Sidang Isbat: Upaya Pemerintah Memberi Kepastian di Tengah Keragaman


T. Djamaluddin

Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI

Kalender di mana pun di dunia, yang mengatur kepentingan publik, selalu dikeluarkan oleh otoritas negara. Termasuk di dalamnya ketentuan terkait dengan hari-hari libur keagamaan. Khusus untuk penetapan hari-hari besar keagamaan Islam yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, dalil-dalil syar’i juga mengindikasikan perlunya isbat (penetapan) dari otoritas negara. Dulu, Rasul bertindak sekaligus sebagai kepala negara yang menetapkan (mengisbatkan) awal bulan berdasarkan kesaksian orang yang mengaku melihat hilal.

Saat ini di hampir semua negara awal Ramadhan dan hari raya ditetapkan oleh negara, kecuali di negara-negara non-Islam (Muslim minoritas) yang penetapannya dilakukan oleh organisasi keislaman, baik lokal maupun nasional. Di Indonesia, ketentuan untuk penetapan hari libur keagamaan sudah ditetapkan oleh pemerintah, tetapi dalam implementasi pelaksanaan ibadah, khususnya Ramadhan dan hari raya, ormas-ormas Islam mempunyai ketetapan masing-masing yang kadang-kadang berbeda-beda. Apakah keragaman terkait dengan ibadah yang bersifat masal dan berdampak sosial seperti itu dibiarkan tanpa pengaturan?

Setelah Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) RI dibentuk pada 2 Januari 1946, salah satu tugas Kementerian Agama adalah penetapan hari libur nasional dan penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan peribadatan. Hal itu termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um, 9/Um dan beberapa Keputusan Presiden terkait lainnya, antara lain Kepres Nomor 25/1967, 148/1968, dan 10/1967 (Asadurrahman, Disertasi “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat”, 2011).

Sidang isbat (penetapan) awal Ramadhan dan Syawal yang dipimpin Meteri Agama secara resmi mulai dilakukan pada 1962 yang hampir semuanya terdokumentasi dengan baik dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama RI. Pada sidang isbat tersebut hasil hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal awal bulan dikaji bersama untuk mendapatkan satu keputusan yang bersifat nasional. Penetapan diperlukan mengingat di masyarakat banyak beredar hasil hisab dan banyak pula pelaksana rukyat. Sidang isbat tidak membahas secara rinci substansi hisab dan rukyat, tetapi lebih bersifat menampung pendapat untuk menjadi bahan pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil keputusan. Diskusi mendalam soal hasil hisab dan kemungkinan hasil rukyat umumnya dilakukan dalam Temu Kerja Badan Hisab Rukyat (BHR) dan pertemuan/lokakarya yang bersifat teknis hisab rukyat.

Dasar hukum sidang isbat lebih kuat lagi setelah dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 3/2006 sebagai pengganti UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 52A menyatakan, “Pengadilan Agama memberikan isbat kesaksian kesaksian rukyat dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Pasal ini diberikan penjelasan yang merupakan satu kesatuan dasar hukum dengan rincian sebagai berikut: “Selama ini pengadilan Agama diminta oleh Menetri Agama untuk memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1(satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.”

Pasal 52A UU Nomor 3/2006 menjadi dasar hukum pelaksanaan sidang isbat yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI. Masyarakat (khususnya yang merasa kecewa dengan hasil sidang isbat) kembali mempertanyakan urgensinya sidang isbat. Bahkan ada yang berfikir pendek dengan menyatakan bahwa sidang isbat tidak ada gunanya dan hanya memboroskan anggaran negara.

Sidang isbat sangat diperlukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dari sekian banyak pilihan yang ditawarkan oleh ormas-ormas Islam dengan beragam pendapatnya soal penetapan awal Ramadhan dan hari raya, terutama pada saat terjadi perbedaan pendapat. Apalagi dengan keterbukaan informasi, setiap perbedaan segera akan muncul dalam pemberitaan media massa. Kementerian Agama berdasarkan peraturan perundang-undangan mempunyai kewenangan “pembinaan kehidupan dan kerukunan umat beragama” (a.l. Kepres 102/2001). Tentunya untuk melaksanakan kewenangan tersebut segala upaya dilakukan. Selain penyelenggaraan sidang isbat, pertemuan-pertemuan terkait juga dilakukan untuk mempersatukan ummat. Temu Kerja Badan Hisab Rukyat, diklat hisab rukyat, dan lokakarya/seminar hisab rukyat untuk mencari upaya penyatuan sistem dan metode, termasuk kriteria yang digunakan, secara rutin dilaksanakan Kementerian Agama RI.

Harus diakui, sidang isbat dalam kondisi posisi hilal yang rendah selalu berlangsung hangat dengan pro-kontranya. Tentu saja pasti ada saja pihak yang tidak puas dengan hasil sidang isbat. Tetapi bagaimana pun masyarakat akhirnya mempunyai pedoman resmi dari Pemerintah yang bisa jadi rujukan yang menentramkan di tengah perbedaan yang terjadi. Sidang isbat adalah upaya Pemerintah untuk memberi kepastian kepada ummat dan sedapat mungkin mengupayakan terjalinnya persatuan dengan pemahaman bersama akan sumber perbedaan yang harus diselesaikan.

Berikut empat contoh sidang isbat yang mengindikasikan dinamisnya sidang isbat yang sulit untuk dituding mengutamakan kepentingan kelompok tertentu karena sidang itu dihadiri oleh semua perwakilan ormas Islam dan pakar hisab rukyat. Sidang isbat benar-benar berupaya mengakomodasi pemikiran yang berkembang dengan mempertimbangkan kemaslahatan ummat secara keseluruhan.

Sidang isbat untuk penetapan awal Ramadhan 1407/1987 dengan didukung Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 pertama kali membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat (mungkin dirukyat), walau hilal tidak terlihat. Saat itu NU keberatan dengan hasil sidang isbat karena rukyat tidak berhasil. Mereka penghendaki istikmal (menggenapkan bulan Sya’ban) sehingga mengusulkan awal Ramadhan jatuh pada 30 April 1987. Namun sidang isbat akhirnya memutuskan awal Ramadhan jatuh pada 29 April 1987, berdasarkan hasil hisab imkan rukyat.

Sidang isbat untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1413/1993 pertama kali menolak kesaksian rukyat yang meragukan dan tidak sesuai dengan hisab yang mu’tabar (terpercaya). Waktu itu bulan sangat rendah, kurang dari 2,5 derajat. Hampir semua perukyat melaporkan tidak melihat hilal. Kesaksian dari Cakung ditolak karena perhitungan ketinggian yang mereka sebutkan hampir 3 derajat meragukan dan bertentangan dengan hisab yang mu’tabar.

Sidang isbat untuk penetapan Idul Fitri 1 Syawal 1418/1998 pertama kali menolak hasil hisab berdasarkan wujudul hilal dan menolak kesaksian hilal yang posisinya lebih rendah dari kriteria imkan rukyat. Hal itu didasarkan pada Qaul Ulama dalam Kitab Al-Khulasah al Wafiyyah (salah satu kitab pegangan hisab para ahli hisab) menyatakan “Syar’i menetapkan awal bulan dari saat matahari terbenam di mana hilal terlihat (imkan rukyat). Oleh karena itu, penetapan awal bulan berdasarkan wujudnya di atas ufuq padahal tidak dapat dilihat atau sulit dilihat dianggap tidak kuat.”

Sidang isbat penetapan Idul Fitri 1432/2011 pertama kali diliput secara langsung oleh media massa dalam seluruh prosesnya. Begitulah dinamisnya sidang isbat, tanpa rekayasa. Semua hasil hisab dipaparkan seperti biasanya. Semua hasil rukyat pun disampaikan seperti lazimnya. Para peserta sidang yang berasal dari berbagai perwakilan ormas Islam dan pakar hisab rukyat diberi kesempatan untuk menanggapi hasil hisab dan hasil rukyat secara terbuka. Saat itulah terlihat secara kasat mata oleh publik, kelompok-kelompok yang selama ini sering berbeda dengan kebanyakan ormas Islam lainnya. Hisab Wujudul Hilal hanya disajikan oleh Muhammdiyah, sedangkan ormas lain sudah menggunakan hisab imkan rukyat yang sudah disepakati sejak 1998. Kelompok perukyat Cakung dan Jepara ditolak kesaksiannya karena hasil rukyatnya diragukan karena terpengaruh hasil hisab yang tidak mu’tabar (terpercaya).

Dalam alam demokrasi dan asas musyawarah, keputusan suatu sidang isbat mestinya bersifat mengikat, walau belum tentu memuaskan semua pihak. Memang merupakan hak warga negara untuk berbeda dalam melaksanakan keyakinan beragama seperti yang dijamin Undang-undang Dasar Negara RI pasal 29. Tetapi ada kewajiban yang jauh lebih penting menurut perintah Allah untuk menjaga persatuan ummat (QS 3:103). Sidang isbat sangat diperlukan untuk mempersatukan ummat dan memberi kepastian ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ormas Islam.

135 Tanggapan

  1. Tentang penentuan awal bulan Islam baik melalui rukyat vs hisab, saya mungkin menganalogikan dg masuknya bola ke gawang dlm sepakbola: berdasar penglihatan wasit & hakim garis vs teknologi sensor gawang yg canggih.

    • anda benar, tp syg sekali sensor unt garis gawang blm ada. muda2an sensornya akan dirangcang yg paling canggih..kalender hijriyah indonesia mmg hrs memberi kepastian menunggu hasil rukyat 2 3 8. kalau ada org yg tanya kpn memulai puasa maka kt akan menjawab tunggu pengumuman pemerintah tanggal 29 sya’ban dan jg sebaliknya kapan berhari raya idul fitri kt akan menjawab tunggu pengumuman pemerintah tanggal 29 ramdhan. mengapa demikian?….. krn kalender hijriyah tdk bs dibuat konsisten dgn alasan terkait bulan2 ibadah

      • Dalam urusan Bola FIFA sedang mengambil keputusan menggunakan sistem sensor gol. Sidang isbat menentukan awal ramadhan,
        Dalam hal astronomi, bantuan komputer menjadi hal yg jamak. Bahkan misal untuk gerhana matahari atau bulan di suatu tempat beberapa tahun mendatang, tingkat kesalahannya hanya beberapa detik. Sains seringkali menyelesaikan banyak masalah.

      • bisa saudaraku mata qalbu….tapi bukan dengan orang yang punya ketidakstabilan emosi seperti saudara…..ingat ayat “””
        walaa tafarakuu””

      • pake komputer dan teknologi garis gawang = bid’ah bro… teknologi barat… haram….

    • Ada satu lagi yaitu kriteria..kalau kriterianya berbeda maka dengan teknologi yang secanggih apapun hasilnya pasti akan berbeda…

      • Apakah kriteria harus statis & mandek? Kita tahu bahwa ralat atau ketidak pastian dalam perhitungan astronomi sudah sangat-sangat kecil.

      • Kriteria bukanlah sesuatu yang statis, tetapi mengikuti perkembangan penelitian astronomi dan kemampuan para ahli hisab-rukyat yang akan menggunakan kriteria tersebut. Oleh karenanya, kriteria itu harus senantiasa dievaluasi ulang 5 atau 10 tahun sekali oleh BHR (Badan Hisab Rukyat) Kementerian Agama. Sebagai contoh, kriteria “2-3-8” yang disepakati pada 1998 dievaluasi lagi pada 2011. Diusulkan kriteri astronomi baru. Tetapi karena beberapa pertimbangan implementasinya, maka sementara kriteria “2-3-8” tetap dipertahankan. Diharapkan nanti ada pengkajian lagi agar implementasi kriteria astronomis bisa disepakati.

      • Untuk itulah maka kriteria itu sudah selayaknya diperoleh melalui kesepatakan bersama. Masing-masing telah melakukan ijtihad atas dasar syar’i, maka dengan azas syar’i itulah selayaknya kita mengukuhkan diri kepada persatuan. Terkecuali bila ijtihad itu bukan berdasar syar’i maka atas dasar syar’i jugalah kita wajib menolaknnya.

        Demikianlah seharusnya wujud kebersatuan umat islam, akan mewujud bila mau membeningkan nafs-nya masing-masing secara syar’iyah.

        Saya kembalikan ke ibarat penetapan gol FIFA dengan komputer. Meskipun dengan alat secanggih apa pun, tetap diperlukan ‘TITIK TEMU KESEPAKATAN’ tentang apa yang disebut GOL tersebut.

        Sebagai contoh, bagaimanakah kriteria gol itu.
        1. Apakah lingkaran luar bola sudah melewati garis gawang.
        2. Apakah ketika titik pusat bola tepat di tengah garis gawang?
        3. Apakah ketika titik pusat bola sudah melewati garis gawang?

        Pada posisi-posisi kritis itulah untuk mendapatkan ketetapan secara hukum, diperlukan kesepakatan.

        Demikian juga tentang awal masuknya bulan baru hiijriyah.

        1. Apakah dimulai ketika New Moon, yaitu ketika matahari-bulan-bumi berada pada satu garis bujur yang sama (Ijtimak), meskipun disaat matahari tenggelam bulan tidak bisa dilihat baik secara mata telanjang maupun dengan teropong? Misalnya ijtimak terjadi pada jam 17.30?
        [Hal inipun masih timbul masalah : jam 17.30 waktu Indonesia mana? Bila digunakan standar Waktu Indonesia Barat, maka wilayah Waktu Indonesia Timur (Papua) Ijtimak terjadi setelah masuk maghrib. Dengan demikian di Papua, esok harinya belum masuk romadhon]

        2. Apakah dimulai ketika tinggi bulan 2 derajat dari ufuk barat di saat ujung akhir piringan matahari tenggelam, dengan alasan bahwa pada ketinggian bulan 2 derajat-lah “umumnya” bulan sudah terlihat dengan mata telanjang dalam kondisi cuaca cerah?

        3. Apakah dimulai dengan hanya semata-mata mengandalkan mata telanjang? Artinya tidak perlu membatasi pada 2 derajat, tapi cukup dengan kesaksian pengamat. Boleh jadi ada yang sanggup mengamati bulan dibawah 2 derajat?

    • TApi pak kebenaran hanyalah SATU.
      dan ketika kebenaran terungkap. Saat itulah orang baru menyadari adanya kekurangannya.
      yang sulit ketika wasit dan hakim garis mulai memihak salah satu pemain. sehingga memasang kriteria tertentu hanya untuk memenangkan salah satu pemain. padahal kriteria tersebut tidak punya dalil…..

      • Benar pak, kebenaran hanyalah SATU. Dan yang SATU itu pastilah benar secara Syar’i.

        Secara Syar’i Nabi menuntunkan awal dan akhir bulan qomariyah itu dengan melihat umur bulan (hilal).

        Sedangkan batas bulan qomariyah melalui NEWMOON atau Wujudul Hilal, itu tidak ada landasan syar’i-nya.

      • Kalau bicara masalah Syar’i,
        Menolak saksi yang sudah disumpah pun akan aneh dilihat dari kacamata syar’i…

        Kriteria Wujudul Hilal itu adalah pengembangan dari Kemampuan Umat Islam dalam bidang Iptek…

        Dahulu Nabi memakai metoda Rukyat untuk memastikan penanggalan Hijiriyah telah masuk bulan baru, adalah karena Nabi sendiri mengatakan Umat Islam pada waktu belum bisa Menghisab…

        Nah, ketika sekarang Ilmu Hisab, malah Hitungannya juga insyaAlloh sudah terbukti akurat, maka Penetapan Awal Bulan itu cukup dengan MENGETAHUI POSISI HILAL, TIDAK PERLU MELIHAT HILAL…

        Ketika Rukyat dipandang sebagai hanyalah salah satu Metoda yang ada pada waktu zaman Nabi (akibat dari keterbatasan iptek umat Islam pada waktu itu), maka Keterlihatan Hilal bukanlah Syarat Masuk Bulan Baru…
        Terbukti ketika tgl 29 tidak terlihat hilal, tgl 30 nya tidak lagi disuruh merukyat hilal…

        Rukyat hanya dipandang sebagai salah satu cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah ada di atas ufuk pada waktu magrib…

    • Seringkali saya tulis di fesbuk, sejak dua tahun lalu, bahwa sidang Isbat sebagai upaya pembodohan, bisa dibilang Bid’ah Dhalalah, karena memasukkannya sebagai bagian dari ibadah puasa ramadhan, yang tidak ada contoh dari Rasulullah.
      Di samping itu juga, bahwa hadits-hadts tentang rukyat seperti yang dikemukakan Adi, sudah wajib dilemahkan, arena salah satu syarat hadits shahih adalah rasional. Rukyat, tidak rasional, apalagi jika dilakuan pada zaman “buta” searang ini.
      Hadts-hadits tentang rukyat, turun pada awal diwajibkannya berpuasa, di saat ayat-ayat yang berhubungan dengan hisab belum diturunkan. Karenanya, hadits tentang rukyat sebenarnya dari segi matan, sangat lemah, atau sudah layak dihapus.

      • Rasulullah mengitsbatkan kesaksian hilal. Badui yang melihat hila tidak diumumkan sendiri, tetapi diistbatkan oleh Rasul. Saat ini Pemerintah yang mengitsbatkan. Karena di Indonesia banyak Ormas, Pemerintah mengadakan musyawarah sebelum mengitsbatkan.

      • Menurut saya, Pemerintahan Rasululloh Muhammad saw adalah Pemerintahan Global seluruh muka bumi, Bukan Pemerintahan Lokal per Negara seperti sekarang…

        Sehingga Penetapan Kalender Hijiriyah yang seharusnya ditaati bersama-sama adalah Penetapan yang bersifat Global… Bukan yang bersifat Lokal seperti sekarang…

    • Sebenarnya teknologi sensor gawang sdh ada dan bs diterapkan spt halx di tenis; namun beberapa petinggi FIFA, spt Michel Platini blum mau menggunakanx! Btw, utk mlihat hilal scr hakiki teknologi astronominya sdh ada; jadi jangan heran jika Muhammadiyah tetap ngotot make konsep Wujudul Hilal!

  2. Reblogged this on Naneyan's Blog and commented:
    Sidang Isbat: Upaya Pemerintah Memberi Kepastian di Tengah Keragaman

  3. Persatuan tidak harus diwujudkan dalam bentuk melaksanakan hari raya bersama sama. Di keluarga saya kadang tidak berbarengan dalam melaksanakan puasa/ hari raya, tapi hubungan kami tetap baik2 saja. Tetangga saya yang berbarengan puasa/ hari raya tapi justru tidak harmonis. Yang penting adalah jiwa dan hati untuk menerima perbedaan yang ada. Jadi tolong pak prof jangan memperkeruh keadaan… agar tidak dipanggil pak prov….Terima kasih

    • Dalam lingkup kecil persatuan seperti itu bisa saja terjadi, bahkan dalam satu keluarga beda agama pun banyak. Tetapi persatuan ummat harus dilihat dalam sekala yang lebih luas. Perbedaan hari raya punya dampak sosial dan syiar. Perbedaan hari raya selalu menimbulkan kebingungan di masyarakat dan tentu saja ketidaknyamanan. Dalam beberapa kasus, terjadi juga semacam perebutan lahan lapangan untuk shalat ied dan tentu saja di dalamnya termasuk berebut pengaruh. Hal yang paling penting adalah dampak syiar. Perbedaan hari raya selalu dimaknai oleh ummat lain bahwa ummat Islam belum bisa bersatu.

      • pk thomas yth,
        mengapa dilakukan rukyat lagi kalau sdh ada data rukyat jangka panjang katakanlah datanya sejak sidang itsbat pertama kali secara resmi thn 1962-2011….sdh seumur pk thomas hahahah 49 thn.

      • Pak thomas…anda lebay deh…. selalu memaksakan rukyat dengan mengatasnamakan persatuan.

      • Mata Qolbu
        Data rukyat jangka panjang yang sudah diperoleh itu pada awalnya merupakan penggalan2 data setiap tahun yang kemudian dikumpulkan.

        Dalam statistik kita pahami bahwa semakin banyak pengambilan data, maka akan semakin mendekati kebenaran yang dituju. Dengan demikian, pengambilan data rukyat pada setiap tahun, adalah juga untuk melengkapi secara terus menerus kebutuhan statistik pendekatan kepada kebenaran.

        Jangan apriori dengan pengumpulan data, kemudian menetapkan kebenaran hanya terhadap data yang telah tersedia. Sebab apriori demikian bukan suatu perilaku ilmiah.

    • jangan menghina dong bung budi…gak salah kalo punya budi pekerti yang lebih santun…seperti namamu “budi”

      • Sdr muchson data rukyat jangka panjang itu ketinggian bln diats 2 derajat spt spt yg dipersyaratkan slm ini kan tdk prlu ditunggu hasil rukyat lg unt menentukan kpn berpuasa…kalau ada yg mengaku mihat dibwh 2derajat pst akan ditolak spt thn lalu. Jd pst ada jalan tengahnya.

  4. pak thomas,kalo hari lebarannya beda malah tidak perlu rebutan lahan buat sholat ied, kan tinggal gantian, tapi kalo harinya sama malah rebutan dong

  5. Sidang itsbat nampaknya hanya seperti masalah DPR/MPR, mana yang banyak menang dan dianggap benar, tidak pernah menggali alasan-alasan logis dari pihak yang berbeda.
    Kalau begini terus maka sampai malaikat MIKAIL meniup terompet ummat Islam tidak bisa bersama menentukan tanggal 1 qomariyah tidak hanya untuk bulan Ramadlan.

    • Sidang itsbat hanya finalisasi dengan memasukkan data rukyat. Prosesnya sudah dimulai dengan membahas alasan-alasan logis semua pihak dalam forum Temu Kerja BHR dan Seminar/Lokakarya BHR. Pada forum itu semua perwakilan ormas juga mengemukakan pendapat secara lebih leluasan karena waktunya lebih panjang. Problemnya, wakil ormas yang hadir dalam pembahasan teknis belum tentu hadir saat pembahasan hasil saat sidang isbat, sehingga seringkali pendapatnya seolah tidak tertampung.

    • itulah pk abd salam yg membuat kt heran…spt kata bpk sebelumnya lebih baik gunakan hisab saja. unt apa dilakukan rukyat lagi kan datanya sdh ada katakanlah dari thn 1962 smp thn 2011 (kt pk thomas data rukyat jangka panjang). kalau kt baca semua tulisan pk thomas kayaknya beliau takut meninggalkan pengamal rukyat yg mengikuti sunnah. imkan rukyat indonesiapun tdk jelas + sidang itsbat tujuannya spt judul tulisan pak thomas (Sidang Isbat: Upaya Pemerintah Memberi Kepastian di Tengah Keragaman). kesimpulan: BHR tdk tegas padahal kriteria sdh ada 2-3-8

    • out of topic:sebentar pak Abd. Salam, benarkah tugas malaikat Mikail meniup terompet (saat kiamat)? Setahu saya saat mengaji di TK dulu itu menjadi tugas Isrofil. Atau kita perlu pengumpulan suara juga untuk menentukan ini 😉

  6. mengapa finalisasi sidang itsbat itu selalu diadkan H-1? dan mengapa pemerintah tdk jauh2 hari langsung memutskan kpn memulai ramdlan dan kapan berlebaran. dan yg sangat mengherankan lagi unt apa dilakukan rukyat kalau tinggi bulan dibwh 2derjat bahkan masih dibwah ufuk….aduuuuuhhhhhhhh indonesiaku tercinta…kt bs menilai pemerintah msh blm tegas dlm hal ini

  7. Ass wr wb. Sudah menjadi kodrat ILAHI bhw penampakan hilal terjadi di jalur wilayah ILDL pd hr ke 29 bulan hijriyah berjalan. Jadi, rukyat di setiap negara hrs dilaksanakan pd hr ke 29 tsb utk memastikan awal bln hijriyah di negara ybs. Bila pd hr ke 29 sdh terlihat hilal berarti esok hrnya sdh memasuki bln hijriyah baru, sdgkan bila blm terlihat hilal berarti bln hijriyah berjalan hrs digenapkan menjadi 30hr. Krn itu, sidang Isbat dilksanakan pd H-1 yaitu hr ke 29 bln hijriyah berjalan. Wass

    • itulah yg membuat kalender tdk konsisten.. org indonesia di WIB tdk terlalu lama menunggu keputusan itsbat tp org indonesia di WIT dan WITA bagaimana besok berhari raya atau shalat tarawih hahahahaha

  8. Ass wr wb. Sejak saya kecil, libur Hari Raya Idul Fitri selalu 2hr krn kepastian tgl 1 Syawal (awal bln hijriyah) blm bisa ditetapkan jauh hr sebelumnya. Usaha utk memastikan awal bln hijriyah jauh hr sebelumnya adalah usaha yg MULIA, namun demikian krn keunikan penampakan hilal dijalur wilayah ILDL menjadi kendala dlm usaha tsb, maka jangan lantas mengambil jln pintas dg mengabaikan sebab kendala yg ada yaitu rukyatul hilal. Bersabar dan tawakallah dlm ketdkpastian tsb. Wass wr wb.

    • sayang sekali teknologi+data rukyat yg hampir 50 thn tdk dimanfaatkan. hahahahaha…..kriteria 2-3-8 sdh diamalkan tp ketika bln brd dibwh kriteria tersebut rukyat bahkan masih dibwh ufuk jg masih dilaksanakan rukyat. kita org indonesia memang tdk konsisten terhadap sesuatu. mhn difahami bkn mengambil jalan pintas tp memanfaatkan sarana yg ada, ILDL adalah salah satu usulan dari pakar astronom. pakai aja salah satu sarana hisab atau rukyat kalau di gabung akan kacau balau spt sekarang ini, imkan rukyat. mhn dibaca komentar pk abd.salam

  9. Pak, dalil apakah yang menentukan bahwa hilal harus 3 derajat?

    • Pak risa inilah yang selalu saya pertanyakan kenapa ada 2 atau 3 derajat.
      sampai sekarang penjelasannya hanya kesepakatan bukan quran atau hadist. sedangkan kita menganut jam 24.00 atau 00.00 itu (0 derajat) itu sudah masuk hari baru atau bulan baru

      kalau nabi zaman dulu belum bisa memastikan 0 derajat tersebut (hadis buhari mengenai keummian zaman nabi)
      Kita sekarang dengan adanya LAPAN ini mampu kok menentukan 0 derajat tersebut???

  10. Ass wr wb. Mengenai sdr2 kita di WITeng dan WIT, krn pemberlakuan matlak lokal mk diharapkan bersabar dan tawakal. Jika pemahaman global ttg kombinasi gerak matahari, bumi dan bulan sdh tersosialisasi, mk idealnya memang rukyat hanya dilaksanakan oleh negara2 yg berada di jalur wilayah ILDL saja dan yg lain tinggal menyesuaikan. Sdgkan mengenai teknologi dan data rukyat 50th, justru seharusnya diteliti dan dimanfaatkan oleh para ahli hisab agar kalender yg dihasilkan akurat sesuai rukyat. Wasswrwb

  11. org di indonesia WIT & WITA sdh sngat lama menunggu dan tawakkal hampir 50thn…tp realitanya ?????

  12. Kalo namanya kepastian itu, harusnya udah diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya. Kalo yang namanya ‘kepastian’ diumumkan pada malam hari sebelumnya itu namanya bukan kepastian.
    Itu dadakan.
    Negara Indonesia itu luas bung! Tidak semua wilayah dijangkau media informasi. Terlebih utk saudara kita diwilayah Papua. Mereka baru menyaksikan sidang isbat jam 21.00 malam.
    Sebagai astronomi, seharusnya ada tahu bahwa…. seluruh alam semesta beredar secara teratur pada porosnya. Dari situlah kita bisa mengetahui “JAM Sholat Abadi”, tanpa terlebih dahulu melihat posisi matahari.
    Mengapa anda masih tetap keukeh menggunakan metode hilal utk menentukan 1 Ramadhan/syawal ?

    • kembali ke ayat Al-Quran dan hadist saja pak…lebih aman…jadi tidak perlu menghujat….

  13. Ass wr wb. Alam semesta memang MISTERI yg penuh dg ketidakpastian, padahal kodrat ILAHI ttg segala isinya adalah PASTI. Krn itu, melalui Al Qur’an dan RasulNYA, Allah SWT mengisyaratkan kodrat alam semesta beserta isinya agar manusia bisa mengungkap misterinya utk menghapus ketidakpastian. Konsep heliocentris butuh wkt ratusan th utk menggantikan geocentris yg dipegang teguh oleh otoritas saat itu hingga penemunyapun hrs meninggal dipenjara. Jadi utk memastikan kodrat alam memang hrs tabah.Wass ww

  14. ‘Kepastian ditengah keberagaman’ sama dengan kalau sudah pasti tidak terlihat ya tidak usah di rukyat, hasil rukyatpun tidak akan di akui jika ada yang bisa melihat hilal seperti yang terjadi tahun lalu (Kelompok perukyat Cakung dan Jepara ditolak kesaksiannya karena hasil rukyatnya diragukan karena terpengaruh hasil hisab yang tidak mu’tabar (terpercaya). Jadi Sidang Isbat tidak perlu dilakukan pada 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan kalau perlu dimajukan waktunya jika secara Imkanur rukyat tidak terlihat.

    • Benar sekali. Org indonesia mmg tdk konsisten terhadap sesuatu msalah padahal yg membut kriterianya org indonesia sendiri

      • mata qolbu,,,hujatan anda mengikis dosa orang yang anda tuju..

  15. Ass wr wb. Para ahli hisab dan astronom boleh saja haqqulyaqin dg kalender hasil karyanya, namun bagi masyarakat awam, AWAL BULAN dlm kalender hijriyah adalah KEPASTIAN ILMIAH yg baru bisa diterima secara haqqulyaqin setelah ada buktinya yaitu dg RUKYATUL HILAL. Bagi pemeluk agama Islam, yg dpt diterima secara haqqulyaqin tanpa bukti hanyalah RUKUN IMAN yg merupakan KEPASTIAN ALLAH SWT, krn itu selama masyarakat masih awam astronomi maka masih perlu RUKYAT sbg ALAT KONTROL dan PEMBUKTIAN. Wassww

  16. masih saja debat hal ini.. sudah pada yakin ya puasanya bakal diterima Allah..? mending siapin hati buat ramadhan.. soal perbedaan sesuai keyakinan masing-masing saja… toh Allah gak seperti manusia yang pingin bener sendiri, Dia Maha Pengasih dan Penyayang.. Manusia saja yang berlebihan…

    • betul bro… agama bukan untuk diperdebatkan.. tapi perlu dikaji untuk mendekati kebenaran amal ibadah kita

  17. Observatorium Bosscha tidak penah membuat pernyataan tentang kepastian kapan bulan Ramadhan/Syawal dimulai. Sebagai tempat penelitian astronomi, Observatorium Bosscha hanya merilis data astronomi berikut kemungkinan dapat/tidaknya hilal terlihat. Selanjutnya, Observatorium Bosscha menyerahkan keputusan penentuan awal bulan Ramadhan/Syawal kepada pemerintah melalui Kementerian Agama.

    http://bosscha.itb.ac.id/en/news-articles/articles.html

  18. THOMAS MABUK … INI LHO ISI PASAL 52 UU NO 7/1989 (UUPA):
    Pasal 52
    (1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
    (2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
    ORANG ASTRONOMI BICARA UNDANG-UNDANG YA MABOK … HE-HE

    • Mbok ya komennya yg sopan. Ngatain org MABOK, trnyata justru anda yg MABOK.
      Hati2 klo komen, ribuan org baca tulisan anda.
      Knp sy katakan trnyta anda yg mabok ?
      Isi pasal yg anda tampilkan tu dah dirobah. Anda nampilin pasal 52A UUPA no.7 th 1989, ketinggalan mas udah dganti cöntennya dg UUPA No.3 th 2006.
      Di atas jg sdh djelaskan olh penulis blog. Makanya, Bacanya pake kacamata mas…
      Sory…

    • pencemaran nama baik nih

    • UU Peradilan Agama sudah dua kali diubah dan ditambah. Pertama dengan UU 3/2006, kedua dengan UU 50/2009.

  19. Betul masbro….Sidang itsbat tidak ada manfaatnya sama sekali, karena menurut perhitungan(hisab) posisi bulan kurang dari dua derajat diatas ufuk saat matahari tenggelam pd tgl 29 sya’ban, andaikata ada yg mengaku melihat hilal, seperti pengalaman sebelumnya kesaksiannya pasti ditolak. jadi dah jelas awal puasa Sabtu, 21 Juli 2012.

    • tapi muhammadiyah keukeh hari jumat…weleh-weleh…

    • sama ormas-ormas islam yang besar-besar itu ada manfaatnya juga gak ay?? bikin masyarakat bingung dan resah…

  20. “Matahari dan Bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman:5);

    “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan waktu, dan perhitungan (waktu)… “
    (QS. Yunus (10) ayat 5)

    “Sesungguhnya beliau SAW pernah memberitahukan tentang Ramadhan : Jangan memulai shoum hingga kalian melihat hilal, dan jangan iftar (mengakhiri ibadah shiyam) hingga kalian melihat hilal. Dan jika berkabut langit (hingga kalian tidak bisa melihatnya) maka hitunglah.” (H.R. Muslim)

    Jadi, perintahnya sudah sangat jelas, yaitu dengan perhitungan (Hisab) bukan pengamatan (Rukyat)

    Perintah Alquran dan Hadis sudah sangat jelas kok masih diperdebatkan, Astagfirullah…

    • Makasih ilmunya pak. dasar seperti ini yang perlu juga dibaca oleh saudara2 kita. jangan cuma mengandalkan hadist melihat bulan. padahal masih ada hadist lain dan bahkan ALQURAN yang meberikan petunjuk??

      Tapi apakah 2 derajat (yang selau diubah2 itu) punya penjelasan di Alquran. inilah pertanyaan terbesar saya

  21. Bahasa seorang thomas ini tidak santun menyikapi perbedaan terhadap sebuah ormas besar, bagaimana anda mau diikuti … anda malah terlihat memaksakan kriteria anda dan berlindung dibalik NU dan pemerintah. Anda menambah variabel baru dalam upaya menyatukan … hargai saja sebagai perbedaan kriteria ini ataupun kl mengajak gunakanlah bahasa yg santun, anda profesor toh?

    • pimpinan ormasnya saja yang hatinya tidak bersih, Egonya sangat tinggi makanya persatuan umat di kebelakangkan selalu beralasan perbedaan itu indah…

  22. Sidang isbat kesanx hax proyek kemendag bukan sprti yg disampaikn pak prof TJ krn hsl sdh ditentukn dgn kriteria pak tomas shg sdh dipstkn hr ini tdk akn ada yg mlht hilal klo pun ada pst dianulir,mmg kesanx prof tomas agak sinis dgn ormas trtntu shg sibuk cari referensi utk pmbenaran metode IR yg kemudian dippaksakan ke MD, sy sgt apresiasi kpdts keilmuan prof tp tlg jgn menggurui aplg. memaksakn, istigfarlah prof. Jgn sampe skp bpk ini membawa misi2 tertentu

  23. Sebagai seorang ilmuan saya ,menyayangkan pernyataan Prof Thomas. hahekat ilmuan atau ilmu pengetahuan itu tidak memihak Dia hanya bertugas memberikan data dan hasil penelitiannya menurut ilmu pengetahuan. Persoalan menentukan hari keagamaan itu bukan wilayah ilmu pengetahuan. Statemen anda sudah masuk wilayah ideolgi dan keberpihakan untuk satu kelompok tertentu. Sedikit tentang rukyat, pertama, andai kata jaman nabi dulu sudah ada ilmu hitung mungkin tidak perlu ada yang namnya rukyat. Hahekat ajaran islam itu harus seiring sejalan dengan iptek. Kedua metode rukyat untuk kondisi kontemporer saat ini sangat bertolak belakang dengan sistem manajemen modern. Coba kalau seandai nya ibadah haji dilaksanakan di Indonesia, apa tidak kacau itu mengurus 2 jt jamaah haji dengan penentuan kapan hari h yang sangat singkat.

  24. Alhamdulillah, teman2 penganut madzab Syafe’I dilingkungan tempat saya banyak yang akan berpuasa besok. Mereka meyakini bukan karena WH atau MU namun semata karena Mekkah besok juga berpuasa.

    • Berpuasa bersama Mekkah, berhari raya bersama Mekkah…, matipun menghadap Mekkah juga.

      • K’lo begitu waktu sholat lima waktunya harus disamakan juga dengan Mekkah.
        Misal di Mekkah sholat zuhur jam 13.00 waktu mekkah di Indonesia udah masuk waktu ashar jam 17.00.
        Berarti, adzan yang terus-menerus mengiringi bumi sampai hari kiamat stuck cuma di satu posisi jika seperti itu.
        Itu menurut pendapat saya secara logika orang awam.

  25. Malaysia tetangga dekat kita juga besok..
    Mau dikemanakan Indonesiaku ini…

  26. Sekarang terbukti, siapa sebenarnya yang ditinggalkan umat muslim sedunia? Jawabnya pasti Imkanurrukyat.
    Oooh Indonesiaku…

  27. Menurut pendapat saya k’lo mau waktu puasnya mau bareng dengan Kota Mekkah. Harus ada penyesuaian waktu sholat lima waktu juga.
    Misal di Mekkah sholat zuhur jam 13.00 waktu mekkah di Indonesia udah masuk waktu ashar jam 17.00.
    Berarti, adzan yang terus-menerus mengiringi bumi sampai hari kiamat stuck cuma di satu posisi jika seperti itu.
    Itu menurut pendapat saya secara logika orang awam.

    • Mas, kalo sholat patokannya jam, kalau bulan patokannya peredaran bulan, di titik manapun dibumi tidak ada yang selisih lebih dari 24 jam. Kalau, indonesia-mekah itu selisih sekitar 6 jam, kalau mekah 1 ramadhan indonesia juga 1 ramadhan

    • Sebuah Kalender yang bisa digunakan untuk seluruh manusia di muka bumi, Tanggal nya itu harus Identik dengan hari…
      Dan saya yakin Penanggalan Qomariyah yang ditetapkan Alloh swt dalam Al Quran adalah untuk dipergunakan di seluruh muka bumi…
      Jadi berbeda kasus dengan Penetapan Jadwal Shalat…

      – Penetapan Tanggal dan Hari Bersifat Global,
      – Penetapan Jadwal Shalat Bersifat Lokal…

      Bahkan untuk jadwal shalat yang bersifat lokal saja, untuk daerah tertentu seperti Kutub Merujuk ke wilayah di muka bumi yang masih normal panjang hari dan malam nya…

      Jadi coba pikirkan dengan akal sehat… Untuk penetapan yang lokal saja (Jadwal Shalat) pada kondisi tertentu kita bisa merujuk ke wilayah lain di muka bumi… APALAGI KALAU PENETAPAN TANGGAL YANG BERSIFAT GLOBAL ???…

      Menurut saya, kita umat Islam sekarang ini mempunyai selera Humor Terlalu Tinggi…:D
      – Kalender Hijriyah tiap negara bikin, tiap ormas bikin…
      – Ilmu Hisab Astronomi sudah canggih, masih saja Pake Metoda Menunggu Laporan Rukyat…
      – Sudah tahu posisi Hilal tidak dimungkinkan untuk dilihat, eh masih saja berbondong-bondong buat mencoba melihat… Sudah begitu kalau ada yang mengaku melihat, pengakuannya itu dianulir berdasarkan Iptek… 😀

      Sebaiknya selera Humornya diturunin dikit derajatnya, yang terlalu itu kata agama juga tidak baik… 🙂

    • Penyesuaiannya jangan Mekkah dan Jakarta saja. Apa kalau Jayapura harus ikut 1 Romadlon yang ditetapkan di jakarta waktu sholat jayapura harus ikut Jakarta? Misal sholat maghrib Jakarta 18.00 WIB apa Jayapura harus sholat maghrib 20.00 WIT karena 1 Romadlon ikut Jakarta? .

  28. Penasaran dengan ini, Prof. Di http://moonsighting.com/1433rmd.html tertera bahwa Egypt menyatakan mulai puasa tanggal 20 Juli 2012, karena “Egypt – Moon Born before sunset & moon sets at least 5 minutes after sunset”. Saya belum berhasil memperoleh link lain yang mengkonfirmasi kalimat tersebut. Yang bikin penasaran, adalah pada artikel yang Prof buat, menyatakan bahwa hal yang demikian tidak mungkin terjadi. Artikel yang ini : https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/
    “Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada.”
    Bagaimana, Prof?

  29. setelah saya amati dialog-dialog diatas, saya berkesimpulan:
    kalau umat islam indonesia berpuasa berdasarkan 1 ramadhan maka puasanya pada hari ini (jumat 20 juli 2012), tetapi kalau puasanya berdasarkan kemungkinan penampakan bulan terlihat maka puasanya besok (sabtu 21 juli 2012)…., menurut prof bagaimana? benar tidak kesimpulan saya ini

  30. mari kita tingkatkan ibadah pada bulan ramdhan, mo mulai hari ini atau besok….
    mari kita beradu argumen dengan cara yang santun, karna kita bukanlah Yang Maha Mengetahui, dan pada saatnya, segala yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT

  31. Terus brkarya prof tapi berhentilah berdalih utk menyatukan umat sbb hanya akn menyulut perpecahan saja jd sgt ironis.Mnrt saya niat baik sj tidak cukup tp harus didukung oleh bahasa yg santun agar tidak melukai banyak pihak. “

  32. Seharusnya widgetnya kalender Hijriyah bung Thomas Djamaluddin juga dikalibrasi dengan ketentuan rukyat di Indonesia setinggi 2 derajad…sehingga sekarang hari Jumat tgl 20 Juli 2012 masih tanggal 30 Sya’ban bukannya tanggal 1 Ramadhan seperti yang ada

  33. ngomong-ngomong, setiap peserta sidang Isbath dapat amplop berapa, pak?

  34. Kepada Prof.Thomas mohon mengulas metode hisab Sullam Nariyain yang digunakan oleh Lajnah Falaqiyah Al Husiniyah Cakung, karena mereka juga sering beda sendiri dan aneh sperti yang terjadi di ramadhan ini

    • Kitab Sulam mendasarkan pada perhitungan taqribi (pendekatan), yaitu tinggi bulan = umur bulan/2, karena asumsi dasarnya bulan bergerak ke arah timur 12 derajat/24 jam. Itu pendekatan yang sangat kasar sehingga sering berbeda dengan hisab hakiki (berdasarkan posisi bulan sesungguhnya). Menurut hisab taqribi, hilal akhir Sya’ban dinaggap mendekati 4 derajat, nyatanya baru 1,5 derajat.

      • Kalau hisab taqribi terbukti sering salah, mengapa masih dipakai sebagai rujukan ? Menurut saya, kalau memang terbukti salah, pemerintah seharusnya melarang penggunaan metode hisab ini untuk penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah, agar tidak membingungkan masyarakat.

  35. Assalaamu’alaikum Prof Jamaludin,
    Sebenarnya bagaimana menentukan akhir Sya’ban, akhir Ramadhan atau akhir Dzulqo’dah? Bila secara legal-formal, maka ba’da maghrib adalah waktu untuk menentukannya. Namun, dengan teknologi yang ada, akhir Sya’ban sebenarnya sudah terjadi pada 19 Juli 2012 pukul 11:25 (mengutip http://catatanagusmustofa.wordpress.com/2012/07/21/tafakur-ramadan-2-bulan-sore-hari-puasa-di-esok-pagi/ ) . Jadi, Ramadhan secara fisik sudah ada sejak itu. Mohon pencerahan karena saya cukup awam. Saya hanya ingin umat bersatu.

    Wassalaamu’alaikum,
    Eko

  36. Semoga Prof TJ tetap tekun dan sabar utk terus mengupayakan ukhuwwah islamiyah yg tdk bercerai berai dlm menentukan awal Shaum Ramadhan, Idul Fitri & Idul Adha khususnya. Saya yakin ormas Muhammadiyahpun akan bersama2 pemerintah bilamana dasar penetapan Imkan Rukyat berdasar ilmiah yg kuat. Karena kriteria 2 derajat sangat lemah yaitu dari data pengamatan terendah hilal yg bisa diamati yaitu pd tahun2 70-an, mgkin (maaf) kejadiannya spt yg di cakung kemarin yg tdk diakui saat ini oleh sidang istbat. Sy yakin Prof TJ pun tdk fanatik dgn 2 derajat, bahkan memiliki kriteria sendiri yg lebih imliah, hanya sayang masih belum digunakan oleh Pemerintah.

  37. semoga segera tercapai titik temu antara hisab dan rukyat 🙂

  38. Pak TJ, saya mau nanya satu.
    Kenapa mesti di rukyat?

    Nanti nanya lagi ya…

  39. http://www.kafeastronomi.com/cerita-rukyat-cakung-hikayat-anak-bulan-di-kaki-langit-bagian-1.html
    http://muslim.or.id/ramadhan/jika-persaksian-hilal-ditolak-dalam-sidang-itsbat.htmlhttp://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-dan-berhari-raya-bersama-pemerintah.html

    Mengapa Cakung berhasil? Cakung sejak lama dikenal sebagai tempat rukyat yang dipengaruhi hisab taqribi (hisab lama berdasarkan pendekatan) Sulamun Nayyirain. Hitungannya sederhana sekali, perkiraan tinggi bulan adalah angka umur bulan dibagi 2. Karena umurnya sekitar 7 jam, maka tingginya dianggap sekitar 3,5 derajat, jadi dianggap sudah imkan rukyat. Karena sudah imkan, biasanya hampir pasti mereka melaporkan melihat hilal, walau mendung sekali pun.

    Jadi yg dilaporkan adalah klaim ruyat bukan hasil pemantauan langsung melihat hilal. Sedangkan sumpah pemantau adalah rukyatul hilal (=melihat hilal bukan berdasarkan asumsi).
    Liat

  40. Buat nambah wawasan, 2 artikel dibawah tentang awal ramadhan ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh banyak orang.

    1. Tafakur Ramadhan (2) Bulan Sore Hari, Puasa di Esok Pagi oleh Agus Mustofa: http://catatanagusmustofa.wordpress.com/2012/07/21/tafakur-ramadan-2-bulan-sore-hari-puasa-di-esok-pagi/

    2. Metode Penentuan Awal Ramadhan 1433 H oleh Felixsiauw: http://chirpstory.com/li/13813

  41. Kalimat yang paling mudah dipahami oleh semua orang dari blognya Agus Mustofa.

    **** Awal Kutipan ****

    Menurut ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU Pekalongan, akhir Sya’ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr Ir Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.

    Masalahnya, karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.

    ‘’ Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa… [QS. Al Baqarah: 185]

    Yang perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam 6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang sudah datang..!

    **** Akhir Kutipan ****

  42. Kutipan lagi dari blognya Agus Mustofa

    **** Awal Kutipan ****

    Bahwa perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.

    Secara Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari. Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari. Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.

    Sehingga menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ‘’Kalau begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

    Penetapan seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ – posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada ‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk Sya’ban atau Ramadan.

    Nah, ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang, saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.

    Tinggal masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.

    Seandainya, perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu: campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung, padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus melakukan apa, karena serba bingung.

    Jika, kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi rabbi.

    Tetapi, kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa ngomong. Wallahu a’lam bishshawab.

    **** Akhir Kutipan ****

    • Penentuan ‘awal puasa’ yg ditandai dgn terlihatnya hilal, apakah tdk sebaiknya diserhkan kepada ahlinya krn terkait dgn visibilitas hilal yg tentunya para ilmuan astronomi lebih mengetahuinya dibanding ahli fiqih. Shg umat dlm melaksanakan awal ibadah shaum ramadhan bisa terpuaskan tdk hanya secara spriritual (fiqih) tapi jg puas secara/yakin secara intelektual. Dan krriteria visibilitas hilal ini sebaiknya dibahas bersama2 antara astronom dan ahli falaqnya masing2 ormas yg kuat jg ilmu fiqhnya tentunya. Moga cepat terlaksana kebersamaan mengawali puasa di negri kita tercinta ini, umat jdi bingung nanti apalagi kalo sdh malam2 10 hari terakhir, satunya malam ganjil satunya lgi genap. Kalau idul fitri thn ini insyaAlloh sama.

  43. Prof Djamaluddin, mohon ditanggapi 1 saja pertanyaan saya, secara astronomi (ilmu yang anda kuasai) akhir bulan sya’ban itu kapan ?

    • Senada Pak, menurut ilmu astronomi yang di bidang tersebut Bapak Ahlinya, Hari Jumat tgl 20 Juli 2012 itu bertepatan dengan tgl hijriyah berapa? 30 Sya’ban apa 1 Romadlon?

  44. Ass Wr Wb. Hadist Riwayat Bukhari, Muslim no.656 berbunyi : Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi SAW bersabda : Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal, maka jika tersembunyi daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari.
    Kesimpulannya, awal puasa adalah awal bulan awal bulan Ramadhan yaitu esok hari setelah akhir bulan Syakban dimana akhir bulan Syakban bisa di hari ke 29 dan bisa pula di hari ke 30 tergantung penampakan hilal.
    Bila pada hari ke 29 bln Syakban saat magrib sudah terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 29 dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
    Sedangkan bila pada hari ke 29 saat magrib tidak terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 30 (“cukupkan bilangan Syakban tiga pulubh hari”) dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
    Jadi isyarat Allah SWT ttg awal bulan hijriyah yang disampaikan melalui Nabi Muhamad SAW berupa H.R.Bukhari, Muslim no.656 tersebut diatas bukan sekedar dalil syar’i tetapi justru merupakan sumber dari segala sumber Ilmu Astronomi Islam. Begitu juga dengan seluruh kandungan Al Qur’an dan Hadist adalah merupakan sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan (sain).
    Contoh yg paling mengesankan adalah isyarat ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an dan Hadist dibidang biologi yang mengatakan bahwa setelah kiamat Allah SWT akan menghidupkan kembali semua manusia untuk dihisab amalnya sehingga masuk surga atau neraka. Hal yang tadinya menurut logika sangat sulit diterima ini ternyata terjawab oleh penemuan teknologi KLONING yang memungkinkan menciptakan makhluk hidup dengan hanya mengembangkan setitik jaringannya. Kalau manusia saja sekarang sudah bisa mengkloning tumbuh2an dan binatang, apakah kita meragukan Allah SWT mengkloning manusia.
    Pada saat kiamat, Allah SWT tidak menghacurleburkan seluruh tubuh manusia, melainkan masih menyisakan bagian ekor yang masih utuh untuk dikembangkan menjadi diri kita masing2 hidup kembali dan mempertanggungjawabkan amal perbuatan kita selama hidup didunia. Hidup setelah mati inilah yang kekal, karena itu Al Qur’an dan Hadist memberikan petunjuk agar manusia menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNYA sehingga dapat hidup kekal di surga, bukan di neraka.
    Wass wr wb.

    • Pak Bambang, bagaimana kalau ada yang mengaku melihat hilal dan bahkan siap disumpah, Tapi ternyata pengakuan nya itu ditolak dengan berdasarkan Iptek ?…

      Bagaimana ini seharusnya menurut pak Bambang ?…

  45. gw tau banget nih profesor cap taik kucing,kalo si thomas and friend ini memang pakar astronomi kenapa astronomi indonesia ga maju2 tertinggal 1000 tahun dengan barat…dunia astronomi indonesia mirip dengan abad pertengahan abal-abal kualitas kw3…..sekalian aja waktu sholat 5 waktu dilaksanakan dengan cara rukyat matahari dulu mirip kelakuan ulama abad pertengahan liat2 bayang2 dulu ga usah di hitung2 dengan jam….capeee deh

  46. Ass wr wb. Pak Ivan, komentar saya ttg hal tsb ada di postingan saya pada artikel di blog ini yg berjudul : Dengan Menyamakan Kriteria Mereka bisa Bersatu, Kita pun (Semestinya) Bisa!

    Yaitu :
    Bambang Supriadi, on 11 Desember 2011 at 20:32 said: Ass wr wb. Maaf, masih ada yg mengganjal di hati saya, yaitu mengenai keputusan Nabi Muhamad SAW membatalkan puasa setelah mendapat laporan dr seorang badui bhw dia tlh melihat hilal. Apakah tdk ada cerita yg lengkap ttg proses pengambilan keputusan itu? Saya rasa sebagai Nabi pasti akan bertindak dg sangat cermat, tdk sekedar hanya meminta ybs disumpah. Oleh karena itu pengamalan hadist berkenaan jg hrs cermat. Wass wr wb.

    Sebetulnya masih ada hal2 yg mengganjal dihati saya, antara lain ttg “siapa”, pakar astronomi yg mencetuskan teori Newmoon yg mengatakan bahwa konjungsi/ijtimak merupakan “akhir bulan” shg “bulan baru” dimulai pd detik pertama setelah itu, padahal saat itu masih dlm keadaan “bulan mati”.
    Teori ini kelihatannya diakui oleh komunitas astronom internasional shg begitu membius para astronom muslim utk ikut mengusungnya dan bersepakat meninggalkan Teori Astronomi Islami yg berlandasakan Al Qur’an dan Hadist yg menjelaskan bahwa “akhir bulan”adalah saat berakhirnya “bulan mati” dan beberapa saat setelah itu barulah dimulai “bulan baru” yg ditandai dengan adanya “penampakan hilal”.

    Wass wr wb.

    • Ass wr wb
      Maaf ada kesalahan ketik pada postingan diatas, yaitu :
      TERTULIS :
      …..shg begitu membius para astronom muslim….
      SEHARUSNYA :
      …..shg begitu membius beberapa astronom muslim….
      Wass wr wb.

    • Wa alaikum salam wr wb,
      Pak Bambang, kalau saya sih mudah memahaminya,

      Nabi sendiri berkata bahwa umat Islam pada zaman beliau tidak (atau belum) mengetahui Ilmu Hisab (Cara menentukan Awal Bulan melalui Penghitungan)…
      Hanya tahunya cuma penanggalan itu bulan berjumlah 29 hari atau 30 hari…
      Makanya Nabi saat itu hanya mengandalkan Berbaik Sangka saja kepada kejujuran si saksi…

      Dari Ilmu Astronomi, kita sekarang mengetahui bahwa jumlah hari sebulan dalam Penanggalan Qomariyah itu diakibatkan dari Periode Bulan mengelilingi bumi dalam waktu sekitar 29,5 hari…
      JADI KAPAN AWAL DAN AKHIR SUATU BULAN DALAM PENANGGALAN QOMARIYAH BISA DITARIK KE DALAM RANAH IPTEK…

      Saya melihat Muhammadiyah dalam hal ini, memandang Rukyat Hilal yang dilakukan Nabi adalah Sebatas Metoda Saja…

      KETIKA RUKYAT YANG DILAKUKAN NABI DIPANDANG SEBAGAI HANYALAH SALAH SATU METODA Penetapan Awal Bulan yang ada pada waktu zaman Nabi (akibat dari keterbatasan iptek umat Islam pada waktu itu), maka :

      VISIBILITAS HILAL BUKANLAH SYARAT MASUK BULAN BARU…
      Terbukti ketika tgl 29 tidak terlihat hilal, tgl 30 nya tidak lagi disuruh merukyat hilal…

      Rukyat hanya dipandang sebagai salah satu cara untuk memastikan bahwa bulan baru telah ada di atas ufuk pada waktu magrib…

      ________________

      Kembali ke pertanyaan saya 🙂 :

      “bagaimana kalau ada yang mengaku melihat hilal dan bahkan siap disumpah, Tapi ternyata pengakuan nya itu ditolak dengan berdasarkan Iptek ?…

      Bagaimana ini seharusnya menurut pak Bambang ?…”

      • Ass wr wb.
        Pak Ivan, dibalik kebersahajaan yg rendah hati dan NAIF, pada sosok Nabi Muhamad SAW yg selalu dalam tuntunan Allah SWT, tersimpan kemampuan olah batin dan olah pikir yg JENIUS.
        Karena itu dlm usaha lebih memahami Al Qur’an dan Hadist yg kita IMANi, janganlah memandang dari sisi yg naif tetapi marilah kita memandang dr sisi yg jenius.
        Mengapa kita tidak lagi disuruh melihat hilal saat terbukti bahwa di hr ke 29 tidak terlihat hilal. Jawabannya adalah karena olah pikir jenius yg tertuang dlm hadist yg kutipannya sbb : …….maka jika tersembunyi daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari.
        Artinya, jika pd hr ke 29 tidak terjadi penampakan hilal, maka untuk mengawali puasa (bln Ramadhan) tdk perlu dilakukan rukyat hilal lagi melainkan hanya dengan menggenapkan bilangan bln Syakban menjadi 30 hr, krn dipastikan di hr ke 30 ada penampakan hilal.
        Sedangkan mengenai penolakan pengakuan melihat hilal meskipun siap disumpah, itu juga krn Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama RI dilandasi oleh olah pikir jenius yg tertuang dlm hadis berkenaan krn sebagai Nabi pasti akan bertindak dg sangat cermat, tdk sekedar hanya meminta ybs disumpah.
        Wass wr wb.

      • Pak Bambang, bila seseorang adalah jenius, MAKA IA AKAN BISA MENGHASILKAN SOLUSI sebuah permasalahan yang akan bisa dengan mudah digunakan, bukan solusi yang menyusahkan…

        Contohnya Nabi,
        ketika umat Islam tidak (atau belum) menguasi ilmu hisab, beliau tidak menyuruh yang susah, beliau memerintahkan Rukyat Hilal yang mudah sebagai Metoda untuk mengetahui Awal Bulan Qomariyah,

        Untuk saat sekarang, Solusi Rukyat yang pada zaman Nabi adalah Metoda yang memudahkan, untuk SAAT SEKARANG TERNYATA MENJADI METODA YANG SANGAT MENYUSAHKAN…

        Rukyat zaman sekarang menjadi Metoda yang Menyusahkan, sebab :

        – Kalender Hijiriyah hanya akan terus bersifat dadakan setiap bulan, yang akan sangat menyulitkan setiap aspek kehidupan bila Kalender Hijiriyah digunakan secara luas untuk semua keperluan manusia…

        – Bila ditambah dengan Kalender menggunakan Matlak Lokal (sebagai Konsep Turunan dari Konsep Keterlihatan Hilal), maka akan tambah menyusahkan, sebab Kalender Hijiriyah yang ada di muka bumi akan ada lebih dari 1,
        sebab kalender setiap negara, ada bulan-bulan yang terkadang sama dengan negara tetangga nya tapi di lain bulan berbeda…

        – Ditambah lagi dengan Garis Batas Penanggalan yang selalu berubah-ubah tempatnya, MAKA untuk kondisi zaman sekarang, LENGKAP SUDAH PENDERITAAN KALENDER HIJIRIYAH HASIL RUKYAT… 😦

      • Bagi praktisi astronomi/ilmu falak, sudah jelas kalender hanya degan hisab. Di mana pun tidak ada orang buat kalender dengan rukyat. Rukyat hanyalah metode penentuan waktu ibadah. Untuk kepentingan pembuatan kalender, rukyat hanya sebagai konfirmasi yang datanya bisa digunakan untuk penyempurnaan kriteria.
        Saya sarankan untuk belajar ilmu falak/astronomi agar bisa menanggapi secara tepat. Tanpa ilmu, kita merasa “tahu” padahal sesungguhnya tidak tahu.

      • Ass wr wb.
        Pak Ivan, senada dg Pak T.Jamaluddin, “Kalender Hijriyah hasil Rukyat” itu tidak pernah ada, krn kalender2 hijriyah yg ada semuanya adalah produk para ahli hisab yg dibuat berdasarkan metode hisab masing2.
        Tepapi menurut pemahaman saya, kalender adalah sebuah prediksi ilmiah yg kalau oleh pembuatnya diyakini kepastiannya maka kepastian tsb adalah “kepastian ilmiah” yang baru bisa diyakini oleh masyarakat awam setelah ada buktinya.
        Karena dalil syar’i menyebutkan bahwa awal bulan itu ditandai dg penampakan hilal, maka untuk melihat hilal, perlu dilakukan rukyat sebagai bukti atas kepastian ilmiah dr kalender hijriyah berkenaan.
        Dan mengenai solusi yg pak Ivan harapkan dari permasalahan ini, sayang sekali Nabi Muhamad SAW tidak hidup di jaman kita shg kewajiban kitalah untuk mengungkap bagaimana olah batin dan olah pikir yang melandasi hadist2 berkenaan. Sebagai masyarakat awam kita harus tetap sabar dan memegang teguh IMAN, haqqulyakin thd Al Qur’an dan Hadist seperti umat Islam pada jaman Nabi Muhamad SAW yg istiqomah menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNYA.
        Selebihnya mengenai pemecahan persoalan terhadap permasalahan yg ada, kita serahkan saja pada ahlinya yaitu para astronom muslim yang peduli dg permasalahan ini dan tidak pernah mengeluh apa lagi putus asa untuk selalu melakukan pendekatan2 ilmiah pada Al Qur’an dan Hadist.
        Wass wr wb.

      • Ini bukan masalah putus asa pak Bambang…
        Prinsip ajaran Islam adalah bersifat Memudahkan, BUKAN MENYUSAHKAN…

        Solusi-solusi yang disampaikan oleh para Pakar Astronomi dan Ulama Ahli Falak selama ini, belum ada Solusi yang sejenius Solusi Waris Zaid bin Tsabit ra dengan Metoda Aul nya…

        Solusi-solusi yang dihasilkan selama ini akan bersifat Menyusahkan ketika diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari, maka sampai saat ini terus saja para pakar itu sibuk merencanakan dan mengadakan seminar dll…

        Penetapan Tanggal itu harus bersifat Global, ini adalah suatu kemestian yang terjadi, Tanggal itu harus identik dengan hari, jika suatu tempat (katakanlah Mekah) suatu bulan tgl 1 nya adalah hari Senin, maka seluruh dunia harus sama… Jangan ada yang tgl 1 tsb ada yang hari Ahad atau hari Selasa…

        Sampai kiamat pun kalau Solusi dari Para Pakar Astronomi dan Ulama Ahli Hisab, adalah Solusi yang masih menghasilkan suatu tgl yang harinya bisa berbeda, MAKA AKAN SANGAT DIPASTIKAN KALENDER TSB TIDAK AKAN PERNAH BISA DIGUNAKAN…

        Kalau tidak percaya, silahkan saja Kalender tsb Sepakati oleh seluruh umat Islam di dunia dan gunakan untuk keperluan sehari-hari, maka kita akan kita saksikan HANYALAH KEKACAUAN DAN KESULITAN DI SANA-SINI…

        .

        Pak Bambang, coba kita lihat…
        Penetapan Jadwa Shalat saja yang SANGAT BERSIFAT LOKAL…
        Tapi ketika kita berada di dalam kondisi yang tidak mendukung, misalnya kita sedang berada di kutub, yang panjang harinya 6 bulan dan malamnya 6 bulan… MAKA JADWAL SHALAT KITA AKAN MERUJUK KE WILAYAH LAIN DI MUKA BUMI yang masih normal panjang hari dan malamnya…

        Atau pak Bambang akan Ngotot shalat sesuai Keterlihatan Matahari ?…
        Sehingga dalam setahun pak Bambang cuma shalat Subuh 1x, Dzuhur 1x, Ashar 1x, Magrib 1x dan Isya 1x ??…

        Coba kita lihat, untuk YANG SANGAT BERSIFAT LOKAL seperti Jadwal Shalat kita bisa merujuk ke wilayah lain di muka bumi, apalagi kalau Penetapan Tanggal yang bersifat Global ?…
        (Dalam hal ini, semua wilayah muka bumi merujuk tanggalnya ke koordinat Ka’bah di Mekah)

      • Ass wr wb.

        Pak Ivan, Al Qur’an dan Hadist adalah petunjuk hidup agar manusia tidak “hidup susah”. Kesusahan itu timbul pada saat manusia menghendaki sesuatu tetapi ternyata tidak sejalan dengan ajaran Al Qur’an dan Hadist,krn desakan kehendak tsb akan menyebabkan berbagai reaksi diantara umat antara lain ada yg tetap berpegang teguh pada Ajaran Al Qur’an dan Hadist, ada yang meninggalkan ajaran Al Qur’an dan Hadist bahkan menjadi murtad, dan ada yg menafsirkan kembali kandungan Al Qur’an dan Hadist disesuaikan dengan kehendaknya.

        Kalender Hijriyah juga merupakan kehendak umat Islam yg isyaratnya juga ada dalam Al Qur’an dan Hadist namun “bentuk”nya masih dalam perdebatan diantara para pakar.
        Sejak dulu kalender hijriyah (lunar calendar) ini selalu menjadi bahan perdebatan yg belum ada ujungnya, sehingga pakar astronomi dunia beralih ke Solar Calendar yg disepakati besama dan berlaku hingga sekarang.

        Keinginan mengembalikan dunia pada kalender hijriyah (lunar calendar) bukan usaha yg mudah, krn itu sementara usaha tsb blm menemukan ujungnya maka tetaplah sabar dan ber IMAN dibawah bayang2 solar calendar sambil menunggu solusi yg sejenius Solusi Waris Zaid bin Tsabit ra dengan Metoda Aul nya.

        Mengenai keinginan agar tanggal itu harus identik dengan hari, hanya bisa dipenuhi jika hanya diberlakukan satu sistem kalender saja, lunar calendar atau solar calendar. Yg menyebabkan adanya dua hari dlm satu tanggal adalah karena lunar calendar (kalender hijriyah) menetapkan pergantian “hari dan tanggal” saat magrib sedangkan solar calendar saat tengah malam.

        Sedangkan mengenai wilayah lintang tinggi dimana jadwal shalatnya merujuk ke wilayah lain yang masih normal panjang hari dan malamnya, itu merupakan solusi sementara krn akal manusia yg belum bisa mengungkap misterinya utk menemukan solusi yg sejalan dg Al Qur’an dan Hadist.
        Solusi semacam ini tidak bisa digunakan sebagi rujukan membuat solusi permasalahan di wilayah normal, spt Kalender Hijriyah Global hrs dibuat berdasarkan “wawasan global” dimana tidak ada satupun koordinat dimuka bumi ini yg bisa dijadikan pusat rujukan krn berdasarkan wawasan global, tiap2 lokal mempunyai kodrat masing2 yg tidak bisa mempengaruhi dan dipengaruhi lokal yg lain.
        Wass wr wb.

      • Pak Bambang,
        Setahu saya, kita umat Islam kemudian BERALIH KE KALENDER MASEHI untuk penggunaan administrasi sehari-hari adalah :
        Karena kita umat Islam seluruh Dunia KENA DIJAJAH ORANG BARAT…

        Kalender Hisab Urfi buatan Khalifah Umar bin Khattab ra itu adalah Kalender Hijriyah Global buat seluruh wilayah Islam di muka bumi…
        Sebelum dijajah orang barat, Dahulu Pemerintahan-pemerintahan Islam di seluruh dunia menggunakan kalender ini…

        .

        SOLUSI JENIUS ala ZAID BIN TSABIT ra itu adalah SOLUSI DI LUAR TEKS YANG TERSURAT dalam Al Quran…

        Suami yang berhak waris 1/2 dan 2 saudara perempuan yang berhak waris 2/3, dengan solusi Zaid bin Tsabit ra menjadi :
        Suami mendapat waris 3/7 dan 2 saudara perempuan mendapat waris 4/7…

        1/2 bukan 3/7 dan 2/3 bukan 4/7…
        Dengan membandingkan cara mencari solusi pak Bambang dan yang ngotot harus berdasarkan konsep Hilal harus berhasil dirukyat pada penetapan awal bulan, Maka :
        Solusi Zaid bin Tsabit ra pun akan dianggap Bukan Solusi yang sesuai Syar’i sama sekali… 😦

        .

        Yang namanya hari berjumlah 7 hari itu (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu), akan sama saja mau di Kalender Syamsiah maupun Qomariyah…
        Garis Pergantian Hari Dunia nya pun sama, yaitu di sekitar Kiribati…

        Atau menurut pak Bambang, Garis Pergantian Hari Penanggalan Qomariyah itu akan beda ?… Akan menyesuaikan dengan Garis Penampakan Hilal ?… 😦

        .

        Pak Bambang itu kebanyakan misterinya… 🙂

        Dengan cara berpikir ala pak Bambang, Solusi Waris suami dan 2 saudara perempuan itu pun akan dianggap terus sebagai misteri… 😦

        Kalender Global itu (Mau Kalender apa saja, Syamsiah / Qomariyah) harus Sama Hari dan Tanggal di seluruh dunia… baru Kalender Global tsb bisa digunakan untuk seluruh dunia…

        Kalender Global dengan suatu Tgl yang bisa berbeda hari, itu hanya akan menyebabkan kesulitan dan kekacauan hubungan administrasi antar negara (wilayah)…

        Kalau kita tetap ngotot menetapkan Kalender Hijriyah yang berlaku global dengan berdasarkan Garis Penampakan Hilal yang berubah-ubah tiap bulan, INI AKAN MENYUSAHKAN dan membikin kacau administrasi antar negara bila Kalender Hijriyah dijadikan Kalender Internasional…

        Atau pak Bambang (juga yang ngotot Kalender Hijriyah Global harus berubah-ubah menyesuaikan dengan Garis Penampakan Hilal) belum bisa membayangkan kesusahan dan kekacauan ini ?… 😦

      • Ass wr wb.

        Pak Ivan, sampai saat ini kesimpulan ttg Kalender Hijriyah Global belum ada kesepakatan, masing2 pihak sedang berusaha menampilkan kreasinya dg argumentasinya, dan bagaimana akhirnya nanti, kita hanya bisa menunggu sambil tetap mengikuti kalender yg sudah disepakati besama yaitu solar calendar yg berlaku sekarang.

        Sedang mengenai suami yang berhak waris 1/2 dan 2 saudara perempuan yang berhak waris 2/3, dengan solusi Zaid bin Tsabit ra menjadi :
        Suami mendapat waris 3/7 dan 2 saudara perempuan mendapat waris 4/7…
        (1/2 bukan 3/7 dan 2/3 bukan 4/7…)
        Menurut pemahaman saya, 3/7 itu asalnya dr 1/2, dan 4/7 asalnya juga dr 2/3 jadi perhitungan ini masih mengacu pada dalil syar’i yg dikembangkan dq metode Aul.

        Kalau yg namanya hari berjumlah 7 hari itu (Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu), memang sama saja mau di Kalender Syamsiah maupun Qomariyah…
        Namun, permulaan hari utk kalender syamsiyah adalah saat tengah malam sedangkan utk kalender hijriyah adalah saat magrib, shg jika kedua kalender tsb diterapkan bersama-sama akan ada ketidakcocokan spt yg kita maklumi bersama saat ini.
        Garis Pergantian Hari Dunia nya pun tidak sama, yaitu yg di sekitar Kiribati adalah IDL, sedangkan untuk kalender hijriyah adalah ILDL penampakan hilal.

        Selanjutnya ttg penerapan Kalender Hiriyah Global beserta ILDL dg dasar penampakan hilal, seperti yg pernah saya sampaikan bahwa itu bisa dilaksanakan tanpa keruwetan jika yg diberlakukan hanya satu sistem kalender saja yaitu kalender hijriyah global.
        Jadi utk sementara ini yg bisa dibuat hanyalah “Kalender2 Lokal yg berwawasan global”.

        Wass wr wb.

  47. Sidang Itsbat, keinginan mulia yang saat ini dengan memilih jalan tengah yang salah. Penggunaan Imkanur Rukyah (IR), sebagai jalan tengah, dalam sidang itsbat seperti yang diceritakan oleh Bapak Thomas penuh dengan standar ganda dan tidak ada dasar hukumnya. IR menolak wujudul hilal tapi ia sendiri penganut wujudul hilal (Sidang Itsbat 1407), dimana ahli rukyat NU yang tidak dapat melihat hilal sehingga mengusulkan Ramadhan 30 hari, tetapi sidang itsbat memutuskan Ramadhan 29 hari berdasarkan IR. IR juga menolak rukyatul hilal, seperti kejadian-kejadian yang diceritakan di atas dengan alasan tidak memenuhi kriteria IR. Salah satu kriteria IR adalah tinggi hilal yang 2 derajat, yang tidak ada dasar hukumnya, hanya kesepakatan saja. Bahkan boleh jadi kesepakatan ini bisa berubah bisa kurang atau bisa lebih. Seperti pada Sidang Itsbat 1433 H ada yang mengusulkan 3 derajat bahkan ada kemungkinan lebih.

    Pemilihan IR oleh Depag (Pemerintah) saat ini menunjukkan bahwa Depag (pemerintah) melakukan kesalahan yang sama, yang juga dilakukan Departemen-2 lain terhadap permasalahan-permasalahan di tengah masyarakat. Lokalisasi pelacur untuk menghilangkan pelacuran. Izin iklan/menjual rokok di tengah promosi gencar bahayanya merokok, dll.

    So, apakah kita akan meninggalkan Wujudul Hilal dan Rukyatul Hilal, karena Pemerintah memilih IMKANUR RUKYAH, jalan tengah yang tidak ada dasar syariatnya?

  48. Hanya karena Membela Bid’ah Wujudul Hilal yang Usang, Muhammadiyah Memilih Tafarruq

    Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (tafarruq). Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan (ingatlah) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3/Ali-Imraan:102-105)

    Dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan C[k]hurafat). Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan, baik mengawalinya maupun mengakhirinya. Bid’ah adalah praktek yang terkait dengan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Banyak yang tidak sadar akan bid’ah wujudul hilal, karena warga Muhammadiyah terfokus pada dalil-dalil hisab (perhitungan) yang dulu selalu dipertentangkan dengan rukyat (pengamatan) hilal. Seolah-olah hisab hanya dengan kriteria wujudul hilal. Saat ini hisab sudah disetarakan dengan rukyat, sepanjang hisabnya memperhatikan kriteria rukyat.

    Secara lebih rinci, di blog saya ini saya tuliskan kritik saya pada kriteria wujudul hilal (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/). Dengan kritik itu berbagai hujatan saya terima, termasuk gelar baru sebagai “provokator” karena menggunakan kata “usang” (obsolete) yang sebenarnya bahasa netral dalam sains. Semoga provokasi saya masih dalam kerangka amar ma’uf nahi munkar yang diperintahkah Allah dalam QS 3:104, seperti tertulis di atas. Secara ringkas, fokus kritik saya pada penentuan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya kriteria yang digunakan juga harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah QS 36:40 dengan tafsir astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab. Dalil rukyat ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal) yang dalam bahasa teknis astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya. Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat.

    Astronomi menawarkan sekian banyak alternatif kriteria imkan rukyat sebagai hasil kajian ilmiah berdasarkan data pengamatan yang terus berkembang. Namun jangan berharap astronom untuk membuat kesepakatan soal kriteria, karena produk sains bukan harus dipersatukan, masing-maisng peneliti berhak untuk menyajikan data dan analisisnya, kemudian menyimpulkan kriteria yang dianggapnya terbaik menggambarkan visibilitas hilal. Untuk aplikasi dalam pembuatan kalender dan penentuan waktu ibadah, kita lah yang harus memilih salah satu kriteria itu kemudian menyepakatinya untuk diimplementasikan. Pemilihan kriteria harus didasarkan pada kemudahan dalam aplikasinya bagi seluruh ahli hisab dan ahli rukyat. Bagi ahli hisab, kriteria itu sebagai penentu masuknya awal bulan. Bagi ahli rukyat, kriteria sebagai pemandu rukyat.

    Mengapa harus ada kesepakatan? Ya, demi persatuan dalam sistem kalender dan penentuan awal bulan, harus ada kesepakatan kriteria. Kita belajar dari penerapan astronomi dalam penentuan jadwal shalat. Kriteria posisi matahari untuk jadwal shalat sebenarnya beragam, khususnya untuk Shubuh, Asar, dan Isya. Namun, kita sudah bisa memilih salah satunya dan menyepakatinya sehingga secara umum semua jadwal shalat yang diumumkan Kementerian Agama sama dengan jadwal yang dikeluarkan ormas-ormas Islam. Jadwal kumandang adzan di TV sama dengan jadwal di masjid. Demikianlah kalau kesepakatan kriteria sudah tercapai.

    Beberapa kali kesepakatan antar-ormas Islam yang difasilitasi Kementerian Agama sudah tercapai. Kesepakatan pertama tahun 1998 dan yang terakhir 2011 (https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/26/lokakarya-kriteria-awal-bulan-perwakilan-ormas-islam-bersepakat/). Tetapi Muhammadiyah selalu memisahkan diri dari kesepakatan. Muhammadiyah memilih tafarruq, berpisah dari ummat dalam hal penentuan awal bulan. Mereka lebih membela bid’ah wujudul hilal daripada persatuan ummat. Mereka lebih menjunjung pasal 29 UUD RI “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” daripada perintah Allah yang qath’i dalam Al-Quran Surat Ali-Imran (3): 103 “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”.

    Muhammadiyah merasa dipojokkan oleh Pemerintah dan ormas-ormas Islam lainnya dalam sidang itsbat penentuan Idul Fitri 1432/2011 sehingga memilih tidak akan ikut lagi sidang itsbat berikutnya. Mari kita tengok sejarah. Ketika terjadi perbedaan Idul Fitri 1998 karena perbedaan masalah kriteria wujudul hilal vs imkan rukyat, Menteri Agamanya Dr. Tarmizi Taher dari Muhammadiyah (Ketua Korps Mubalig Muhammadiyah). Keputusan sidang itsbat menetapkan Idul Fitri jatuh pada 30 Januari 1998, berdasarkan masukan sebagian besar peserta sidang yang menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat digunakan. Kesaksian di Cakung dan Bawean ditolak. Hisab wujudul hilal tidak ada yang mendukung selain Muhammadiyah, karena Persis sebagai pengamal hisab juga menggunakan imkan rukyat. Ya, tidak perlu memojokkan Muhammadiyah. Kalau inginnya berbeda dengan yang lain, pasti Muhammadiyah akan terpojok dengan sendirinya. Perdebatan hangat saat sidang itsbat adalah hal yang biasa, bukan hanya saat sidang itsbat penetapan Idul Fitri 1432/2011. Saat sidang itsbat penetapan idul fitri 1998, sidang itsbat juga diwarnai debat hangat gara-gara masalah perbedaan kriteria. Menteri asal Muhammadiyah pun harus mengalah, karena sebagian besar peserta sidang itsbat menghendaki kesepakatan kriteria imkan rukyat yang digunakan, baik dalam menilai hasil hisab maupun rukyat. Muhammadiyah terpojok, lebih tepatnya memojokkan diri, tafarruq dari persatuan ummat.

  49. kalau dilihat salah satu alasan yang memulai puasa berlandaskan hisab .

    adalah
    dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr.Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

    Kenapa tidak di buat solusi, untuk pembuatan kalender silahkan gunakan hisab.
    tapi untuk hari raya iedul fitri, menggunakan rukyatul hilal ( karena bisa saja bulan dalam hitungan derajat ie diatas dua derajat dan apabila sudah disepakati itu masuk tanggal satu secara hisab , mungkin hilal tidak tampak karena terhalang awan ). Sebab hadis tidak mengatakan harus tanggal satu memulai puasa, tetapi lihatlah hilai ( tidak mengapa bukan berpuasa di tanggal dua )

    Sehingga rukyat dan hisab berjalan secara harmonis.

    • Itu yang dilakukan Arab Saudi. Kalender Ummul Quro hanya digunakan sebagai akelnedr administratif, sedangkan untuk penentuan ibadah mereka murni menggunakan rukyat, walau seringkali kontroversial karena astronomi diabaikan dalam itsbat (penetapan) awal bulan. Para ahli hisab-rukyat sudah faham bahwa untuk membuat kalender haruslah hisab, bukan rukyat. Itu sudah dilakukan. NU dan ormas lain pengamal rukyat, mereka jago membuat kalender karena mereka faham soal hisab. Yang sedang diupayakan adalah agar kriteria hisab dalam pembuatan kalender adalah kriteria yang mendasarkan pada visibilitas hilal. Silakan baca booklet saya terkait hal itu https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/19/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat/

      • Pendapat Paradok Dalam Keraguan
        Disitu namanya paradoks. Membuat kalender tapi tidak dipakai. Saya sediri tidak tahu persis yang dilakukan Arab Saudi tentang penentuan awal puasa. Seperti yang prof tampilkan tentang fasa bulan. Dalam satu halaman ada 2 (dua) pendapat saling bertentangan.
        Jadi yang benar mana? Ramadhan 29 hari / 30 hari. Kalau Sya’ban 29 hari mengapa jumlah puasa 29. MeMbInGuNgKaN
        Awal puasa 1 Ramadan/ 2 Ramadhan?
        Negara Sidang karena semua harus sidang output keputusan
        Sidang Isbat = anggaran. Cara halus untuk ……..
        Motif ekonomi

  50. BECERMIN KE MESIR SOAL ISBAT YANG LANCAR (Agus Mustofa) :
    …Ada tiga hal yang mendasarinya. Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga Astronomi yang berkompeten.
    Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah.
    …Yang kedua, lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.
    ….Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap kondusif.
    Untuk menambah wawasan, selengkapnya bisa dibaca di :

    TAFAKUR RAMADAN (6): BECERMIN KE MESIR SOAL ISBAT YANG LANCAR

  51. Kalau begitu pisahkan secara explisit antara kalender dengan tanggal ibadah. Penentuan awal dan akhir bulan ramadhan berdasarkan hisab(fixed), awal puasa berdasarkan rukyat yang bisa jadi 1 ramadhan atau 2 ramadhan :). Lebaran bisa jadi 1 atau 2 syawal atau sebelumnya tergantung rukyat. Apakah dalam al quran dan dan hadis selalu disebut awal puasa harus 1 syawal? Awal puasa yah berdasarkan hilal 🙂 Tapi 1 syawal kalender berdasarkan rukyat hilal. Kalender tidak usah diubah agar pas dengan hilal, hilal juga tidak usah dimanipulasi agar sesuai kalender hisab 🙂

    • Ass Wr Wb. Hadist Riwayat Bukhari, Muslim no.656 berbunyi : Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi SAW bersabda : Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal, maka jika tersembunyi daripadamu maka cukupkan bilangan Syakban tiga puluh hari.
      Kesimpulannya, “awal puasa” adalah “awal bulan Ramadhan” yaitu esok hari setelah akhir bulan Syakban dimana akhir bulan Syakban bisa di hari ke 29 dan bisa pula di hari ke 30 tergantung penampakan hilal.
      Bila pada hari ke 29 bln Syakban saat magrib sudah terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 29 dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
      Sedangkan bila pada hari ke 29 saat magrib tidak terlihat hilal, maka akhir bulan Syakban adalah hari ke 30 (“cukupkan bilangan Syakban tiga pulubh hari”) dan awal Ramadhan adalah esok harinya.
      Wass wr wb.

      • “awal bulan” adalah “awal puasa”

        Kata pak thomas:

        tdjamaluddin, on 27 Juli 2012 at 19:58 said:
        Tidak bisa. Awal Ramadhan = awal mulainya puasa sesuai dengan ketentuan syariah.

      • Ass wr wb.

        Tanggapan pak T.Djamaluddin sesuai dg pertanyaan pak IIKKI sbb.:

        IIKKII, on 27 Juli 2012 at 14:38 said:
        Bisakah kita menganggap 1 Ramadhan pada tanggal 20 Juli 2012, tapi MEMULAI puasa tanggal 2 Ramadhan (21 Juli 2012)?????
        Balas

        tdjamaluddin, on 27 Juli 2012 at 19:58 said:
        Tidak bisa. Awal Ramadhan = awal mulainya puasa sesuai dengan ketentuan syariah.

        Yg “tidak bisa” adalah jika kita menganggap 1 Ramadhan pada tanggal 20 Juli 2012, tapi MEMULAI puasa tanggal 2 Ramadhan (21 Juli 2012) krn awal puasa = awal Ramadhan.

        Wass wr wb.

  52. Saya pernah baca buku AL KISAH No. 21/8-21 Okt 2007 Hal. 143-144 tentang Kisah Ulama “ K.H. Turaichan Adjuri “ Lahir di Kudus Tahun 1916, beliau pernah menentukan waktu I’dul Fitri Tahun 1991 yang berbeda dengan Pemerintah. Dan juga menentang Maklumat Pemerintah yang menyeru agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari, dan beliau juga menganjurkan umat melihat gerhana dan mendirikan sholat gerhana. KH. Turaichan adalah kisah kecil dari “ pembangkangan kaum” astronom dalam menghitung waktu, sebagaimana kisah besarnya adalah GALILEO yang terpenjara di Kota Arcetri ITALIA pada tahun 1632, karena menebar Mahdzhab HELIOSENTRISME – Bahwa Matahari adalah pusat semesta alam – seperti ditulisnya dalam Scrip Dialogue. .. GALILEO subversib terhadap doktrin Gereja di bawah otoritas PAUS URBANUS yang GEOSENTRISME. Adapun GALILEO adalah pendukung COPERNICUS, tetapi K.H. Turaichan adalah penyokong Kitab AL MATHLA’US SA’ID dari Mesir yang banyak mempengaruhi pemikiran beliau. Ilmu Falak adalah ilmu waktu. Dunia Bisnis mengenal waktu adalah uang Orang Jawa menyebutnya Pakuwon (Ilmu), sedang dalam islam waktu adalah Ibadah. Pak Prof. Djamaludin saya sempat lihat artikel 23 tahun dalam agenda Sidang Isbat Tahun 1991 M/1441 H, http://rukyatulhilal.org/artikel/23-tahun-isbat-indonesia.html
    bahwa Ijtimak’/Konjungsi ( Posisi Bulan Segaris dengan Matahari dan Bumi / Tusuk Sate ) Tgl. 15-04-1991 terjadi pukul 02.40 wib dan hasil Ru’yat tanggal Tgl. 15-04-1991 adalah tinggi hilal 3° 35′ dan hasil sidang isbat Klaim rukyat Pelabuhan Ratu, Cakung, Klender diterima, “ Apakah Pak Prof. Waktu itu sudah menjadi Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI …….?

  53. PERBEDAAN ITU LAKNAT
    Perbedaan awal puasa antar negara adalah hal yang bisa difahami, walau pun tidak mesti terjadi pada masa sekarang yang serba canggih bahwa setelah konjungsi hilal sudah muncul di atas horizon setelah terbenam matahari.

    Hal itu disampaikan staf pengajar pada Islamic University of Europa, Prof. Dr. Sofjan Siregar, Mam, Sabtu (14/7/2012).

    “Namun jika perbedaan awal Ramadan di satu negara apalagi di kota yang sama seperti Jakarta bahkan di satu gang yang sama, maka itu bukan lagi rahmat, namun laknat bagi umat Islam di tanah air,” ujar Sofjan.

    Menurut Sofjan, perbedaan penetapan awal Ramadan sejak dulu bukan karena beda methode antara rukyah dan hisab, namun karena gengsi antara Muhammadiyah yang menerapkan methode horizon bebas dan Kemenag yang didominasi pemikiran horizon lokal.

    “Karena methode apa pun yang dipakai jika masing-masing pihak memahami bahwa tujuan dari rukyah dan hisab adalah sama yaitu hilal, pasti bisa ketemu dan puasa bersama,” tandas Sofjan.

    Lanjut Sofjan, hakekat dan esensi perintah merukyah bukan ibadah dan tidak boleh disakralkan, tapi justru adalah untuk mengetahui apakah hilal sudah muncul atau belum. Jika kita sudah tahu hilal jauh sebelumnya, mengapa lajnatul isbath Kemenag dan ormas islam lainnya harus menunggu 29 Syaban setiap tahun untuk observasi hilal?

    Jika hilal sudah diyakini pasti muncul, mungkin dilihat di tempat lain, namun tidak mungkin dilihat di Indonesia, mengapa Kemenag harus mengerahkan massa memantau hilal di beberapa titik di tanah air pada 29 Syaban?

    “Artinya kenapa anggaran observasi dialokasikan dan dicairkan padahal sudah tahu haqqulyakin bahwa hilal untuk tahun ini pada tanggal tersebut tidak bisa dirukyah?Bukankah ini suatu pembodohan umat?,” gugat Sofjan.

    Dijelaskan, untuk tahun ini konjungsi matahari dan bulan terjadi pada Kamis 19 Juli 2012 pukul 04.24 UT, 07.24 waktu Mekkah. Kondisi hilal di Indonesia sulit dirukyah karena ketinggian hilal kurang dari 2 derajat, walau pun sebenarnya ketinggian hilal 1 derajat pun pernah bisa dirukyah pada 1971 di Indonesia.

    Yang jelas, lanjut Sofjan, hilal sudah ada setelah matahari terbenam dan berumur lebih dari 8 jam setelah konjungsi. Kemungkinan dilihat di Mekkah ada selama sekitar 6 menit setelah matahari terbenam pada pukul 19.05 waktu setempat, lalu hilal tenggelam pada pukul 19.11.

    Dalam pandangan Sofjan, hanya ada satu solusi yaitu bubarkan lajnatul isbat dan ganti dengan lajnatul falak. Artinya, tidak mesti kumpul dan kongko-kongko lagi di Kemenag pada setiap tanggal 29 Syaban, tapi tentukan jauh sebelumnya bahwa puasa jatuh pada hari sekian dan tanggal sekian.

    Kemenag tahun ini harus berani menggunakan otoritasnya untuk mengumumkan awal puasa beberapa hari sebelum akhir Syaban dan menyiarkan puasa serentak pada 20 Juli 2012. Kemenag harus membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin bukan laknatan lilalamin.

    “Adalah suatu kesalahan besar jika beberapa ormas Islam dan lajnatul isbath Kemenag masih bersikeras mempertahankan tradisi dan adat yang tidak ada kaitannya dengan ibadat. Merukyah sendiri, dengan melakukan methode horizon lokal, berarti mempersempit rahmat dan menyebar laknat terhadap umat Islam di tanah air,” demikian Sofjan.

    Sumber: http://suaranews.com/2760/perbedaan-awal-puasa-bukan-rahmat-tapi-laknat-kata-prof-sofjan

  54. Hahaha,,, masih percaya sama Depag? Quran aja dikorupsi,,, Pastinya sindang Ibat itu sudah dianggarkan kemenag, jadi nggak mungkin dihapuskan,,,

  55. Apakah keputusan pemerintah selama ini yang paling BENAR ? kalau sudah benar maka juga harus sesuai logika & Iptek. Misalnya saat menetapkan tanggal 1 Ramadhan maka purnama tanggal 15 (fuulmoon). Dan malam lebaran harusnya SUDAH TIDAK TERLIHAT BULAN. Tahun 2011 kemarin malam Iedul Fitri versi pemerintah bulan sudah terlihat jelas. Bagaimana ini Bapak?

  56. Reblogged this on loveicadz and commented:
    follback

  57. Reblogged this on Mas Pendek.

  58. […] pengalaman sebelumnya, pada sidang isbat untuk penetapan awal Ramadhan 1407/1987 dengan didukung Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 pertama kali membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat […]

Tinggalkan komentar