Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah


Tim Pakar Astronomi

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin; Dr. Moedji Raharto; Dr. Ing. Khafid; Cecep Nurwendaya, MSi; Hendro Setyanto, MSi; Judhistira Aria Utama, MSi

Pengantar: Agustus 2015 Majelis Ulama Indonesia dengan difasilitasi Kementerian Agama RI mengadakan pertemuan untuk mendapatkan masukan usulan kriteria penentuan awal bulan Hijriyah. Maka dibentuklah Tim Pakar Astronomi yang diketuai Prof. Dr. Thomas Djamaluddin.  Untuk diketahui publik, berikut ini rumusan naskah akademik ringkas usulan kriteria untuk menjadi bahan kajian bersama.

 

Latar Belakang

Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2/2004 merekomendasikan “Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait”. Selama ini kriteria yang digunakan adalah kriteria “2-3-8” yang dikenal juga sebagai kriteria MABIMS, yaitu (1) Tinggi bulan minimal 2 derajat dan (2) jarak sudut bulan-matahari (elongasi bulan) minimal 3 derajat atau (3) umur bulan minimal 8 jam. Kriteria tersebut belum sepenuhnya diterima oleh ormas-ormas Islam dan secara astronomi juga dipermasalahkan.

Untuk menindaklanjuti rekomendasi fatwa MUI 2/2004 tersebut, setelah sekian lama upaya yang dilakukan oleh Kementerian Agama RI, pada 14-15 Agustus 2015 telah dilaksanakan Halaqoh “Penyatuan Metode Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah” oleh Majelis Ulama Indonesia dan Ormas-ormas Islam bersama Kementerian Agama RI Wisma Aceh Jakarta. Halaqoh tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan Pakar Astronomi di Hotel The Hive Jakarta pada 21 Agustus 2015 untuk penentuan kriteria awal bulan Hijriyah untuk disampaikan kepada MUI sebelum Munas 2015.

 

Alasan Ilmiah Revisi Kriteria “2-3-8” (MABIMS)

Kriteria “2-3-8” secara astronomis dianggap terlalu rendah, walau ada beberapa kesaksian yang secara hukum dapat diterima karena saksi telah disumpah oleh Hakim Pengadilan Agama. Namun, pada ketinggian 2 derajat  dengan elongasi 3 derajat atau umur 8 jam, sabit hilal masih terlalu tipis sehingga tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak (cahaya senja) yang masih cukup kuat pada ketinggian 2 derajat setelah matahari terbenam. Oleh karenanya dalam beberapa pertemuan Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama dan pertemuan anggota MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) kriteria “2-3-8” diusulkan untuk diubah.

 

Alasan Ilmiah Usulan Kriteria Baru

Kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal adalah kriteria yang bisa mempertemukan metode rukyat dan hisab. Kriteria itu disusun berdasarkan data rukyat jangka panjang yang dianalisis dengan perhitungan astronomi (hisab). Dalam implementasinya, kriteria itu digunakan untuk menolak kesaksian rukyat yang meragukan, karena hilal yang sangat muda dan terlalu rendah bentuknya masih sangat tipis, tidak mungkin mengalahkan cahaya syafak di dekat ufuk yang masih cukup kuat setelah matahari terbenam. Kriteria itu juga digunakan oleh ahli hisab dalam menentukan awal bulan hijriyah ketika membuat kalender.

 

Imkan rukyat atau visibilitas hilal secara umum ditentukan oleh ketebalan sabit bulan dan gangguan cahaya syafak. Hilal akan terlihat kalau sabit bulan (hilal) cukup tebal sehingga bisa mengalahkan cahaya syafak. Ketebalan hilal bisa ditentukan dari parameter elongasi bulan (jarak sudut bulan-matahari). Kalau elongasinya terlalu kecil (bulan terlalu dekat dengan matahari), hilal sangat tipis. Parameter cahaya syafak bisa ditentukan dari ketinggian. Bila terlalu rendah, cahaya syafak masih terlalu kuat sehingga bisa mengalahkan cahaya hilal yang sangat tipis tersebut. Maka, kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) dapat ditentukan oleh dua parameter: elongasi dan ketinggian bulan.

 

Dari hasil rukyat jangka panjang selama ratusan tahun, diketahui bahwa elongasi minimal agar hilal cukup tebal untuk bisa dirukyat adalah 6,4 derajat (Odeh, 2006). Data analisis hisab sekitar 180 tahun saat matahari terbenam di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu juga membuktikan bahwa elongasi 6,4 derajat juga menjadi prasyarat agar saat maghrib bulan sudah berada di atas ufuk (lihat dua grafik berikut ini). Pada grafik terlihat bahwa pada elongasi 6,4 derajat, posisi bulan semuanya positif, sedangkan dengan elongasi kurang dari 6,4 derajat ada kemungkinan bulan berada di bawah ufuk atau ketinggian negatif.

Data Bulan Banda Aceh

Data Bulan Pelabuhan Ratu

Dari data rukyat global, diketahui bahwa tidak ada kesaksian hilal yang dipercaya secara astronomis yang beda tinggi bulan-matahari kurang dari 4 derajat atau tinggi bulan saat matahari terbenam tidak ada yang kurang dari 3 derajat (lihat 2 grafik berikut ini).

Data Bulan -- Kriteria tinggi

Ilyas (1988) memberikan kriteria visibilitas hilal dengan beda tinggi bulan-matahari minimum 4o (tinggi bulan minimum 3 derajat).

Data bulan -- Kriteria tinggi2

Dari data SAAO, Caldwell dan Laney (2001)  membuat kriteria visibilitas hilal dengan memisahkan pengamatan dengan mata telanjang (bulatan hitam) dan dengan alat bantu optik (bulanan putih). Secara umum, syarat minimal beda tinggi bulan-matahari (dalt) > 4o atau tinggi bulan > 3 derajat.

Analisis lain dilakukan atas data sekitar 180 tahun posisi bulan, dengan kriteria hipotetik yang disebut kriteria 29. Dengan asumsi bila ijtimak sebelum maghrib sebagai tanggal 29, maka 28 hari sebelumnya adalah tanggal 1. Jika ada jeda hari antara tanggal 29 dengan tanggal 1 bulan berikutnya maka ada penambahan hari (tanggal 30) atau istikmal. Data ketinggian bulan dengan kemungkinan adanya istikmal atau tanpa istikmal ditunjukkan pada grafik berikut:

Data Bulan -- Kriteria 29

Data tersebut dapat diinterpretasikan, bila ketinggian bulan lebih dari 7,4 derajat, dapat dipastikan besoknya tanggal1 atau tidak ada istikmal. Pada rentang ketinggian 0,9 – 7,4 derajat masih ada kemungkinan istikmal atau tidak, tetapi dengan ketinggian 3 derajat (lihat sebaran titik merah umumnya di atas 3 derajat) umumnya berpeluang besoknya tanggal 1 atau memasuki awal bulan.

 

Usulan Kriteria Penentuan Awal Bulan Hijriyah

Berdasarkan analisis tersebut di atas, disimpulkan bahwa kriteria “2-3-8” perlu diubah dengan kriteria baru. Maka diusulkan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) dengan dua parameter:

elongasi bulan minimal 6,4 derajat dan tinggi bulan minimal 3 derajat.

 

Masuknya awal bulan bisa ditentukan dengan menggunakan garis tanggal dengan kriteria tersebut atau menggunakan posisi uji dengan markaz Pelabuhan Ratu, Banda Aceh, dan Mekkah. Markaz Mekkah dihisab untuk memprakirakan potensi perbedaan hari Arafah dan Idul Adha.

Referensi

Caldwell, JAR and Laney, CD 2001, “First Visibility of the Lunar crescent”, African Skies, No. 5, p. 15-25.

Ilyas, M. 1988, “Limiting Altitude Separation in the New Moon’s First Visibility Criterion”, Astron. Astrophys. Vol. 206, p. 133 – 135.

Odeh, MSH, 2006, “New Criterion for Lunar Crescent Visibility”, Experimental Astronomy, Vol. 18, p. 39 – 64.

15 Tanggapan

  1. Jadi “umur 8 jam” sudah tidak diperlukan lagi sebagai kriteria ya Prof.

    semoga seluruh ormas dan Pemerintah bisa bersatu di kemudian hari.

    Trima kasih Prof atas penjelasannya

  2. […] Perbedaan ini terutama terbagi dalam dua kelompok besar organisasi kemasyarakatan (ormas) muslim di Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) dengan metode Imkanur Ru’yah dan Muhammadiyah dengan metode Hisab Wujudul Hilal. Selain perbedaan dalam hal metode, standarisasi mengenai batasan hilal juga menjadi perdebatan yang tidak berujung. Jika ormas Persis menggunakan standar 4◦ ketinggian hilal sebagai penanda masuknya bulan Ramadhan, maka ormas NU cukup dengan hilal sudah setinggi 2◦ maka sudah sah masuk bulan Ramadhan. (Selengkapnya disini) […]

  3. […] Khafid; Cecep Nurwendaya, MSi; Hendro Setyanto, MSi; Judhistira Aria Utama, Msi, telah menyusun Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah. Dari kompilasi kesaksian hilal internasional, disimpulkan […]

  4. […] Hijriyah untuk disampaikan kepada MUI sebelum Munas 2015. Tim pakar astronomi berhasil merumuskan Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomi Penentuan Awal Bulan Hijriyah. Naskah akademik itu disiapkan untuk dibahas dalam Munas MUI 2015, namun belum bisa diterima. Namun […]

  5. terima kasih Prof…sangat bermanfaat…🙏
    ketika “grey area” antara 0,9 sd 7,4 bagaimana caranya menyimpulkan: pada umumnya di atas 3 derajat?
    salam…

  6. […] pernah pula menjadi anggota tim pakar astronomi untuk menyusun  Naskah Akademik Usulan Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah yang diinisiasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama, dan organisasi massa […]

  7. […] kriteria tunggal. Namun setelah lebih dari sepuluh tahun juga belum terwujud. Pada 2015 dicoba diusulkan kriteria berbasis astronomi, namun usulan itu belum dapat diterima oleh Munas MUI di Surabaya. Namun konsep itu usulan kriteria […]

  8. […] Kriteria baru MABIMS, walau tidak dinyatakan, merujuk sumber asal “elongasi 6,4” dari makalah Odeh (2006), “New Criterion for Lunar Crescent Visibility” yang dipublikasikan di jurnal Experimental Astronomy,Volume 18, halaman 39 – 64. Nilai itu juga yang diusulkan pada Naskah Akademik Usulan Kriteria Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah. […]

  9. […] – Angka 6,4 derajat bisa dari data observasi di makalah Odeh, tetapi juga bisa dari data empirik sebaran elongasi geosentrik minimal agar ketinggian bulan positif. […]

  10. […] adanya kriteria baru yang lebih maju untuk menggantikan kriteria WH dan kriteria 2 derajat. Rumusan Tim Pakar Astronomi pada 2015 berhasil dirumuskan. Sayang sekali rumusan itu belum diterima oleh Munas MUI. Namun, alhamdulillah, […]

Tinggalkan komentar