Pada gambar kiri ditunjukkan garis tanggal menggunakan kriteria baru MABIMS (tinggi bulan minimal 3 derajat, elongasi geosentrik minimal 6,4 derajat — dari aplikasi “Hisab Astronomis” PP Persis) dan pada gambar kanan garis tanggal berdasarkan kriteria Odeh (dari aplikasi Accurate Time).
Baik dengan kriteria MABIMS maupun kriteria Odeh menunjukkan bahwa pada 18 Juni 2023, hilal tidak mungkin terlihat di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara secara umum. Jadi 1 Dzulhijjah 1444 berdasarkan hisab imkan rukyat MABIMS pada 20 Juni 2023 dan Idul Adha pada 29 Juni 2022. Kepastiannya menunggu keputusan Sidang Itsbat.
Di Arab Saudi, baik dengan kriteria MABIMS maupun kriteria Odeh, hilal mungkin terlihat pada 18 Juni (berada di wilayah arsir biru) sehingga diprakirakan 1 Dzulhijjah 1444 jatuh pada 19 Juni 2023, hari wukuf pada 27 Juni 2023, dan Idul Adha 28 Juni 2023. Kepastiannya menunggu keputusan hasil rukyat yang diumumkan Arab Saudi.
Analisi Posisi Bulan
Di Aceh pada saat maghrib 18 Juni 2023 tinggi bulan hanya 2,1 derajat. Itu terlalu rendah sehingga hilal yang sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih cukup kuat. Oleh karenanya secara astronomis tidak mungkin ada kesaksian hilal pada 18 Juni 2023. Sehingga bulan Dzaulqa’dah diistikmalkan (digenapkan) 30 hari dan 1 Dzulhijjah jatuh pada hari berikutnya, yaitu 20 Juni 2023. Dengan demikian Idul Adha diprakirakan pada 29 Juni 2023. Kepastiannya menunggu pengumuman hasil sidang itsbat.
Di Mekkah pada saat maghrib 18 Juni 2023 tinggi bulan sudah 4,6 derajat dan elongasi geosentrik 7 derajat. Diprakirakan hilal cukup tebalnya untuk mengalahkan cahaya syafak sehingga hilal mungkin dirukyat pada 18 Juni 2023. Dengan demikian diprakirakan 1 Dzulhijjah 1444 pada 19 Juni, hari wukuf pada 27 Juni, dan Idul Adha pada 28 Juni 2023. Kepastiannya menunggu pengumuman hasi rukyat di Arab Saudi.
Banyak yang bertanya di WAG yang saya ikuti, “Mengapa sudah tahu hilal tidak mungkin dirukyat, tetapi tetap dilaksanakan rukyat di banyak titik?”
Saya memahami keyakinan pengamal rukyat yang perlu rukyat dan keyakinan pengamal hisab yang tak perlu rukyat. Keduanya harus kita hargai.
Bagi pengamal rukyat, pelaksanaan rukyat adalah bentuk ta’abudi (ketaatatan).Ta’abudi itu bagi pengamal rukyat tidak perlu bertanya dan protes, ikuti saja contoh Rasul. Rasul memerintahkan “shuumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi” (berpuasalah bila melihat hilal dan berbukalah bila melihat hilal), ya laksanakan rukyat walau sudah tahu dari hisab tak mungkin kelihatan. Sebagai perbandingan, kita pasti tahu hadits dari Ali ra: “Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud).
Dalam perkembangan baru, Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) pada 2022 menetapkan bahwa bila posisi bulan secara hisab berada di bawah ufuk, rukyatul hilal bukan lagi menjadi fardhu kifayah. Artinya, boleh tidak melakukan rukyat. Tetapi bila bulan berada di atas ufuk, walau rendah, rukyat tetap wajib dilaksanakan.
2. Di media ada tokoh Muhammadiyah yang mengusulkan sidang itsbat ditiadakan. Mengapa perlu sidang itsbat?
Mestinya harus difahami bersama, bahwa sidang itsbat adalah upaya pemerintah untuk memfasilitasi pengamal rukyat dan pengamal hisab secara setara.
Pengamal hisab difasilitasi dengan dibuatnya kalender hijriyah standar Indonesia.
Pengamal rukyat difasilitasi dengan itsbat (penetapan) secara nasional, karena hasil rukyat perlu diitsbatkan oleh suatu otoritas seperti dicontohkan Rasul.
Pemerintah mengupayakan adanya kriteria yang mempertemukan hasil rukyat dan hasil hisab dengan menggunakan kriteria imkan rukyat.
Itsbat dilaksanakan dalam suatu sidang untuk mengakomodasi keberadaan ormas-ormas Islam dan melibatkan instansi terkait yang mempunyai kepakaran hisab-rukyat. Dalam sidang itsbat itu, hasil hisab dan hasil rukyat dipertimbangkan secara setara dalam pengambilan keputusan.
Mengapa Pemerintah tidak menggunakan kriteria Wujudul Hilal? Kriteria Wujudul Hilal eksklusif untuk pengamal hisab, tidak mengakomodasi kepentingan pengamal rukyat. Kriteria Imkan Rukyat mengakomodasi pengamal hisab dan pengamal rukyat secara setara.
Kongres Unifikasi Kalender Hijriyah di Istanbul (2016) dan Seminar Internasional Fikih Falak di Jakarta (2017). Kesepakatan Istanbul dan Jakarta belum bisa diimplementasikan sebagai Kalender Islam Global sebelum ditetapkan oleh otoritas global.
Gagasan untuk mempunyai satu sistem kalender Hijriyah tunggal di tingkat nasional, regional, dan global sudah lama didengungkan. Tujuannya agar tidak ada lagi perbedaan penetapan waktu ibadah, khususnya pada penetapan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Berbagai dialog dilakukan di tingkat nasional, regional, dan global namun sampai saat ini belum ada yang implementatif. Sebab utamanya belum adanya kesepakatan sampai tingkat implementasi.
Kesepakatan kriteria adalah hal pokok yang paling sulit dan menjadi salah satu sumber perbedaan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Kesepakatan otoritas prinsipnya mudah, apalagi ada perintah dalam QS 4:59 untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (otoritas, pemerintah). Namun ego kelompok atau organisasi sering menjadi kendala. Di tingkat global, otoritas pemerintah masing-masing negara juga tidak mudah dipersatukan. Sedangkan kesepakatan batas wilayah juga bukan hal yang mudah dilakukan. Kesepakatan yang sudah terwujud adalah kesepakatan batas wilayah nasional yang terkait dengan konsep wilayatul hukmi (kesatuan wilayah hukum). Batas wilayah keberlakukan kalender Islam secara regional atau global juga terkait dengan kebijakan pemerintah masing-masing.
Ketua Presidensi Urusan Keagamaan Turki (DIB) sebagai penyelenggara kongres menyatakan kepada media, “Keputusan kongres akan disampaikan kepada OKI, kelompok 57 negara mayoritas Muslim, untuk diadopsi secara resmi di dunia Islam”. Makna pernyataan itu:
Turki mengakui otoritas OKI sebagai otoritas kolektif negara-negara Islam.
Turki mengakui masalah kalender global harus diadopsi (ditetapkan) oleh suatu otoritas global.
Turki tidak mengumumkan secara sepihak rumusan itu sebagai KIG, karena Turki tidak punya otoritas atas negara-negara lain untuk mengimplementasikannya.
Bandingkan dengam klaim Muhammadiyah yang sudah mengusungnya sebagai KIG. Secara de jure dan de facto, Muhammadiyah sebagai ormas tidak bisa mengklaimnya sebagai KIG. KIG perlu kesepakatan negara-negara Islam. Itu ranahnya pemerintah, bukan setingkat ormas. Indonesia pun belum mengakuinya, apalagi negara-negara Islam lainnya. Kalau pun nanti secara resmi diterapkan oleh Muhammadiyah, yang bisa diklaim secara de jure dan de facto adalah “Kalender Muhammadiyah dengan kriteria Kongres Turki 2016”, bukan KIG.
Pernyataan Ketua Presidensi Urusan Keagamaan Turki sebagai penyelenggara kongres, bahwa adopsi KIG oleh OKI.
Upaya untuk mewujudkan kalender Islam global juga dilakukan oleh Indonesia. Dalam Seminar Fikih Falak di Jakarta telah dirumuskan Rekomendasi Jakarta 2017. Upaya tersebut mencakup kesepakatan tiga prasyarat: kriteria, batas wilayah, dan otoritas. Kriteria yang direkomendasikan akhirnya disepakati sebagai kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat dengan penegasan markaz (rujukan) Kawasan Barat Asia Tenggara. Batas wilayah keberlakukan menggunakan batas tanggal internasional sama seperti usulan kongres Turki. Rekomendasi Jakarta 2017 juga secara eksplisit mengusulkan OKI sebagai otoritas tunggal kolektif untuk menetapkan KIG sesuai kriteria baru MABIMS.
Rekomendasi Jakarta 2017 secara eksplisit mengusulkan OKI sebagai otoritas tunggal kolektif untuk menetapkan KIG dengan kriteria yang sama dengan kriteria baru MABIMS.
Ilustrasi kalender hijriyah (gambar dari internet)
Kalender adalah tabel berisi tanggal terkait hari atau kegiatan untuk suatu keperluan. Kalender hijriyah selalu didasarkan pada hisab (perhitungan) peredaran bulan. Tidak ada kalender yang ditentukan berdasarkan rukyat (pengamatan) hilal (bulan sabit pertama). Diskusi tentang hisab dan rukyat jangan dirancukan dengan penetapan kalender.
Hasil dari hisab adalah kalendar. Hasil rukyat adalah itsbat (petetapan) awal bulan oleh suatu otoritas (terutama Pemerintah), khususnya untuk Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Diskusi panjang tentang hisab dan rukyat sebenarnya dalam konteks penentuan awal waktu ibadah Ramadhan dan mengakhirinya, juga untuk penentuan hari raya (idul fitri dan idul adha). Ada yang berdasarkan itsbat dan ada yang berdasarkan kalender.
Idealnya, hasil itsbat sama dengan kalender. Itulah yang dicita-citakan ummat, adanya kalender hijriyah yang mempersatukan ummat. Apakah itu mungkin diwujudkan? Sangat mungkin. Kata kuncinya adalah kesepakatan pada kriteria. Verifikasi hasil rukyat saat itsbat memerlukan kriteria imkan rukyat (kemungkinan berhasil di rukyat) atau visibilitas hilal. Untuk menyusun kalender juga perlu kriteria yang hakikatnya juga berdasarkan kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal.
Untuk menuju titik temu, kita semua perlu memahami perkembangan hisab kalender. Semua kriteria hisab sebenarnya berada pada satu alur sejarah perkembangan metodologi hisab sesuai dengan tingkat kemampuan ahli hisab pada suatu masa.
Hisab Urfi Tanpa Kriteria
Sejarah perkembangan kalender sejalan dengan perkembangan kemampuan hisab. Secara umum hisab kalender hanya terbagi dua kelompok:
Hisab tanpa kriteria; hisab Urfi (periodik)
Hisab dengan kriteria: hisab Imkan Rukyat
Hisab urfi sudah dikenal sejak zaman Nabi. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi SAW menyatakan, “Kami ini ummat yang umiy, yang tidak dapat membaca dan berhitung. Satu bulan itu sekian dan sekian (dengan memberi isyarat jarinya, yaitu 29 atau 30 hari).” Pengetahuan dasar bahwa satu bulan hanya mungkin 29 dan 30 dijadikan dasar hisab kalender hijriyah generasi pertama.
Hisab urfi tidak memerlukan kriteria, hanya berdasarkan konvensi atau kesepakatan saja. Bulan-bulan ganjil selalu 30 hari; Muharram, Rabbiul Awal, Jumadil Awal, Rajab, Ramadhan, Dzulqa’dah. Bulan-bulan genap selalu 29 hari: Shafar, Rabbiul Akhir, Jumadil Akhir, Sya’ban, Syawal, dan Dzulhijjah. Rata-rata perbulan 29,5 hari. Namun secara empirik diketahui bahwa ada selisih dengan kesaksian hilal. Maka perlu ada koreksi dengan menambahkan 1 hari pada bulan Dzulhijjah pada tahun-tahun kabisat. Jadi pada tahun kabisat bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari.
Dalam perkembangan ilmu hisab diketahui, rata-rata satu bulan itu sebenarnya 29,53 hari. Karenanya dalam 30 tahun ada 11 tahun kabisat. Jadi, penambahannya 11 hari/30/12 bulan = 0,03 hari/bulan. Jadi cocok, satu bulan 29,5 + 0,03 hari = 29,53 hari.
Hisab urfi sudah lama ditinggalkan. Hanya ada sebagian kelompok masyarakat yang masih menggunakannya. Diduga kelompok Naqsabandiyah masih menggunakan kalender hijriyah berbasis urfi. Itulah yang menyebabkan mereka sering mendahului keputusan Pemerintah dalam mengawali Ramadhan dan berhari raya. Karena mereka tidak menerapkan koreksi tambahan hari pada bulan Dzulhijjah untuk tahun-tahun kabisat. Kalau itu dibiarkan tanpa koreksi, perbedaan akan semakin jauh. Pada 1444/2023 mereka mengawali Ramadhan 2 hari lebih cepat daripada keputusan Pemerintah.
Hisab Imkan Rukyat
Sistem hisab urfi tampaknya mudah, tetapi kalau kalau tidak memperhatikan aturan tahun-tahun kabisat, awal bulan bisa meleset jauh dari ketampakan hilal. Oleh karenanya mulai berkembang hisab yang menyesuaikan dengan ketampakan hilal. Itulah hisab dengan kriteria imkan rukyat (IR). Tahapan perkembangannya sebagai berikut:
Hisab Ijtimak Qobla Ghurub (konjungsi sebelum maghrib).
Hisab Taqribi (aproksimasi, pendekatan).
Hisab Hakiki Wujudul Hilal (asumsi hilal sudah di atas ufuk)
Hisab Imkan Rukyat Astronomis (berdasarkan data empirik keterlihalatan hilal).
Hisab imkan rukyat yang paling sederhana adalah “Ijtimak Qobla Ghurub”, yaitu hanya menghitung waktu terjadinya ijtimak (konjungsi, newmoon). Bila ijtimak terjadi sebelum maghrib, diasumsikan saat maghrib hilal sudah muncul di atas ufuk. Dulu tahun 1990-an, kalender Persis pernah menggunakan kriteria Ijtimak Qobla Ghurub.
Lalu untuk menentukan tinggi hilal atau bulan berkembang hisab taqribi (aproksimasi, pendekatan). Dasar perhitungannya, bulan itu bergerak 360 derajat dalam 27,3 hari yang dikenal sebagai siklus sideris. Artinya, per hari bulan menempuh 13 derajat per hari. Jadi dalam satu jam bulan menempuh 13/24 = 0,54 derajat, atau dibulatkan 0,5 derajat. Jadi ketinggian bulan bisa ditaksir (aproksimasi) = umur bulan x 0,5 derajat/jam. Misalnya, ijtimak pukul 12.00 dan maghrib pukul 18.00, maka umur bulan 6 jam. Hisab taqribi menyatakan tinggi bulan = 6 jam x 0,5 derajat/jam = 3 derajat. Hisab taqribi antara lain digunakan oleh kitab Sulamunayyirain. Tim perukyat di Cakung diduga terpengaruh hisab taqribi, sehingga sering mengaku melihat hilal padahal bulan masih di bawah 2 derajat.
Hisab taqribi sering menghitung terlalu tinggi. Misalnya, tinggi bulan semestinya kurang dari 2 derajat, secara taqribi dihitung sudah lebih dari 3 derajat. Dengan berkembangkan ilmu hisab dan tersedianya buku tabel-tabel astronomi, seperti Astronomical Almanac, hisab berkembang menuju hisab hakiki. Hisab hakiki menghitung posisi sesungguhnya (hakiki) bulan dan matahari, bukan lagi secara taqribi (aproksimasi, pendekatan). Namun tahap awal masih sederhana: ijtimak sebelum maghrib dan bulan terlambat terbenam daripada matahari. Kriteria itu disebut Wujudul Hilal (WH). Jadi caranya memang sangat sederhana. Dulu cukup melihat tabel data ijtimak serta waktu sunset (matahari terbenam) dan moonset (bulan terbenam) di titik koordinat tertentu, misalnya di Bandung atau Yogyakarta. Saat saya mahasiswa astronomi ITB awal 1980-an saya sudah biasa melakukan hisab awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk kota Bandung dengan kriteria WH. Muhammadiyah menggunakan kriteria WH dengan markaz Yogyakarta sejak 1970-an.
Hisab imkan rukyat terus berkembang. Pada 1990-an para ahli hisab mulai berkenalan dengan kriteria yang bisa dibandingkan dengan data rukyat. Bukan sekadar bulan terlambat terbenam daripada matahari (“wujudul hilal”), tetapi juga memasukkan syarat ketinggian tertentu dan elongasi (jarak sudut bulan-matahari) atau umur bulan (jarak waktu sejak ijtimak sampai maghrib). Di forum MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) disepakati tinggi bulan minimal 2 derajat, elongasi minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 jam (dikenal sebagai kriteria 2-3-8). Walau data rujukannya sangat minim dan sulit ditelusur. Tetapi kriteria itulah yang disepakati digunakan oleh ormas-ormas Islam dan Pemerintah pada 1990-an. Hanya Muhammadiyah yang menolaknya dan tetap mempertahankan menggunakan kriteria lama, WH, walau akhirnya sering berbeda dengan ormas-ormas lain dan Pemerintah.
Secara internasional kriteria IR berbasis data astronomi global ada beragam. Bergantung parameter yang digunakan. Ada kriteria Ilyas yang menggunakan parameter beda azimut dan beda tinggi bulan-matahari. Ada juga varian kriteria Ilyas yang menggunakan umur hilal dan beda waktu terbenam matahari dan bulan. Ada juga kriteria SAAO (Southern Africa Astronomical Observatory), Yallop, Odeh, dan Shaukat. Kriteria-kriteria itu sebagai tawaran. Dalam implementasinya, bergantung kesepakatan para pihak untuk memilih salah satu kriteria, mengkombinasikan, atau mengembangkan kriteria sendiri.
Ijtihad ilmiah mestinya bisa dicarikan titik temu. Masing-masing harus mau berubah, tinggalkan kriteria lama. Lalu cari kriteria baru yang bisa disepakati bersama. Dulu, saya usulkan kriteria WH dan kriteria IR 2 derajat sama-sama maju, bukan bertemu di IR 1 derajat seperti ditawarkan Wapres JK pada 2007. Jadi, kriteria WH wajib ditinggalkan, digantikan dengan kriteria baru. Kriteria 2 derajat juga wajib ditinggalkan, ganti dengan kriteria baru. Nah, kriteria baru itu yg dibahas bersama lalu disepakati.
Menindaklanjuti rekomendasi fatwa MUI 2/2004, setelah lebih dari 10 tahun upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI, pada 14-15 Agustus 2015 dilaksanakan Halaqoh “Penyatuan Metode Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah” oleh Majelis Ulama Indonesia dan Ormas-ormas Islam bersama Kementerian Agama RI di Wisma Aceh Jakarta. Halaqoh tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan Pakar Astronomi di Hotel The Hive Jakarta pada 21 Agustus 2015 untuk penentuan kriteria awal bulan Hijriyah untuk disampaikan kepada MUI sebelum Munas 2015. Halaqoh tersebut mengupakan adanya kriteria baru yang lebih maju untuk menggantikan kriteria WH dan kriteria 2 derajat. Rumusan Tim Pakar Astronomi pada 2015 berhasil dirumuskan. Sayang sekali rumusan itu belum diterima oleh Munas MUI. Namun, alhamdulillah, ternyata rumusan tersebut akhirnya sama dengan keputusan kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Itulah upaya untuk maju selangkah menggantikan kriteria lama yang menyebabkan perbedaan dengan kriteria baru yang diharapkan sebagai titik temu pengamal hisab dan pengamal rukyat.
Perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha sudah sering terjadi. Selama enam tahun terakhir (1437-1442/2016-2021) tidak ada perbedaan karena posisi bulan cukup tinggi atau masih di bawah ufuk. Tahun lalu 1443/2022 terjadi perbedaan awal Ramadhan dan tahun ini 1444/2023 akan terjadi perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha. Sumber utama perbedaan bukan karena beda metode (rukyat dan hisab), tetapi beda kriteria.
Beda kriteria hakikatnya bersumber dari beda ijtihad ilmiah dalam merumuskan kriteria awal bulan. Sumber masalahnya adalah Muhammadiyah bersikukuh menggunakan kriteria usang (yang didunia astronomi tidak digunakan lagi): wujudul hilal (WH). Dan tidak ada itikad untuk berdialog mencari titik temu kriteria bersama yang bisa digunakan oleh pengamal hisab dan pengamal rukyat. Ya, keenganan untuk berdialog mengindikasikan ego organisasi, karena mungkin merasa Muhammadiyah sebagai ormas besar dengan banyak prestasi. Hal itu berarti mengabaikan kesatuan ummat dan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam).
Tokoh-tokoh Muhammadiyah berkelit untuk meninggalkan WH hanya karena menggap seolah hisab itu hanya menggunakan kriteria WH. Padahal ada beragam kriteria imkan rukyat (IR) yang bisa dipilih untuk disepakati bersama. Berikut ini jawaban saya atas kesalahan pemahaman atas kriteria IR dan upaya menuju titik temu kriteria.
Kriteria memang “perlu dikaji ulang dan disepakati bersama”. Mengapa saran yang baik tidak dilakukan oleh Muhammadiyah juga untuk bersama-sama ormas lain mengkaji dan menyepakati kriteria bersama? Sungguh Allah murka kepada orang yang hanya bisa mengkritisi tanpa mau mengerjakannya (QS 61:2-3). Perbedaan harus didialogkan untuk mendapatkan titik temu. Elongasi yang berbeda penafsiran akhirnya dapat disepakati melalui dialog yang mengutamakan kemaslahatan umat. Markaz atau titik rujukan memang tidak harus satu titik, bisa berbagai titik sesuai dengan titik rukyat. Kriteria imkan rukyat memang ditujukan agar kompatibel dengan hasil rukyat.
Ada kesalahan mendasar kalau menjadikan bulan sabit siang hari (daylight crescent) sebagai pembenaran wujudul hilal. Bulan sabit siang hari tidak bisa dijadikan dijadikan dasar rukyat awal bulan. Alasan utamanya, bulan sabit siang hari bisa terjadi sebelum ijtimak, saat ijtimak (konjungsi), maupun pasca ijtimak. Kalau pengamal hisab faham rukyat, menerima bulan sabit siang hari pada dasarnya mundur selangkah dari WH, karena bulan sabit siang hari secara hisab adalah “ijtimak qobla ghurub” (konjungsi sebelum maghrib).
Terkait pemilihan “kriteria visibilitas hilal di Indonesia makin atau paling rendah” memang itulah yang dilakukan dalam Rekomendasi Jakarta 2017. Kriteria Turki yang markaz-nya di mana saja dikoreksi menjadi markaz di Asia Tenggara bagian Barat agar kompatibel dengan hasil rukyat. Bagaimana pun kalender harus bisa digunakan pengamal hisab dan pengamal rukyat secara seragam. Tentang kriteria, kriteria baru MABIMS [3-6,4] (tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat) lebih rendah dari kriteria Turki [5-8]. Alasan teknisnya, dengan kriteria [3-6,4] dan beda waktu Indonesia-Turki sekitar 4 jam berarti saat ketinggian bulan di Indonesia 3 derajat di Turki sudah bertambah 2 derajat menjadi 5 derajat. Jadi kalau Muhammadiyah bisa mengambil kriteria Turki, maka semestinya lebih baik menggunakan kriteria bersama [3-6,4] sehingga tidak terjadi lagi perbedaan Muhammadiyah dengan Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya.
Rukyat saat ini memang tidak ada lagi yang murni. Rukyat perlu diverifikasi, yaitu menggunakan kriteria IR. Kalau kriterianya bisa diseragamkan dengan kriteria IR yang disepakati, insya-a Llah hasil hisab berupa kalender akan sama dengan hasil rukyat. Kalau itu terjadi, tidak akan ada lagi perbedaan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Terkait dengan sidang itsbat yang sudah “diketahui alur cerita dan endingnya”, memang demikianlah karena rukyat dipandu dengan hisab (untuk mengarahkan pandangan atau teleskop) dan diverifikasi dengan kriteria IR. Tetapi itsbat (penetapan) tetap perlu dilakukan oleh pemerintah. Bagi pengamal rukyat, hasil rukyat tidak serta merta diumumkan kepada publik. Harus diverifikasi dan ditetapkan oleh suatu otoritas (pemerintah). Hal itu mencontoh praktek yang dilakukan Rasul ketika ada orang Badui yang melaporkan melihat hilal, maka Rasul melakukan verifikasi dulu (hanya verifikasi keimanan, karena orang Badui sudah sangat faham dengan hilal) kemudian mengumumkannya.
Artikel itu sama sekali tidak memuat alasan penggunaan WH, hanya tujuh alasan penggunaan hisab. Soal penggunaan hisab, silakan saja. Saat ini penggunaan hisab tidak dikhotomikan lagi dengan penggunaan rukyat. Masing-masing madzhab bisa meneruskan keyakinan dengan metodenya masing-masing (hisab atau rukyat). Tetapi perbedaan metode bisa dipertemukan di tataran kriteria.
Sebab utama perbedaan karena perbedaan kriteria WH dengan IR. Kalau pun kriteria IR tetap tinggi bulan 2 derajat, perbedaan tetap akan sering terjadi. Perbedaan WH dengan IR terjadi ketika posisi bulan rendah. Jadi bukan masalah dinaikkan kriterianya menjadi lebih tinggi.
Gus Pur (Prof. Agus Purwanto) menulis di fb-nya:
……..(dipotong) ….
……..(dipotong)….
Uraiannya seolah canggih, sulit difahami awam. Namun, dari segi kelaziman astronomi terasa aneh. Hilal adalah fenomena ketampakan yang terkait dengan penentuan awal bulan qamariyah. Hilal bukanlah objek benda. Sebagai fenomena ketampakan ada batas minimal iluminasi (prosentasi bagian bulan yang cahayanya menghadap bumi atau tergambar sebagai tebal hilal) utk terlihatnya hilal. Selain iluminasi, untuk terlihatnya hilal ada syarat kontras antara cahaya hilal yang tipis dengan cahaya syafak (cahaya senja). Itulah yang menjadi batasan kriteria imkan rukyat (IR, kemungkinan bisa dilihat) atau visibilitas hilal (crescent visibility).
Kritera IR beragam, mulai yang sifatnya optimalistik (seperti kriteria baru MABIMS) sampai yang sifatnya optimistik (seperti kriteria Odeh). Dalam astronomi tidak dikenal nomenklatur wujudul hilal (WH) untuk hilal rendah, karena hilalnya memang belum wujud. Per definisi, WH hanya memperhitungkan piringan bulan atas yang menyembul di atas ufuk saat matahari terbenam. Tidak bisa dibuat interpolasi dari bulan sabit siang hari (yang diamati dengan filter inframerah untuk meredam cahaya biru langit) dengan hilal yang kontrasnya berhasil mengalahkan cahaya syafak.
Dalam astronomi tidak dikenal “IR NOL derajat”, karena WH memang tidak mungkin diamati. Terlalu mengada-ada juga menyebut “WH nol derajat sesungguhnya jalan tengah antara hilal substanstif matematis yang terjadi sesaat setelah konjungsi dan hilal terlihat atau imkan rukyat”. Tidak ada “hilal substanstif matematis”. Hilal adalah fenomena fisis observasional.
WH adalah kriteria IR paling sederhana sebelum ahli hisab bisa menghitung secara cepat dengan kalkulator atau komputer. WG saat ini dianggap usang karena sudah tidak dipakai lagi. Ya, untuk apa mempertahankan kriteria generasi 1970-an. Saat ini parameter astronomi mudah diperoleh dengan beberapa klik pada aplikasi gratis di internet. Btw, terbiasa dengan hisab sederhana (hanya menghitung sunset dan moon), saat ini saya belum mendengar ada aplikasi hisab astronomi yang dihasilkan kader Muhammadiyah. Bandingkan dengan aplikasi yang sudah dihasilkan kader
Di fb saya kirimkan juga info tulisan saya di blog, supaya makin banyak yang baca. Tujuannya tentu agar makin banyak orang faham bahwa perbedaan awal Ramadhan, idul fitri, atau idul adha bukan karena beda metode rukyat dan hisab. Perbedaan terjadi karena beda kriteria. Beda madzhab rukyat dan hisab memang tidak bisa dipertemukan, karena menyangkut keyakinan pada dalil tertentu. Memang keyakinan pada dalil tertentu nyaris tidak bisa diubah. Tetapi beda kriteria sebagai hasil ijtihad ilmiah mestinya bisa dipersatukan. Ijtihad ilmiah berbasis ilmu yang teorinya bisa dinilai benar-salahnya atau datanya bisa dikaji sahih-tidaknya.
Saat ini masih banyak orang, khususnya di Muhammadiyah yang gagal faham tentang kriteria Imkan Rukyat (IR). Dikiranya kriteria IR hanya untuk rukyat. Juga dikiranya hisab itu hanya menggunakan kriteria wujudul hilal (WH). Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an masih ada yang menganggap hisab itu lebih unggul dari rukyat. Saat ini superioritas hisab atas rukyat makin berkurang. Hal itu karena makin banyak pengamal rukyat juga ahli hisab dan makin banyak pengamal hisab juga melakukan rukyat, walau untuk alasan riset.
Berikut ini screen shoot jawaban saya terhadap beberapa ketidakfahaman warga atau simpatisan Muhammadiyah. Semoga jawaban saya bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini sudah mengakar.
Masih banyak yang menduga perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha karena perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal. Dan masih banyak yang mengira hisab itu hanya menggunakan kriteria wujudul hilal. Metode dirancukan dengan kriteria.
Saya coba menjelaskan dengan diagram sederhana ranah ijtihad (pemikiran sungguh-sungguh berdasarkan dalil dan ilmu untuk menjawab masalah hukum ibadah) yang ditunjukkan di atas. Masalah metode adalah ranahnya ijtihad dalil fikih. Masalah kriteria adalah ranahnya ijtihad kriteria ilmiah. Debat soal dalil rukyat atau hisab sudah berlangsung ratusan tahun tanpa solusi. Namun dialog tentang kriteria ada peluang mencapai titik temu. Menurut Rasul, dalam menghadapi masalah-masalah baru, yang belum secara tegas dan rinci diajarkan Allah di dalam AlQuran dan sunnah rasul, maka berijtihadlah. Kalau benar dapat dua pahala. Kalau pun salah masih dapat satu pahala. Dengan ijtihad kita bisa upayakan titik temu demi terwujudnya ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) dan kesatuan ummat.
Perbedaan memaknai banyak hadist dan beberapa ayat AlQuran tentang penetapan awal dan akhir puasa Ramadhan memunculkan ijtihad atas dalil-dalil fikih. Hadits perintah berpuasa ada yang memaknai harus dengan rukyat, namun ada juga yang menganggap bisa atau bahkan seharusnya diganti dengan hisab. Semakin digali dalil-dalilnya, semakin menjauh perbedaan pendapat tentang rukyat dan hisab. Maka cukupkanlah ijtihad dalil fikih. Kita terima kenyataan adanya madzhab rukyat dan madzhab hisab yang tidak bisa dipersatukan.
Namun kondisi sekarang berubah. Dulu rukyat bisa langsung diterima tanpa verfikasi. Sementara hisab dianggap rumit sehingga menggunakan kriteria paling sederhana. Sekarang rukyat dengan atau tanpa alat perlu verifikasi, karena kemungkinan keliru mengidentifikasi hilal yang sangat tipis sangat terbuka. Sementara ilmu hisab terus berkembang dengan algoritma yang makin akurat namun terbantu teknologi komputasi yang makin canggih. Untuk verifikasi perlu kriteria. Untuk menentukan masuknya tanggal dari parameter hisab juga perlu kriteria. Baik madzhab rukyat maupun madzhab hisab perlu berijtihad tentang kriteria. Maka yang perlu kita kembangkan saat ini adalah ijtihad kriteria secara ilmiah.
Ijtihad kriteria ilmiah didasarkan pada pemikiran berbasis ilmu falak atau astronomi. Definisi hilal sebagai batasan awal bulan hijriyah, khususnya Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, prinsipnya bisa didialogkan agar sinkron. Kriteria parameter posisi bulan sebagai batasan masuknya tanggal untuk kalender mestinya bisa kompatibel dengan kriteria untuk verifikasi rukyat. Ya, sesederhana itu cara untuk menuju titik temu demi ukhuwah dan kesatuan ummat. Yang diperlukan hanyalah pemahaman fisis astronomis dan keikhlasan karena Allah.
Debat soal dalil hisab dan rukyat kita cukupkan, karena sudah ratusan tahun tetap tidak ada hasilnya. Kita hormati eksistensi madzhab hisab dan madzhab rukyat. Itulah implementasi moderasi beragama dalam konteks hisab rukyat.
Madzhab hisab dan madzhab rukyat tidak bisa dipersatukan, namun bisa dipertemukan dalam konteks kriteria sabagai produk ijtihad ilmiah. Cobalah dialogkan kriteria bersama yang bisa untuk membuat kalender, tetapi kompatibel untuk verifikasi rukyat.
Kriteria wujudul hilal (WH) memang usang. Dari segi konsep, piringan atas bulan yang masih menyembul di atas ufuk bukanlah hilal. Lagi pula konsep WH tidak ada lagi yang menggunakannya, kecuali Muhammadiyah. Arab Saudi hanya menggunakannya untuk kalender sipil. Untuk ibadah, Arab Saudi menggunakan rukyat.
Kriteria Imkan Rukyat (IR) adalah kriteria modern yang dinamis. Dulu kriteria IR yang paling sederhana adalah ijtimak qobla ghurub (konjungsi sebelum maghrib) lalu dilanjutkan WH. Semuanya kemudian ditinggalkan beralih ke kriteria 2-3-8 (tinggi bulan minimal 2 derajat dan elongasi minimal 3 derajat atau umur bulan 8 jam). Namun kemudian kriteria 2-3-8 dikritisi. Maka beralih ke kriteria 3-6,4 (tinggi bulan minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat). Di dunia banyak lagi pilihan kriteria IR: kriteria Ilyas, Yallop, Shawkat, SAAO, Odeh, dan lainnya. Semuanya mendasarkan pada data astronomi modern.
Ketika semua ormas Islam bersepakat dengan kriteria 2-3-8 pada awal 1990-an dan ditegaskan lagi pada 2011, Muhammadiyah tetap bersikukuh dangan WH. Ketika Persis dan NU bersepakat dangan kriteria 3-6,4 dengan penyesuaian, tokoh-tokoh Muhammadiyah hanya mencela aspek proses penetapan dan sosialisasi serta “bertepuk tangan” dengan adanya perbedaan geosentrik-toposentrik. Sama sekali tidak ada itikad Muhammadiyah untuk mencari titik temu.
Dialog itu untuk mencari titik temu. Bukan sekadar ngobrol tanpa tujuan. Dialog antar-pakar ormas dan pemerintah itu sudah panjang, sekitar 30 (tiga puluh) tahun, bukan dialog last minute. Perbedaan elongasi toposentrik dan geosentrik akhirnya bisa diperoleh titik temu dari dialog tanpa kehadiran wakil Muhammadiyah. Lalu apa makna “dialog yang simultan dan terencana” yang digagas seolah baru bangun tidur? Keengganan Muhammadiyah untuk berdialog hanya disebabkan terlalu kuatnya ego organisasi yang bangga dengan kebesaran dan sejarah ormasnya. Ayolah berdialog secara positif menuju titik temu, bukan melompat membanggakan produk kriteria Turki.
Kalau Muhammadiyah mau Kalender Islam Global seperti rekomendasi Muktamar Makassar 2015, ayolah dialogkan bersama ormas2 Islam dan Pemerintah RI. Rekomendasi Jakarta 2017 pun digagas mengarah ke Kalender Islam Global dan sdh diusulkan ke OKI (Organisasi Kerjasama Islam). Bagaimana pun, implementasi suatu sistem kalender bergantung pada otoritasnya, bukan berdasarkan klaim sepihak. Pemerintah RI menetapkan Kalender Hijriyah Standar Indonesia sesuai dengan kapasitas sebagai otoritas nasional. Kesepakatan empat negara MABIMS (forum Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) merupakan awal kalender regional. Kalau nanti disetujui negara-negara Islam di bawah OKI, suatu sistem kalender (apa pun kriterianya) barulah bisa diimplementasikan sebagai Kalender Islam Global.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama
Shalat Idul Fitri (ilustrasi dari internet)
Alhamdulillah, awal Ramadhan 1444 telah ditetapkan seragam pada 23 Maret 2023. Namun, akhir Ramadhan atau Idul Fitri akan terjadi perbedaan, walau kepastiannya nanti diumumkan setelah sidang itsbat pada 29 Ramadhan atau 20 April 2023. Perbedaan Idul Fitri bukan karena perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi karena perbedaan kriteria.
Pada siang 20 April 2023 terjadi gerhana matahari di Indonesia. Gerhana matahari dapat dianggap sebagai ijtimak (konjungsi) yang teramati. Gerhana matahari sebagai kondisi ijtimak memang menunjukkan akhir siklus bulan mengitari bumi. Tetapi itu tidak bisa dijadikan dasar penentuan bulan baru hijriyah. Secara hukum (fikih), dasar penetapan bulan baru hijriyah harus berdasarkan pengamatan atau posisi bulan saat maghrib.
Nah, posisi bulan pada saat maghrib 20 April yang masih rendah di ufuk barat menjadi sebab perbedaan karena kriterianya berbeda. Menurut kriteria wujudul hilal (bulan lebih lambat terbenam daripada matahari), pada saat maghrib bulan telah di atas ufuk. Pada Gambar 1 ditunjukkan bahwa Indonesia berada di atas arsir merah, artinya posisi bulan sudah di atas ufuk. Atas dasar kriteria tersebut, Muhammadiyah mengumumkan Idul Fitri pada keesokan harinya, yaitu 21 April 2023. Sedangkan pada gambar 2, wilayah diarsir biru merupakan wilayah yang pada saat maghrib posisi bulan telah memenuhi kriteria baru MABIMS. Kriteria baru MABIMS mensyaratkan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Artinya, menurut kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) MABIMS, tidak mungkin terlihat hilal. Oleh karenanya, awal Syawal atau Idul Fitri pada kalender NU, Persis, dan Pemerintah ditetapkan pada hari berikutnya, 22 April 2023. Kepastiannya kita tunggu pengumuman Pemerintah setelah sidang itsbat.
Gambar 1. Pada saat maghrib 20 April 2023 Indonesia berada di atas kurva-arsir merah, artinya bulan sudah di atas ufuk.
Gambar 2. Pada saat maghrib 20 April 2023 Indonesia berada di luar wilayah arsir biru. Artinya belum memenuhi kriteria baru MABIMS.
Untuk memberikan gambaran kondisi hilal saat rukyat, kita bisa lihat pada simulasi Stellarium. Pada saat maghrib 20 April 2023 posisi bulan terlalu dekat dari matahari (Gambar 3). Oleh karenanya hilal sangat-sangat tipis, sehingga tidak tampak (Gambar 4). Maka pada saat rukyat sesudah maghrib 20 April 2023 tidak akan ada saksi yang bisa melihat hilal. Kalau itu benar terjadi, sidang itsbat akan menetapkan bulan Ramadhan istikmal, yaitu digenapkan 30 hari. Maka Pemerintah akan mengumumkan Idul Fitri pada 22 April 2023.
Gambar 3. Konfigurasi bulan dan matahari.
Gambar 4. Pada simulasi Stellarium, hilal sangat-sangat tipis sehingga tidak tampak.
Shaum atau puasa Ramadhan diawali sejak shubuh. Imsak hanyalah waktu persiapan menahan diri, 10 menit sebelum shubuh. Namun, mungkin ada yang bertanya atau bingung ketika menerima jadwal imsakiyah versi Muhammadiyah yang kini tersedia internet atau mungkin dibagikan di WAG. Jadwal shubuhnya sekitar 8 menit lebih lambat dari pada jadwal Kemenag. Perlu hati-hati dalam menggunakan jadwal imsakiyah yang beredar. Fahami dulu dasarnya, agar tidak sekadar mengikuti tanpa memahami.
Muhammadiyah mengubah kriteria waktu shubuh pada 2021, dari ketinggian matahari -20 derajat (seperti jadwal shalat Kemenag) menjadi -18 derajat. Perbedaan 2 derajat berarti waktunya berbeda sekitar 8 menit. Berikut ini pokok-pokok dasar putusan Muhammadiyah sehingga menetapkan jadwal waktu shubuhnya 8 menit lebih akhir dari jadwal Kemenag. Juga analisis astronomis atas putusan tersebut. Serta perbandingan dengan data yang diperoleh Kemenag dan hasil riset doktoral.
Dasar Keputusan Muhammadiyah
Analisis Astronomis
Muhammadiyah mendasarkan pada rujukan kitab-kitab klasik, abad 10 – 20 M. Semuanya menyatakan waktu shubuh mulai saat matahari pada ketinggian -18 sampai -19 derajat, tanpa mempertimbangkan lokasi rujukannya. Sebenarnya, waktu fajar atau shubuh berbeda-beda. Di wilayah dekat kutub, shubuh mulai pada ketinggian matahari sekitar -15 derajat. Dekat ekuator, seperti Mesir, shubuh berawal pada saat posisi matahari -19,5 derajat. Jadi wajar di Indonesia posisi matahari saat shubuh adalah -20 derajat. Secara fisis itu bisa difahami, karena di wilayah ekuator atmosfer paling tebal. Akibatnya, hamburan cahaya terjadi ketika posisi matahari paling rendah. Berikut ini tabel jadwal shubuh di beberapa wilayah/negara dari aplikasi jadwal shalat, seperti http://www.islamicfinder.com.
Data pengamatan oleh tim UMSU, UAD, dan UHAMKA, semuanya terpengaruh oleh polusi cahaya dan tidak ada pemilahan kondisi polusi cahaya di wilayah pengamatan. Sedangkan data pengamatan di Malaysia belum diketahui kualitas langit di lokasi pengamatan. Jadi sebenarnya, tidak ada bukti yang kuat dari hasil pengamatan tiga tim yang membantah kriteria Kemenag. Data ketinggian matahari yang lebih tinggi -16,48 sampai -7 derajat diduga kuat karena terpengaruh polusi cahaya, selain karena mengarahkan alat pemantau SQM ke arah zenit, bukan ke arah ufuk timur.
Ada juga riset doktoral oleh Dr. Basthoni yang menganalisis 285 kurva cahaya fajar dari berbagai daerah di Indonesia. Riset ini memilah lokasi pengamatan menjadi daerah gelap (jauh dari polusi cahaya), agak gelap (sedikit terpengaruh polusi cahaya), dan terang (terpolusi cahaya). Sebagian hasilnya dibahas di blog ini. Hasilnya, rata-rata posisi matahari saat fajar muncul di daerah gelap adalah -19,40 ± 0,53 derajat. Artinya, ketinggian paling rendah sekitar -20 derajat. Hasil riset ini membuktikan bahwa kriteria Kemenag untuk waktu shubuh pada posisi matahari -20 derajat didukung bukti pengamatan yang kuat dan sahih.
Pada pertemuan “Sinkronisasi Taqwim Standar Indonesia” di Bali pada 14 – 16 Maret 2023 dibahas upaya menyelaraskan penentuan kalender hijriyah di Indonesia dengan berbagai metode hisab. Ada sekitar 29 metode hisab yang digunakan oleh ahli hisab Indonesia. Secara umum hasil perhitungan hampir sama, terkait dengan waktu ijtimak (newmoon), tinggi bulan, dan elongasi bulan.
Penyelarasan yang dilakukan terkait dengan penggunaan kriteria baru MABIMS untuk mengevaluasi penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah 1444/ 2023. Selain itu juga menyiapkan kalender hijriyah untuk 2025 atau 1445/1446. Kalender hijriyah selama dua tahun ke depan (2025) diperlukan untuk persiapan penentuan hari-hari libur agama Islam yang akan ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama tiga Menteri: Menteri Agama, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Tenaga Kerja.
Terkait dengan penentuan kalender hijriyah dengan menggunakan kriteria baru MABIMS, ada masalah perbedaan antara perhitungan elongasi toposentrik (berbasis permukaan bumi) dan geosentrik (berbasis titik pusat bumi). Oleh karenanya perlu dicarikan titik temu agar ada kepastian dalam penyusunan kalender hijriyah di Indonesia. Pada pertemuan sinkronisasi kali ini dibahas secara mendalam masalah tersebut. Terkait elongasi toposentrik saya yang membahasnya. Sedangkan elongasi geosentrik dibahas oleh perwakilan dari Lembaga Falakyah Nahdlatul Ulama (LFNU) yang menggantikan astronom ITB/ITERA yang berhalangan hadir.
– Di makalah Odeh (2006) yang menjadi rujukan, angka 6,4 adalah elongasi toposentrik.
– Dalam konteks rukyat, ketinggian dan elongasi adalah toposentrik.
– Pemahaman negara-negara MABIMS lainnya (Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura), elongasi adalah toposentrik seperti yang digunakan Odeh.
– Rukyat awal Syawal 1443 yang merujuk kriteria elongasi geosentrik ada kesaksian rukyat. Namun hasil rukyatnya sangat meragukan, bila dibandingkan dengan citra rukyat di Madinah yang posisi toposentriknya dekat dengan limit kriteria baru MABIMS.
Argumentasi elongasi geosentrik tidak secara spesifik saya uraikan, karena substansinya diperkaya saat diskusi. Pro-kontra elongasi toposentrik dan geosentrik didiskusikan secara serius tapi santai. Akhirnya saya bisa menerima elongasi geosentrik demi mencapai titik temu utk kemaslahatan ummat. Saya hilangkan ego saintifik saya untuk menuju titip temu, walau saya yakin yang lebih tepat adalah elongasi toposentrik.
Alasan saya menerima elongasi geosentrik yang diterapkan pada kriteria baru MABIMS, dari catatan argumentasi saat diskusi, sebagai berikut:
– Elongasi geosentrik lazim juga digunakan dalam astronomi, walau dalam konteks rukyat lebih tepat dengan elongasi toposentrik.
– Elongasi geosentrik juga bisa jadi parameter ketebalan hilal.
– Dalam kesepakatan kriteria baru MABIMS tidak disebutkan elongasi geosentrik atau toposentrik.
Elongasi yang digunakan adalah elongasi geosentrik
– Ada masukan dari astronom yang berpengalaman dengan rukyat hilal bahwa ada potensi elongasi bisa lebih rendah. Salah satu yang mungkin bisa diperbaiki adalah teknis pencitraan (imaging) dan pemrosesannya, misal teknik penumpukan citra digital (stacking) yang lebih efisien dan cepat.
– Diterimanya kriteria elongasi geosentrik pada sidang itsbat Syawal 1443 menunjukkan penerimaan secara de facto dan de jure pada sidang itsbat.
– Sebagai pengguna kriteria untuk konfirmasi rukyat (a. l. untuk penolakan hasil rukyat), NU sudah terbiasa dengan elongasi geosentrik yang sudah dikenal di pesantren-pesantren.
– Sebagai pengguna kriteria untuk hisab, ormas Persatuan Islam (Persis) bisa mengadopsi kriteria elongasi geosentrik demi persatuan, walau meyakini yang tepat adalah elongasi toposentrik. Konsep keduanya tidak terlalu jauh bergeser.
– NU telah melakukan pergeseran kriteria menjadi IRNU (Imkan Rukyat NU) yang bergeser jauh dari kriteria lama, tinggi 2 ke 3 derajat dan elongasi 3 ke 6,4 derajat. Itu pergeseran besar. Saya sangat mengapresiasi NU yang bergerak cepat menuju titik temu kriteria baru MABMIS.
Alhamdulillah, akhirnya forum menerima kesepakatan elongasi geosentrik. Ada dua bulan pada 2025 atau 1445/1446 yang menghadapi dilemma toposentrik dan geosentrik akhirnya bisa ditetapkan.
Begitulah upaya mencapai titik temu telah diupayakan oleh Kemenag. Mestinya dialog yang sama bisa dilakukan agar ada titik temu antara kriteria wujudul hilal Muhammadiyah dengan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal). Kekakuan mempertahankan kriteria wujudul hilal yang usang dengan ego organisasi yang kuat menjadikan dialog tidak pernah beranjak lebih dari 10 tahun, sejak awal 2011 ketika semua ormas Islam bersepakat menggunakan kriteria imkan rukyat, Muhammadiyah bersikukuh dengan wujudul hilal. Ketika NU dan Persis sudah bergerak menuju titik temu, Muhammadiyah masih enggan menuju titik temu. Alasannya ya apalagi kalau bukan karena ego organisasi yang kuat. Sayang sekali, ego organisasi mengalahkan semangat ukhwah Islamiyah (persaudaraan Islam).