Penerimaan Sarwono Award 2013 dari LIPI


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

sarwono-award-0

Alhamdulillah, LIPI menganugerahkan “Sarwono Award” 2013 kepada saya. Dalam sambutannya, Kepala LIPI menyebutkan empat alasan utamanya:

Sambutan KaLIPI-1

Sambutan KaLIPI-2

LIPI_sarwono Award

(Foto & Video: LIPI)

Atas anugerah Sarwono Prawirohardjo dari LIPI tersebut, saya menyampaikan sambutan sebagai berikut:

Sambutan Penerimaan Anugerah Sarwono

Assalamu’alaikum wr. wb.,

 

Bapak Menteri Negara Riset dan Teknologi, Bapak Kepala LIPI dan para pejabat LIPI, Bapak Kepala LAPAN, serta para undangan yang saya hormati.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Pemelihara Semesta Alam. Dengan rasa syukur dan bahagia, pertama kali saya mengucapkan Selamat Ulang Tahun bagi LIPI yang mencapai usia 46 tahun. Ulang tahun LIPI selalu ditandai dengan penyerahan penghargaan “Sarwono Prawirohardjo”, sebagai upaya pelestarian semangat keilmuan dan dedikasi tokoh pelopor pembentukan LIPI dalam membangun kelembagaan ilmu pengetahuan yang kokoh. LIPI kini telah menjadi contoh lembaga penelitian yang tangguh di Indonesia dan menjadi lembaga pembina peneliti Indonesia.

Ketika pertama kali saya dikontak LIPI bahwa saya ditetapkan sebagai penerima penghargaan “Sarwono” (Sarwono Award) 2013, terus terang saya tak percaya dan ketika ditelepon Kepala LIPI saya menjadi grogi menjawabnya. Saya menyadari kiprah saya dalam pengembangan ilmu pengetahuan belum seberapa. Saya hanyalah peneliti yang menjadikan astronomi sebagai bagian dari hobby, sehingga meneliti bukanlah beban tetapi tantangan yang menyenangkan. Ketika harus memilih antara jabatan struktural atau jabatan fungsional peneliti, saya rela mundur dari jabatan struktural Kepala Bidang untuk mengejar karir peneliti. Hobby saya membaca dan menulis sangat cocok dengan hobby saya meneliti. Saya senang berbagi ilmu dengan menulis karya ilmiah popular di media massa yang saya dokumentasikan dan kembangkan di blog saya. Ya, saya merasa tidak ada yang istimewa dengan posisi saya sebagai peneliti, maka wajar saya menjadi grogi menerima penghargaan Sarwono.

            Minat saya pada astronomi bermula dari keingintahuan dan idealisme menjawab keingintahuan itu. Sejak SMP memang saya bercita-cita menjadi peneliti, karena saya senang berlama-lama memperhatikan pertumbuhan tanaman dan fenomena alam lainnya. Pilihan jatuh pada astronomi ketika tertantang dengan mencari tahu kehidupan di luar bumi yang pada tahun 1970-an dan awal 1980-an marak cerita soal UFO (Unidentfied Flying Objects atau piring terbang). Saat kelas I SMA itulah saya membaca banyak buku astronomi untuk menuliskan “UFO: Bagaimana Menurut Agama” yang akhirnya terbit di majalah ilmiah popular “Scientiae” pada 1979. Sedikit demi sedikit keingintahuan itu terjawab ketika saya diterima di Astronomi ITB dalam seleksi Proyek Perintis II yang tanpa test. Setiap keingintahuan selalu ingin saya bagikan dalam bentuk tulisan di Koran, dimulai tulisan tentang gerhana matahari 1983 dan masalah penentuan kalender Islam. Saya memang menjadikan sains dan Islam sebagai bagian integral dalam kehidupan, sehingga saya banyak menuliskan artikel sains astronomi dan keislaman.

            Bidang penelitian saya sebenarnya adalah struktur besar alam semesta, struktur galaksi, pembentukan bintang, cuaca antariksa terkait dengan aktivitas matahari, dan hubungan matahari bumi (khususnya terkait dengan iklim). Tetapi saya selalu membuat versi tulisan populernya untuk difahami oleh orang awam. Lebih dari 100 artikel ilmiah popular sudah saya tuliskan di berbagai koran sebagai bagian dari popularisasi astronomi. Saya selalu menikmati berbagi ilmu dalam bahasa awam. Saya berprinsip, sebagai peneliti kita harus bisa berkomunikasi dengan publik dengan memberikan informasi yang “mencerdaskan, menjelaskan, dan mengingatkan”. “Mencerdaskan” bermakna memberikan beragam informasi baru yang menambah wawasan masyarakat, khususnya generasi muda, misalnya tentang upaya pencarian kehidupan di planet Mars dan satelit Eropa yang mengitari planet Jupiter. “Menjelaskan” bermakna memberikan informasi yang menjadi keingintahuan publik, misalnya badai matahari. “Mengingatkan” bermakna memberikan informasi prediktif berdasarkan ilmu akan kejadian yang segera akan terjadi, misalnya tentang gerhana dan potensi perbedaan hari raya. Sebagian besar tulisan itu dan tulisan terbaru kini saya masukan dalam blog saya “Dokumentasi T. Djamaluddin: Berbagi Ilmu untuk Pencerahan dan Inspirasi” (http:/tdjamaluddin.wordpress.com).

            Sejak tahun 1980-an saat pertama kali belajar astronomi, saya selalu berfikir untuk mencarikan solusi penyatuan hari raya, Idul Ftri dan Idul Adha, yang kerap berbeda. Saat kuliah di Kyoto Jepang, saya pun tak jemu menuliskan gagasan penyatuan ummat dengan memanfaatkan astronomi. Prinsip “mencerdaskan, menjelaskan, dan mengingatkan” selalu saya gunakan agar masyarakat faham akar masalah perbedaan hari raya yang secara astronomi sebenarnya sangat sederhana.  Dikhotomi hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) yang sering menjadi sebab perbedaan hari raya dengan astronomi mudah diselesaikan. Astronomi memandang hisab dan rukyat setara. Ada titik temu antara pengamal hisab dan pengamal rukyat, yaitu “hisab dengan kriteria rukyat”. Dalam astronomi itu lazim dikenal sebagai kriteria visibilitas hilal yang digunakan dalam hisab, namun hasilnya akan kompatibel dengan hasil rukyat.

            Melalui forum tahunan “Temu Kerja Hisab Rukyat” yang dibentuk Kementerian Agama, upaya penyatuan itu terus dilakukan. Saya selalu menyuarakan bahwa astronomi bisa menjadi solusi penyatuan ummat dengan mendorong untuk menyamakan kriteria hisab rukyat. Melalui diskusi dalam Temu Kerja (dan forum terkait lainnya) dan tulisan-tulisan di koran, saya tak jemu untuk membangun pemahaman masyarakat soal hisab dan rukyat, pemahaman astronomi yang menyetarakan keduanya. Saya pernah diundang NU, Muhammadiyah, dan PERSIS untuk menjelaskan aspek astronomi hisab dan rukyat. Langsung atau tidak langsung, saya (bersama komunitas astronomi) berupaya memberi warna baru berbasis astronomi pada praktek hisab dan rukyat pada ormas-ormas Islam.

            Bukan hal yang mudah mengubah pemahamanan yang pada sebagian kelompok seolah sudah menjadi “default” pada metode yang mereka gunakan. Ketika Idul Fitri berpotensi berbeda lagi pada 2007, saya dipanggil Menteri Agama (Pak Maftuh Basuni) untuk memberi masukan bagi Wapres Jusuf Kalla yang akan mempertemukan pimpinan NU dan Muhammadiyah. Saya katakan titik temunya adalah penyamaan kriteria hisab-rukyat. Di kalangan pelaksana hisab rukyat, di Lajnah Falakiyah NU, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, dan Dewan Hisab Rukyat Persis, makna “kriteria hisab rukyat” sudah difahami. Kriteria hisab rukyat adalah parameterisasi fenomena yang dijadikan dasar syar’i (hukum ibadah), seperti halnya kita sudah sepakat dengan kriteria jadwal shalat. Namun pemahaman tim teknis, belum tentu difahami oleh struktur organisasi lainnya. Itulah yang menjadi faktor resistensi organisasi.

            Lebih dari 20 tahun upaya penyamaan pemahaman astronomis saya lakukan melalui tulisan dan diskusi dalam forum terbatas pakar hisab rukyat. Proses perubahan internal (saya tidak mengklaimnya sebagai dampak upaya tersebut) telah mengubah cara pandang NU dan Persis. Namun Muhammadiyah tetap resisten dengan kriteria wujudul hilalnya, walau pun pada Munas Tarjih 2003 saya diundang khusus untuk mengkritisinya. Menjelang Ramadhan 1432/2011 yang Idul Fitrinya berpotensi berbeda, sekali lagi saya berupaya mendekati salah seorang Ketua Pimpinan Pusat dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk bersama-sama berupaya mencari titik temu. Sayang resistensi sangat kuat dan beralasan itulah keputusan organisasi yang tidak bisa diubah lagi. Hambatan organisasi merupakan kendala utama sehingga argumentasi ilmiah astronomis untuk mencari titik temu seolah berhadapan dengan tembok sangat tebal.

            Untuk mendobrak kejumudan (resistensi) organisasi, saya mohon izin pada Ketua PP Muhammadiyah yang saya hubungi itu untuk membuka diskusi publik melalui tulisan terbuka di blog saya. Saya mengkritisi kriteria wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah, seperti dulu pada 2003 saya diminta mengkritisinya dalam Munas Tarjih. Kriteria wujudul hilal sama sekali tidak dikenal dalam astronomi modern, itu kriteria usang (obsolete) yang sudah lama ditinggalkan. Pilihan sulit harus saya ambil: membiarkan perbedaan terus terjadi, padahal secara astronomi mudah diselesaikan atau mengkritisi kriteria usang itu untuk membangun kesadaran publik. Saya ambil pilihan kedua dengan segala risikonya. Saya menyadari, kemarahan akan muncul karena kritik terhadap kriteria wujudul hilal bisa disalahartikan saya melecehkan  ormas besar Muhammadiah. Saya sangat menghargai Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang besar dan merupakan aset bangsa. Tetapi pilihan itu terpaksa saya ambil untuk membuka diskusi publik, setelah lebih dari 20 tahun diskusi terbatas berbenturan dengan birokrasi organisasi yang cenderung resisten.

            Dari lubuk hati terdalam, sungguh tidak ada maksud saya untuk membangun superioritas astronomi, karena ilmu semestinya membangun kesetaraan dalam harmoni kehidupan. Saya tetap meyakini, dengan pemahaman yang baik, astronomi bisa menjadi solusi penyatuan ummat, walau pada awalnya disalahfahami. Dalam aspek yang lebih luas, astronomi bisa menjadi pelita penuntun kemajuan sains yang bagi sebagian generasi muda dianggap rumit. Astronomi memberi tantangan nyata dengan keindahan fenomena langit yang hanya bisa dinikmati dengan perangkat sains. Cahaya yang dipancarkan benda-benda langit adalah bahasa universal. Kita bisa menikmati cerita galaksi yang menjauh, black hole yang superpadat, matahari yang meletup, atau bulan yang menampakkan hilal yang redup dengan interpreter sains. Terinspirasi semangat Bapak pendiri LIPI, Sarwono Prawirohardjo, saya terdorong untuk terus menjadikan ilmu pengetahuan hidup dan berkembang di masyarakat, menyatu dalam kehidupan, serta menjadikannya solusi dalam meningkatkan kualitas  berbangsa dan bernegara.

 

Wassalamu’alaikum wr. wb.,

 

T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Beberapa reportase di media lain:

Situs LIPI: LIPI Beri Penghargaan untuk Tokoh Astronomi

Situs LIPI: Astronomi sebagai Salah Satu Solusi Penyatuan Umat

http://langitselatan.com/2013/08/28/penghargaan-sarwono-prawirohardjo-xii-kepada-prof-dr-thomas-djamaluddin/

http://news.detik.com/read/2013/08/23/183815/2339133/608/prof-thomas-djamaluddin-mencari-ufo-dalam-sains-dan-agama

http://www.antaranews.com/berita/391959/peneliti-lapan-terima-lipi-sarwono-award-2013

http://sains.kompas.com/read/2013/08/23/1354043/Thomas.Djamaluddin.Raih.LIPI.Award

http://www.tempo.co/read/news/2013/08/23/061506791/Peneliti-LAPAN-Raih-Sarwono-Award-LIPI-2013

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/20/3/176030/Penghargaan-Sarwono-Award-untuk-Thomas-Djamaluddin

http://www.beritasatu.com/sains/133597-ilmuwan-lapan-raih-anugerah-sarwono-award-2013.html

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/08/mengakrabkan-astronomi-pada-masyarakat

http://www.jurnas.com/news/104123/Thomas_Djamaluddin_Dianugerahi_Sarwono_Award_/1/Sosial_Budaya/Pendidikan

Satu Tanggapan

  1. […] Dalam sambutannya setelah menerima Anugerah Sarwono Prawirohardjo XII, Prof. Thomas menceritakan tentang bagaimana groginya beliau saat pertama kali mendapat telpon dari Kepala LIPI tentang ditetapkannya beliau sebagai penerima penghargaan Sarwono. Beliau grogi karena merasa tidak memiliki keistimewaan sebagai seorang peneliti, yang dalam petikan pidatonya, hanyalah seorang peneliti yang menjadikan astronomi sebagai bagian dari hobi sehingga meneliti bukanlah beban, tetapi tantangan yang menyenangkan. […]

Tinggalkan komentar