ijtima’ (konjungsi) sebagai fenomena yang spesifik, karena terjadi sekali setiap bulan saatnya hanya satu, sehingga penyusunan kalender dan penentuan “awal dan akhir” bulan qomariyah lebih logis, ilmiyah dan rasionil bila atas dasar paradigma ijtima’;
    7. Selama ummat Islam masih mempedomani hadist-hadits ru’yah sebagai dasar pergantian bulan Sya’ban ke Ramadlan atau Ramadlan ke Syawwal, selama itu pula akan terikat dengan kriteria-kriteria ketinggian hilal, akibatnya selama itu tidak akan menemukan titik temu.
    8. Menggunakan system rukyat bersama-sama hisab adalah dua hal yang tidak mungkin, karena ru’yat senantiasa akan tetap berteguh pada criteria imkanur rukyat, sementara kegiatan hisab adalah mencari ijtima’ dan tidak perlu mensyaratkan imkanur rukyat.
    Wacana tidak perlu mempedomani hadits “shuumuu liru’yatihi,,, telah ada dibenak sebagian ummat Islam, namun selama dalam sidang-sidang “istbat hilal”, di Kementrian Agama RI tidak ada ormas yang berani melontarkan gagasan mengesampingkan hadits-haidits tersebut, karena resiko organisasinya bisa mendapatkan stigma negative ” ingkarus-sunnah” atau Jaringan Islam Liberal (JIL) atau mungkin bisa saja “kafir” (takfir);
    Kalau ingin tidak akan terjadi perbedaan agar tidak mengganggu social kita, tinggalkan criteria “imkanur ru’yah dan wujudul hilal” percayalah dengasn hasil hisab sebagaimana kita percaya “Jadwal Imsakiyah” sebagai salah satu produknya.
    Jadikan paradigm “IJTIMA” sebagai penentu awal dan akhir bulan qomariyah, kalau diibaratkan orang membuat lin/garis lapangan tennes, maka kita membuat lin/garis yang tipis, sehingga tidak banyak bola mati, kalau menggunakan imkanur rukyah 2 derajat atau 9 jam setelah ijtima’ maka lin/garis batah tanggal akan tebal/lebar sehingga semakin luas daerah-daerah yang terlintasi garis tanggal, sehingga menggunakan saat ijtima’ sedikit resistensinya bahkan kita dapat membuat garis tanggal dengan menggunakan menit atau detik kalau mau.

    • Ass. Pak saya baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Bulan ternyata bulan setiap tahunnya menjaduh 3,8 cm dari Bumi, jadi dalam 1433 Tahun bulan sudah menjauh sejauh 544.54 m(0,54454 Km), jadi ada penambahan jari-jari orbit bulan dari bumi sejauh 0,54454 Km atau penambahan diameter sebesar 1,08908 Km, akibatnya keliling orbit bulan terhadap bumi semakin besar juga berakibat terhadap semakin lamanya waktu yang diperlukan untuk mengorbit bumi sekali putaran. Bagaimana pengruhnya terhadap penentuan awal bulan hijriah setiap bulannya.
      Dan setahu saya bumi setiap tahunnya juga menjauh dari matahari yang artinya orbit bumi terhadap matahari juga makin besar dan waktu menyelesaikan 1 orbit juga makin lama, jadinya 1 Tahun masehi juga semakin panjang. Bagaimana menurut analisa Bapak?
      Wass.

      • Kalau menurut saya, untuk ukuran waktu hidup kita sekarang tidak ada pengaruhnya,
        buktinya itu Penghitungan Kapan Terjadinya Gerhana tepat saja kok…

    • @Drs. H. Abd Salam, SH. MH, uraian anda betul-betul mencerahkan dan cara bertutur anda sungguh menyejukkan. Saya yang tadinya “agak” meragukan “mengamini” metode WH sekarang bisa lebih mantap untuk “mengamininya”, terlebih setelah membaca uraian dari Prof. Thomas yang menggunakan kata-kata yang kurang menyejukkan. Tabik dan terimakasih banyak untuk Bapak.

  86. “….berpegangteguhlah pada Tali ALLAH…” tali ALLAH itu Kitabullah dan Sunnah Rosulnya, bukan isi kepala seseorang tok.

  87. Ass wr wb. Mas Mata Qalbu, jauh2 hari Pemerintah sdh dihadapkan pd berbagai macam kalender karya ahli2 hisab dg metodenya masing2 termasuk yg diusulkan pak Abdul Salam. Untung saja perbedaan kalender2 tsb bermuara hanya pd 2 pilihan yaitu awal bln hijriyah dimulai setelah hr ke 29 atau hr ke 30. Sbg otoritas pengambil kepuusan, masih hrs mempertimbangkan keinginan kelompok yg ingin bukti nyata, shg rukyatlah yg digunakan sbg pedoman. Ahli2 hisab hrs berbesar hati, tdk gentar dg rukyat. Wass w w

  88. Kalau Hisab dianggap Bid’ah, aku gk mau shalat lagi, susah waktunya

    trus jangan percaya sama orang kementrian agama, karena mereka banyak korupnya

  89. Ass. Pak saya baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Bulan ternyata bulan setiap tahunnya menjaduh 3,8 cm dari Bumi, jadi dalam 1433 Tahun bulan sudah menjauh sejauh 544.54 m(0,54454 Km), jadi ada penambahan jari-jari orbit bulan dari bumi sejauh 0,54454 Km atau penambahan diameter sebesar 1,08908 Km, akibatnya keliling orbit bulan terhadap bumi semakin besar juga berakibat terhadap semakin lamanya waktu yang diperlukan untuk mengorbit bumi sekali putaran. Bagaimana pengruhnya terhadap penentuan awal bulan hijriah setiap bulannya.
    Dan setahu saya bumi setiap tahunnya juga menjauh dari matahari yang artinya orbit bumi terhadap matahari juga makin besar dan waktu menyelesaikan 1 orbit juga makin lama, jadinya 1 Tahun masehi juga semakin panjang. Bagaimana menurut analisa Bapak?
    Wass.

  90. Saya sangat kagum dengan penjelasan Bapak Prof. Thomas Jamaluddin, penjelasannya sangat Ilmiah. Kepada para komentator, mohon agar kritikan saudara yang ilmiah, tidak emosional. Prof. Thomas Jamaludin memaparkan hal-halnya yang memang faktual yang terjadi di Badan Hisab Rukyat. Beliau memaparkan bagaimana sesungguhnya ormas-ormas Islam itu bersikap perihal Hisab dan Rukyat. Tentang Persis, Tentang Muhammadiyah dan Ormas lain memang demikian adanya. Cobalah ada baca dengan seksama, tinggalkan pikiran sentimentil, anggap diri anda tidak mengikuti salah satu ormas apapun, tetapi posisikan diri anda sebagai orang yang netral yang menginginkan persatuan umat Islam, posisikan diri anda sebagai seorang yang berpikir kritis dan ilmiah. Jadi sekali lagi, mohon komentar-komentar lebih halus dan ilmiah tidak asal bicara. beberapa komentator terbaca sangat emosional. sebagai orang awam, saya sangat miris membacanya.

    • @Subkhan
      Saya tidak mewakili pembaca yang emosional maupun yang cenderung taqlid terhadap WH dan Muhammadiyah. Hanya saja, saya menilai bagaimana Pak Djamaluddin telah mengeksploitasi kepakaran beliau dengan memberi informasi yang tidak akurat dan tidak berimbang mengenai WH. Ketika Pak Djamaluddin memakai segala alasan astronomi dan ilmiah dalam menilai WH, beliau tidak menempatkan konsep WH seperti apa dipahami oleh Muhammadiyah, tetapi selalu menggiring argumentasi ke konsep visibilitas hilal. Hal ini jelas-jelas sudah mendapat kritik tajam dari Pak Susiknan, tapi sepertinya Pak Djamaluddin tidak pernah merasa perlu untuk merevisinya (Tambahan catatan: Pak Djamaluddin memang tidak mungkin mengubahnya, karena asumsi tentang WH ini adalah satu-satunya jalan agar segala argumentasinya masih tetap “astronomis” dan “ilmiah”, meskipun harus mengorbankan objektivitas dan kejujuran dalam mengeluarkan argumentasi).

      • Saya tentu memahami betul konsep WH menurut Muhammadiyah. Karena itu Muhammadiyah mengudang saya untuk mengkritis WH pada Munas Tarjih 2003.
        Apa konsep WH yang bisa dijadikan rujukan? Tentu Pedoman Hisab Muhammadiyah. Ini kritik saya terhadap konsep WH dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/

      • Saya tidak melarang Pak Djamaluddin merasa sudah faham betul tentang WH, karena itu adalah sekedar klaim subjektif tanpa bukti. Agar lebih objektif, saya ingin ngutip kembali pesan-pesan Pak Susiknan kepada anda:

        Artinya untuk menguji kesahihan wujudul hilal jangan diukur menggunakan parameter visibilitas hilal. Sebaliknya untuk menguji kesahihan visibilitas hilal jangan diukur menggunakan parameter wujudul hilal. Kalau cara berpikir seperti ini yang dikembangkan sampai kiamat tidak akan bertemu.

        Semangat si penulis artikel mewujudkan persatuan. Tetapi cara-cara yang digunakan justeru bertolak belakang dan menimbulkan kebencian dan perpecahan di kalangan masyarakat. Seorang peneliti hendaknya menulis berdasarkan hasil penelitian. Jangan sekedar asumsi dan spekulasi. Apalagi terlalu fulgar dalam melakukan kritik tanpa didukung data yang akurat.

        Khusus pak Thomas ysh wujudul hilal dan visibilitas hilal pada dasarnya adalah bangunan keilmuan. Oleh karena itu, keduanya sangat dipengaruhi oleh “wacana-epistema” masing-masing. Wujudul hilal dan visibilitas menunjukkan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, batas keseimbangan antara wjudul hilal dan visibilitas hilal terletak pada permasalahan sampai dimana keduanya mau menyapa, bersilaturrahim, berkomunikasi secara terus-menerus dan berusaha memahami dan mengerti logika masing-masing. Jika demikian sikap kita semua, niscaya gejala “intellectual arrogance” (meminjam istilah M. Amin Abdullah) akan sirna dengan sendirinya. Justeru yang tumbuh adalah suasana komunikasi dialogis yang kritis dan saling menghargai.

        Silakan untuk menilainya sendiri.

      • Saya juga sempat mengomentari kalau “tafsir modern” bahwa orbit matahari yang dimaksud ayat 36:40 adalah orbit matahari mengelilingi pusat galaksi, maka penafsiran ini juga tidak logis karena loncat dari konteks ayat yang berbicara tentang pergantian siang dan malam serta manzilah bulan. Kita tahu bahwa peredaran matahari tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal tersebut. Justru pengertian orbit semu matahari yang geosentrik sejalan dengan gambaran ayat tersebut. Artinya, “penafsiran modern” tersebut justru merupakan pemaksaan terhadap maksud ayat tersebut.

      • QS 36:40 adalah kesimpulan dari uraian sebelumnya pada QS 36:38-39. Khususnya tentang orbit matahari sudah dijelaskan pada QS 36:38. Ingat, tafsir terbaik Al-Quran adalah dengan ayat Al-Quran juga.

      • 36:37 berbicara tentang pergantian siang dan malam sebagai tanda 36:39 berbicara tentang manzilah-manzilah bulan. 36:40 menyinggung bahwa malam tidak bisa mendahului siang (masih berkutat dengan siang dan malam). Tidak ada petunjuk secuil pun yang menjustifikasikan pernafsiran orbit matahari yang mengelilingi pusat galaksi. Orbit matahari tidak ada hubungannya sama sekali dengan pergantian siang-malam dan manzilah bulan dalam ayat-ayat di atas.

  91. Andaikata Kyai Dahlan masih hidup, beliau pasti sangat bersedih melihat kejumudan Muhammadiyah dalam pengadopsian kriteria penentuan awal bulan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kesepakatan antara ummat yang berpegang pada hisab dan rukyat. Rukyat jelas disebut dalam hadist Nabi, dan Hisab adalah keniscayaan di jaman modern ini. Imkanur Rukyat adalah satu2nya kriteria hisab yang menyatukan dua pendekatan : hisab dan rukyat. Mengenai kriteria detil imkanur rukyat bisa dievaluasi terus agar lebih sesuai dengan hasil pengamatan. Yang penting disepakati dahulu, bahwa hanya ada satu metode hisab yang menyatukan dua pendekatan (hisab dan rukyat), yakni imkanur rukyat. Ego apapun harus disingkirkan demi kemaslahatan ummat. “Tidak masuk surga orang yang meninggal dalam ashobiyah”.

  92. Ass wr wb. Pak Ilham, salam kenal dan terimakasih atas informasinya ttg istilah ILDL. Saya selalu menggunakannya dlm postingan saya. Dan mengenai informasi ttg semakin panjangnya grs edar bulan ijinkan saya berkomentar bhw hal tsb adalah domainnya para ahli hisab dan astronom yg membuat kalender apakah haqqulyaqinnya atas kalender buatannya sdh memperhitungkan hal tsb. Krn msh bnyk misteri2 alam semesta yg hrs diiungkap mk kalender hijriyah yg merupakan kepastian ilmiah hrs tetap dirukyat.Wassww.

  93. Kepada Bapak Thomas,

    Dengan ini saya bertanya, kapan bumi, bulan serta matahari saling bertabrakan, menurut ilmu yang bapak miliki. Saya bertanya karena saya melihat bapak sudah seperti einstein yang bisa prediksi kapan kiamat akan tiba. Seolah-olah lupa ada satu kekuatan yang sebenarnya ada, hanya saja kita belum bisa melihatNya saat ini. Mohon dijawab, siapa tahu nanti di akhirat saat bapak ditanya oleh Dia, saya bisa bantu.

    Demikian, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih..

    Salam,

    antiThomas

  94. Saya orang awam, mau tanya… Hilal itu apa sih? Apakah HILAL = QAMAR, sehingga WUJUDUL HILAL = WUJUDUL QAMAR? Muhammadiyah kayaknya pake Wujudul Qomar deh !!!

  95. Kepada Bapak Thomas, pemahaman anda terhadap wujudul hilal masih keliru, coba pahami dulu konsep itu. Insyaalloh nanti anda akan lebih menjadi paham dan membenarkan wujudul hilal.

  96. mgk sedang pk thomas pelajari yg lebih detil…sy jg sdh mendengar audio khutbah jum’at pk thomas di masjid salman ITB. pembahasannya mslah imkan rukyat jg ngak ada yg lain hahahaha,,,,,

  97. Ass wr wb. Mas Mata Qalbu,Pemerintah RI tdk menerbitkan kakender hijriyah resmi, jadi rukyat dan sidang isbat dilaksanakan utk membuktikan akurasi kalender2 yg ada. Perkiraan2 astronomi(termasuk kalender) perlu dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan dan pengamatan itulah rukyat. Peristiwa gerhana yg dpt diperkirakan oleh astronom jg dirukyat yaitu ramai2 disaksikan bersama utk membuktikan kebenarannya. Kalender hijriyah yg konsisten adalah yg awal blnnya sll tepat wkt terlihat hilal. Wass

  98. IM = Bulan baru telah ada dan terlihat.
    WH = Bulan baru telah ada tapi tidak terlihat.
    Benarkah pendapat sederhana saya ini gan ?

    • IR pasti WH, tetapi WH belum tentu IR. Untuk bulan rendah, WH tidak menjamin hilal terlihat.

      • Maaf Pak Thomas, mengapa Bapak tidak meneruskan kalimat Bapak. Yakni: IR menjamin/tidak menjamin hilal terlihat? Maaf Pak, anda berusaha menyembunyikan sebuah kebenaran.

  99. pak tdjamaluddin anda kayak terlalu pandai, sehingga sering menghina apa yang sudah di yakini muhammadiyah. semoga anda sadar apa yang anda bicarakan. semoga bertaubat atas segala perbuatan anda…

  100. “Hanya karena Membela Bid’ah Wujudul Hilal yang Usang, Muhammadiyah Memilih Tafarruq”
    Pendapat Pak Thomas
    Mengapa wujudul hilal disebut usang? Ya, sebagai produk sains, suatu teori bisa saja usang karena digantikan oleh teori yang lebih baru, yang lebih canggih, dan lebih bermanfaat. Teori “geosentris” yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sekarang dianggap usang, karena sudah banyak teori lain yang menjelaskan gerak benda-benda langit, antara lain teori gravitasi.

    Menurut Al Quran dan Hadist
    Dr Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin, semoga Allah merahmati beliau tentang bahwa mataharilah yang berputar mengelilingi bumi.. Adapun dalil-dalil yang digunakan adalah:
    – QS. Al-Baqoroh: 258
    – QS. Al-An’am: 78
    – QS. Al-Kahfi: 17
    – QS. Al-Anbiya: 33
    – QS. Al-A’raf: 54
    – QS. Az-Zumar: 5
    – QS. Asy Syams: 1-2
    – QS. Yaasiin: 37-40

    HR. Bukhari no. 3199; Muslim no. 159,
    Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dan matahari telah terbenam,
    ”Apakah kamu tahu kemana matahari itu pergi?” Dia (Abu Dzar) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: ”Sesungguhnya dia pergi lalu bersujud di bawah Arsy, kemudian minta izin lalu diizinkan baginya, hampir-hampir dia minta izin lalu dia tidak diizinkan. Kemudian dikatakan kepadanya: ‘Kembalilah dari arah kamu datang,’ lalu dia terbit dari arah barat (tempat terbenamnya).

    Perkataan-Nya, “Kembalilah dari arah kamu datang, lalu dia terbit dari tempat terbenamnya” sangatlah jelas sekali bahwa dia (matahari) itulah yang berputar mengelilingi bumi dengan perputarannya itu terjadinya terbit dan terbenam.

    Jadi apakah Muhammadiyah melakukan bid’ah dan usang seperti yang bapak tulis?
    Dan apakah ke profesoran bapak mengacu pada teori al quran dan hadist?
    Atau bapak belajar dari dunia barat yang dianggap lebih canggih dari pada teori usangnya Al Quran?
    Jadi kalo di anggap bidah mana lebih bid’ah Muhammadiyah atau Bapak sendiri?

    Wasalam

    • Saya juga ingin tahu sekali penafsiran dari Pak Djamaluddin sebagai anggota Tim Tafsir Ilmi Kemenag RI dengan kacamata “astronomi modern” yang belum usang, terutama ayat 39:5.

      ” … Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan….”

      Mengingat perjalanan matahari adalah mengeilingi pusat galaksi, berapakah waktu yang dibutuhkan matahari untuk menempuh satu kali putaran dalam orbitnya? Begitu signifikan kah efek perjalanan ini terhadap kehidupan manusia? Kemudian, apa hubungan perjalanan matahari ini dengan siang dan malam yang disebut dalam ayat di atas?

      • Ayooo… Pak Djamal tolong dijawab ya..
        Jangan guk..guk..guk terus…

      • Nampak Pak Djamal lagi strees di sidang isbat sore ini… Maklum banyak penganut madzab Imam Syafei yang ikut puasa besok jum’at..

      • nabi ga pernah liat tv bro…. liat tv tu bid’ah… haram… wkwkwkwk

      • Seperti yang sudah terjadi dengan kebanyakan diskusi saya dengan Pak Djamaluddin dalam blog ini, ketika diskusi sudah dalam level yang seperti ini, ada dua kemungkinan besar yang terjadi:

        (1) Pak Djamaluddin menanggapi dengan komentar yang tidak begitu berhubungan (baca: mengaburkan masalah). Kadang juga memberi link seakan-akan link tersebut sudah menjawab semua pertanyaan.
        (2) Dicuekin alias ditinggal lari, seakan-akan sudah mempertahankan argumentasi dengan baik (tetapi kemudian argumentasi yang sama masih diulang di tempat lain).

        Saya masih berharap adanya kemungkinan lain terhadap tema ini.

      • “Hisab” (baca: perhitungan) saya semakin mendekati kebenaran. Ternyata Pak Djamaluddin memang masih seperti yang dulu …

  101. Judul yang dibuat si thomas ini provokatif jauh dari upaya mengajak kearah persatuan belum lagi bahasa2nya memojokkan … Prof itu seharusnya lebih santun dan sejuk dalam berargumen apalagi mau mengajak orang …

  102. udah mulai gk shalat ne

  103. Prof, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit.
    Kasihan terhadap orang-orang yang emosional disini…
    Semoga Allah SWT selalu bersama kita…Amin ya Robb.

  104. kl begitu sebaiknya kita naik haji pake unta saja jgan pk pesawat! itu BID’AH namanya pak….

    Perbedaan 1 Ramadhan dan 1 syawal, ada 2 pendapat yang tidak bisa dipertemukan yakni menyakini sesuatu dalam melihatnya atau meyakini sesuatu dengan mengetahuinya.

    yang kedua itu yg diyakini Muhamadiyah….jd ga usah dipolitisir donk..

  105. muhammadiyah yg Islam masuk surga, selain muhammadiyah yg Islam juga masuk surga, padahal mereka berbeda pendapat disini.
    subhanallah ternyata masuk surga lebih gampang dari masuk neraka ya

  106. Achi Nono, saya setuju ama ente. trus kalau yang berbantah-bantahan masuk surga ape neraka tu?

  107. Pasti surga…lah buktinya ampe pade ngotot tuh

    • Muhammadiyah yg Islam masuk surga, selain muhammadiyah yang Islam masuk surga, ternyata masuk surga lebih mudah ya ??/!

  108. Prof yg katanya ingin ada persatuan umat, kok kata2nya malah memecah n bikin panas umat ya? Omongan emang lebih mudah drpd perbuatan… Semoga kita bisa instropeksi…

  109. si Thomas ini cari panggung … mimpi jabatan apa?

  110. apakah bapak sadar dengan kalimat bapak….konsep yang bapak kemukakan tentang amar maruf nahi munkar kayaknya terlalu di persempit harfiahnya…menurut sy dengan pernyataan bapak yang malah ingin membuat situasi tafarruq…sy hanya mencoba menghimbau kepada khalayak yang membaca blog ini lebih arif dalam menyikapi, karena jaman sekarang karena hanya kenikmatan duniawi seseorang bisa menciptakan situasi tafaruq, mungkin saja bapak salah satunya…situasi kesombaongan bapak sebagai salah satu cerminan

  111. bismillahirrahmanirrahim, mari berpikir jernih, tujuannya satu islam itu tidak ada muhammadiyah, nu, atau ormas lainnya…..Islam itu terbuka pada ilmu…..Islam juga mengajarkan taat pada negara….selama tidak berbuat dzalim….

  112. pak thomas yth..
    sampeyan itu emang kepala batu banget ya.. kalo wujudul hilal disebut bid’ah, lalu penetapan 2 derajat untuk imkan rukyat itu apa gak lebih besar bid’ahnya?
    sampeyan ngomong persatuan umat islam, tapi cara sampeyan yang emosian kayak anak kecil malah bikin orang eneg.
    untuk kondisi begini, ilmu doktor sampeyan itu sampah. gak perlu doktor dari jepang untuk tau ijtimak dll. masalahnya sekarang udah di level orang yang ngerti agama, levelan adu argumen/diskusi masalah kriteria 0 atau 2 derajat di imkan rukyat. bukan level doktor astronomi yang sombong, dan ngerasa lebih tau tafsir qur’an dan hadist daripada ulama-ulama yang memang mendalami ilmu itu. sukur2 org2 yang ngerti agama itu bisa sepakat, atau andaikan gak ada titik temu, ya anggap aja khilafiyah yang gak perlu dibesar2kan.
    Kalo sampeyan ingin keliatan eksis, ya bolehlah dikit… tapi tugas sampeyan cukup berhenti di saat sampeyan bilang “hari anu, hilal sekian derajat”. lebih dari itu, gak ada lagi gunanya gelar profesor dan doktor sampeyan itu. gak apple to apple dengan masalah ini

  113. saya dukung Pak Thomas…………. mantafs………. beliau lebih arif, bijaksana, ilmiah, danbertanggung jawab atas argumentasinya………

  114. fas aluu ahladzikri ing kuntum la ta’lamuuun………… sebaiknya anda-anda jangan salah persepsi dengan Pak Thomas………… beliaulah pakarnya……… anda yang bertentangan dengan pak Thomas kan bukan Pakar.. jadi beiau tidak selevel dengan anda……..

  115. APA ALASAN MUHAMMADIYAH MENGGUNAKAN HISAB
    Written by Administrator
    Tuesday, 03 July 2012 22:58

    Salah satu saat Muhammadiyah menjadi perbincangan adalah ketika menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, Muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan Qamariah. Hal ini menyebabkan ada kemungkinan 1 Ramadhan dan 1 Syawal versi Muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan Muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh pada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah Islamiyah, hingga tidak mengikuti Rasullullah Saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan Muhammadiyah sendiri ada yang belum bisa menerima penggunaan metode hisab ini.
    Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan bebukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tigapuluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah Saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada Rasulullah Saw. Lalu, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. yang disampaikan dalam pengajian Ramadhan 1431.H PP Muhammadiyah di Kampus Terpadu UMY.

    Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter: telah terjadi konjungsi atau ijtimak, ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk. Sedangkan argumen mengapa Muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
    Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
    Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
    Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
    Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
    Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
    Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
    Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita menggunakan hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariahdi kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat”.
    Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
    Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum-hukum Islam. Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
    Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur’an dan As-Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
    Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat-alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
    Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknva dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul. Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itudapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
    Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amriminkum”. Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, makadipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.
    (Sumber Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah)

    • Yang menjadi masalahnya bukan hisabnya, karena soal hisab sudah selesai. Hisab dan rukyat disetarakan. Masalahnya adalah pada kriterianya. Hasil hisab oleh Muhammadiyah sama dengan hasil dari NU, Persis, dan ormas lain. Hanya Muhammadiyah menggunakan kriteria WH yang sering berbeda dengan ormas lain ketika posisi bulan rendah. Kriteria WH itu BUKAN kriteria astronomi.

      • Kriteria WH itu BUKAN kriteria astronomi.

        Saya masih berharap Pak Djamaluddin bisa menghentikan pernyataan-pernyataan yang misleading seperti ini yang pada akhirnya menjadi bentuk pembodohan terhadap masyarakat.

        Saya tidak melihat bagaiman mana dari kriteria “(1) konjungi sebelum mahgrib dan (2) bulan terbenam lebih lambat dari matahari” yang bukan kriteria astronomi (bandingkan dengan: waktu dimana laut pasang maksimum). Masalah apakah awal bulan Hijriyah bisa menggunakan kriteria tersebut bukan sepenuhnya wilayah astronomi lagi. Dan sebenarnya tidak perlu saya tandaskan lagi kalau kriteria tersebut bukan kritieria yang berhubungan dengan kemungkinan terlihatnya bulan sabit pertama.

      • sabar pak tommy… mungkin muhammdiyah belum kuliah astronomi… tapi nabi kan ga kuliah pak… jadi kuliah itu bid’ah… pantes ga da ahli astronomi muhammadiyah wkwkwkwwk

      • sesuatu supaya bisa dikatakan sebagai kreteria astronomi itu yang bagaimana Prof? (mohon dijelaskan, krn saya betul-betul awan dalam hal ini dan pingin ngerti. trim’s)

  116. Assalamu alaikum
    Membaca tanggapan tulisan ini kok saya ngeri. Bahasanya kasar. Kelihatan kerendahan akhlak dan ilmunya. Apa kalau sudah kasar gitu terus bagus.? Sampeyan muslim kan? Gak bisakah soan sedikit? Ada yg mau defend dg pendapat saya???

  117. Konsep Geosentrik yang Usang Menginspirasi Wujudul Hilal


    taufik, on 30 Juni 2012 at 14:00 said:
    untuk pak T.Djamaluddin semoga anda tetap tegar dan terus berjuang untuk memberikan pemahaman yg begitu urgent ini kepada masyarakat, tidak usah berkecil hati menghadapi pedasnya komentar dari orang seperti argres/ karena beliau sedang memperjuangkan keyakinannya( semoga Allah menjaga saya,anda,pak agres dan pembaca semuanya dari buruknya lisan,buruknya persangkaan & buruknya pemahaman) ,semoga semakin hari semakin banyak oang yg tersadarkan setelah menelaah tulisan tulisan yg bapak, untuk pak agres bukankah latarbelakang pendirian muhammadiyyah adalah memurnikan ajaran islam dari segala bentuk kemusyrikan, TAQLID, bid’ah, dan khurafat.maka pesen saya pak agres “JANGANLAH ANDA BERTAQLID kepada muhammadiyyah untuk hal hal yg sifatnya ijtihadiyyah, karena muhammadiyyah sendiri melarang taqlid, tetapi hendaklah anda menggunakan akal sehat anda untuk memahami dalil dalil dengan banyak membaca referensi kitab kitab para ulama dalam mendudukkan masalah2 agama seperti kasus ru’yah ini,dengan memahami kaidah yg benar insyaaLLAH anda bisa berjalan diatas pemahaman yg lurus.. ini saya kasih contoh artikel yg semoga bermanfaat
    Puasa Ramadhan Bersama Pemerintah
    Posted by Admin pada 18/08/2009
    Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.
    Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
    Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
    Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
    Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
    Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
    Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
    1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
    2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
    3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
    “Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
    -Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
    Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
    Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
    -Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
    -Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
    -Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
    -Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
    -Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
    Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
    Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
    -Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
    Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
    “Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
    Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
    -Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
    Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
    “Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
    “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
    وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
    “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
    Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
    -Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”
    Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
    Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
    Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
    Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:
    وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
    “Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
    Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
    Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
    “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
    -Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
    Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
    1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
    يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا
    “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
    2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
    “Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
    3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
    “Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
    Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
    -Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
    -Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
    -Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
    -Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
    -Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
    -Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
    Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
    1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
    2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
    3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
    4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
    5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
    Wallahu a’lam bish-shawab.
    1 Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
    “Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
    2 Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.
    Sumber : http://www.asysyariah.com, dinukil dari http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=368 Oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc, Judul: Puasa Ramadhan Bersama Pemerintah
    Diarsipkan pada: http://qurandansunnah.wordpress.com/
    Balas
    23.
    Iqbal Santoso, on 2 Juli 2012 at 17:36 said:
    Dasar Hukum Hisab Imkanur-rukyat
    Selain didasarkan pada ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan Hisab, Hadits yang dijadikan pijakan hisab imkanur-rukyat antara lain:
    اِذَا رَأيْتُمُ الـهِلاَلَ فَصُوْمُوا واِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا (رواه مسلم)
    Apabila kalian melihat hilal, maka shaumlah dan jika kalian melihatnya (kembali) maka ahirilah shaum. Tetapi jika terhalang (yang menyebabkan hilal tidak tampak) shaumlah 30 hari (Muslim 1808)
    صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
    Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh”. (Bukhori 1776)
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (متفق عليه)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.
    لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه مسلم)
    Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat Hilal dan jangan pula berbuka hingga melihatnya kembali. Namun, jika tertutup dari pandanganmu, maka hitunglah/ tetapkanlah (30 hari) . (Muslim 1795)
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُم وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (رواه أحمد بن حنبل)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya.Tetapi jika antara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.
    صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلآثِينَ (رواه مسلم)
    Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (Muslim 1796)
    Lafadz-lafadz : فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ- فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُمء وَبَيْنَهُ سَحَابٌ – فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم – فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ dalam hadits di atas terkandung makna bahwa jika hilal tidak terlihat atau terhalang (walaupun di atas ufuq) maka hilal tersebut dianggap tidak/belum wujud. Artinya posisi hilal zaman Rasulullah yang dijadikan patokan awal bulan tidak cukup bulan hanya berada di atas ufuq mar-i saja, tetapi harus juga memperhitungkan faktor cuaca atau harus memperhitungkan posisi bulan yang memungkinkan bulan dapat terlihat sebagai hilal, karena hilal adalah cahaya pertama yang dipantulkan bulan setelah ijtima atau qomar mar-i. Agar bulan menjadi hilal (saat maghrib setelah ijtima) tidak cukup hanya berada di atas ufuk saja, tetapi bulan (yang berada di atas ufuk) tersebut harus memungkinkan untuk diamati/dirukyat (Imkan-rukyat).
    Berdasarkan dalil di atas jelas kriteria WH bertentangan dengan hadits-hadits tersebut di atas,
    Balas
    24.
    Iqbal Santoso, on 2 Juli 2012 at 17:39 said:
    Kelemahan Kriteria Wujudul Hilal
    Walaupun kriteria wujudul-hilal sangat sederhana dan relatif mudah, tetapi tidak didukung argumen ilmiah dan dalil yang qath’i, tetapi hanya berdasarkan ijtihadiyah. Tidak ada dalil yang menyatakan dengan tegas bahwa awal bulan ditetapkan jika setelah ijtima matahari terbenam mendahului bulan atau bulan masih berada di atas ufuk pada waktu ghurub (matahari terbenam). Quran Surat Yasin ayat 39-40 yang dijadikan dalil wujudul hilal sebenarnya menegaskan bahwa matahari dan bulan masing-masing memiliki peredaran yang berbeda (kullun fi falakin yasbahun) tidak ada kaitan dengan awal bulan (hilal). Kelemahan lain dari kriteria wujudul-hilal adalah variabelnya terlalu disederhanakan, yaitu hanya mengandalkan variabel ijtima & irtifa saja serta mengabaikan faktor/variabel lain yang berpengaruh pada penampakan hilal. Agar bulan bisa tampak sebagai hilal tidak hanya ditentukan oleh irtifa/ketinggian bulan saat ghurub saja, tetapi tergantung pula pada jarak busur-bulan matahari, umur bulan, iluminasi bulan (ketebalan hilal), kecerlangan langit, faktor cuaca dan variabel lainnya. Sehingga kriteria tersebut kurang tepat menggunakan istilah ‘wujudul hilal’ tapi lebih tepat istilahnya wujudul qomar, karena hanya menghisab hisab posisi bulan wujud di atas ufuk saat maghrib setelah terjadinya ijtima. Dalam astronomi pun tidak dikenal bahwa bulan dalam posisi tersebut sebagai hilal.

  118. maaf, knapa ya waktu sidang ada yang sudah mengaku melihat hilal kok malah ga diakomodir. malah sama kyai NU masih ditanya kapasitasnya. Arogan sekali dia kayak pinter sendiri. Ketika jaman nabi klo sudah ada yg lihat walau dia berasal dari kulit hitam maka nabi memerintahkan berpuasa atau berhari raya. Sidang istbat jadi ga penting jangan salahkan Muhammadiyah klo ga ikut sidang. Kasian juga wakil dari FPI yang timnya diragukan sama NU

    • Kesaksian rukyat di Cakung tidak murni rukyat, tetapi rukyat yang terpengaruh oleh hisab taqribi Sulamun nayirain yang tidak akurat. Hisab taqribi didasarkan perhitungan kasar, tinggi bulan = umur bulan/2, sehingga menghasilkan ketinggian hampir 4 derajat yang diyakini memungkinkan berhasilnya rukyat. Padahal ketinggian bulan sesungguhnya hanya 1,5 derajat yang tidak mungkin bisa dirukyat. Itu alasan penolakan hasil rukyat mereka.

      • kan orang-orang yang bertugas melihat hilal sebelumnya adalah orang terpilih dan udah melakukan sumpah….eeee kok kemudian di tolak kesaksiannya….klo mnurut orang jawa ni namanya mencla mencle….

      • maksudnya gimana tuh prof?

      • YTh. Prof Thomas ysh,
        Saya malah agak bingung dengan penjelasan anda berikut :

        Kesaksian rukyat di Cakung tidak murni rukyat, tetapi rukyat yang terpengaruh oleh hisab taqribi Sulamun nayirain yang tidak akurat….?

        padahal intinya mereka yang di Cakung kan tetap menggunakan metode Rukyat, dan pengakuan mereka sudah berhasil melihat hilal? apakah ada ketidak konsistenan metode rukyat/imkan rukyat, dalam kasus ini? mohon penjelasanya ya pak….terimakasih.

    • Dilihat dari pihak ketiga, logika penolakan rukyat di atas bermasalah. Apapun masalah dalam perhitungan hisab, tidak berpengaruh terhadap fakta bahwa mereka (mengaku) melihat hilal melalui rukyat. Seorang hakim yang adil tidak bisa menolak persaksian ini bedasar hanya pada spekulasi akan adanya faktor external yang mungkin mempengaruhinya. Seharusnya sudah didefinisikan mekanisme yang sudah disetujui bersama di sidang itsbat bagaimana menolak atau menerima laporan rukyat (seperti kewajiban menujukkan foto atau video hilal), bukan dengan cara menghakmi hisabnya.

  119. Menyimak, dan mencari hikmah dari setiap kejadian yang ada.

  120. maaf sebelumnya…
    Sy bukan muhammdiyah dan bukan nu..
    Tp blog ini seperti sampah…
    Bagi orang awam yg g punya ilmunya membacanya akan menimbulkan perpecahan…

    Semoga Allah menyadarkanya

  121. Yg ngblog disini g beda jauh ama orang2 jil,syiah, freemazony, hanya mw mengadu domba… Komentar tulis blog yg baik agar tidak terjd perpecahan

  122. liat foto ospek pak thomas aja udah kliatan doktrin awal dia adalah mencari perbedaan antara muhammadiyah dan NU….ya itulah si thomas korban ospek….kacian…. secara psikologis sudah rusak dari sononya….

    • maaf mas bro…. ni ga da kaitannya dengan NU loh….
      ni ilmuwan vs muhammadiyah….. hati-hati bicara mas bro

  123. pak thomas yang pintar sekali… mohon penjelasannya megenai kenapa arab saudi n uni emirat, mesir, turki, negara eropa, n lain2 pada puasa hari jumat ya? http://infihaji.blogspot.com/2012/07/ketetapan-awal-puasa-ramadhan-di.html

  124. Berbeda pendapat dengan pak Thomas. Karena saya berpendapat Wujudul Hilal bukan bid’ah, tapi mengacu pada makna sebenarnya dari ayat2 semacam ini, “Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari.”. Kalau secara saklek, memang, di situ ayatnya mengatakan kita mesti ‘melihat’nya, tapi tahukah bahwa bahasa itu miskin (orang sastra pasti ngerti, kalau bahasa gak bisa menyampaikan yg sebenar-benarnya) sehingga kita mesti mengkaji maksud sebenarnya apa?

    Awal bulan, ditandai dengan bulan baru kan?

    Ya..saya tahu..anda pasti akan bilang belum tentu, karena awal bulan ramadhan itu ditandai dengan bulan baru yang seharusnya bisa dilihat, sehingga mesti ada kriteria berapa derajat bulan bisa dilihat…dan seterusnya..dan seterusnya…

    Itu lah yang menjadi dasar perbedaannya pemikiran saya dengan bapak. Pak Thomas secara saklek menafsirkan ayat tersebut seperti itu. Sedangkan saya pribadi, dan mungkin orang-orang di Muhammadiyah, menafsirkannya tidak demikian. Mungkin pak Thomas dan orang-orang lain yang sependapat dengan anda akan mengatakan..kan jelas ayatnya seperti itu? Kenapa ditafsirkan berbeda? Sekali lagi..sebenarnya saya berkeyakinan bahwa maksud ayat tersebut bukan semata-mata bulan itu mesti BISA ‘dilihat’ atau bulan mesti dilihat untuk menentukan awal ramadhan. Kami berpendapat lain, yang saya yakin pak Thomas sendiri sudah paham dan mengerti bagaimana pendapat saya..

    Keyakinan saya: Awal bulan ditandai dengan bulan baru. Sederhananya seperti itu. Itulah yang menjadi keyakinan kami. Lah, kenapa ayat tersebut mengatakan “berpuasalah dan akhirilah puasa setelah melihat hilal”, karena konteks masa itu (dan di tempat itu), bahwa untuk mengetahui adanya bulan baru, ya lebih baik dengan melihat hilal. Hitungan hisab tetap perlu dilakukan, tapi pada masa itu masih belum bisa dipercaya. Makanya melihat hilal lebih diutamakan.

    Sekarang saya tanya ke pak Thomas, apakah hitungan hisab sekarang tidak bisa dipercaya? Kalau bapak menjawab tidak bisa, jadi mestinya akan ada perbedaan perhitungan antara orang satu dengan yang lain kan? Lalu apakah ada perbedaan sekarang?

    Sedangkan kalau bapak menjawab bisa..berarti kalau ingin menyatukan perbedaan, bukan “kriteria” derajat berapa yang mesti bapak persatukan, karena akan percuma saja. Pihak Muhammadiyah kan tidak berdasarkan pada bulan itu mesti bisa ‘dilihat’, sehingga derajat 4…3…2…1 atau 1.5 atau bahkan 0.5 saja pasti gak akan dipermasalahkan..Kalau bapak Thomas ingin menyatukan pendapat, seharusnya penafsiran terhadap ayat itu yang mesti disatukan, apakah mesti ditafsirkan secara saklek seperti itu, ataukah memang ada maksud tertentu yg gak saklek di ayat itu?

    Pak Thomas pasti akan menjawab, pendapat ahli yang paling banyaklah yang mesti diikuti…nah..ini yang saya juga gak sependapat pak…seandainya semua ahli di dunia ini mengatakan bahwa bumi itu datar, dan satu ahli mengatakan bahwa bumi ini bulat, saya akan tetap ikut ama ahli yang mengatakan bumi itu bulat..karena sudah ada satelit, saya bisa liat fotonya bumi itu memang bulat. Intinya…karena saya YAKIN…Itulah…saya bukan warga Muhammadiyah, tapi dalam hal saya yakin penafsiran ayat seperti itulah yang benar..makanya saya sependapat dengan organisasi Muhammadiyah..

    Sama kan, kalau seandainya (sekali lagi, seandainya) sekarang ini lebih banyak ahli yang mengutamakan WH, bapak Thomas pasti akan tetap meyakini mengutamakan Ruqyatul Hilal kan? Intinya, kalau bapak yakin dengan sesuatu dan ternyata bapak termasuk minoritas, bapak pasti akan tetap pada keyakinan bapak kan?

    Saya menghargai pendapat bapak bahwa Muhammdiyah telah berbuat bid’ah. Tapi bisakah bapak menghargai pendapat saya, bahwa itu bukan bid’ah?

    • kalo Rassul SAW melihat hilal tapi kita menentukan puasa tanpa melihat hilal bid’ah ga ya?

      • Kalau sampeyan mengartikan kata2 ‘melihat hilal’ dengan saklek, pasti sependapat dg pak Thomas, kalo itu bid’ah. Tapi seperti yg kubilang di atas, menurutku itu bukan bid’ah, karena masih berdasar ayat itu, hanya makna kata ‘melihat’ itu ditafsirkan berbeda.

        Bid’ah itu kan artinya gak ada dalilnya. Seperti yg dikemukakan sama pak Thomas di komen tgl 12 Juli 2012 jam 14:39 di atas, baik WH maupun IR itu berdasarkan dalil. Jadi karena ada dalilnya, keduanya bukan Bid’ah kan..? (Yah..terserah kalau masih dianggap bid’ah juga..spt pak Thomas yg bilang di nomor 1, semua berdasarkan dalil yg membolehkan hisab).

        Nah sekarang penafsirannya yg berbeda, kalo pak Thomas berpendapat, masih harus dilakukan ‘melihat’, krn ada ayatnya mengatakan demikian. Kalau menurut saya pribadi, ‘melihat’ kan sarana, bukan tujuan akhirnya. Kita melihat supaya tahu. Tapi kalau sudah tahu, gak melihat lagi gak pa pa kan?

        Seperti misalnya, kalau ada seorang ibu menyuruh seperti ini “bukalah tutup panci itu supaya bisa melihat apa masakan sudah masak apa belum. Kalau sudah masak, matikan kompornya”. Pada waktu itu panci nya kan masih model lama. Tentu saja kita masih perlu membuka tutup nya spy tahu masakan sudah masak. Tapi kan intinya sebenarnya untuk mengetahui masakan sudah masak apa belum. Kalau di hari kemudian ada metode matematika yg bisa memprediksi dengan terpercaya, lalu ada softwarenya dipasang di panci itu, sehingga waktu masakan sudah masak, panci itu bunyi..kan kita gak perlu lagi membuka-buka tutup panci? Kita matikan saja kompornya saat panci berbunyi. Beres. Gak menyalahi perintah ibu kok, karena tujuan dari ibu itu adalah mematikan kompornya kalau masakan sdh masak, bukan membuka tutup pancinya.

        Ya..mgkn anda akan bilang, itu kan masalah masak memasak, ini berbeda, ini masalah ibadah puasa. Gak ada hubunganya masak dengan puasa. Sekali lagi, saya bukan menunjukkan masalah masak-masak di sini, lg an masalah masak-memasak di atas cuma fiktif (gak ada panci yg bisa begitu saat ini). Yang saya mau tunjukkan, bahwa kita gak bisa saklek membaca sebuah perintah, atau sebuah ayat. Kita mesti tahu konteks dan makna ayat tersebut atau tujuan sebenarnya dari ayat itu.

        Memang, di sini mungkin akan timbul perbedaan penafsiran. Saya menghargai jika pendapat anda berbeda, tapi saya saat ini meyakini pendapat saya ini. Saya sependapat bahwa WH bukan bid’ah. Jadi ya..kita berbeda pendapat, tapi bisa kan tetap bersahabat. Wong tujuan kita sama mencari kebenaran.

        Tapi kemarin di khutbah sholat trawih di masjid (masjid dkt rumahku, masjid ini di bawah Muhammadiyah) dijelaskan sama penceramahnya, bahwa di Muhammadiyah sebenarnya juga menggunakan rukyah kok, jadi melihat hilal. Tapi ketika ‘hilal’ tak tampak, mereka mengandalkan hasil hisab. Mengapa mereka mengandalkan hisab, karena ada 2 hadist, yg pertama intinya, jika ‘jika tak melihat hilal, genapkan bulan sya’ban 30 hari’, di sini dijelaskan sama penceramah tsb, konteksnya pada waktu itu hasil hisab belum bisa dipercaya. Jadi ada perintah genapkan bulan sya’ban 30 hari untuk memudahkan umatnya yg blum paham ilmu hisab. Lalu ada hadist yg lain, ‘jika tak melihat hilal, maka tentukan’. Di sini dijelaskan sama penceramah tsb, bahwa kata ‘tentukan’ di sini menentukan dengan dengan perhitungan, alias dengan hisab, konteksnya ditujukan untuk umat yang sudah mengerti ilmu hisab. Jadi karena ada hadistnya, makanya bukan bid’ah.

        Hm…saya bukan warga Muhammadiyah, jadi gak tau, benarkah Muhammadiyah juga melakukan rukyah? Klo iya, kenapa mereka mengandalkan hasil hisab jauh sebelum H-1 bulan ramadhan? Atau penceramah ini saja yang melakukan rukyah?

        Tapi yg jelas, kesimpulan saya adalah walaupun di jaman Rasul melihat hilal, tapi sekarang tanpa melihat hilal pun itu bukan bid’ah jika memang hisabnya benar, karena tujuan sebenarnya dari ayat tersebut, seperti yg saya jelaskan di atas.

      • Menurut saya banyak ayat Qur’an dan Hadist yang gak bisa dimaknai secara saklek. Mesti dikaji maksud sebenarnya, dan tujuannya apa. Sebab kalau nggak, kayaknya seperti didoktrin, pikiran seperti dikungkung, gak bebas berpikir. Saya punya grup di facebook, namanya grup “Debat Sampai Kumat”. He he he. Memang namanya konyol, tapi itu sekedar lucu-lucu an saja. Intinya adalah mari kita belajar berdebat dengan baik, demi mencari kebenaran, dan menguji keyakinan atau pendapat kita sendiri. Kalau tertarik mau gabung, silakan…

  125. Menunggu NU vs MUHAMMADIYAH wasitnya Pemerintah: http://tempe.wordpress.com/2007/10/04/%E2%80%98idul-fitri-bersama-di-republik-mimpi/

  126. Sik ngeri mene, Din samsudin pada menjelang sidang isbat kamis di Televisi mengatakan bahwa negara jangan interfensi soal keyakinan. heeeeem… kayake perlu di bacakan ulang PANCASILA, yg sila pertamanya jelas berbunyi KETUHANAN YANG MAHA ESA. apakah soal ketuhanan itu bukan merupakan keyakinan ? semakin payah tuh… !!!

  127. Apapun alasannya, jika dilandasi dengan Hawa nafsu, maka akan menimbulkan Pro dan Kontra, NAMUN jika Didasarkan HATI, PASTI Akan ada Solusi.

    Menurut saya, Setiap Masalah PASTI akan ada Jalan Keluarnya.
    Jika disampaikan dengan KEJERNIHAN HATI.
    ***************************************************************************************
    Kejernihan dan kekotoran HATI seseorang akan tampak JELAS tatkala dirinya ditimpa KRITIK, Celaan, Gangguan atau Penghinaan dari orang lain.
    ***************************************************************************************

  128. Teruslah berkarya pak tomas, jangan pernah menyerah untuk mengungkapkan kebenaran dan teruslah berupaya menyatukan ummat. Walau di tulisan ini gaya bahasa Anda terkesan keras dan to the point tapi itu adalah bagian dari usaha Anda untuk membuka mata mereka yg sudah tertutup oleh doktrin sehingga menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan kebenaran yang lain. Wallahu a’lam.

  129. Jagalah HATI !

    Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” [Fathul Qodir, asy-Syaukani, Mawqi’ at-Tafasir, 7/442].

    Maka, ayat yang patut jadi renungan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

    “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” [QS al-Muthoffifin: 14].

    “Maka, tidak pernahkah mereka berjalan dibumi, sehingga hati mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar ? Sesungguhnya bukan mata itu yang BUTA, tetapi yang buta adalah HATi yang didalam dada” (QS, Al-Hajj : 46)

    Maka, jagalah hati untuk tetap dijalan-NYA, hanya karena-NYA.
    =====================================================
    Do’a agar kita tetap tegar dan istiqomah diatas agama yang benar.
    =====================================================
    يامقلب القلوب ثبت قلبي على دينك
    ‘Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik’

    Artinya: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.”
    [HR.Tirmidzi 3522, Ahmad 4/302, al-Hakim 1/525, Lihat Shohih Sunan Tirmidzi III no.2792]

    يا مقــلـب لقــلــوب ثبــت قــلبـــي عــلى طـا عــتـك
    ‘Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Ta’atik’

    Artinya: “Wahai Dzat yg membolak-balikan hati teguhkanlah hatiku diatas ketaatan kepadamu”
    [HR. Muslim (no. 2654)]

    اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
    ‘Allaahumma Musharrifal Quluub, Sharrif Quluubanaa ‘Alaa Tho’atika’

    Artinya: “Ya Allah yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk taat kepadamu.” (HR. Muslim)

    رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
    ‘Rabbabaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa wa Hab Lana Mil-Ladunka Rahmatan Innaka Antal-Wahhaab’

    Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”
    (QS. Ali Imran: 7)

    Salam ukhuwah fillah.
    Dari Berbagai Sumber.

  130. inna khoirol hudaa, hudaa muhammadin shollallahu ‘alaihi wa sallam…

    silakan dibaca:

    http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html

  131. wowo makin seru neh

  132. hilal kan hanya pertanda masuknya bulan baru apakah tdk ada lagi tanda lain selain hilal. Mengapa hanya hilal yg dibahas mengapa bukan syahr (month) seperti dalam alquran “faman syahida minkum alsyahr falyasum”. Alsyahr atau month jelas tidak bisa dilihat dengan mata kepala tapi bisa dihitung. so IMHO hilal dgn rukyat (hadis) syahr dgn hisab (Alquran)

  133. Maaf sebelumnya….. tulisan pak thomas ini menarik tapi sayang neh penyampaiannya kok jadi kurang berkenan…..

    dari komen2 yg saya baca sepertinya kok muncul kesan seakan2 IR itu teori baru ya…padahal kalau ditelisik konsep IR ini telah lama diperbincangkan oleh ulama fiqh jaman dulu seperti al subkhi n al syarwani…. jadi tdk betul lho yg mengatakan seakan2 IR ini metode baru yg keluar akhir2 ini saja

    yang baru dari IR adalah adanya kriteria2 baru dalam pembentukan perhitungan IR dimana faktor2 pembentuk ini sgt dinamis dan berkembang sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan n teknologi sehingga dgn bgtu hasil perhitungan hisab dg IR akan semakin bisa dipertinggi tingkat akurasinya krna kia bisa memasukkan faktor2 baru yg selama ini sengaja kita hilangkan pada metode hisab yg sebelumnya …disinilah letak keunggulan dri IR selain IR sndiri juga mengakomodir penganut rukyat…

  134. mohon maaf pa thomas.. yang sy mau tnyakan…
    1. apakah ada hadits rasulullah yg mnyatakan hilal harus lebih dari 2 derajat sprti yg di kemukakan dalam sidang itsbat.. klo mesti lebih dua derajat dan dengan ilmu astronomi padahal bisa diketahui bhwa hari kmrn 19juli hilal tdk lebih dari 2 derajat yg katanya mustahil dpt melihat hilal.. trus buat apa pemerintah melakukan rukyah pada titik2 terntu di seluruh indonesia.. padahal sbnarnya mereka sdh thu hari itu mustahil dapat melihat hilal krn masih dibawah 2derjat… bukankan brarti itu pekerjaan yg sia-sia….

    2. sy mendengar ada dari cakung dapat melihat hilal dan orang tersebut sudah disumpah… mengapa pemerintah tdk jg mempertimbangkan hal itu… hnya krna mereka berpendapat skali lg hari itu tdk mungkin hilal dapat terlihat.. padahal dahulu rasulullah saat ada orang badui yg datang kpd beliau mengatakan sudah melihat hilal kemudian orang tersebut bersumpah atas nama Allah kemudian Rasulullah mengambil persaksian orng tersebut.. tanpa bertanya berapa derajat… berapa menit… bla.bla..bla… jd sebenarnya siapa yg tidak mengikuti tuntunan Rasulullah SAW..

    3.mengapa rukyah yg sekarang digunakan rukyah lokal berdasarkan negeri2 tertentu yg mengakibatkan perbedaan dengan negeri2 islam lainnya bahkan dengan negeri malaysia yg seperti thn lalu idul fitri kita berbeda dengan malaysia.. bukankan itu hal yg aneh setidaknya buat sy.. padahal indonesia dan malaysia dari segi geografis tidak berbeda dengan indonesia..

    Terima kasih atas penjelasannya….

  135. AKEH SING APAL QUR’AN HADITSE
    SENENG NGAFIRNE MARANG LIYANE
    KAFIRE DHEWE NDAK DIGATEKNE
    YEN ISIH KOTOR ATI AKALE

    SING GAK MANUT OMONGANE THOMAS IKU SALAH
    IKU KAREPE THOMAS
    KARENA THOMAS MERASA PALING PINTAR, PALING BENAR, PALING NGERTI

    DAN THOMAS SUDAH BERHASIL NAMANYA JADI KONDANG KARENA KEBERANIANNYA ITU
    SELAMAT UNTUK THOMAS!!!!!!!

  136. Pak Thomas yg terhomat,

    tolong bapak tanyakan ke pakar bahasa Arab, kenapa dalam hadist ini “…Wajib berpuasa Ramadan jika melihat hilal awal Ramadan dan berhenti puasa jika melihat hilal awal Syawal. Jika tertutup awan, maka hitunglah 30 hari”. kenapa nabi menggunakan kata رأ (ra’a) bukan نظر (nadlara). tanya kenapa?

  137. Kepada Prof.Thomas, saran saya tdk perlu menanggapi orang-orang yang kurang ilmu pak bela-bela Muhammadiyah yg jelas-jelas kolot< kalau mau bahas dalil fiqh berdasarkan alquran-hadits disini tdk cukup, sebaiknya di forum khusus. Masalah wujudul hilal itu tdk perlu diperdebatkan lagi pak< cukup kita yakini bahwa metode itu tidak akurat_titik_. Menurut saya sekarang yang penting adalah membahas metode Hisab Sullam An Nariyain yang dipakai Lajnah Falaqiyah Huseiniyah Cakung (LFHC) karena mereka pakai ru'yah tapi hasilnya selalu beda dengan hasil hisab ormas-ormas lain, contoh ramdhan tahun ini, metode hisab yang umum dipakai ormas-ormas (emphemeris) menyatakan ktinggian hilal 1 derajat lebih sdikit sementara menurut LFHC 3 derajat lebih dan mereka mengklaim telah melihat hilal maka mulai puasa 20 juli

    • ada hadist yang meminta kita belajar berkuda, gulat (beladiri) dan memanah, masih mau naik kuda juga?, kalau lihat bulannya pakai teropong yang diluar angkasa pasti tidak perlu 2 derajat udah kelihatan kan? saya bukan astronom tapi insinyur, metode rukyat yg kemarin nggak masuk akal sama sekali buat saya. kalau udah bisa memprediksi gerhana matahari dalam satu tahun ke depan, apa salahnya dihitung? hasilnya sama kan? istilahnya sebagai insinyur, andaikata menentukan awal/akhir romadhyon kerjaan saya jadi nggak bikin repot kalau dihitung, malah pas hasilnya sama orang US, arab, Ausie, eropa. dll.

  138. Buat nambah wawasan, 2 artikel dibawah tentang awal ramadhan ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh banyak orang.

    1. Tafakur Ramadhan (2) Bulan Sore Hari, Puasa di Esok Pagi oleh Agus Mustofa: http://catatanagusmustofa.wordpress.com/2012/07/21/tafakur-ramadan-2-bulan-sore-hari-puasa-di-esok-pagi/

    2. Metode Penentuan Awal Ramadhan 1433 H oleh Felixsiauw: http://chirpstory.com/li/13813

  139. Kalimat yang paling mudah dipahami oleh semua orang dari blognya Agus Mustofa.

    **** Awal Kutipan ****

    Menurut ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU Pekalongan, akhir Sya’ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr Ir Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.

    Masalahnya, karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.

    ‘’ Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa… [QS. Al Baqarah: 185]

    Yang perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam 6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang sudah datang..!

    **** Akhir Kutipan ****

  140. Kutipan lagi dari blognya Agus Mustofa

    **** Awal Kutipan ****

    Bahwa perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.

    Secara Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari. Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari. Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.
    Sehingga menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ‘’Kalau begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

    Penetapan seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ – posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada ‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk Sya’ban atau Ramadan.

    Nah, ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang, saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.

    Tinggal masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.

    Seandainya, perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu: campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung, padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus melakukan apa, karena serba bingung.

    Jika, kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi rabbi.

    Tetapi, kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa ngomong. Wallahu a’lam bishshawab.

    **** Akhir Kutipan ****

  141. Prof Djamaluddin, mohon ditanggapi 1 saja pertanyaan saya, secara astronomi (ilmu yang anda kuasai) akhir bulan sya’ban itu kapan ?

  142. kalau Indonesia memakai sistem Syariat Islam seperti jaman Rosul maupun para sahabat, ane bakal ikut dh mas 🙂
    Lagian kemenagnya juga seperti itu apa pantas disebut ulil amri?
    oh iya mas saya pernah denger hadits ini. menurut mas gimana?

    “Dulu Rasulullah senantiasa berupaya serius menghitung (hari sejak) hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum berdasarkan ru’yah (hilâl) Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya) barulah beliau bershaum.”

    Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim (I/423) Al-Baihaqi (IV/406). Ad-Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd no. 2325.

    Bisa kita lihat Nabi berusaha menghitung (hisab) dan ternyata belum bisa… Belum yah as bukan ngga bisa…

    Apa yang harus kit lakukan menyikapi hadits ini?

  143. Setuju dengan pendapat bapak, banyak yang terlalu egois dengan statnya masing2, sudah jelas2 muhamadiyah ingin memisahkan diri. selain itu juga kita hidup di negara mana tohhh ??? indonesia kann ? ya sudah sbagai orang muslim beriman yang baik harus mengikuti pemerintah (ulil amri), sudah jelas di nash baik qur’an maupun hadits.

    intinya kan mempersatukan ummat ini agar berjalan dalam satu koridor dan satu garis yang sama mengapa harus jalan sendiri2, coba contohlah negara2 muslim lain (apakah kita tidak malu) ngaca donk katanya orang2 nya pinter, kyai, tapi apa implementasinya ?? kasian rakyat awwam yang menjadi korban kebingungan antum2 semua.

    banyak orang pintar disana tapi keblinger 🙂

    salam . . .

  144. Dari pada kita debat kusir ga jelas kapan ketemunya mending buat simposium atau sarasehan bahas hisab dan rukyat ngundang semua ahli falak, astronomi dan alim ulama yg ngerti utk menemukan satu persamaan persepsi, yang pasti Islam cinta damai….Peace

  145. Saran aj..:
    Buat Muhamadiyah: Relakah ormas muhamadiyah berkorban demi persatuan umat islam di indonesia..?
    buat Pemerintah: maukah bertindak tegas bahwa ormas untuk urusan kebersamaan umat tidak boleh mengambil keputusan sendiri.
    semoga calon presiden yang akan datang mau memperhatikan masalah ini.. dan dia cerdas…serta mampu menyatukan rakyat indonesia dalam satu hari raya umat islam.
    demikian saran dari orang bodoh…

  146. IR _ Seperti kelakuan orang Yahudi
    Melihat syarat-syarat yang ada pada IR dengan 2-3-8 nya, dan melihat sidang itsbat tanggal 19 Juli 2012 kemarin, ada ormas-ormas yang akan menambahi menjadi 3, 4 atau lebih derajat dan menurut Pak Thomas bahwa kriteria IR akan berkembang sesuai kesepakatan dan berkembangnya ilmu astronomi. Saya teringat, bahwa kelakuan ini seperti orang Yahudi ketika mereka diminta berkorban sapi pada zaman Nabi Musa. Yang sebelumnya asal sapi tapi mereka minta berbagai macam kriteria sapi itu. Sehingga hampir saja mereka tidak bisa berkorban.
    Masalah bulan baru, yang secara tekstual hanya asal melihat (rukyatul hilal) atau secara kontekstual asal sudah wujud (wujudul hilal), dengan IR ditambahi syarat-syarat yang tidak ada dasar hukumnya, bahkan hanya untuk melihat (rukyah) hilal perlu syarat-syarat, sehingga kesaksian orang-orang yang sudah melihat hilal pun ditolak karena tidak memenuhi syarat dalam IR.
    Pekerjaan yang harusnya mudah menjadi sulit dengan alasan ilmu astronomi yang semakin maju dan modern. Malu mengikuti yang kuno dan sederhana.
    Wallahu a’lam bishshawab.

  147. AKEH SING APAL QUR’AN HADITSE
    SENENG NGAFIRNE MARANG LIYANE
    KAFIRE DHEWE NDAK DIGATEKNE
    YEN ISIH KOTOR ATI AKALE

    komentar ini cenderung mengkafirkan muslim lainnya, hati hati, meskipun berbeda pendapat, maka sampaikan hujjah anda dari dalil/nash yang masih dalam konteks pembicaraan, jangan melebar dan melantur kemana mana apalagi menuduh hingga mengkafirkan. Allahu’alam.

  148. Yth. Pak Thomas,

    Saya menunggu jawaban bapak atas pertanyaan Pak SyamSyah, kenapa sampai hari ini belum di jawab ya Pak?terimakasih.

  149. Kalau QS.3 (Ali Imran) : 102 – 105 dijadikan landasan membid’ahkan kriteria wujudul hilal, maka saya bisa katakan kriteria imkanur rukyat juga bid’ah, karena keduanya merupakan kesepakatan ilmiah (ta’aqulli). Sudah menjadi keterangan yang umum tentang ” Shummu lii rukyatihi wa afthiru lii rukyatihi “, padahal hadits ini merupakan konsep dari Nabi SAW berdasarkan kondisi sosiologis masyarakat arab saat itu (asbababul wurud hadits) dalam menentukan pergantian bulan, yang juga berarti penentuan kriteria bukanlah ta’abudi, tetapi ta’aqulli. Kalau kata rukyat (kata dasarnya- ro’a) dipaksakan dalam arti melihat langsung (bil fi’li / bil ‘aini), maka sejak zaman tabi’in, umat Islam diharamkan untuk shalat, karena berdasarkan hadits “Shollu kamaa ro’aytumini usholli “, hanya para sahabat yang melihat langsung Rasulullah SAW melaksanakan shalat. Dan juga tidak ada keterangan yang qath’i tentang Rasulullah SAW melakukan rukyat sendiri, padahal kalau sifatnya ta’abud, maka Beliau akan melaksanakan rukyat sendiri dan sifatnya fardlu ‘ain bagi yang akan menjalankan puasa serta pada tiap-tiap awal bulan sepanjang tahun karena ada Puasa Sunnah Qomariyah. Namun dalam keterangan yang muktabar, Rasulullah cukup dengan menerima kesaksian dari seorang badui yang belum diketahui identitasnya, tingkat intelektualitasnya, apalagi kebagusan akhlaqnya, tetapi bersedia untuk disumpah, sudah cukup menjadi landasan bagi Rasulullah SAW untuk menentukan awal bulan Ramadlan.
    Oleh karena itu, mari kita kembali (dalam ranah ta’aqulli) kepada paradigma ijtima yang sudah menjadi kesepakatan bersama sebagai batas pergantian bulan yang hakiki setelah perjalanan gerak synodis bulan selama 29 hari 12 jam 44 menit 03 detik, menjadi acuan penentuan waktu ibadah sekaligus kalender Islam yang satu. Hadits – hadits tentang rukyat (dengan sanad dan matan yang sudah diketahui muktabar) bisa dimaknai bahwa berdasarkan asbabul wurudnya, sebagai bentuk konsep yang memastikan bahwa bulan (qomar) dalam bentuk urjun al al qodim / hilal sudah melampui proses ijtima, yang mana tentu saja ijtima hanya bisa diketahui melalui proses hisab, sedangkan masyarakat arab waktu itu laa naktubu wa laa nahsubu, bisanya hanya rukyat bil fi’li.

    • QS 3:102-105 mewajibkan untuk bersatu, bukan dalil bid’ahnya WH. WH saya anggap bida’ah karena kriteria itu digunakan sebagai acuan penentuan waktu ibadah, tetapi tidak punya dalil yang shahih. Hal itu sudah saya perjelas pada artikel di atas. Silakan baca rinciannya di https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/05/23/konsep-geosentrik-yang-usang-menginspirasi-wujudul-hilal/

      • Agar kita tidak terlalu jauh dalam memaknai “bid’ah”, ada baiknya kita mempelajari kitab “Al-I’tisham” karya Imam Asy-Syathiby. Disana ada pengertian yang lebih tepat berdasarkan maksud substansial dari sunnah (Hadits).

      • Mohon maaf sebelumnya, sebagai mekanisme saling mengingatkan dalam hal yang haq dan kesabaran selaku saudara sesama muslim, saya berharap bapak cermati lagi sebelum diambil kesimpulannya tentang buku pedoman hisab MD, yang menurut bapak mengacu pada konsep usang geosentris. Padahal jelas sekali disitu tertulis tentang Gerak Semu Matahari (yang berarti heliosentris)
        WH dan IR tetap saya anggap bid’ah karena sama-sama konsep dari ilmu falak / astronomi (tidak peduli dianggap usang / kontemporer), dan keduanya tidak ada dalil yang shahih, sebab kalau ngomong soal dalil, sudah sangat jelas dan terang haditsnya adalah tentang rukyat, bukan hisab. Tentu saja menyangkut tentang visibilitas hilal, tetapi yang menentukan tentang batasan imkan siapa dan angkanya terus berubah sejak jaman nya Syeikh Djamil Djambek….?
        Lalu bagaimana setelah susah payah belajar astronomi, yang notabene merupakan pembuktian terhadap prinsip-prinsip dalam ayat-ayat kauniyah Al-Qur’an ?
        Kalau kita mau bersatu maka harus bisa jujur dan terbuka memahami anjuran agama yang bersifat ta’qulli dan ta’abud, sehingga bisa mencapai titik temu sejauh mana science mampu membuat ibadah kita semakin mantap. Penentuan waktu ibadah bukanlah ibadahnya itu sendiri, sama halnya dengan belajar hadits tentang shalat bukanlah tentang amalan shalatnya, pelajaran / manasik haji bukan tentang ibadah hajinya.
        Antara alamiah, ilmiah dan amaliah tidak bisa tidak, harus terwujudkan keharmonisan.
        Kalau sepakat menggunakan dalil hadits tentang rukyat, secara matan dan historis (asbabul wurud) adalah rukyat bil fi’li yang murni tanpa bantuan sarana apapun, termasuk ilmu falak.
        Kalau memang kesepakatan ilmiah yang dipakai, maka apa yang disepakati secara internasional dan dapat dibuktikan kebenarannya bersama-sama tentang batas pergantian bulan yang mengacu pada peredaran matahari dan bulan adalah ijtima.

      • kalau dianggap bid’ah..berarti setiap kali kita sholat lihat jam dinding juga bid’ah ya ..?

      • Buat bp. Nanang, bukan itu tujuan uraian saya, tetapi jangan buru-buru menuduh bid’ah, bilamana belum bisa membedakan antara urusan ibadah yang disandarkan pada dalil-dalil yang qath’i, dengan urusan keduniaan yang notabene juga merupakan pentafsiran dari ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an serta sisi historis asbabul wurud hadits-hadits yang muktabar.
        Karena definisi bid’ah yang tidak boleh diamalkan adalah hanya dalam urusan ibadah (ta’abud), sedangkan urusan dunia “inna a’malu bi umuuri dunyakum” selama tidak ada larangan dalam agama.
        WH dan IR adalah produk keduniaan, sebagai sarana penunjang kemantaban dalam menjalankan ibadah, oleh karena itu tidak ada alasan untuk vonis bid’ah, tetapi harus dicari titik temunya di bidang astronomi.
        Yang penting harus jujur dan saling terbuka,
        Yang penting bukan siapa kita tetapi bagaimana kita untuk kepentingan umat.

  150. pertanyaan dr P syamsyah sangat berbobot,
    Prof. saya tunggu jawabannya

    • Sudah saya jawab.

      • pak thomas yang saya hormati, saya sangat menghargai dakwah bapak dalm mempersatukan ummat. semoga ini langkah yang baik dan mendapat hasil yang baik pula. satu hal yang saya harapkan, marilah kita menghargai keyakinan saudar-saudara kita yang berbeda, dan mari kita budayakan santun dalam berkata agar tidak terjadi permusuhan, olok-olok dsb. semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk dan selalu mengampuni dosa dan kesalahan kita. Jazakumullah Khoiron Katsiron

  151. Salam persaudaraan…awal ramadhan belum tentu jadi awal puasa…begitu Prof?

  152. Ass Wr Wb. Hadist Riwayat Bukhari, Muslim no.656 berbunyi : Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi SAW bersabda : Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal, maka jika tersembunyi daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari.
    Kesimpulannya, awal puasa adalah awal bulan awal bulan Ramadhan yaitu esok hari setelah akhir bulan Syakban dimana akhir bulan Syakban bisa di hari ke 29 dan bisa pula di hari ke 30 tergantung penampakan hilal.
    Bila pada hari ke 29 bln Syakban saat magrib sudah terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 29 dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
    Sedangkan bila pada hari ke 29 saat magrib tidak terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 30 (“cukupkan bilangan Syakban tiga pulubh hari”) dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
    Jadi isyarat Allah SWT ttg awal bulan hijriyah yang disampaikan melalui Nabi Muhamad SAW berupa H.R.Bukhari, Muslim no.656 tersebut diatas bukan sekedar dalil syar’i tetapi justru merupakan sumber dari segala sumber Ilmu Astronomi Islam. Begitu juga dengan seluruh kandungan Al Qur’an dan Hadist adalah merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan (sain).
    Contoh yg paling mengesankan adalah isyarat ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an dan Hadist dibidang biologi yang mengatakan bahwa setelah kiamat Allah SWT akan menghidupkan kembali semua manusia untuk dihisab amalnya sehingga masuk surga atau neraka. Hal yang tadinya menurut logika sangat sulit diterima ini ternyata terjawab oleh penemuan teknologi KLONING yang memungkinkan menciptakan makhluk hidup dengan hanya mengembangkan setitik jaringannya. Kalau manusia saja sekarang sudah bisa mengkloning tumbuh2an dan binatang, apakah kita meragukan Allah SWT mengkloning manusia.
    Pada saat kiamat, Allah SWT tidak menghacurleburkan seluruh tubuh manusia, melainkan masih menyisakan bagian ekor yang masih utuh untuk dikembangkan menjadi diri kita masing2 hidup kembali dan mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita selama hidup didunia. Hidup setelah mati inilah yang kekal, karena itu Al Qur’an dan Hadist memberikan petunjuk agar manusia menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNYA sehingga dapat hidup kekal di surga, bukan di neraka.
    Sebetulnya ada hal yg mengganjal dihati saya, yaitu ttg “siapa”, pakar astronomi yg mencetuskan teori Newmoon yg mengatakan bahwa konjungsi/ijtimak merupakan “akhir bulan” shg “bulan baru” dimulai pd detik pertama setelah itu, padahal saat itu masih dlm keadaan “bulan mati”.
    Teori ini kelihatannya diakui oleh komunitas astronom internasional shg begitu membius para astronom muslim utk ikut mengusungnya dan bersepakat meninggalkan Teori Astronomi Islami yg berlandasakan Al Qur’an dan Hadist yg menjelaskan bahwa “akhir bulan”adalah saat berakhirnya “bulan mati” dan beberapa saat setelah itu barulah dimulai “bulan baru” yg ditandai dengan adanya “penampakan hilal.
    Wass wr wb.

    • Konsep atau istilah “bulan baru” atau “bulan mati” adalah dari Ilmu Astronomi, sedangkan dalil-dalil agama, terutama hadits, adalah menjelaskan bagaimana mengetahui pergantian bulan sesuai dengan anjuran rasulullah serta kondisi sosiologis masyarakat arab pada saat itu. Sedangkan dalam Al-Qur’an kita didorong melalui prinsip-prinsip ilmiah dalam ayat-ayat kauniah untuk lebih mengetahui / mempelajari kondisi alamiah sehingga lebih sadar dan gamblang tentang hakiki kejadian / proses alamiah

    • Ass wr wb.
      Dibalik kebersahajaan yg rendah hati dan NAIF, pada sosok Nabi Muhamad SAW yg selalu dalam tuntunan Allah SWT, tersimpan kemampuan olah batin dan olah pikir yg JENIUS.
      Karena itu dlm usaha lebih memahami Al Qur’an dan Hadist yg kita IMANi, janganlah memandang dari sisi yg naif tetapi marilah kita memandang dr sisi yg jenius.
      Pendekatan ilmiah pada Hadist Riwayat Bukhari, Muslim no.656 mengungkap adanya proses olah batin dan olah pikir jenius yang mencetuskan sebuah Teori Astronomi Islami yaitu bahwa “akhir bulan” adalah saat “berakhirnya bulan mati” dan sesaat setelah itu adalah “awal bulan” yang ditandai dg “penampakan hilal”.
      Wass wr wb.

      • Ass. wr.wb.
        Oleh karena itu, dengan olah pikir jenius, mari kita berusaha untuk lebih memahami makna kata rukyah dalam bahasa arab yang tidak terbatas hanya pada melihat secara langsung ( bil fi’li / bil aini ) yang semakna dengan kata bashor.
        Sehingga kita tidak terjebak dalam paradigma visibilitas hilal, namun lebih terdorong pada eksplorasi tentang batasan yang hakiki perjalanan qomar selama satu periode mengelilingi bumi (synodis) sehingga tercapai titik temu dalam pola pikir keagamaan yang seragam (persatuan umat)
        Dan tidak lupa dalam prosesnya kita juga melakukan olah batin dengan metode menggelar sajadah, guna mencapai kemantapan hati yang disertai bimbingan-NYA, sebagai wujud implementasi sinkronnya alamiah, ilmiah dan amaliah.

      • Ass wr wb.
        Mengenai “melihat” penampakan hilal, saya memahami bahwa kemampuan “melhat” penampakan hilal telah berproses dr hanya dg mata telanjang hingga sekarang dg teropong mutakhir dan kemungkinan dimasa datang akan ditemukan cara yg lebih canggih sehingga bisa menembus “persembunyian” hilal.
        H.R.Bukhari,Muslim berkenanan juga mengisyaratkan bahwa………maka jika “tersembunyi” daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari…………………
        Artinya, meskipun sudah ada hilal tetapi jika masih “tersembunyi” maka belum bisa dikatakan telah masuk awal bulan.
        Wass wr wb.

  153. Therefore, the Wifaq/Batley Ulama have decided that the month of Rajab 1433 AH will have 29 days and the month of Shaban 1433 AH will start from Thursday 21 June 2012 (i.e. sunset of 20 June 2012), which makes Laylatul Bara’ah/Night of 15 Shaban to be on Wednesday 4 July 2012, Insha-Allah
    Prof. Coba perhatikan perkiraan hilal yg berwarna meraah sebagaimana Prof. rujukkan, fii launil ahmar, dalam warna merah,
    kesimpulan saya tgl 4 Juli 2012 adalah tanggal 15 Sya’ban, ya Allah ampuni kami,
    Prof coba perhatikan lagi, analisa pakar astronom,

    • ini dasar yg Prof pake, http://www.icoproject.org/icop/sha33.html,
      berarti Cakung melihat hilal kemungkinan besar benar,
      astaghfirullah,
      trims Prof.
      maaf Prof. saya khawatir Profesor tidak tahu bahasa Arab,
      justru alamat itu menyebabkan saya merasa bersalah dengan warga Muhammadiyah, dan Cakung

  154. Ass wr wb. Pak Aminul Wathon, salam kenal. Setelah saya cermati http://www.icoproject.org/icop/sha33.html, saya lihat ada yg janggal pada mapping zone yg ditampilkan, yaitu :
    1. Kedua mapping zone yg diatas menunjukkan New Cresent Visibility bln Sya’ban 1433 tgl. 19 dan 20 Juni 2012.
    2. Sedangkan kedua mapping zone yg dibawah menunjukkan New Cresent Visibility bln Rajab 1433 tgl 18 dan 19 Juni 2012.
    Mengapa bulan Rajab dan Sya’ban sama2 berada di bulan Juni 2012 ?
    Saya sempat mengunduh mapping zone New Cresent Visibility bln Rajab 1433 adalah tgl 21 Mei 2012 dan bentuk lengkungan garis batas arsiran tidak terbalik seperti itu melainkan senada dengan mapping zone bln Sya’ban 1433.
    Wass wr wb.

    • Ass wr wb. Pak Aminul Wathon, maaf saya agak terburu2 mencermati mapping zone2 tersebut. Ternyata Kedua mapping zone yang dibawah adalah”akhir bln Rajab 1433″ sedangkan mapping zone yang saya unduh adalah “awal bln Rajab 1433”, jadi yg tadinya saya lihat ada yg janggal, ternyata tidak.
      Wass wr wb.

    • Ass wr wb. Pak Aminul Wathon, mapping zone yg saya cermati memang tidak janggal, namun penafsiran saya agak berbeda dg bapak.
      Kalau bulan Sya’ban 1433 dimulai hari Kamis 21 Juni 2012 atau ……will start from Thursday 21 June 2012 (i.e. sunset of 20 June 2012)….., maka tgl 15 Sya’ban1433 jatuh pada hr Kamis 5 Juli 2012 atau …….Thursday 5 July 2012 (i.e sunset of 4 July 2012)……
      Artinya “Laylatul Bara’ah/Night of 15 Shaban 1433” yg jatuh pada hari Rabu 4 Juli 2012 itu adalah malam harinya sejak magrib hingga tengah malam. Jadi esok harinya tgl 5 Juli 2012 s.d saat magrib juga masih tgl 15 Sya’ban 1433.
      Oleh karena itu, hari ke 29 bln Sya’ban 1433 adalah Kamis 19 Juli 2012 dimana seteleh dilakukan rukyatul hilal ternyata tidak tampak maka bln Sya’ban digenapkan menjadi 30 hr sehingga akhir bulan Sya’ban 1433 jatuh pada hr Jum’at 20 Juli 2012 dan awal Ramadhan 1433 jatuh pada keesokan harinya yaitu Sabtu 21 Juli 2012.
      Wass wr wb.

  155. kira2 berapa ya anggaran tahunan untuk mengintip hilal tu?wah jadi proyek tahunan yg lumayan …..bayangkan jika pake hisab, biayanya akan sangat murah

  156. Hah…iya betul!!…, lagian kapasitas pak thomas kan memberi rekomendasi ilmiah astronomi, bukan ngomong bid’ah dsb

  157. Jawaban Pak Thomas di atas: IR pasti WH, tetapi WH belum tentu IR. Untuk bulan rendah, WH tidak menjamin hilal terlihat.

    Saya mohon Bapak melengkapi jawaban Bapak yakni: IR menjamin/tidak menjamin hilal terlihat? Trims

    • IR memberikan prakiraan ketampakan hilal. Tetantu tidak bisa dipastikan karena faktor atmosfer memang tidak sepenuhnya dapat diprakirakan. Kriteria IR bukanlah kriteria mati, tetapi kriteria yang terus disempurnakan dengan makain banyak data yang digunakan. Dengan semakin baiknya kriteria IR, insya-allah kesesuaian kelnedr dan rukyat akan lebih terjamin.

      • Terima kasih Pak Thomas atas jawabannya. Dari jawaban Bapak, IR pun tidak dapat memastikan hilal terlihat/tidak. Tetapi mengapa IR, Bapak gunakan untuk membantah kesaksian para Perukyat yang berhasil melihat hilal??

  158. Salut atas perjuangan Pak Thomas!
    Semoga Pak Thomas tidak patah semangat untuk memerangi bid’ah yang satu ini.
    Hajar terus Pak!! Walau Keluarga saya orang Muhammadiyah, tapi untuk urusan satu ini mereka sudah tidak modern lagi, kolot, jumud persis seperti sifat2 yang diperanginya sendiri.

  159. Saya pribadi masih bingung dengan hasil keputusan pemerintah, yang menyatakan ijtima’ akhir bulan sya’ban terjadi hari kamis 11:24:32 WIB artinya bulan sya’ban sudah habis pada jam tersebut, tetapi mengawali puasanya pada hari sabtu sebagai 1 Ramadhan, pertanyaanya hari jumat malam sabtu itu tanggal qomariahnya tanggal berapa ya? mohon pak prof bisa menjelaskan …terima kasih..

    • Ass wr wb.
      Kalau KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib itu saat konjungsi/ijtimak dan hari Kamis 19 Juli 2012 itu dianggap sebagai akhir bln Syakban 1433 H serta Jum’at 20 Juli 2012 dianggap sudah masuk 1 Ramadan 1433 H, maka TEORI ASTRONOMI itu TIDAK ISLAMI.
      Teori Astronomi yg ISLAMI adalah teori astronomi yang mengakomodir dalil2 syar’i (fikih), yaitu akhir bln Syakban 1433 adalah saat berakhirnya “BULAN MATI” (bukan saat konjungsi/ijtimak) dan saat berikutnya adalah awal Ramadhan 1433 yg ditandai dg PENAMPAKAN HILAL.
      Karena setelah dilakukan rukyatul hilal ternyata pada hari ke 29 bln Syakban 1433 H yaitu Kamis 19 Juli 2012 tidak ada “penampakan hilal” maka bulan Syakban 1433 H digenapkan 30 hr shg “akhir bulan” Syakban adalah hari Jum’at 20 Juli 2012 dan awal puasa ( = awal Ramadhan 1433 H) jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012.
      Jadi penetapan saat konjungsi/ijtimak sebagai “AKHIR BULAN” adalah tidak sejalan dengan Teori Astronomi Islami karena saat itu masih dlm keadaan “BULAN MATI”.
      Wass wr wb.

  160. Yth. Djamal
    Saya punya usulan bagaimana kriteria imkan rukyat adalah untuk mekah dan berlaku global.
    Pak Djamal, pengetahuan saya tentang falak sangat terbatas. Yang saya ingin tahu lebih jauh dan ini sangat penting untuk menuju persepti yang sama dalam penentuan awal bulan ramadhan, apakah dari data empirik, jika di Mekah posisi bulan baru sudah imkan rukyat berarti seluruh dunia posisi bulan minimal sudah di atas ufuk? Jika memang demikian, maka ada hikmah di balik hadits nabi tentag hilal, sehingga jika kita mempunyai mimpi adanya kelender hijriyah global kriteria hadits nabilah yang seharusnya kita jadikan acuan, yaitu di mekah posisi bulan baru sudah imkan rukyat sedangkan di belahan bumi lain posisi bulan sudah ijtima’. Wassalah.

  161. ass wr wb.. hanya masukan saja antara bercerai berai dengan berbeda pendapat itu sangat jauh… dalam bahasa arab bercerai berai adalah tafaruk.. sedangkan berbeda pendapat adalah ikhtilaf…mohon kepada pak Thomas dalam menggunakan bahasa agar lebih hati2 dan lebih arif karena bisa jadi akan menyesatkan yang lain dan juga akan memunculkan interprestasi yang negatif…. wallohu a’lam bish showab

    • Saya faham betul perbedaan iktilaf dan tafarruq. Kita sudah ratusan tahun berbeda pendapat soal hisab dan rukyat, karena berbeda dalam pengambilan dalil fikih. Saat ini kita sudah bisa menyetarakan hisab dan rukyat dengan hisab visibilitas hilal (imkan rukyat) tanpa mempermasalahkan lagi dalil hisab dan dalil rukyat. Kita menghargai ikhtilaf soal dalil. Kita melangkah pada upaya penyatuan. Semua ormas Islam sudah mau bersatu dan menyepakati kriteria (sementara) imkan rukyat. NU yang mengamalkan rukyat bisa bersatu dan menghasilkan keputusan yang sama dengan Persis yang mengamalkan hisab, karena keduanya terikat pada kesepakatan kriteria imkan rukyat yang sama. Muhammadiyah tidak mau beranjak dari WH yang secara astronomi keliru. Muhamadiyah bertafarruq, memisahkan diri dari upaya penyatuan. Hak untuk berbeda berdasarkan UUD pasal 29 tentang kebebasan beribadah lebih diutamakan dari kewajiban untuk bersatu menurut perintah Allah di QS 3:103.

  162. pak thomas mungkin g suatu saat nanti karena perkembangan tekhnologi sudah maju, wh=im?

    • WH=IR, maksudnya

    • Tidak mungkin WH=IR, karean cahaya syafak (cahaya senja) masih menjadi penggangu cahaya hilal. Teknologi filtering biasanya digunakan untuk meingktkan kontras. Tetapi masalahnya, baik cahaya hilal maupun cahaya syafak sama-sama berasal dari matahari dengan panjang gelombang yang sama.

      • berapa lama biasanya cahaya syafak mengganggu cahaya hilal, p prof?? Jadi benar kan NEW MOON itu sudah berlaku walaupun pergeseran hanya 1 derajat saja. Semakin kecil garis batas antara akhir bulan dan awal bulan akan lebih akurat. Seperti perbedaan antara akhir magrib dan awal isya hanya 1 detik. Pandangan mata sangat terbatas.
        Salam hormat.

      • Hal yang menentukan gangguan cahaya syafak adalah kontras. Kalau hilalnya sangat tipis, tentu syafak yang sudah redup pun masih dianggap mengganggu. Syafak akan bergantung dengan posisi matahari.

  163. Memang jika kita terbelenggu terhadap kriteria yang menjadi keyakinan masing-masing (wujudul hilal, imkan rukyat, dan rukyat atau lainnya) tanpa mau mengakomodir kriteria lainnya maka sampai kapanpun akan sulit untuk mencapai kesepakatan satu kriteria penentuan awal bulan hijriyah secara global. Dan alangkah lebih bijaksananya, jika para ahli falak dalam membuat konsep kriteria awal bulan hijriyah dalam rangka menuju penyatuan kalender hijriyah global maka konsepnya tersebut juga harus bisa diimplementasikan secara global. Jadi tidak hanya konsep regional apalagi lokal.

    Saya pikir semua ahli falak sepakat bahwa fase dimulainya bulan baru hijriyah adalah ketika terjadi konjungsi. Dan jika mengikuti sebagian besar pendapat fuqaha, maka pergantian hari hijriyah adalah pada saat maghrib. Dengan demikian fase bulan baru dimulai ketika terjadi konjungsi sebelum magrib. Cuma masalahnya yang menjadi perbedaan adalah sejak kapan setelah terjadinya konjungsi tersebut kemudian dihitung sebagai bulan baru? Apakah asalkan sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib (Wujudul Hilal), apakah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal diperkirakan sudah dapat dilihat (Imkan Rukyat), ataukah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal terbukti dapat dilihat (Rukyat)?

    Dalam rangka mencapai kesepakatan penyatuan kriteria penentuan awal bulan hijriyah secara global, sebenarnya baik kriteria Wujudul Hilal, Imkan Rukyat, dan Rukyat ada lebih dan ada kurangnya.

    Pada kriteria Wujudul Hilal, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di belahan bumi tertentu sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi di belahan bumi lainnya pada saat itu juga konjungsi baru terjadi setelah maghrib. Jika konsep Wujudul Hilal akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu sudah dihitung sebagai bulan baru secara global padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) hanya terjadi di sebagian wilayah bumi?

    Pada kriteria Imkan Rukyat, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di seluruh belahan bumi sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi sesuai kriteria Imkan Rukyat yang ditetapkan, maka pada saat itu diperkirakan hilal belum dapat dilihat secara kasat mata. Jika konsep Imkan Rukyat akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu secara global belum dihitung sebagai bulan baru padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) di seluruh belahan bumi sudah terjadi?

    Pada kriteria Rukyat, misalnya: dapat terjadi pada suatu saat di seluruh belahan bumi sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib dan diperkirakan hilal sudah dapat dilihat secara kasat mata, namun pada kenyatannya hilal belum dapat dirukyat secara kasat mata. Jika konsep Rukyat akan diimplementasikan secara global, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi pertanyaan yang memunculkan perbedaan pendapat, alasan apa sehingga pada saat itu secara global belum dihitung sebagai bulan baru padahal fase bulan baru (konjungsi sebelum maghrib) di seluruh belahan bumi sudah terjadi dan diperkirakan hilal sudah dapat dilihat?

    Kesimpulannya adalah, demi tercapainya kesepakatan adanya satu kriteria penentuan awal bulan hijriyah dapat diwujudkan, maka terhadap adanya perbedaan kriteria penentuan awal bulan hijriyah tersebut seyogyanya diakomodir semuanya. Dan sebaiknya dibuat konsep kriteria baru yang dapat diterima oleh semua pihak.

    Sekedar wacana dan mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan/pemikiran bagi semua pihak, saya mempunyai konsep dalam penentuan awal bulan hijriyah yang berlaku secara global yang mudah-mudahan bisa mengakomodir beberapa kriteria yang ada, yaitu: “AWAL BULAN HIJRIYAH DIMULAI KETIKA PADA SAAT TERTENTU DI SELURUH PERMUKAAN BUMI SUDAH TERJADI KONJUNGSI (IJTIMA’) SEBELUM MAGHRIB DENGAN TIDAK MEMANDANG KETINGGIANNYA, KARENA TENTUNYA AKAN BERBEDA KETINGGIAN BULAN ANTARA BELAHAN BUMI YANG SATU DAN YANG LAINNYA”

    Sekian, Wasalaamu’alaikum

  164. sampe lebaran kuda berdebat sama Muhammadiyah gak akan selesai pak Thomas, mereka tetep keukeuh untuk tafaruq dari negara Republik Indonesia. mereka ingin kebebasan beribadah sesuai pasal 29 UUD kali ya pak. saya bukan NU, Persis alirsyad dll, saya ikut pemerintah. semoga Allah terus memberikan kesehatan untuk Prof. Thomas dan teruslah berjuang demi persatuan pak. saya selalu mendukung anda

    • ini masalah keyakinan bro,,, dan saya lebih yakin dengan hisab WH, lebih memeberikan kepastian,, daripada IR (kemungkinan bisa dilihat) yang namanya kemungkinan kan tidak pasti jelas membingungkan,,
      anda lihat saja sidang itsbat yg sudah2,, saya punya beberapa pendapat tentang IR :
      1. ketika ada kesaksian yg melihat hilal kenapa ditolak? kan kemungkinan, berarti bisa lihat, bisa tidak dong
      2. penolakan berdasarkan perhitungan karena belum mencapai 2 derajat menurut pak prof dengan sangat yakin mengatakan tidak mungkin bisa dilihat
      3. Trus kalo pada saat itu sesuai perhitungan bulan belum ada 2 derajat dan sangat yakin tidak bisa dilihat, kenapa tetap saja mengirim tim berbondong-bondong untuk melihat,,, toh kalaupun ada yang lihat bakal diketawain, dan dicap penipu, pembohong dan tidak tahu menahu mengenai ilmu falaq,,
      4. Capeee deeeh…. pemborosan banget, yang pasti pasti aja dong,,, 🙂 🙂

  165. Saya pernah baca buku AL KISAH No. 21/8-21 Okt 2007 Hal. 143-144 tentang Kisah Ulama “ K.H. Turaichan Adjuri “ Lahir di Kudus Tahun 1916, beliau pernah menentukan waktu I’dul Fitri Tahun 1991 yang berbeda dengan Pemerintah. Dan juga menentang Maklumat Pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari, dan beliau juga menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan sholat gerhana. KH. Turaichan adalah kisah kecil dari “ pembangkangan kaum” astronom dalam menghitung waktu, sebagaimana kisah besarnya adalah GALILEO yang terpenjara di Kota Arcetri ITALIA pada tahun 1632, karena menebar Mahdzhab HELIOSENTRISME – Bahwa Matahari adalah pusat semesta alam – seperti ditulisnya dalam Scrip Dialogue. .. GALILEO subversib terhadap doktrin Gereja di bawah otoritas PAUS URBANUS yang GEOSENTRISME. Adapun GALILEO adalah pendukung COPERNICUS, tetapi K.H. Turaichan adalah penyokong Kitab AL MATHLA’US SA’ID dari Mesir yang banyak mempengaruhi pemikiran beliau. Ilmu Falak adalah ilmu waktu. Dunia Bisnis mengenal waktu adalah uang Orang Jawa menyebutnya Pakuwon (Ilmu), sedang dalam islam waktu adalah Ibadah. Pak Prof. Djamaludin saya sempat lihat artikel 23 tahun dalam agenda Sidang Isbat Tahun 1991 M/1441 H, http://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html
    bahwa Ijtimak’/Konjungsi ( Posisi Bulan Segaris dengan Matahari dan Bumi / Tusuk Sate ) Tgl. 15-04-1991 terjadi pukul 02.40 wib dan hasil Ru’yat tanggal Tgl. 15-04-1991 adalah tinggi hilal 3° 35′ dan hasil sidang isbat Klaim rukyat Pelabuhan Ratu, Cakung, Klender diterima, “ Apakah Pak Prof. Waktu itu sudah menjadi Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI …….?

  166. sebenarnya saya heran dia (sauadara Aminul Wathon) bersuara di sini, saya engar kaget, apakah benar2 beliau, yang dulu gembar gembor, penentuAN awal sholat, ko aneh skl analisanya

  167. Prof Djamaluddin, sy mohon tanggapannya dari bpk mengenai komentar dari pak hasan, apakah secara ilmu astronomi bisa diterima?. Menarik sekali mnrt sy gagasan pemikirannya. Baik WH, IR maupun R bisa terakomodir bahkan bisa berlaku secara global. Yaitu 1 Romadhon ditetapkn dgn persyaratan wilayah tsb sdh konjungsi/ijtimak dan di Makkah hilal sdh bisa dirukyat. Dgn IR 2 drjt, 1 Romadhon 1433 H di Ind skrg ini jadi janggal rasanya, jadi beda 1 hari lebih lambat dg Makkah pdhl beda waktu Makkah dgn Ind kalau tdk salah hanya 4 jam sj. Lebih janggal lgi Makkah berada di sebelah Barat Ind, bukankah spt waktu berbuka yg lebih dulu masuk maghrib di sebelah Timur duluan. Pd tgl 29 Sya’ban memang secara astronomi bulan sdh wujud krn jam 11.25 WIB sdh terjadi ijtimak di Ind, tapi hilal belum terlihat shg menurut IR 2 drjt bulan Sya’ban di istikmalkan menjadi 30 hari. Tetapi sekian jam kemudian di sebelah Barat dari Ind pd saat matahari terbenam hilal sdh cukup tinggi dan bisa terlihat spt di Mesir dan Makkah shg bln Sya’ban hanya 29 hari. Krn itu menurut sy komentar pak hasan sgt menarik sekali. Sbg org awam dlm hal astronomi tentunya sy ingin tahu tanggapannya dari bpk. Tks

    • Ass wr wb.

      Pak Prabu dan Pak T.Djamaluddin, ijinkan saya menanggapi.
      “Tetapi sekian jam kemudian di sebelah Barat dari Ind pd saat matahari terbenam hilal sdh cukup tinggi dan bisa terlihat spt di Mesir dan Makkah shg bln Sya’ban hanya 29 hari”.

      Kalau kita cermati mapping zone ala Odeh, maka memang demikianlah faktanya, yaitu jika pada hr ke 29 bln Sya’ban 1433 atau 19 Juli 2012 di Indonesia belum ada penampakan hilal maka bln Sya’ban 1433 digenapkan menjadi 30 hari shg akhir bln Sya’ban 1433 jatuh pd tgl 20 Juli 2012 dan awal Ramadhan (awal puasa) adalah tgl 21 Juli 2012, dan selanjutnya karena adanya rotasi bumi, yg akan melihat penampakan hilal adalah daerah2 di sebelah barat Indonesia.

      Daerah di sebelah barat Indonesia yg pertama kali melihat penampakan hilal disebut ILDL (International Lunar Date Line = Garis perubahan hari dan tanggal komariah internasional = Wilayah dimulainya suatu hari dan tanggal komariah).
      Di wilayah ILDL ini, penampakan hilal memang terjadi pd hr ke 29 bln Sya’ban 1433 atau 19 Juli 2012 dan awal Ramadhan 1433 (awal puasa) adalah tgl 20 Juli 2012, demikian juga wilayah2 disebelah barat ILDL hingga wilayah IDL (International Date Line = Garis perubahan hari dan tanggal syamsiyah internasional = Wilayah dimulainya suatu hari dan tanggal syamsiyah). IDL ini sesuai konvensi internasional disepakati berada di wilayah garis bujur 180 derajat (dg sedikit penyesuaian, krn IDL diusahakan tdk membelah suatu pemukiman).

      Terhitung dr wilayah IDL ini, penampakan hilal yg terjadi pd tgl 19 Juli 2012 sdh harus memasuki tgl 20 Juli 2012 shg akhir bulan Sya’ban 1433 jatuh pada hr itu tgl 20 Juli 2012 dan awal buln Ramadhan 1433 (awal puasa) adalah 21 Juli 2012.

      Kesimpulannya :
      1. Akhir bln Sya’ban 1433 tgl 19 Juli 2012 dan awal bln Ramadhan
      1433 (awal puasa) tgl 20 Juli 2012 adalah utk wilayah disebelah
      barat ILDL hingga wilayah IDL.
      2. Akhir bln Sya’ban 1433 tgl 20 Juli 2012 dan awal bln Ramadhan
      1433 (awal puasa) tgl 21 Juli 2012 adalah utk wilayah disebelah
      timur ILDL hingga wilayah IDL.

      Wass wr wb.

  168. Ass. wr wb.

    Terimakasih pak bambang supriadi atas penjelasannya yg menambah lagi pengetahuan sy mengenai hal ini. Jadi karena ditetapkannya IDL (Garis perubahan hari dan tanggal syamsiyah internasional) yaitu pada garis bujur 180 derajat, menyebabkan kita walaupun berbeda waktu 5 jam dengan suatu tempat disebelah timur tempat saya berada (WITA) bisa berbeda hari/tanggal syamsiah. Tadi coba saya lihat zona waktu saya berada WITA= UTC+8 atau dari Greenwich (o derajat) + 8 jam. Berarti pada garis bujur 180 derajat (IDL) = UTC+12 artinya beda waktu 4 jam saja dengan posisi saya berada. Sehingga beda waktu 5 jam saja dari posisi saya ke arah timur sudah berbeda tanggal dan hari padahal hanya berselisih 5 jam.

    Berarti demikian juga dengan ILDL, walaupun beda waktu Ind (WIB) dengan Mekkah hanya 4 jam, tapi apabila garis tanggal komariyah memotong antara kedua tempat, menyebabkan beda hari dan tanggal antara Ind dan Mekkah.
    Tetapi apabila ILDL terletak di sebelah timur Ind berarti hari dan tanggal Ind dan Mekkah menjadi sama.

    ILDL ternyata faktanya berpindah2 tidak spt IDL (Ind dan Mekkah bisa sama tapi jg bisa beda tgl dan hari tergantung posisi ILDL dimana), berarti yg disampaikan pak hasan sama juga (maaf) akan tidak konsisten, yaitu awal bulan hijriyah ditetapkan menggunakan kriteria :

    “AWAL BULAN HIJRIYAH DIMULAI KETIKA PADA SAAT TERTENTU DI SELURUH PERMUKAAN BUMI SUDAH TERJADI KONJUNGSI (IJTIMA’) SEBELUM MAGHRIB DENGAN TIDAK MEMANDANG KETINGGIANNYA, KARENA TENTUNYA AKAN BERBEDA KETINGGIAN BULAN ANTARA BELAHAN BUMI YANG SATU DAN YANG LAINNYA”
    dan
    “di mekah posisi bulan baru sudah imkan rukyat sedangkan di belahan bumi lain posisi bulan sudah ijtima’”.

    Karena apabila 29 Sya’ban di Mekkah misalnya hilal sudah bisa dilihat dan di wilayah Ind sdh terjadi Ijtimak sebelum maghrib maka spt 1433 H ini, akan sama hari dan tanggalnya. Tetapi apabila di Mekkah sdh terlihat hilal sedangkan di wilayah Ind belum terjadi ijtimak sblm maghrib, berarti beda juga hari dan tglnya antara Ind dan Mekkah. Jadi apabila terjadi seperti itu baik menggunakan kriteria WH, IR maupun R juga akan berbeda hari dan tanggalnya dengan Mekkah.

    Jadi kuncinya mgkin perlunya ditetapkan secara internasional seperti IDL mengenai kriteria ILDL. Ataukah memang demikian adanya karakteristik kalender komariah. Atau apakah sudah ada kesepakatan internasional mengenai kriteria ILDL ini?.

    Apakah demikian pak bambang atau sahabat2 lainnya ? Mohon diluruskan bila ada yg salah dalam pemahaman sy tsb.

    Wassalam.

  169. Maaf koreksi, “berarti yg disampaikan pak hasan sama juga (maaf) akan tidak konsisten”.
    seharusnya, “berarti yg disampaikan pak hasan juga belum bisa mengakomodir WH, IR dan R secara konsisten”.

    • Ass wr wb.
      Pak Prabu, pemahaman bapak sudah berada dijalur yg sama dengan saya. Dan mengenai ILDL yg unik dan dinamis itu adalah “kodrat” krn merupakan hasil kombinasi gerak matahari, bumi dan bulan ciptaan Allah SWT.
      Wass wr wb.

    • Yth. Bapak Prabu
      Supaya tidak terjadi salah interpretasi atas tulisan saya berikut penjelasannya:
      Prof. Djamal sebagaimana kita ketahui dari berbagai pernyatannya sangat yakin dengan kriteria Imkan Rukyatnya. Atas hal tersebut, kemudian saya usulkan, ya jika ingin memakai kriteria Imkan Rukyat untuk dapat diberlakukan secara global maka sebaiknya yang dijadikan patokan adalah Mekah. Argumentasi saya adalah jika yang dipakai patokan wilayahnya di sebelah timut Mekah (misal Indonesia) maka besar kemungkinan dapat terjadi pada suatu saat di Indonesia belum Imkan Rukyat tetapi di Mekah sudah Imkan Rukyat, sehingga hampir dapat dipastikan akan memunculkan perdebatan alasan apa sehingga pada saat itu belum dihitung sebagai bulan baru sementara di salah satu belahan bumi (dalam hal ini yang diambil sebagai kasus adalah Mekah) sudah Imkan Rukyat. Dengan demikian kriteria Imkan Rukyatnya Prof.Djamal besar kemungkinan akan banyak menemui kendala jika akan diimplementasikan secara global.

      Namun demikian, walaupun usulan saya kepada Prof. Djamal agar yang dijadikan patokan kriteria Imkan Rukyat adalah Mekah, tetapi masih juga ada kelemahannya. Hal ini bisa saja terjadi (tentunya dengan data empiris dan perhitungan ke depan) jika terdapat kasus pada suatu saat telah terjadi konjungsi sebelum maghrib diseluruh permukaan bumi, tetapi posisi bulan di Mekah belum Imkan Rukyat, maka hampir dapat dipastikan akan menunculkan perdebatan alasan apa sehingga waktu itu belum dihitung sebagai bulan baru sementara sudah terjadi konjungsi sebelum magrib di seluruh permukaan bumi? Atau bisa saja terjadi suatu saat di Mekah sudah Imkan Rukyat, tetapi di belahan bumi lainnya ada yang belum konjungsi sebelum magrib. Hal ini juga akan memunculkan perdebatan alasan apa pada saat itu secara global sudah dihitung sebagai bulan baru padahal masih ada wiayah di sebagian belahan bumi posisi bulam belum Ijtimak sebelum magrib?

      Atas dasar hal tersebut maka saya usulkan kriteria yang mudahan-mudahan dapat mengakomodir berbagai kriteria yang sudah ada yaitu “AWAL BULAN HIJRIYAH DIMULAI KETIKA PADA SAAT TERTENTU DI SELURUH PERMUKAAN BUMI SUDAH TERJADI KONJUNGSI (IJTIMA’) SEBELUM MAGHRIB DENGAN TIDAK MEMANDANG KETINGGIANNYA, KARENA TENTUNYA AKAN BERBEDA KETINGGIAN BULAN ANTARA BELAHAN BUMI YANG SATU DAN YANG LAINNYA”

      Dasar pemikiran saya atas kriteria yang saya usulkan adalah sebagai berikut:
      1. Sudah menjadi kesepakatan para ahli falak, bahwa fase bulan baru dimulai ketika terjadi konjungsi;
      2. Menurut sebagian besar pada fuqaha, pergantian hari hijiryah adalah pada saat maghrib;
      3. Dengan demikian syarat yang harus dipenuhi bulan hijiryah memasuki bulan baru adalah telah terjadi konjungsi sebelum maghrib;
      4. Masalahnya yang menjadi perbedaan adalah sejak kapan setelah terjadinya konjungsi tersebut kemudian dihitung sebagai bulan baru? Apakah asalkan sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib (Wujudul Hilal), apakah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal diperkirakan sudah dapat dilihat (Imkan Rukyat), ataukah persyaratan konjungsi sebelum maghrib tersebut harus disertai syarat tambahan berupa hilal terbukti dapat dilihat (Rukyat)?
      5. Jika perhitungan bulan baru hanya didasarkan atas telah terjadinya konjungsi sebelum maghrib di sebagian wilayah bumi, maka hampir pasti akan memunculkan pertanyaan alasan apa pada saat itu secara global sudah dihitung sebagai bulan baru, sementara masih ada bagian wilayah bumi yang konjungsinya terjadi setelah magrib. Dalam hal ini, saudara-saudara kita yang memakai kriteria Wujudul Hilal di sebagian wilayah dan berlaku untuk wilayah lainnya, seyogyanya menaikkan kriterianya konjungsi tidak cukup terjadi di sebagian wilayah bumi, tetapi di seluruh permukaan bumi.
      5. Saudara-saudara kita yang memakai kriteria Imkan Rukyat seyogyanya mengubah sedikit kriterianya bahwa penentuan awal bulan dari Imkan Rukyat di sebagian wilayah bumi menjadi cukup jika sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi konjungsi tersebut harus sudah terjadi di seluruh permukaan bumi.
      6. Demikian juga saudara-saudara kita yang memakai kriteria Rukyat, seyogyanya mengubah kriterianya bahwa penentuan awal bulan dari bulan harus sudah benar-benar terlihat di sebagian wilayah bumi menjadi cukup jika sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib tetapi konjungsi tersebut harus sudah terjadi di seluruh permukaan bumi.
      7. Dengan demikian, kriteria yang saya usulkan ini mudah-mudahan dapat mengakomodir berbagai kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang sudah ada. Dengan kriteria ini mudah-mudahan tidak ada yang merasa menang dan tidak ada yang merasa kalah.
      8. Tentunya usulan saya ini harus juga melalui kajian lebih lanjut terutama jika dikaitkan dengan data empiris dan data perhitungan peredaran bulan di masa yang akan datang.

      Jadi, tidak ada ketidakkonsistenan atas tulisan saya. Yang satu sebagai usulan perbaikan atas kriteria Imkan Rukyatnya Prof. Djamal, sementara yang satu adalah wacana usulan kriteria penentuan awal bulan hijriyah sesuai yang saya pahami demi keadaan Islam yang lebih baik.

      Wallaah a’lamu bisshawaab
      Wasalaamu’alaikum Wr. Wb.

  170. Tambahan tanggapan atas pertanyaan Bpk. Prabu
    Perlu kita ketahui dan sadari bersama bahwa penentuan kriteria awal bulan hijriyah oleh saudara-saudara kita, baik yang memakai kriteria WH, IR, R ataupun lainnya, kemudian baik yang memberlakukan kriterianya dalam wilayah lokal, regional, atau bahkan global adalah hasil interpretasi terhadap kajian terhadap ketentuan dari nash Al-Quran dan Hadits yang sama.

    Menurut pemahaman saya, semua kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang ada saat ini, termasuk kriteria yang saya usulkan, yaitu “konjungsi sebelum magrib di seluruh belahan bumi” dan termasuk juga kriteria IR nya Prof. Djamal, semuanya masih bisa diperdebatkan. Karena masih dapat diperdebatkan, maka tingkat kebenarannya masih bersifat nisbi, bukan kebenaran mutlak. Jika sudah masuk wilayah perbedaan interpretasi atas nash Al Quran dan Hadits, maka kebenaran mutlak hanyalah di sisi Allah.
    Terkait criteria penentuan awal bulan hijriyah, saya kurang sejalan dengan Prof. Djamal yang seakan-akan mengambil alih kewenangan Allah SWT dan Rasulnya bahwa interpretasi Prof. Djamal dan yang sepaham dengannya atas nash Al Quran dan Hadits terkait dengan kriteria penentuan awal bulan hijriyah menurut versinya adalah yang paling benar . Hal ini dengan banyaknya pernyataannya bahwa kriteria “X” keliru, kriteria “Y” keliru tanpa mau mengakomodir kriteria-kriteria yang ada demi keadaan Islam yang lebih baik. Padahal di sisi Allah dan atas ke-Maha Bijaksanaan-Nya, bisa jadi semua kriteria yang ada saat ini semua benar di sisi-Nya (wallaahu a’lamu bisshawaab).
    Kiranya perlu saya sampaikan bahwa agar tidak terkesan mengambil alih hak Allah dan Rasul-Nya bahwa “tingkat kebenaran kriteria penentuan awal bulan hijriyah yang ada saat ini, termasuk kriteria IR nya Prof. Djamal masih bersifat “kebenaran nisbi” bukan “kebenaran mutlak.
    Dengan demikian, dalam rangka mencapai kesepakatan penentuan awal bulan hijriyah yang dapat diterapkan secara global, menurut saya perlu diambil jalan tengah dengan semaksimal mungkin mengakomodir berbagai kriteria-kriteria yang ada saat ini, dengan catatan bahwa kriteria “baru” tersebut secara subsatnsi tidak menyimpang dari ketentuan nash Al Quran dan Hadits.
    Semoga di masa depan hal ini dapat menjadi kenyataan. Amien.

  171. Amien amien amien YRA..
    Subhanallah.. Terimakasih atas penjelasannya pak Hasan. Org awam seperti saya ini yang ingin belajar memahami permasalahan penentuan awal bln hijriyah khususnya yg berkaitan dgn bln2 ibadah menjadi lebih terbuka lagi.

    Semoga penjelasan ini, juga bisa membuka “mata hati” kita semua, yg mana pd saat ini permasalahan tsb semakin “memanas” saya amati sejak Ramadhan 1432 H kemarin. Semoga forum ini bermuara ke arah terciptanya ukhuwwah Islamiyah di Indonesia yang semakin baik. Saling menghargai dan menghormati keyakinan dan pendapat masing2 shg tidak kontraproduktif dlm menuju terciptanya ukhuwwah Islamiyah yg menjadi tujuan kita bersama. Saling menyadari kelemahan kita di hadapan Nya Yang Maha Luas IlmuNya. Dan Allah SWT memberikan hidayah dan petunjukNya kepada kita semua. Amien Ya Alloh Ya Robbal “Aalamiiiiiin..

    Mohon maaf bila komentar2 saya tidak berkenan, khususnya kepada Ysh. Pak Hasan.

    Wassalamu’alaikum wr. wb.

  172. KUBU IMKANUR RUKYAH DI OSLO TANPA RAMADHAN 1432H
    Saya akan tunjukkan bagaimana cara yang lebih ilmiah dan diakui masyarakat ilmiah dalam menetapkan methode/kriteria yang sahih. Namanya “proof by exhaustion”, methode penyingkiran alternatif lain. Dan yang akan saya singkirkan adalah validitas (kesahihan) kriteria Imkanur Rukyah dan methode rukyat. Dalam kasus, dengan menunjukkan 1 (satu) kasus saja yang membuat Imkanur Rukyah tidak berlaku/gagal, maka kriteria Imkanur Rukyah menjadi tidak sahih. Dan otomatis, kriteria wujudul hilal dan/atau lainnya (selain rukyat dan Imkanur Rukyah) tetap berlaku sampai dibuktikan gagal.
    Methode pengamatan hilal (rukyat) atau turunannya, mempunyai kelemahan. Penampakan bulan tidak mempunyai ritme yang tetap setiap tahunnya. Bulan tidak selalu muncul setiap harinya pada saat yang sama relatif terhadap matahari. Dan juga tidak selalu tenggelam pada waktu yang sama terhadap posisi matahari. Demikian juga benda-benda langit lainnya. Apalagi di wilayah di dekat kutub (utara dan selatan). Pada musim panas, siang hari menjadi lebih panjang. Dan sebaliknya pada musim dingin.
    Pada musim panas, ada masa-masa dimana hilal tidak muncul sama sekali diwilayah ini. Hilal terbenam sebelum magrib. Bulan muncul (sesudah magrib) setelah wujudnya sudah 25% atau 50% atau bahkan mendekati purnama, tergantung bagaimana cara rukyatnya. Dalam kondisi seperti ini methode dengan kriteria rukyat dan Imkanur Rukyah gagal.
    Contohnya adalah kasus Ramadhan tahun 2011 M atau 1432 H lalu di Oslo, ibukota negara nenek moyang Alice Norin.
    Hilal terbentuk pada tanggal 30-Jul-11 jam 20:40 waktu setempat (atau pukul 04:40 WIB tanggal 31 Juli di Indonesia). Tetapi hilal tidak pernah muncul di horizon, karena bulan terbenam 45 menit sebelum magrib.
    Catatan: di Indonesia karena hilal terbentuk bertepatan dengan tanggal 31 Juli 2011 hilal jam 04:40 dan ketika magrib pada tanggal tersebut sudah di atas 6º (atau berapapun) maka tanggal 1 Ramadhan 1432 H dimulai pada saat magrib 31 Juli 2011 dan puasa dimulai tanggal 1 Agustus 2011. Baik kubu hisab dan kubu rukyat punya waktu puasa yang bersamaan.
    Peta visibility hilal tgl 1 Agustus 2011. Di Oslo hilal belum nampak (lha hilal sudah terbenam sebelum magrib kok). Padahal di Indonesia sudah Puasa (1 Ramadhan 1433H).
    Bulan masih tenggelam sebelum magrib sampai tanggal 2-Agustus-11. Jadi belum bisa memenuhi kriteria rukyat atau Imkanur Rukyah. Mau 2º atau apapun tidak bisa, lha sudah di bawah horizon ketika magrib, bagaimana bisa dilihat? Jadi secara rukyat atau Imkanur Rukyah, Oslo belum memasuki 1 Ramadhan, belum boleh puasa!
    Tanggal 5 Agustus 2011, lima (5) hari sesudah Indonsia berpuasa, pada hari ini posisi bulan tertinggi mencapai 3º dimana menurut kriteria Imkanur Rukyah baru bisa dilihat. Sayangnya bulan sudah hampir ½ penuh. Bukan hilal lagi namanya, tetapi qamar. Jadi menurut kubu rukyat dan Imkanur Rukyah bahwa tahun 2011 M atau tahun 1432 H, tidak ada bulan Ramadhan di Oslo dan umat Islam di Oslo serta di wilayah sekitarnya tidak perlu puasa! Alasannya tidak ada hilal, yang ada qamar. Horeeeeee!!!! Alfred Almendingen, Alice Norin, Hasan Tiro, dan kaum muslimin disana bersorak, karena tidak usah berpuasa.
    Kalau ada yang mau pakai kriteria 6º (entah rukyat macam apa), maka yang dilihat adalah bulan menjelang purnama alias badar kamil.
    Bagaimana lebarannya di Oslo? Itu tidak usah dipikirkan. Lha, Ramadhannya tidak ada, bagaimana dengan akhir Ramadhan? Kalau mau dipaksakan, dengan rukyat akan semakin membingungkan.
    Tabel berikut ini bisa lebih menjelaskan lebih detail.
    Kubu Imkanur Rukyah Di Oslo Tanpa Ramadhan 1432H
    Read more: http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/2012/07/oslo-tanpa-ramadhan-musim-panas.html#ixzz1KHfrc9WM

  173. Pak Hasan, kriteria yang diusulkan sangat menarik dan mudah diterima oleh semua pihak karena mampu mengakomodir berbagai kriteria.

    Dengan rukyat global, hasilnya juga gak akan jauh beda dengan hisab karena saat awal bulan setidaknya ada wilayah di muka bumi ini yang mampu melihat hilal.

    Dengan rukyat global pula, kubu yang menggunakan rukyat lokal seperti saat ini tidak perlu meninggalkan dasar penentuan awal bulan ramadhan yaitu dengan melihat hilal.

    Konsepnya sama dengan yang disampaikan felixsiauw http://chirpstory.com/li/13813

    Saya bantu copas disini biar mudah dibaca.

    1. first of all, sudah saya sampaikan pada sharing lalu, bahwa umat Muslim punya 3 cara menentukan awal bulan dlm kalender Islam

    2. tiga cara yg paling umum adl 1) hisab (menghitung) 2) rukyatul hilal lokal 3) rukyatul hilal global | rukyatul hilal adl melihat hilal

    3. diantara metode hisab dan rukyatul hilal | 4 ulama madzhab (hanafi-maliki-syafi’i-hanbali) sepakati cara rukyatul hilal

    4. adapun hisab, tetep ada dalilnya | dan itu boleh-boleh saja, jadi kita perlu kembangkan sikap ‘legowo’ saja, itu syar’i kok 🙂

    5. adapun rukyatul hilal, maka ulama2 madzhab terbagi 2 pendapat | 1) rukyatul hilal global dan 2) rukyatul hilal lokal

    6. madzhab hanafi-maliki-hanbali anut bahwa hilal itu global | 1 orang yg melihat, asal Muslim dan mau disumpah, berlaku bagi seluruh dunia

    7. sedang ulama2 madzhab syafi’i anut rukyatul hilal lokal | setiap daerah yg terpisah 24 farsakh (120 km) boleh lihat sendiri hilal

    8. keduanya benar, karena yg namanya ijtihad ulama madzhab pasti berdalil | jika benar 2 pahala, jika salah 1 pahala, begitu tegas Rasul

    9. dalil-dalil hisab, rukyatul hilal lokal dan rukyatul hilal global tidak saya tuliskan disini (terlalu panjang) | tapi sy lampirkan nanti

    10. jika saya ditanya “lalu yg mana metode yang benar? hisab, rukyatul hilal lokal atau rukyatul hilal global?” | sy jwb semua benar

    11. hanya kalo saya ditanya “yg mana yg lebih kuat dalil?” | maka sy jawab, rukyatul hilal global

    12. karena Rasul dlm hadits penentuan 1 ramadhan katakan harus “melihat” dengan mata, dan menerima informasi dari penduduk jauh (global)

    13. tapi sekali lagi kita tekankan, bahwa bukan berarti yang lain salah | rukyatul hilal lokal dan hisab tetep bener, tetep berdalil

    14. nah, sekarang kita bahas kapan 1 ramadhan 1433 H ya 🙂

    15. tanggal 1 bulan ramadhan ditandai dengan munculnya hilal (first visible crescent) atau awal bulan baru yg terlihat mata

    16. dalam bahasa astronomi disebut konjungsi (ijtima’) yaitu ketika bumi-bulan-matahari berada dalam 1 garis lurus (jadi bulan item semua)

    17. saat konjungsi (ijtima’) bulan warnahnya hitam total, dan sesaat setalah itu muncullah sabit hilal (lihat pic) http://t.co/NOSjBwGk

    18. nah, konjungsi itu sekarang (19/07/12) hampir terjadi 🙂 | tepatnya terjadi pd 19/07/12-04:24 UTC (liat pic) http://t.co/VxJfok49

    19. artinya kl konjungsi terjadi tgl 19/07/12-04:24 UTC atau 11:24 WIB | maka secara hisab, tanggal 19 lepas maghrib dianggap 1 ramadhan

    20. makanya Muhammadiyyah sudah woro-woro bila tanggal 20/07/12 sudah puasa pertama, dan tarwihnya tgl 19/07/12 | secara hisab dah masuk

    21. nah, bagi umumnya dunia yang menggunakan metode rukyatul hilal, maka belum tentu bagi mereka masuk 1 ramadhan | karena harus lihat hilal

    22. pertanyaanya, kalo yang metode rukyatul hilal, bisakah mereka melihat hilal pada tanggal 19/07/12? simak gambar2 berikut

    23. sumber http://t.co/pSeU1Gmp (peta dunia akan terlihatnya hilal pada 19/07/12) http://t.co/4iLyfIEP

    24. sumber http://t.co/pSeU1Gmp (peta dunia akan terlihatnya hilal pada 20/07/12) http://t.co/GvbsUHeE

    25. dari dua peta itu, maka dapat kita simpulkan pada 19/07/12 lepas maghrib, hilal mustahil terlihat dari Indonesia

    26. artinya penganut rukyatul hilal lokal semisal NU di Indonesia kemungkinan besar genapkan sya’ban 30 hari dan baru puasa tgl 21 juli

    27. hilal baru terlihat jelas di Indonesia tanggal 20 juli sebagaimana di gambar | yah, ‘legowo’ deh, sepertinya tahun ini bakal beda

    28. gimana dengan penganut rukyatul hilal global? | maka walau mereka belum bisa lihat hilal di Indonesia, akan setia menunggu berita hilal

    29. bila lihat peta tadi, hilal baru mungkin bisa dilihat di amerika bagian selatan, itu berarti kira2 bedaq 10-11 jam sama kita

    30. dengan kata lain, di amerika selatan maghrib baru bisa lihat hilal, berarti beritanya bisa ke Indonesia jam 4 atau 5 subuh tgl 20/07/12

    31. jika hilal terlihat di amerika selatan tgl 19/07/12 magrib waktu lokal, dan kita sudah tgl 20/07/12 subuh waktu lokal, ya lngsng puasa

    32. jadi saran saya, tgl 20/07/12 besok nih, sahur aja dulu, siapa tau hilal bisa terlihat di amerika selatan, sambil mantengin berita

    33. bilapun tgl sampe tanggal 19/07/12 habis diseluruh dunia, dan belum terlihat hilal, ya tinggal batalin niat puasa, tgl 21/07/12 mulainya

    34. lho kok dadak-dadakan begitu sih? | ya memang begitu dari zaman Rasulullah, penentuan 1 ramadhan memang selalu dadakan, kan lihat hilal

    35. nah, berita hila terlihat atau belum, bisa dipantau di http://t.co/pSeU1Gmp atau yg lain | sy juga pantau terus harini sampe subuh 🙂

    36. ti TV semisal al-jazeera juga ada, atau di manapun situs berita Islam | insyaAllah sy akan publish di twitter juga kl ada kabar hilal 🙂

    37. jadi kesimpulannya, mau ikut metode manapun disila, asal paham dalilnya, dan nggak hanya ikut-ikutan 🙂

    38. mau hisab, rukyatul hilal global, rukyatul hilal lokal | semua ada dalilnya, dan bila berbeda itu bukan berarti salah

    39. beda penentuan ramadhan ini akan tiada, apabila ada 1 kepemimpinan sebagaimana zaman Rasul dan Khulafaurrasyidin | khilafah Islam

    40. mudah-mudahan kedepan Allah jadikan kembalinya Islam dalam bentuk bangkitnya khilafah sebagai sarana penyatuan bulan ramadhan 🙂

    41. selamat puasa tweeps, ramadhan mubarakah | semoga amal kita diterima Allah, dan dijadikan penyejuk mata di kubur serta tiket ke surga 🙂

    42. sekali lagi, beda fiqih biarlah ada, penyatuan Islam mari kita segerakan | bagaikan kini kita bahagia, karena sambut ramadhan!

    43. nah, yang mau materi “penentuan awal ramadhan 1433 H” | berikut dalil2 metode2nya, sila download di >> http://t.co/KPR2rCuO

    44. atau tulisannya bisa dibaca di sini 🙂 >> http://t.co/0XARaSTa

  174. Ass wr wb.

    Mengenai “suatu saat tanggal 1 terjadi saat hilal 3 derajat, satu saat tanggal 1 terjadi saat 6,2 derajat”, itu adalah kodrat karena wilayah yg pertama kali melihat hilal (ILDL) setiap bulan selalu berubah yaitu bergeser ke timur, sedangkan dlm satu hari satu malam pergerakan bulan sudah mencapai lebih kurang 12 derajat. Jadi Indonesia dan semua wilayah dipermukaan bumi setiap bulan tidak akan melihat hilal pd derajat ketinggian yg sama melainkan selalu berubah pada derajat ketinggian antara lebih besar dr 0 derajat dan lebih kecil dr 12 derajat tergantung letak ILDL pada bulan berkenaan.
    Memang perlu diadakan riset panjang untuk memberikan kepastian ttg penampakan hilal terutama derajat ketinggiannya di wilayah ILDL shg bisa dijadikan patokan untuk wilayah2 lain dipermukaan bumi. Hanya saja yg saya khawatirkan adalah kemungkinan bahwa derajat ketinggian penampakan hilal setiap bulan di wilayah ILDL tsb juga tidak tetap (“dinamis”).

    Sedangkan mengenai “melihat” penampakan hilal, adalah bahwa kemampuan “melihat” penampakan hilal telah berproses dr hanya dg mata telanjang hingga sekarang dg teropong mutakhir dan kemungkinan dimasa datang akan ditemukan alat yg lebih canggih sehingga bisa menembus “persembunyian” hilal.
    H.R.Bukhari,Muslim berkenanan juga mengisyaratkan bahwa………maka jika “tersembunyi” daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari…………………
    Artinya, meskipun sudah ada hilal tetapi jika masih “tersembunyi” maka belum bisa dikatakan telah masuk awal bulan.

    Wass wr wb.

  175. Bung IIKKII, saya hanya ingin tanggapan atas tulsan anda:

    “Pada musim panas, ada masa-masa dimana hilal tidak muncul sama sekali diwilayah ini. Hilal terbenam sebelum magrib. Bulan muncul (sesudah magrib) setelah wujudnya sudah 25% atau 50% atau bahkan mendekati purnama, tergantung bagaimana cara rukyatnya. Dalam kondisi seperti ini methode dengan kriteria rukyat dan Imkanur Rukyah gagal.
    Contohnya adalah kasus Ramadhan tahun 2011 M atau 1432 H lalu di Oslo, ibukota negara nenek moyang Alice Norin.Hilal terbentuk pada tanggal 30-Jul-11 jam 20:40 waktu setempat (atau pukul 04:40 WIB tanggal 31 Juli di Indonesia). Tetapi hilal tidak pernah muncul di horizon, karena bulan terbenam 45 menit sebelum magrib.”

    Kriteria WH Ormas Muhammadiyah harus memenuhi syarat sbb:
    1. Sudah terjadi konjungsi sebelum maghrib:
    2. Menurut perhitungan, posisi bulan sebelum magrib sudah harus di atas ufuk.

    Terlepas dari konsep wilayatul hukminya ormas Muhammadiyah, maka dengan demikian berarti kriteria WH juga tidak selalu bisa diterapkan di seluruh belahan bumi. Dengan demikian, apakah kejadian di Oslo pada 30 Juli 2011 waktu setempat dimana bulan terlebih dulu terbenam daripada matahari, juga bisa dikatakan gagalnya kriteraia WH untuk diterapkan di setiap keadaan?

    Mohon tanggapan.
    Wassalaamu’alaikum

    • Ass wr wb.
      Mengenai kasus di Oslo, Finlandia dll, itu juga kodrat Allah SWT. Semua tempat dipermukaan bumi ini mempunyai kodrat masing2 dimana jumlah jam pada siang hari dan malam hari tidak sama disemua tempat. Bahkan di wilayah2 ekstrim, siang harinya dan malam harinya = 1/2 tahun (1/2 x revolusi bumi) sehingga sehari-semalam = satu tahun (satu revolusi bumi) atau dengan kata lain bahwa ditempat tersebut selama setahun matahari terbit dan terbenam hanya sekali sehingga sholat fardhu yg 5 waktu hanya kita lakukan masing2 satu kali dlm setahun.
      Jadi kandungan Al Qur’an dan Hadist (dalil syar’i) adalah universal dan fleksibel dapat diterapkan di mana saja diseluruh jagad raya ini disesuaikan dengan kodrat masing2.
      Dengan demikian, dengan wawasan global kita tidak perlu risau kalau ada perbedaan cara penerapan dalil syar’i diantara tempat2 di seluruh permukaan bumi ini karena itu sudah sesuai dengan kodrat masing2.
      Wass wr wb.

      • Aneh-aneh saja pendapat pak Bambang ini…

        Kalau orang yang berpegang kepada Al Quran saja tanpa mau menerima hadist Nabi, kita sebut Inkar Sunnah…

        Kalau saya lihat, pak Bambang bisa disebut Inkar Aqli… 😦
        Berpegang kepada Al Quran dan Hadist Nabi, tapi tidak mau menerima Akal…

        Di tempat yang hari = malam = 1/2 tahun,
        Bagaimana pak cara melakukan :
        – Shalat Jumat ?… Apakah 7 tahun sekali ???…
        – Puasa Ramadhan ?… Apakah tiap 354 tahun kita puasa 30 tahun ???…
        – Kapan Idul Fitri di sana ?…
        – Kapan Idul Adha di sana ?…

      • Ass wr wb.
        Pak Ivan, kalau untuk puasa, karena umat Islam merasa “berat” untuk berpuasan selama setengah tahun maka dalil syar’i menyebutkan bahwa boleh tidak puasa tetapi harus membayar fidyah.
        Sedangkan untuk pertanyaan yang lain, marilah kita gunakan akal kita untuk mencari jawabannya dg tetap berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadist.
        Wass wr wb.

      • Ass wr wb.
        Pak Ivan, kalau boleh saya usul sbb. :
        1. Sholat Jum’at dilaksanakan pada waktu dhuhur, dengan demikian
        kewajiban sholat dhuhur juga gugur.
        2. Sholat Idul Fitri dan sholat Idul Adha sebaiknya tidak usah
        dilaksanakan karena menurut dalil syar’i hukumya “sunat”.
        Tetapi jika ingin melaksanakannya, bisa dilaksanakan pagi hari
        setelah terbit matahari seperti sholat Ied di daerah normal.
        Wass wr wb.

      • kegiatan ibadah yang berdasarkan waktu gerak semu matahari, untuk daerah ekstrem, bisa mengikuti mathlaq yang terdekat dimana lintang & bujurnya masih bisa terlihat proses terbit & tenggelamnya matahari sepanjang tahun.

      • Ass wr wb.
        Kalau kegiatan ibadah mengikuti mathlaq yang terdekat dimana lintang & bujurnya masih bisa terlihat proses terbit & tenggelamnya matahari sepanjang tahun, maka akan terjadi “tahajud siang hari dan dhuhur malam hari” dan sebagainya yg tidak sesuai dengan dalil syar’i.
        Wass wr wb.

  176. Ass wr wb.
    Mengenai QS. Al Baqarah: 185 yang berisi perintah melaksanakan puasa pada saat menyaksikan datangnya syahru Ramadhan, berdasarkan “hirarki” dalil syar’i, saya memahaminya sebagai “peraturan umum” yang masih memerlukan penjelasan rinci terutama ttg “kapan” syahru Ramadhan itu dimulai.
    Dan dalil syar’i yg menjelaskan “kapan” syahru Ramadhan itu dimulai adalah H.R.Bukhiari,Muslim yang memberi petunjuk bahwa awal syahru Ramadhan adalah pada akhir syahru Sya’ban, bisa pada hari ke 29 dan bisa pada hari ke 30, yang ditandai dengan “penampakan hilal”.
    Dengan demikian QS Al Baqarah 185 dan HR Bukhari,Muslim tsb tidak dapat ditempatkan pada posisi yang saling bertentangan, melainkan merupakan satu paket perintah dan petunjuk dimana QS Al Baqarah 185 adalah sebagai “peraturan umum” dan HR Bukhari,Muslim tsb sebagai “petunjuk teknis”nya.
    Oleh karena itu, jika ada metode hisab yg hanya menggunakan QS Al Baqarah 185 dan “mengabaikan” HR Bukhari,Muslim tsb bahkan memilih menggunakan “petunjuk teknis” DILUAR dalil syar’i,. sama artinya menggunakan dalil syar’i yg “tidak utuh”.
    Kalau sudah disediakan yang UTUH mengapa memilih yang TIDAK UTUH.
    Wass wr wb.

  177. saya kurang paham prof,..apa bedanya konjungsi dgn gerhana matahari??Bukankah dr segi posisi sama?Yaitu bulan diantara matahari dan bumi???Maaf prof saya agak awam disini.

    • Konjungsi/ijtimak adalah kondisi bulan dan matahari segaris bujur ekliptika. Lintang ekliptikan bisa saja beda. Lintang ekliptika bulan bervarisi dari -5 sampai 5 derajat. Lintang ekliptika matahari=0. Gerhana matahari adalah konjungi pada bulan benar-benar segaris atau hampir segaris dengan matahari sehingga matahari terhalangi oleh bulan, yatu saat lintang ekliptika bulan sekitar 0 derajat.

  178. prof benar kah metode yg dianut pmrnth RI tdk brsft universal,mksdnya utk kwsn utara dan selatan yg lintangnya diatas 60 derjat,rukyat tdk bs dilakukan?mksh prof sblmnya,..mhn ditanggapi ya prof

  179. Ass. P T. Djamaluddin
    Saya lihat melalui software Accurate Time 5.3, pada tanggal 18 Agustus 2012, hilal di Afrika Selatan bisa dilihat dengan mata telanjang, apakah bisa kirim petugas kesana untuk mengamati hilal disana, berdasarkan hasil itu kita tetapkan awal syawal karena antara kita dan Afrika Selatan hanya berbeda 7 Jam, jadi saya pikir hilal yang terlihat disana masih bisa jadi acuan kita juga, atau kalau memang apa yang ditampilkan pada software ini akurat kita dapat menetapkan 1 syawat hanya menggunakan data software ini tanpa perlu mengirim petugas ke AfSel, bagaimana menurut Bapak?

    • Prinsip rukyat yang disepakati di Indonesia, kita tidak bisa merujuk kesaksian hilal di sebelah Barat Indonesiat. Kesaksian di lura Indonesia hanya dipertimbangkan kalau berasal dari wilayah di sebalah Timur Indonesia.

      • Mengapa kesepakatannya hanya sebatas Indonesia Pak, dan mengapa pula yang bisa dipertimbangkan hanya yang berasal dari daerah luar Indonesia yang sebelah timur Indonesia. Bukankah lebih baik jika kita mempunyai bentang pengamatan yang lebih luas, apakah sudah ada usaha untuk membuat kesepakatan secara Internasional.

    • Ass wr wb.
      Pak Ilham, Pak T.Djamaluddin, mohon ijin menanggapi.
      Wilayah yg pertama kali melihat hilal pd saat magrib hr ke 29 bln Ramadhan 1433 dlm software tsb adalah garis batas antara bidang putih dan arsir biru yg disebut juga wilayah ILDL. Sehingga, karena bumi ini bulat dan berrotasi kearah timur, maka wilayah disebelah barat ILDL pd saat magrib hr ke 29 bln Ramadhan 1433 masing2 akan melihat hilal secara berturut2 dengan derajat ketinggian hilal yg semakin tinggi (dr > 0 derajat hingga < 12 derajat).
      Indonesia dan Afrika Selatan sama2 berada disebelah timur ILDL, namun karena Indonesia lebih dulu melihat hilal dr pd Afrika Selatan maka derajat ketinggian hilal di Afrika Selatan lebih tinggi dr di Indonesia. Di Afrika Selatan (wilayah arsir hijau) dpt melihat hilal dg mata telanjang, sedangkan di Indonesia (wilayah arsir biru) hilal hanya dpt dilihat dg bantuan alat optik.
      Wilayah yg paling tepat utk dijadikan tempat pengamatan hilal sebagai acuan penetapan awal Syawal 1433 adalah wilayah ILDL, sebab wilayah ILDL adalah wilayah yg "pertama kali" melihat hilal shg apabila sdh dipastikan adanya penampakan hilal di ILDL tsb maka wilayah di sebelah timur ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tgl 19 Agustus 2012 sedangkan wilayah di sebelah barat ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tg 20 Agustus 2012.
      Wass wr wb.

      • Ass wr wb.
        Maaf, ada kesalahan tulis sbb. :
        TERTULIS :
        ………maka wilayah di sebelah timur ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tgl 19 Agustus 2012 sedangkan wilayah di sebelah barat ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tg 20 Agustus 2012.
        SEHARUSNYA :
        ………maka wilayah di sebelah timur ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tgl 20 Agustus 2012 sedangkan wilayah di sebelah barat ILDL akan berhariraya 1 Syawal 1433 pd tg 19 Agustus 2012.
        Wass wr wb.

  180. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa muhammadiyah sangat keras menentang Ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasululloh. Sholat Id di Masjid saja dikatakan Bid’ah karena tidak ada contonya dari Rasululloh. ( padahal masih ada contohnya. ketika hujan Rasulullah Sholat Id di Masjid, walaupun ada yg menilai hadisnya lemah )Di Arab Saudi dan Negara-negara Arab 90 % Sholat Id di Masjid. Lha giliran menentukan awal Puasa yang merupakan Ibadah wajib sangat penting, Muhammdiyah sama sekali tidak mencontoh Rasulullah alias memakai cara yang tidak dicontohkan oleh rasulullah.Bahkan mengganggap Rukyat itu Kuno(Astaghfirullah ). Padahal hampir semua negara Islam tidak ada yang memakai Hisab murni. Pasti digabung dengan Rukyat. Karena itu perintah Rasul. Dan Muhammdiyah paling lantang menyatakan bahwa semua amalan yang tidak ada contohnya atau tidak seperti yang dilakukan Rasulullah pasti tertolak. Jadi saya nggak habis pikir, Dimana Istiqomahnya ? Semoga Alloh memberikan petunjuk kepada kita semua. Amien.

    • Kalau saya lihat, Muhammadiyah Istiqomah dengan Gerakan Tajdid nya…

      Istiqomah dalam Mencerdaskan Umat seperti yang dilakukan Nabi Muhammad saw, itulah sebabnya namanya Muhammadiyah, Pengikut Kanjeng Nabi Muhammad saw… 🙂
      Mudah-mudahan Muhammadiyah secepatnya membuat terobosan Kalender Hijriyah yang berKonsep Matlak Global…

      Rukyat yang dilakukan Nabi itu terkait kondisi saat itu umat Islam tidak pandai menghisab, bahkan tidak terbiasa menulis :

      Nabi Muhammad saw bersabda: “Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”.
      (HR Bukhari)

      Perkataan Nabi itu bisa dipahami bahwa :
      “Jika umat Islam sudah bisa menghisab dengan akurat, Tidak perlulah umat Islam cape-cape merukyat hilal atau harap-harap cemas menunggu laporan hilal yang akan disidang isbatkan”…

      Anda cape tidak kalau tiap mau puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, kita harus selalu Harap-harap Cemas Menunggu Datangnya si Hilal ?…

      Kalau saya sih cape… cape hati… 🙂

      Cape hati melihat humor tingkat tinggi para cerdik cendikia di Indonesia,
      Menyuruh banyak orang untuk memantau hilal, padahal Hilalnya sendiri sudah ketahuan posisinya :

      – Kalau posisi hilal sudah dihitung tidak akan dapat dilihat mata (atau di bawah kriteria Hisab yang dipakai), maka laporan keterlihatan hilal dari saksi akan dianulir (tidak diterima)…

      – Kalau Posisi Hilal sudah dihitung akan mudah dilihat mata (atau di atas kriteria Hisab yang dipakai), maka Hilal akan dianggap terlihat walaupun karena faktor cuaca mengakibatkan tidak ada satu saksi pun yang berhasil melihatnya…

      Cape hati melihat Metoda Ambigu Otoritas di Arab Saudi yang tidak mensyukuri Iptek yang dianugerahkan Alloh swt kepada manusia,
      Sudah Kalender Hijriyahnya menggunakan Kriteria Wujudul Hilal hasil Hisab Astronomi Canggih, eh tiap mau Puasa, Idul Fitri dan Idul Adha masih saja mengandalkan Laporan Rukyat,
      Sudah begitu tidak selektif lagi menerima Laporan Hilalnya… Cape deh…

      Kalau Otoritas Arab Saudi masih tetap mau mengandalkan laporan Rukyat yang tidak selektif, SUDAH BUANG SAJA KE TONG SAMPAH ITU KALENDER UMMUL QURO, Bikin kerjaan dan penelitian yang sia-sia saja… Gunakan saja Kalender Hisab Urfi Khalifah Umar bin Khattab ra, Habis perkara !

      Ngapain belajar ilmu astronomi yang canggih-canggih kalau tidak dipake, nggak ada pengaruhnya itu ilmu astronomi…

    • waduh,,kata siapa mas kalau shalat Ied di Masjid itu bid’ah….???
      Jangan ngarang lho mas,,,, belum pernah denger tu yg kaya gitu,,,
      dan nambah mas Ibadah Puasa Ramadhan memang wajib, tapi cara mengawalinya tidak ada kewajiban tertentu apakah hisab atau rukyat, itu hanya merupakan sarana. Tidak usahlah kita mengurusi hal semacam itu,,ini semua masalah keyakinan jadi kita ga perlu capek capek berdebat, semua bener ko yang salah itu orang yang tidak berpuasa,,, Piss

    • SEKALI LAGI MENGAPA MENGGUNAKAN HISAB
      Syamsul Anwar
      (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) Website Muhammadiyah telah banyak memuat kajian tentang masalah hisab
      dan rukyat. Bahkan website ini juga memuat buku Pedoman Hisab Muhammadiyah, yang di dalamnya masalah hisab dan rukyat dibahas secara luas. Namun ketika Website ini melangsir berita “Muhammadiyah telah tetapkan Awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha” ada beberapa pembaca yang memberikan tanggapan. Intinya
      yang bersangkutan merasa ada ganjalan dengan penetapan bulan-bulan ibadah dengan hisab. Kenapa tidak memakai rukyat yang diajarkan oleh Rasulullah? Pembaca lain menanggapi bahwa untuk Iduladha supaya mengikuti Arab Saudi saja. Oleh karena itu sekali lagi perlu diturunkan penjelasan tentang mengapa harus menggunakan hisab dan tidak menggunakan rukyat. Sebelum lebih lanjut masuk ke masalah ini, terlebih dahulu secara lengkap
      tanggapan kedua pembaca di atas dikutipkan di sini secara utuh sebagai berikut: Mohon maaf, saya besar dan hidup di lingkungan Muhammadiyah, namun ada yang sedikit mengganjal tentang penetapan awal puasa dan lebaran. Kenapa lebih mengutamakan dengan hisab bukan dengan melihat hilal. Ya walaupun saya
      juga sadar ilmu astronomi berkembang pesat, namun ilmu yang terbaik adalah ilmu yang datang dari sisi Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw. Hasil dari melihat secara langsung hilal dibanding dengan perkiraan bukankah lebih mantap dengan melihat hilal? Mohon maaf, saya ini hamba Allah yang masih fakir
      ilmu. Jika saya salah, tolong diingatkan. Pembaca lainnya menulis, “Menurut saya khusus untuk 10 Dzulhijjah walaupun sudah ada perhitungan tepat, pada waktunya ikutin saja pelaksanaan
      ibadah haji. Kalo jamaah haji wukuf hari Senin, ya Selasanya Idul Adha. Wallahu a’lam.”
      Apa yang dikemukakan oleh kedua penanggap di atas bukanlah perasaan pribadi, melainkan merupakan pandangan banyak orang, bahkan di tingkat dunia. Pada berbagai konferensi dan pertemuan internasional tentang hisab dan rukyat masalah tersebut selalu muncul. Terakhir dalam Konferensi Astronomi Emirat Kedua
      yang dilaksanakan awal Juni baru lalu, salah seorang pembicara, yakni Dr. Nidhal Guessoum, menyatakan bahwa kita harus membuat kalender hijriah bizonal (kalender hijriah yang membagi dunia menjadi dua zona penanggalan) demi menghindari memasuki bulan kamariah baru, tanpa terjadinya rukyat di dunia Islam [walaupun yang beliau maksud dengan rukyat bukan rukyat sesungguhnya karena rukyat sesungguhnya tidak bisa membuat kalender, tetapi maksudnya adalah hisab imkanu rukyat]. Jadi aspirasi rukyat masih melekat kuat pada banyak orang. Begitu pula pandangan mengikuti Arab Saudi, juga banyak diamalkan. Pemerintah Mesir,
      2) misalnya, khusus untuk bulan Zulhijah mengikuti Arab Saudi karena haji dan puasa Arafah. Akan tetapi untuk Ramadan, Idulfitri dan bulan-bulan lain Mesir membuat penetapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan Arab Saudi. Barangkali penanggap di atas pernah atau sedang kuliah di sana. Kembali ke persoalan kita, akan halnya ilmu Allah yang diturunkan kepada dan diajarkan oleh baginda Rasulullah saw haruslah difahami secara kaffah, tidak hanya sebagian-sebagian. Di dalam ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw itu ada perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu ada yang tidak berilat (tidak berkausa, tidak disertai keterangan sebab/alasan) dan ada yang
      berilat. Perintah Rasulullah saw agar salat zuhur empat rakaat dan salat subuh dua rakaat, misalnya, tidak ada kausanya (ilatnya) mengapa penetapan baginda itu demikian. Kalau dipikir-pikir menurut akal, mestinya salat zuhurlah yang dua rakaat karena biasanya para pekerja di pabrik atau di kantor mempunyai waktu istirahat siang hanya singkat, terkadang tidak cukup untuk salat dan makan siang ditambah mengaso sedikit. Sebaliknya di subuh hari orang masih punya banyak waktu dan sekalian sambil olah raga, sehingga mestinya rakaat salatnya lebih banyak. Itu semua menurut akal. Perintah baginda tersebut tidak dapat diakal-akali, karena
      merupakan perintah yang tidak berilat, dan semua orang harus menjalankan apa adanya sesuai perintah itu. Kata Imam al-Gazzali, ketentuan tak berilat ini kebanyakannya dalam hal-hal ibadah, walaupun ada juga dalam selain ibadah. Macam kedua perintah dan larangan itu adalah perintah dan larangan yang berilat, yaitu ada keterangan sebab (alasan) mengapa diperintahkan atau dilarang
      seperti itu. Ilat perintah atau larangan itu ada yang disebutkan secara bersamaan dengan penyebutan perintah atau larangannya, dan ada pula yang disebutkan terpisah, bahkan ada yang tidak disebutkan sama sekali, namun dapat ditemukan melalui ijtihad. Diagramnya dapat dilihat sebagai berikut:Contoh ilat yang disebutkan bersamaan adalah ilat kebolehan tidak berpuasa
      Ramadan di bulan Ramadan. Ilatnya ialah bepergian (safar) atau sakit. Ilat safar dan sakit ini disebutkan mengiringi perintah puasa Ramadan. Sedangkan ilat yang disebutkan terpisah, dan ini yang penting di sini, contohnya adalah ilat perintah rukyat. Perintah rukyat disebutkan dalam hadis, “Berpuasalah kamu karena telah
      melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal” [Diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis]. Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat
      perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah
      3) umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab” [riwayat jamaah ahli hadis]. Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah berilat dan ilatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab. Untuk mengetahui pendapat ketiga ulama ini baca terjemahannya dalam edisi ke-2 dari buku Muhammad Rasyid Rida dkk., Hisab Bulan Kamariah:
      Tinjauan Syar‘i tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, 2009.
      Menurut Rasyid Rida lebih lanjut, adalah tugas Rasulullah saw untuk membebaskan umatnya dari keadaan ummi itu dan beliau tidak boleh membiarkan mereka terus dalam keadaan ummi tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan
      mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari kenyataan ini kemudian Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ummi
      berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.” Maksud beliau adalah bahwa pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan hisab, seperti di zaman Nabi saw, maka digunakan rukyat karena itulah sarana yang tersedia dan mudah pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat.” Artinya apabila hisab belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi ummi di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunkan hisab. Bahkan
      Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli hadis – yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai seorang salafi tulen yang biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah – menegaskan, “Pada waktu itu adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk orang yang menentang pendapat Syaikh Akbar itu [yakni Syeikh al-Maraghi yang berpandangan hisab, pen.]. Sekarang saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya menambahkan: wajib menetapkan hilal dengan hisab dalam segala keadaan, kecuali di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.” Rasyid Rida, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan syariah, melainkan hanya sarana
      (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi penegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan
      sarana yang tidak menjadi tujuan syariah sendiri.”
      Apabila kita mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini
      4)memerintahkan pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan menimbulkan kerugian (Q. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan melakukan pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi beberapa petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan berbagai benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari dan Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [Q. 55: 5]. Ini bukan hanya sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya
      bagi kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan penandaan waktu [Q. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal ini membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.” Jadi demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw sebagaimana difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain alasan sayr’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama, pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan.
      Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan tidak bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat. Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan
      pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena
      tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
      Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan
      baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru
      malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-
      Daqiqah].

      saya kopikan tulisan ini dari komentar di atas buat sdr. Ali Farid mudah2an ikhlash membacanya

      • Setuju… Islam membawa perubahan kearah kebaikan dan kemudahan. Dengan hisab, insya allah banyak sekali manfaat yang akan diperoleh.

  181. Sabda Nabi sangat jelas, terang benderang, tidak sulit, mudah dilaksanakan oleh siapapun; Kalau bulan tidak terlihat, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari. Tidak perlu ditafsir-tafsirkan lagi, dan tidak perlu capek-capek. Sebab kalau semua sabda Nabi ditafsirkan, maka bisa melenceng dari ajaran Rasulullah. Dan Salah satu syarat diterimanya ibadah kita adalah Ikhlas. Jadi kita tidak boleh mengeluh capek, gaptek dsnya. Apalagi kegiatan Rukyat satu tahun cuma dua, tiga kali. Sangat ringan dan tidak memberatkan. Dan mari kita bertukar pikiran dengan kata-kata yang halus dan santun, yang ini juga perintah Agama, lebih-lebih dalam bulan puasa.

  182. Sabda Nabi sangat jelas, terang benderang, tidak sulit, mudah dilaksanakan oleh siapapun; Kalau bulan tidak terlihat, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari. Tidak perlu ditafsir-tafsirkan lagi, dan tidak perlu capek-capek. Sebab kalau semua sabda Nabi ditafsirkan, maka bisa melenceng dari ajaran Rasulullah. Dan Salah
    satu syarat diterimanya ibadah kita adalah Ikhlas. Jadi kita tidak boleh mengeluh capek, gaptek dsnya. Apalagi kegiatan Rukyat satu tahun cuma dua, tiga kali. Sangat ringan dan tidak memberatkan. Dan mari kita bertukar pikiran dengan kata-kata yang halus dan santun, yang ini juga perintah Agama, lebih-lebih dalam bulan puasa.

    • Perlu dibedakan “melihat hilal” dan “mengaku melihat hilal”. Hilal bukanlah objek yang mudah melihatnya. “Mengaku melihat hilal” belum tentu benar-benar melihat hilal, bisa saja yang dilihta cahaya lain atau sekadar halusinasi karena merasa yakin hilal pasti terlihat karena dianggapnya sudah cukup tinggi, misalnya di Cakung hilal dianggap 3,5 derajat yang sebenarnya tingginya hanya 1,5 derajat.

      • “melihat hilal” dan “Mengaku melihat hilal” pada dasarnya adalah satu kesamaan, prof!. perbedaannya cuma terletak pada masalah peng”ekspos”an. Buat apa “melihat hilal” kalau tidak diadakan pengakuan (sumpah). “Mengaku melihat hilal” karena pada saat itu hilal memang sudah terlihat. yang perlu dibedakan kalau mengaku-ngaku melihat hilal.
        saya kira pokok permasalahannya sudah jelas,hisab yang dilakukan oleh muhammadiyah sesuai dengan ru’yatul hilal di cakung. jangan hanya karena proyek milyaran rupiah untuk ru’yatul hilal, umat ini dibuat bingung dalam menjalankan ibadah kepara Rabnya.

      • Sesederhana itukah pembelaan terhadap wujudul hilal? Muhammadiyah yang sudah benar menghitung posisi bulan secara hakiki tingginya hanya sekitar 1,5 derajat (hanya salah menyimpulkan berdasarkan wujudul hilal) mau disamakan dengan kesaksian di Cakung yang mengakunya melihat hilal yang tingginya 3,5 derajat (karena memang bukan rukyat murni, hanya rukyat yang mengikuti hisab taqribi).

      • sekali lagi kalo sudah hisab ga perlu rukyat, sunatullah ga akan berubah, posisi berapa derajtkah dapat dirukyat dan posisi berapa derajatkan yg tdk mungkin dirukyat. Tidak ada sidang isbat. Beres!! kalo beda kriteria terserah masing masing. Baru nongol saja mau digebuk (krn sudah yakin yg nongol itu pasti hilal)-wujudul hilal, atau gebuknya nanti khawatir bukan binatang hilal-imkanul rukyat. anggaran bisa diirit tanggung jawab kpd Allah amsing2..

    • Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat. Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan
      pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena
      tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
      Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan
      baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru
      malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-
      Daqiqah].
      sekali lagi saya kopikan penggalan tulisan ini dari komentar di atas buat sdr. Ali Farid mudah2an ikhlash membacanya

  183. @Ali Farid
    pernahkan rasulullah menolak kesaksian orang yang melihat hilal,kalo ada tolong dong tunjukkan hadisnya

  184. aslm alaikm,,mf,numpang berkomentar ..sya masyarakat awam, yg hidup ditengah masyarakat umum dan hidup dijalanan,.heheh..bhkan saya bukan seorang jenius yg mengenyam pndidikan s3 bahkan profesor… (maklom pengangguran sy mah).

    Menurut saya

    MW HISAB,ATAUPUN MW RUKYAT,,,GK PERLU DISAMAKAN KARNA EMG UDAH BERBEDA DARI PEMAHAMANNYA MRK SNDRI,, JDI BIARKNLAH PEMAHAMN MRK BERKEMBANG DENGAN RAGAM PERBEDAANNYA ITU,,

    biarkan mrk milih sendiri,,

    jika dipaksakan bersatu maka yg trjdi y kya gini,,malah tmbh trjdi salahpaham,ataw ngotot2an,,toh nabi gk pernah melarang mw pke hisab atau rukyat,,

    itu ijtihad msing2 sesuai kmmpuan, dn pemahamannya,,
    mw puasa hari ini,ataupun besok,,,gk disalahin oleh ALLAH,,toh jika ijtihad itu salah ttep diberi pahala satu, dan yg benar bisa dua pahala.

    YG PENTING IKUTAN PUASA SEBULAN N SHOLAT IED …ITU YG JDI MSLH DI MASYARAKAT SKRG..coba liat di kota2 skrg masih banyak wrung makan dn org2 sekitar makan seenaknya aja ketika bulan puasa…bahkan ad yg mabok2an ketika org lain sholat ied…

  185. sudahlah. LAPAN ya LAPAN aja. jangan sok tau soal urusan dalil hukum agama……dalil agama cupet mo komentar. urusi aja keilmuan sampeyan sendiri….

  186. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …..”
    klo dasarnya kriteria hilal baru yg sudah disepakati, kenapa dijadikan keharusan utk diikuti? ga ada hubungannya dengan ayat yg sampeyan sebut diatas. agama Allah telah jelas dan sempurna, masalah hilal diserahkan kpd ijtihad masing2.
    emang ada hilal usang dan hilal baru ? jaman rasulullah lebih jadul lagi…

  187. menurut saya yang memakai kalender hijriyah sehari-hari kan orang mekah, kok disana pada hari H sudah tanggal sekian, disini belum. pernah juga seharusnya sudah idul adha, disini masih puasa, coba…. patokan wukuf kan di arab sana…….Jadi menurut saya yang paling benar dan realistis itu yang mesti diikuti……..Allohu Akbar

    • (Patokan WUkuf kan di Arab sana..)..ingin mencoba mnengkritisi saja..

      1. sbnrnya wukuf itu tdk brptokan di arab,,gk ada dalil qur’an mwpun hadist yg mngtkan bhwa wukuf itu harus brpatokan di arab..jadi menurut saya tidak selamanya harus mengikuti serba arab semuanya,,
      Nabi hanya menyuruh kita ‘berpuasalah jika melihat-nya (hilal) dan berbukalah jika melihat-nya (hilal)..hadist tsb merpkn lndsan prhitungan bulan dn tgl,,yg mana pd tgl 9 dzhulhijjah diadaknnya wukuf,,
      jika di arab hial tdk trlihat dn d indonesia bisa trlihat hilal spti itu,, ap kita hrus ttp mengikuti arab pdhl hadistnya sudah jelas spti itu…

  188. @Ngimpi JadiPresiden : coba lihat http://rukyatulhilal.org/visibilitas/indonesia/1433/ramadhan/index.html
    Inilah ringkasannya :
    Menurut Kriteria Rukyat Hilal ( Teori Visibilitas Hilal )
    Teori Visibilitas Hilal terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilal global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilal yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4° (sebelumnya 7°) yang dikenal sebagai “Limit Danjon”. Kurva Visibilitas Hilal sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilal baru mungkin dapat dirukyat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas 6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.
    Melihat lokasi Indonesia menurut peta visibilitas di atas sesuai dengan teori visibilitas hilal maka seluruh wilayah Indonesia mustahil hilal dapat dirukyat pada hari rukyat atau hari pertama ijtimak sore setelah Matahari terbenam. Hilal baru mungkin bisa dirukyat pada H+1 saat ketinggiannya mencapai 13°. Sehingga menurut kriteria ini awal bulan akan jatuh pada:

    Sabtu, 21 Juli 2012

    Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan masih mengakui kesaksian rukyat asalkan ketinggiannya di atas batas imkanurrukyat 2° bahkan hanya dengan mata telanjang. Sementara dalam penyusunan kalendernya NU menggunakan kriteria imkanurrukyat 2° tanpa syarat elongasi dan umur Hilal.

    2. Menurut Kriteria Hisab Imkanur Rukyat
    Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyat yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :

    Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
    (1)• Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
    (2). Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau
    (3)• Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.

    Kriteria inilah yang menjadi pedoman Pemerintah RI untuk menyusun kalender Taqwim Standard Indonesia yang digunakan dalam penentuan hari libur nasional secara resmi. Dengan kriteria ini pula keputusan Sidang Isbat Penentuan Awal Bulan Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah “bisa ditebak hasilnya”. Ormas Persatuan Islam (Persis) belakangan telah mengadopsi kriteria ini sebagai dasar penetapan awal bulannya. Belakangan kriteria ini hanya dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sementara Singapura menggunakan Hisab Wujudul Hilal dan Brunei Darussalam menggunakan Rukyatul Hilal berdasar Teori Visibilitas.

    Menurut Peta Ketinggian Hilal tersebut, pada hari pertama ijtimak syarat Imkanurrukyat MABIMS belum terpenuhi sehingga awal bulan jatuh pada :

    Sabtu, 21 Juli 2012

    3. Menurut Kriteria Hisab Wujudul Hilal
    Muhammadiyah dalam penyusunan kalender Hijriyah baik untuk keperluan sosial maupun ibadahnya (Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah) menggunakan kriteria yang dinamakan “Hisab Hakiki Wujudul Hilal”. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan Hijriyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:
    1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),
    2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
    3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud). Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Atau dalam bahasa sederhanya dapat diterjemahkan sebagai berikut:

    “Jika setelah terjadi ijtimak, Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian Bulan saat Matahari terbenam”.

    Berdasarkan posisi hilal saat matahari terbenam di beberapa bagian wilayah Indonesia maka baru pada 28 Sepetember 2011 syarat wujudul hilal sudah terpenuhi. sehingga awal bulan ditetapkan jatuh pada :

    Jumat, 20 Juli 2012

    4. Menurut Kriteria Kalender Hijriyah Global
    Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi 180° BT ~ 20° BB sedangkan Zona Barat meliputi 20° BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).

    Pada hari pertama ijtimak zone Barat maupun zone Timur walaupun cuma bagian selatan Afrika yang sudah masuk dalam kriteria Limit Danjon. Dengan demikian awal bulan di masing-masing zona akan jatuh pada :

    Zona Timur : Jumat, 20 Juli 2012
    Zona Barat : Jumat, 20 Juli 2012

    5. Menurut Kriteria Rukyat Hilal Arab Saudi
    Kurangnya pengetahuan tentang astronomi yang dimiliki oleh para perukyat sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “Hilal”. Klaim terhadap kenampakan hilal perukyat pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi. Sudah bukan berita baru lagi bahwa Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyat yang “mustahil”.
    Saudi memiliki kalender resmi yang dinamakan kalender Ummul Qura. Kalender ini telah berkali-kali mengganti kriterianya dan diperuntukkan sebagai kalender untuk kepentingan non ibadah. Sementara untuk keperluan ibadah khususnya penetapan awal dan akhir Ramadhan serta awal Zulhijjah Saudi tetap menggunakan rukyat hilal sebagai dasar penetapannya. Sayangnya penetapan ini sering hanya berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sains astronomi khususnya Teori Visibilitas Hilal. Dan sudah bisa ditebak jika laporan rukyat masih sesuai Kalender Ummul Qura maka dianggap sah.

  189. Pertanyaan singkat : Secara kecenderungan, prof itu Muhammadiyah atau NU?
    itu saja yang akan menjelaskan!

    • Saya tidak terikat ormas tertentu.

      • Wajar saja Beliau Prof T. Djamaluddin masuk dalam lingkaran Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI, Anggota Tim Tafsir Ilmi, Kementerian Agama RI…!!!

        Di Depag kita sekarang diisi oleh siapa coba? NU atau Muhammadiyah? Depag yang ketuanya adalah NU (Mewakili).

        Beliau ngotot wajar. Seharusnya seorang prof. tidak provokator begini. menyesatkan umat dan memecah belah umat. Biarkan masing2 tetap pada keyakinan. karena semua ada dalil.

  190. Kok pada ribut, wong pak prof itu kan sebenere ingin mensinkronkan antara Hisab dg Rukyat, hal itu bisa tercapai salah satunya menggunakan teori imkanur rukyat. Jadi yang namanya hisab akan dikatakan valid jika setelah dilakukan rukyat (observasi) berhasil, sebagai seorang yg memegang teori dan prinsip ilmiah haruse para penganut WH juga bisa untuk mencoba memahami. Pk prof kan mengusulkan besaran derajat WH diperbesar sehingga meminimalisai kemungkinan hilal tidak bisa dilihat ( secara teori)

  191. Membaca komentar2 diatas rasanya permasalahan begitu kompleks,, Tetapi Sebenarnya sangat mudah, Cukuplah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah,..

    jangan berdiri di bawah panji bendera ormas masing-masing (Baik Muhammadyah dan NU), sejenak berdirilah netral dan mengedepankan Umat…

    Kalau memang pada prisnsipnya Hisab dan Rukyat dapat disatukan dan tidak bertentngan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, Lalu mengapa kita harus bersikeras berpegang teguh bahwa Hisablah paling benar atau pun Rukyatlah yang paling benar,..???

    Bersatulah Umat Muhammad,..
    Lepaslah sejenak “pakaian” Ormas masing2 dan Jujurlah kepada diri sendiri karena sesunggunhya Al-Qur’an dan Sunnah sudahlah sempurna…

    SEMOGA KITA UMAT ISLAM DAPAT BERSATU,..

    *(maaf pendapat saya terkesan menggurui,, tidak ada maksud menggurui karena saya sangat miskin ilmu, saya hany khawatir perbedaan pendaapat kita semua lebih condong karena nafsu pribadi dan kelompok yang mungkin tidak kita sadari)

  192. Mas…. Mas… Nama lu Thomas ye? Cukuplah keilmuanmu membuatmu meninggi ke langit ke tujuh, kemudian terbenam ke dalam bumi.

  193. Kalau hadits “berpuasa/brbukalah kalau melihatnya (bulan) kalau genapkan sya’ban/Ramadhan 30 shohih, jelas disini rukyat dan hisap senafas, sebab tidak mungkin kita menentukan sya’ban/Ramdhan tanpa dihitun (hisab). Oleh kalau kita melaku hisap setelah trial and error, sehingga kita dapat menyepakati bahwa hilal secara empiris bisa dilihat pada umur bulan berapa jam atau jarak dari matahari berapa derajat, atau tingginya dari horizon berapa derajat, maka kita tidak melanggar hadits dimana semasa rasul hanya melihat dengan mata telanjang. Jadi hisab dilakukan dg mengqiyaskan pada rasul maka “wujudan hilal” batas ketinggian dari horizon pada suatu titik bisa nol derajat adalah tak mungkin bisa dilihat dengan alat apapun, mudahan-mudahan iblis dihati pengambil keputusan tahun 2013 ini lenyap sehingga nafsu pantang kalah bisa dikendalikan oleh akal sehat.

  194. Kelihatannya benar tulisan bapak, tp sebenarnya benar-benar salah, karena persoalan bid’ah hanya ada pada perkara ibadah mahdhoh saja. sholat idul fitri ataupun idul adha, itulah ibadahnya. sedangkan penentuan tanggal 1 setiap bulan hijriyah itu bukan persoalan ibadahmahdhoh melainkan persoalan ilmu, seperti kita menentukan tanggal satu di bulan-bulan masehi. Jadi salah besar kalau membid’ahkan persoalan penentuan tanggal satu, karena tdk ada bid’ah dalam persoalan diluar ibadah ritual.

  195. begitulah kalau orang kurang ngerti agama, menyinggung dan menggunakan islilah agama, jadi merepotkan, semoga diampuni Allah swt

  196. Mungkin karena Depag merekrut seperti beliau beliau inilah, Departemen yang kita cintai ini sulit untuk maju, mengelola apapun banyak yang tertinggal, misalnya mengelola pendidikan, membebek terus dengan diknas

  197. Jabatan dan uang membutakan

  198. YA ALLOH, YA ROBBI,
    kapan kah sekiranya umat islam ini akan bersatu,
    jika perbedaan ini adalah suatu fitrah,
    mengapa justru perbedaan yg selalu di perdebatkan/ di ungkit ungkit dan di besar besarkan sebagai sajian menu utama dan terdepan?
    se akan akan sengaja ingin memecah belah persatuan.

    YA ALLOH, YA ROBBI,
    Engkau Maha tahu dan Engkau juga Maha Kuasa atas segala sesuatu,
    kami sangat bermohon kepada Mu,
    tunjukilah kepada kami, bahwa yg benar adalah benar dan yg salah adalah salah.

    YA ALLOH, YA TUHANKU,
    kami mohon kan kepada Mu, agar menyegerakan mencabut nyawa orang orang yg menjadi profokator yg sengaja ingin memecah belah umat islam,
    agar umat islam ini dapat bersatu.

    YA ALLOH, YA TUHANKU,
    kami mohonkan kepada Mu, jika NU yg salah maka segeralah mencabut nyawa ketua ormasnya, tapi jika MUHAMMADDIYAH yg salah, maka segerakan lah untuk mencabut nyawa ketua ormasnya, ataupun juga jika ORMAS Islam yang lainnya salah, maka juga segerakanlah untuk mencabut nyawa ketua ormasnya.
    dan perlihatkanlah azab dia kepada kami didunia ini, yaitu WAFAT/Mati nya dia tidak diterima bumi, agar kami tau dan sadar, mana yg benar dan mana yg salah.
    dan setelah itu bubarkanlah ormas yg salah.

    YA ALLOH, YA TUHAN KU,
    Tunjukkan lah Kuasa MU, Karna Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.

    Aamin…S/d (9.000.000.000.000.000.000.000.000,… Juta Kali Aamin)

  199. tak usah jauh-jauhlah memperdebatkan metode apa yg dipilih, tapi pad kenyataanya, kekurangan imkanurrukyat lebih banyak ketimbang metode hisab, contohnya aja ya bos…..saat penetapan 1 ramadhan sebenarnya hilal telah terlihat selama 3 – 4 menit di cakung n cilincing dengan ketinggian antara 3 sd 4 derajat, tapi kesaksian itu ditolak pemerintah bahkan (maaf) salah satu ulama dari NU mempertanyakan orang2 yg menyaksikan hilal dan mengkritik dengan nada seorang yang bukan ulama dengan mengatakan, “orangnya selalu itu2 saja….”

    “Datanglah seorang Baduwi menghadap Rasulullah, kemudian ia berkata, “Sungguh saya telah melihat bulan!” Kemudian beliau bersabda, “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, jawabnya, “Ya.” Beliau bersabda, “Adakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah?”Jawabnya, “Ya.”Beliau bersabda, “Hai Bilal, undanglah kepada orang banyak, supaya esok hari mereka berpuasa.”(HR IbnuHibban, Daruquthni, Baihaqi, Hakim dariIbnu Abbas ra).
    Jika kita berpedoman kepada hadits Rasulullah di atas, terlihat jelas bahwa untuk penentuan ru’yah hilal Ramadhan cukup dengan persaksian satu orang yang adil.
    Tidak pernah Rasulullah mengatakan karena menurut hisab ketinggian hilal belum 2 derajat, maka kesaksian mu ditolak. Rasulullah tidak mengenal yang namanya Imkanur Rukyat.

    itu ulama NU lebih pintar dari nabi kayaknya, menolak kesaksian orang2 yg telah disumpah melihat hilal

    lihat lagi deh sejarah 1 syawal kebelakang……(search aja di google) pemerintah salah menetapkan 1 syawal….gara2 pake imkanur rukyah bahkan kalo tdk salah tahun 2011 pemerintah salah juga menetapkan 1 syawal…..mana tu ulama2 dr ormas lain yg setuju pda penetapan sidang istbat…tak ada yang komentar

    so…..kembalilah kepada jalan masing2…..pak tomas…..anda tak perlu mengkritisi terlalu dlm ttg hal ini dengan judul dan bahasa kayk gitu….anda sebenarnya yg memecah belah dengan kata2 anda di situs ini…….ilmu anda masih jauh lebih kecil dari nabi……

    satu lagi…..buat antum2 sekalian kalo menggunakan kata2 Muhammadiyah harus diawali dengan kata ormas atau warga jgn Muhammadiyah aja>>>>(tau kan arti iyah ???)

    jadi kalao kalian bilang muhammadiyah begini….muhammadiyah begitu…..kalau diartikan jadi pengikut Muhammad begini dan begitu….kayak bukan pengikut Muhammad aja kalian semua…….

    • Hisab bukan hanya Wujudul Hilal. WH memang sudah usang (obsolete). Orang astronom faham itu. Mungkin yang tak faham astronomi terkagum-kagung dengan WH.
      Untuk persatuan, mari kita menuju kriteria yang lebih astronomis, yang bisa mewadahi pengamal rukyat dan pengamal hisab secara setara.

  200. oya satu lagi…..kenapa penetapan waktu sholat semua akur memakai metode hisab, jadi pak tomas, ilmu hisab dari mana bid’ahnya…..anda ngomong bid’ah tp tak tau apa itu bid’ah…..anda jangan menuntut ilmu dunia aja, ngaji aja dulu

    • Untuk jadwal shalat semua sepakat pada kriteria yang digunakan Kementeria Agama, jadi tidak ada perbedaan. Kalau kita bersepakat dengan kriteria astronomis, insya-allah hisab awal bulan bisa seragam dan bisa seragam juga dengan hasil rukyat.

  201. Nanda: Qiyas anda untuk menentukan waktu sholat dg hisab tidak tepat sebab qiyasnya tidak setara, waktu sholat ditentukan oleh perjalanan relatif matahari serta bisa diuji oleh umat setiap saat, kalau jam anda tidak akur anda bisa langsung melihatnya saat itu juga terutama misalnya Subuh, Zuhur dan Adzar, dan lagi menentukan waktu sholat mudah dilakukan trial and eror artinya konsep rasionalitas dan empiris bisa disejalankan, dan juga hadits yg menyuruh lihat bayang-bayang waktu sholat zuhur misalnya tidak ada, sedang berpuasa ditentukan oleh pergerakan bulan mengelilingi BUmi serta hadits yg menyuruh puasa lihatlah hilal itu shohih, nabi selama 9 kali melaksanakan puasa ramadhan kenapa tidak pernah ada hadits yg membatalkan hadits tersebut. Jadi Ulama JANGAN LEBIH PINTAR dari Rasulullah. Hadits shohih hanya dapat ditalkan hadits shohih.

  202. Landasan penggunaan hisab
    1. Silahkan baca surat Ar Rahman 1 – 5. bisa di baca di sini http://quran.com/55

    2. Hadits riwayat Muslim, silahkan baca di sini http://sunnah.com/muslim/13/17

    atau kalo mau lebih lengkap, bisa baca di sini http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-mengapa-muhammadiyah-memakai-sistem-hisab–dalam-penetapan-awal-bulan-qamariyah-detail-268.html

    Saya orang kurang berilmu, saya hanya meneruskan. Jadi saya tidak mengajak berargumen, karena bapak ibu mungkin yang lebih paham daripada saya. Tapi yang jelas, saya bukan ummat yang tidak bisa tulis dan baca. Demikian.
    Semoga tidak ada permusuhan dan kebencian sesama ummat. Keyakinan itu tidak bisa dipaksakan, apalagi hanya karena takut oleh manusia. Selamat menunaikan ibadah puasa

    • Masalahnya BUKAN pada hisab. NU dan banyak ormas lain pun pandai menghisab. Masalah utama adalah perbedaan kriteria. Kriteria WH yang digunakan Muhammadiyah bermasalah dari segi dalil dan logika astronomisnya.

      • ngeyel terus lo thomas… sampe berbusa2 diterangin bolak-balik juga gak akan pernah bisa karena lo tuh udah terlanjur kepala batu. udah jelas lo sendiri yg bilang beda di masalah kriteria, berarti lo sendiri ngakuin kalo itu di ranah penafsiran dalil… ITU UDAH BUKAN RANAH ELU, PROFESOR! LO NGERASA AHLI FIQIH APA SEKARANG?

      • Boleh-boleh saja Bp menilai dalil atau logika astronomis yg dipakai Muhammadiyah 100% salah. Masalahnya jk itu sudah menyangkut keyakinan, bahkan itu diyakini oleh Muhammadiyah sbg ijtihad, apakah itu 100% salah di mata Alloh swt? Jk iya, bagaimana cara mengetahuinya? Apakah Bp bisa berkomunikasi dg Alloh swt, sehingga sampai pada kesimpulan yg begitu pasti?

  203. islam akan ditakuti bila bersatu dan mengerti teknologi, dan saya setuju, apa yang telah ditulis oelh prof. lebih terbuka dan didasari dengan bukti yang nyata serta dasar-dasar yang jelas, dan masuk akal,

  204. Wahai umat yang eker-ekeran …………..yang tahu pasti kebenarannya kapan Romadhon diawali dan kapan Romadhon berakhir so pasti cuma ALLOH…………….setuju……???????. yang penting bagi kita persiapkan sangune mati / bongko………….nanti diakherat kita akan tahu dan dibeberkan di pengadilan yang benar2 adil…siapa yang sebenarnya memulai dan mengakhiri romadhonnya yang benar………….

  205. Pengikut Muhammadiyah bagaimana kita menjabarkan surat yaasin (36) surat 39: “Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk “tandan yang tua. Menurut saudara apakah ayat ini dengan sangat jelas menjelaskan “Perjalanan bulan” dalam mengelilingi Bumi dimana dimulai dari “tandan tua”. Artinya kriteria bulan baru “tandan yang tua” suatu misal yang dapat dilihat dengan mata. Apakah alqur’an memberikan misal itu tidak untuk di praktekkan?. Kalau alqur’an sudah menjelaskan bentuk awal bulan itu “tandan tua” umat islam boleh berinovasi dengan Hisab tetapi dengan TRIAL AND ERROR arti kita pemulaian menghitung (me-hisab) perjalan bulan dengan menetapkan kriteria mana yang cocok dengan “tandan tua”. Kalau kriteria hanya asal positif (kecil dari 2 derajat misalnya) jelas hilal tidak berbentuk “tandan tua”. Kalau alqur’an mengatakan begitu apakah kita boleh menafsirkannya dengan NAFSU?.

  206. 11. Masalah Hisab Dan Ru’yah
    اﻟﺼﻮم واﻟﻔﻄﺮ ﺑﺎﻟﺮؤﻳﺔ وﻻ ﻣﺎﻧﻊ ﺑﺎﻟﺤﺴﺎب. ﻟﺤﺪﻳﺚ : ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮؤﻳﺘﻪ
    واﻓﻄﺮوا ﻟﺮؤﻳﺘﻪ وان ﻏﺒﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎآﻤﻠﻮا ﻋﺪة ﺷﻌﺒﺎن ﺛﻼﺛﻴﻦ. (رواﻩ
    اﻟﺒﺨﺎري). وﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : هﻮاﻟﺬى ﺟﻌﻞ اﻟﺸﻤﺲ ﺿﻴﺎء واﻟﻘﻤﺮ ﻧﻮرا
    وﻗﺪرﻩ ﻣﻨﺎزل ﻟﺘﻌﻠﻤﻮا ﻋﺪداﻟﺴﻨﻴﻦ واﻟﺤﺴﺎب. (ﻳﻮﻧﺲ : 5).
    Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab.
    Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw bersabda:
    ”Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka
    bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga
    puluh hari. “Dialah yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta
    menentukan gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan
    tahun dan hisab.” (Al-Quran surat Yunus ayat 5).
    اذا اﺛﺒﺖ اﻟﺤﺴﺎﺑﻌﺪم وﺟﻮد اﻟﻬﻼل او وﺟﻮدﻩ ﻣﻊ ﻋﺪم اﻣﻜﺎن اﻟﺮؤﻳﺔ,
    ورأى اﻟﻤﺮء اﻳﺎﻩ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻠﺔ ﻧﻔﺴﻬﺎ, ﻓﺎﻳﻬﻤﺎ اﻟﻤﻌﺘﺒﺮ ؟ ﻗﺮر ﻣﺠﻠﺲ
    اﻟﺘﺮﺟﻴﺢ أنّ اﻟﻤﻌﺘﺒﺮ هﻮ اﻟﺮؤﻳﺔ 150
    ﻟﻤﺎ روي ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ
    ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ : ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮؤﻳﺘﻪ واﻓﻄﺮوا ﻟﺮؤﻳﺘﻪ ﻓﺈن ﻏﺒﻰ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺄآﻤﻠﻮا
    ﻋﺪة ﺷﻌﺒﺎن ﺛﻼﺛﻴﻦ. ( رواﻩاﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ).
    Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah
    wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataan ada orang yang melihat pada
    malam itu juga; manakah yang mu’tabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa
    ru’yahlah yang mu’tabar. Menilik hadits dari Abu Hurairah r.a. yang berkata
    bahwa Rasulullah bersabda:”Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan
    berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh
    mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari.”(Diriwayatkan
    oleh Bukhari dan Muslim).

    sumber:
    http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/fatwa_putusan_wacana_tarjih/hpt_muhammadiyah.pdf (hal.149-150)

  207. Setiap Hukumnya telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW yang shohih, maka ulama tida perlu melakukan ijtihat lagi sebab ulama JANGAN LEBIH PINTAR dar Alqur’an dan Rasulnya, yang sekarang saya lihat suah banyak patwa ulama diluar kontek.

  208. Kalau memang benar pendapat-pendapat yang kontra terhadap tulisan Prof. Thomas ini adalah suara dari organisasi tertentu, maka sebagai seorang Muslim saya sangat menyesalinya. Banyak yang tidak setuju usulan beliau lebih karena sebutan “bid’ah” serta cara beliau menyampaikan pendapatnya, dan bukan karena isinya yang menjadi wilayah kepakaran beliau. Tidak heran jika jika ada juga organisasi lain yang uring-uringan karena sering disebut “bid’ah” oleh organisasi yang juga uring-uringan oleh lontaran Prof. Thomas.

    Saya bersyukur jadi bisa mengerti apa yang menjadi dasar penentuan awal ramadhan/syawal, baik penjelasan dari Muhammadiyah maupun penjelasan dari Prof. Thomas. Saya juga mempertimbangkan pendapat ormas-ormas Islam lain serta pentingnya ummat untuk terus bersatu, serta percaya terhadap adanya otoritas untuk membimbing ummat. Insyaallah mereka semua akan dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Bukan hanya kapasitas ilmunya, tetapi juga motivasi dan keikhlasannya. Jadi, mana yang saya ikuti? Insyaallah itu adalah urusan saya dengan Allah SWT, dan saya tidak punya kapasitas untuk mengumumkannya.

    Saya hanya sedih saja, bahkan dua organisasi yang selama ini saya ikuti ajarannya sebagai pertimbangan untuk pelaksanaan ibadah-pun, ternyata berbeda dalam menentukan awal ramadhan.

    Hanya kepada Allah SWT saja saya mohon perlindungan dari kebimbangan hati, dan mudah-mudahan para pemimpin, ilmuwan dan ulama yang telah diberikan kelebihan oleh Allah SWT dapat benar-benar membimbing ummat. Malu kita sama Rasullullah SAW, karena perbedaan kita saat ini telah menyebabkan agama yang beliau tegakan kemudian menjadi sasaran hinaan dan caci maki, bahkan oleh ummatnya sendiri …..

  209. Kebetulan saya dilahirkan dari keluarga awam agama, namun demikian generasi yg mendidik saya beragama jelas keluarga dan masyarakat, yg sebagian besar pahamnya dibangun oleh kader Muhammadiyah sehingga kebiasaan masyarakat yg sewaktu saya kecil masih melihat dan ikut menikmati bagaimana masyarakat pelaksanaan siarah kubur dengan memotong kambing sebelum masuk puasa. Sekarang kebiasaan itu sudah hilang. Maka dalam menentukan awal puasa memang sudah pecah juga sejak saya kecil. Perbedaan Hisab dan Rukyat sudah berlangsung lama, namun sewaktu dr.Tarmizi Taher sebagai Men.Ag berhasil mengurucut untuk menggunakan kedua metode tersebut yang disebut imkan rukyat. Kalau kita dari strktur ilmu ini merupakan penggabungan konsep rasionalism dengan konsep emphirism. Tapi tanpaknya kader Muhammadiyah sekarang belum punya niat untuk memperbaharui konsep yg dianutnya yaitu hisap murni, dimana kriteria bulan baru tidak memerlukan “konsep penampakan” sebagai yg dituntun oleh Hadits dan Surat Yaasin ayat 39 dimana surat ini dengan menjelaskan “perjalanan bulan” beserta kriteria bulan baru yaitu seperti “tandan tua”

  210. bwt pak thomas..apakah keputusan muh ttg penetapan awal romadlon melanggar konstitusi 1945???coba deh baca Ps 29 UUD 1945 Ay (2)…apakah pilihan awal romadlon warga muh itu illegal or sparatis…coba baca Ps 28A-J..saya kira sdh bukan jamanya lg keseragaman dan penyeragaman…tahukah anda bahwa HAM yg paling asasi adl menjalankn ibadah sesuai dg keyakinannya…trus klo alasanya spy terwujud persatuan umat…mksdnya umat islam se indonesia sj or sedunia…mosok ibadah mahdloh kok alasane persatuan umat…bukanya itu urusan individu dg Tuhannya..berbeda itu hal biasa yg penting tetap bersaudara…percuma persatuan umat klo dibangun diatas kepalsuan dan kepura-puraan…Wallohu a”lam bi showab..

    • Tidak melanggar hak yang jamin konstitusi, tetapi tidak sejalan kewajiban yang diperintahkan Allah dalam QS 3:103.
      Ibadah tentunya harus berdasar dalil. Penentuan waktunya pun tidak boleh semau sendiri, harus berdasar dalil. Kalau tidak berdasar dalil, berarti bid’ah dalam beribadah. Masalah dalam hisab Muhammadiyah adalah kriterianya. Wujudul hilal tidak punya dalil. MTT mendasarkan pada QS 36:40 untuk pembenaran WH tidak tepat. Artinya WH tidak berdasar dalil, itu bid’ah namanya.
      Setiap peradaban ditandai dengan sistem kalendernya. Peradaban Islam TIDAK MEMPUNYAI sistem kalender yang tunggal, karena masing-masing ormas ingin bikin sendiri. Padahal, kalender Islam yang tunggal mudah diwujudkan kalau ego organisasi dihilangkan oleh semangat persatuan yang diperintahkan Allah dalam QS 3:103. Kita patut prihatin, kalender Islam sebagai simbol kebesaran dan persatuan ummat Islam tidak bisa terwujud hanya karena ego organisasi.

      • Pak Prof. Thomas, kita di Indonesia, bukan di negara Islam. Dasarnya UUD 45 dan Pancasila. Indonesia berprinsip bhinneka tunggal ika. Apakah Bp lupa itu?

        Yg namanya perbedaan dalam peribadahan itu banyak ragamnya di negeri kita Pak. Seperti perlu tidaknya qunut dalam sholat shubuh. Antara NU dan Muhammadiyah ada beda pandangan. Begitu pun menyangkut jumlah sholat tarawih dan tata cara sholat jum’at. Apakah adanya perbedaan itu berarti umat muslim tidak bersatu? Tidak begitu kan?

        Selama ini tidak ada upaya penyeragaman menyangkut perbedaan tata cara ibadah tsb dan tidak ada masalah. Semua berjalan normal dan damai. Mengapa Bp begitu reaktif menyangkut perbedaan metode penentuan awal Ramadhan dan Syawal yg ada di masyarakat? Ada apa gerangan? Jauh – jauh hari sebelum Bp lahir, baik NU maupun Muhammadiyah sudah mampu memutuskan kapan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal dg caranya masing-masing. Justru setelah Bp mati-matian memaksakan penggunaan metode IR itu lalu kebisingan muncul. Cita-cita Bp terkesan wah dan mewah, yaitu ingin menyatukan umat, tapi kenyataannya justru sebaliknya: memecah belah umat. Sadarlah itu Pak Prof. Thomas.

  211. Di Ramadhan 1434 ini terjadi lagi.!jika menyimak semua komentar2 diatas,semua Taqlid pd pendapat (ormas/Klp) nya masing2,shngga melupakan hal yg plg hakiki,ykni Persatuan Umat Islam,yg ironisnya masing2 klp.menyitir ayat Quran tsb,padahal pendapat mreka/klp/ormas itu bs saja keliru.!Saya sependapat dgn.Bp.Drs.H.Abd.Salam dn Sdr.Sjaiful Bahri,semua harus disikapi dgn arif dn Bijaksana.Memang kita tidk ada lagi tokoh panutan sekelas Buya Hamka dll,tapi smestinya kita bs belajar banyak dari pribadi Beliau-beliau itu dalam menegakkan Syiar Islam.Bukankah ada ayat Quran yg menyatakan (kl tdk salah,mohn koreksi)”…jika Quran bukan turun dari sisi Allah,maka kamu pasti akan tercerai berai..”,bukankah itu berarti,kl kita mau jernih berfikir,melepas egoisme klp/ormas masin2, mengedepankan persaudaraan/persatuan Umat,dn Mentaati Allah dn RosulNYA,niscaya tdk akan ada perbedaan2 kecil itu..!Disamping itu,jk sesuatu itu bukan pd akhlinya,niscaya akan hancur.Aquran amat sangat banyak berbicara tentang Ilmu Pengetahuan.Sains dn Tekhnology sdh sngat berkmbang,dn itu semua terbukti sesuai dgn Ayat2 Alquran,terutama ttg Penomena alam.artinya,kl mmg sains dn tekhnology bs dipakai,knp tdk kt pakai.
    Saudaraku seiman,
    saya teringat tulisan DR.IR.Muhamad Imadudin Abdurahim,Msc (bang Imad-alm) dlm buku beliau,Islam,sistem Nilai Terpadu,jika di suatu daerah Rawan Petir,ada umat islam membangun Masjid-tp.tdk dilengkapi perangkat penangkal petir,sementara ada umat lain,membangun bangunan tempat maksiat,tp dilengkapi dgn peralatan penangkal petir,menurut Sunatullah (yg tersirat),manakah yg akan disambar petir jika petir melintasi daerah itu?maka sdh pasti yg akan disambar petir adalah Masjid,krn tdk mencukupi syarat yg dikehendaki oleh Sunatullah.Sunatullah (Hukum Allah) yg tersirat (alam semsta) ini bersifat mutlak.pasti.Siapapun yg mentaati Sunatullah ini,baik islam maupun kafir,dia akan berhasil,Allah menjamin itu..! Oleh krn itu,marilah kt semua umat islam,sesama saudara,jika kita berkomitment pada Ahlussunnah waljamaah,maka kedepankanlah Jamaah,persaudaraan islam,toleran trhdp sesama,buang sikap ego,taqlid pd klp/organissi/gol.Pada Pk.Drs.H.Abd.Salam dn Sjaiful Bahri,seharusnya mereka yg berkoment diatas jg membaca dulu uraian anda.Mudah2an Ramadhan 1435 H nanti,semua sdh berfikir jernih dan menjaga Jamaah/persatuan Umat.Amin.Wass.wr.wb.

  212. Sehebat-hebatnya metode IR yg dianut Prof. Thomas, toh metode tsb hanya mampu menetapkan tanggal 1 Syawal pd H-1. Itu pun harus melalui sidang isbat. Di lain hal, sejelek-jeleknya metode yg dipakai Muhammadiyah, Muhammadiyah sanggup menetapkan 1 Syawal jauh-jauh hari. Tanpa isbat dan tanpa membebani uang rakyat.

    Saya lihat sikap emosional Prof. Thomas itu lebih mencerminkan “ketidakmampuannya” itu. Beliau frustasi dg dirinya sendiri karena kurang mampu dalam mendamaikan antara keinginan dan realitas yg ada. Beliau secara membabi buta membela konsep IR. Sayangnya konsep itu tidak praktis dan mahal. Sayangnya beliau kurang jujur dalam melihat kelemahan metode IR itu. Sedang Muhammadiyah mengakui bahwa konsep WH itu bukanlah konsep yg 100% sempurna, tapi konsep itu yg paling mampu memberikan kepastian kapan jatuhnya tgl 1 Syawal jauh-jauh hari, setidaknya utk konteks saat ini. Prof Thomas sepertinya merasa iri dg Muhammadiyah. Semoga beliau segera diberi hidayah Alloh swt terkait hal itu. Amien.

  213. Sebenarnya saudara2ku mengakui keabsahan Rukyat… tapi malu2 kucing …… mungkin gengsi… mohon maaf…

  214. Pak thomas yg saya hormati .
    Bukan bermaksud sombong lebih baik kita diskusi .. Mengenai wh dan bidah .. Ana awam tntang astronomi dan ana awam tntang agama ana masih blajar tentang ilmu bagaimana pak ? Mau diskusi dengan ana ?

  215. mungkin perdebatan sampai qiyamat baru selesai ; SOLUSI : marilah kita gunakan kalender hijriyah UQ untuk administrasi dunia, /muamalah global, adapun PENENTUAN RAMADHAN, SYAWAL & DZULHIJAH MENGIKUTI YG BERLAKU DI MASJIDIL HARAM /MAKKAH AL MUKARAMAH, ALLAHU AKBAR.

    • Kami patuh thd keputusan pemerintah, kapan pun iedul fitri ditetapkansebab kami cari makan dan menghirup udara disini,bagi yang membangkang sebaiknya disuruh pulang ke rohingya atau palestina.tks

  216. MALAM AHAD 25 SHAFAR 1435 H , ALLAHU AKBAR.

  217. Ikut komen ya, meski telat.
    Saya agak heran. Kita itu kalau wukuf di Arafah selalu di hari yang sama. Yang penganut hisab, yang penganut rukyah, tak ada yang berani adakan wukuf sendiri. Tak ada lagi yang komplain, harusnya wukuf itu hari kemarin, ini lho dalilnya. Tak ada itu.
    E.., begitu pulang ke tanah air watak aslinya kumat.
    Padahal kita itu, tiap hari solat jamaah. Imamnya satu, yang lain makmum. Apapun bacaan imam, selama imam tidak batal, makmum nurut. Apa filosofi solat itu tidak masuk di hati kita?
    Apa sih sebenarnya yang kita cari..?

  218. hisab itu akurat, fleksibel, dan berlaku sepanjang zaman. argumen dan keilmuan thomas hanya berlaku saat menjabat d lapan

    • Hisab itu memang akurat, itulah hasil astronomi. Hal yang menentukan adalah kriteria yang menjadi produk ormas. Kriteria WH yang usang tidak cocok untuk hasil hisab astronomis yang akurat. Mestinya gunakan kriteria yang lebih modern dan mempersatukan ummat.

  219. […] Begitupula Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, T. Djamaluddin mengatakan bahwa banyak yang tidak sadar akan BID’AH wujudul hilal sebagaimana yang disampaikan pada https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-mu&#8230; […]

  220. […] Begitupula Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, T. Djamaluddin mengatakan bahwa banyak yang tidak sadar akan BID’AH wujudul hilal sebagaimana yang disampaikan pada https://tdjamaluddin.wordpress.com/2012/07/04/hanya-karena-membela-bidah-wujudul-hilal-yang-usang-mu&#8230; […]

Tinggalkan Balasan ke tdjamaluddin Batalkan balasan