Bumi Dihujani 25.000 Ton Batuan dan Debu Setiap Tahun

T. Djamaluddin

Peneliti  Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat, 24 Januari 1995)

Sebagian besar manusia tak sadar bahwa bumi kita ini dihujani bebatuan, pasir, dan debu dari luar angkasa dalam jumlah yang luar biasa banyaknya. Walaupun orang biasa menyebut meteor sebagai bintang jatuh, tak banyak yang menyadari bahwa meteor itu sebenarnya adalah bebatuan atau debu-debu angkasa luar yang menerobos ke bumi kita.

Meteoroid

Di ruang antarplanet, di luar angkasa bumi, masih bertebaran bebatuan dalam berbagai ukuran yang secara umum disebut meteoroid. Bila meteoroid itu memasuki atmosfer bumi dan mengalami pemanasan akibat gesekan dengan udara akan teramati sebagai meteor, atau bisa dikira orang bintang jatuh. Bila meteoroid itu cukup besar dan tak habis terbakar di atmosfer, sisa yang jatuh ke permukaan bumi itu disebut meteorit. Di musium geologi Bandung, kita bisa melihat berbagai contoh meteorit itu.

Wetherill (1974) dan Hughes (1978) menaksir setiap tahun sekitar 16.000 – 30.000 ton meteoroid masuk ke atmosfer bumi. Bahkan menurut analisis terbaru yang dilakukan oleh LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) diperkirakan lebih banyak lagi. Dengan menggunakan data dari radar meteor di Serpong (kerja sama antara LAPAN, BPPT, dan Univ. Kyoto – Jepang) diperoleh bahwa bumi kita dihujani batuan dan debu antara 25.000 – 86.000 ton/tahun. Sebagian berupa debu halus (meteoroid mikro) dan berupa pasir bermassa sekitar 1 gram yang nampak sebagai meteor. Tetapi sebagian besar massanya berupa meteoroid besar: bermassa 1 ons sampai 1 ton yang tersisa sebagai meteorit atau yang terbakar habis yang disebut bola api (fireball) atau bermassa lebih besar lagi sampai mencapai trilyunan ton yang bisa membuat kawah besar atau ledakan besar. Kawah Meteor di Arizona yang berdiameter sekitar 1 km ditaksir disebabkan oleh meteoriod bermassa sekitar sejuta ton. Sedangkan ledakan besar di Tunguska, Siberia, 1908 yang disebabkan oleh meteoroid sebesar itu pula menyebabkan ledakan besar dengan energi setara 10 juta ton TNT atau 50 kali ledakan bom atom Hiroshima.

Menurut perhitungan Shoemaker, setiap tahun rata-rata atmosfer bumi dimasuki satu meteoroid besar berdiameter sekitar 10 meter dengan massa ribuan ton dan kecepatannya 15 – 20 km/detik yang energi kinetiknya setara dengan 20.000 ton TNT, hampir sama dengan kekuatan bom atom Hiroshima. Bahkan Rabinowitz, berdasarkan pengamatan dengan teleskop Spacewatch di Arizona, menduga ledakan sekuat ledakan bom atom akibat masuknya meteoroid terjadi setiap bulan.

Hasil pengamatan satelit militer Amerika Serikat menunjukkan bahwa selama tahun 1975 – 1992 telah tercatat sebanyak 136 ledakan di atmosfer, atau rata-rata 8 meteoroid per tahun dengan energi masing-masing sekurang-kurangnya 1000 ton TNT. Salah satu di antaranya terjadi di atas Indonesia pada posisi 124o BT, 4o LS ( di atas laut Banda) pada tanggal 15 April 1988 pukul 11:03 WITA. Diperkirakan ledakan itu akibat masuknya meteoroid besar dengan energi ledakan setara dengan 5.000 ton TNT yang bisa menyebabkan bola api seterang matahari dalam waktu kurang dari sedetik. Mungkin karena terjadinya sangat singkat dan di atas laut, peristiwa besar itu tidak teramati oleh masyarakat.

Hujan Meteor

Meteoroid penyebab fenomena meteor bisa berasal dari hasil tumbukan asteroid (planet kecil) maupun debu-debu yang ditinggalkan oleh komet di sepanjang lintasannnya. Pecahan hasil tumbukan asteroid lebih sering teramati sebagai meteor sporadis. Sedangkan debu-debu sisa komet sering teramati sebagai hujan meteor. Pada malam terjadinya hujan meteor, pengamat bisa melihat meteor lebih sering. Radar meteor di Serpong bisa mendeteksi lebih banyak meteor dan lebih cermat.

Adakah pengaruh meteor, khususnya hujan meteor, pada bumi? Ada! Itulah yang kini giat ditelaah oleh para peneliti LAPAN Bandung. Pengaruh meteoroid yang utama adalah ionisasi di atmosfer atas dan menumpuknya aerosol di stratosfer. Dari pengamatan radio, meteor menyebabkan ionisasi pada ketinggian antar 70 – 120 km, dengan puncaknya pada 97 km. Proses ionisasi di ionosfer ini bisa mempengaruhi komunikasi radio. Konsentrasi ion atmosfer dan ion akibat meteor hampir sama.

Ada dugaan bahwa debu-debu meteor bisa juga menjadi inti kondensasi awan noktilusen, awan tinggi di stratosfer pada ketinggian 83 km dengan ketebalan sekitar 200 m – 2 km dengan lebar sekitar 10.000 – 4.000.000 km2. Debu-debu kosmik atau meteoroid mikro yang ukurannya sangat kecil (kurang dar 100 mikrometer) tidak terbakar ketika memasuki atmosfer. Mikro meteoroid ini setelah mengalami pelambatan di atmosfer tertimbun di stratosfer.

Kalau benar awan noktilusen bisa juga dibentuk oleh inti kondensasi dari meteoroid mikro, ada kemungkinan bila partikel-partikel itu turun ke atmosfer bawah bisa juga menjadi inti kondensasi bagi awan di troposfer. Menurut Rao dan Ramesh yang melakukan penelitian pada 1964, ada hubungan antara pembentukan awan cirrus dan hujan meteor. Tetapi, hubungan antara hujan meteor dan curah hujan masih merupakan perdebatan. Ini menarik untuk dikaji dalam kasus di Indonesia. Menurut hasil penginderaan jauh oleh satelit cuaca yang dipantau LAPAN pada bulan September dan Oktober 1994 awan mulai tampak menutupi sebagian wilayah Indonesia. Ini sempat menimbulkan dugaan bahwa musim hujan segera datang, tetapi nyatanya awan itu buyar lagi. Adakah pengaruh hujan meteor pada kasus ini atau semata-mata faktor meteorologis? Inilah yang sedang dan akan diteliti oleh para peneliti LAPAN.

Dampak Tumbukan Besar

Walaupun jarang, masuknya meteoroid besar ke atmosfer bumi bisa menimbulkan bahaya besar. Hills dan Goda (1993) melakukan perhitungan tentang berbagai akibat masuknya meteorid besar. Bila meteoroid batuan berdiameter kurang dari 220 m atau meteoroid besi berdiameter kurang dari 80 m masuk ke atmosfer bumi dengan kecepatan 22 km/detik, atmosfer masih mampu menyerap setengah energi yang dilepaskannya. Kemampuan atmosfer inilah yang menyebabkan bumi relatif terlindung dari tumbukan langsung. Namun, sebagai gantinya akan terjadi ledakan besar dengan energi ribuan kali lebih kuat dari bom atom Hiroshima dan radius ledakan 2000 km2 (bagi meteoroid berdiameter 80 m).

Bila meteoroid besar berdiameter lebih dari 200 m memasuki atmosfer bumi, atmosfer tidak efektif lagi melindungi permukaan bumi. Ini bisa menyebabkan kawah besar, gempa, atau pun tsunami (bila meteorit besar jatuh ke laut).

Kesalahpahaman tentang Islamisasi Sains

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat — Tadarus–,  8 Oktober 2007)

Seorang teman yang tampaknya tengah terobsesi dengan Islamisasi ilmu pengetahuan pernah menanyakan mengapa dalam makalah-makalah ilmiah saya tidak pernah tercantum ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia meyakini bahwa mencantumkan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan dalam makalah ilmiah merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.

Dalam makalah ilmiah ilmu sosial yang mengkaji perilaku manusia mungkin saja rujukan ayat-ayat Alquran tercantum, karena itu merupakan bagian dari sistem nilai manusia yang mungkin sedang dikajinya. Dalam hal ini rujukan-rujukan dari sumber Islami merupakan hal yang sahih dan sangat dianjurkan bagi para pakar Islam. Itu merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu sosial yang mungkin telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam.

Namun, dalam hal sains yang mengkaji perilaku alam, tepatkah ayat-ayat Alquran dijadikan rujukan dalam analisis ilmiahnya? Atau secara umum, perlukah Islamisasi sains?

Ketika saya menulis skripsi untuk mendapatkan sarjana astronomi di ITB tentang gugusan bintang-bintang muda di galaksi Bimasakti yang mengindikasikan bidang galaksi melengkung, kutipan ayat Alquran (Q.S. 3:191-192 tentang pentingnya merenungi alam semesta dan Q.S. 85:1 tentang pentingnya memperhatikan gugusan bintang) hanya saya cantumkan di halaman depan skripsi, tidak masuk dalam makalah utamanya. Alquran menjadi landasan iman dalam mengkaji ayat-ayat Allah di alam semesta, tetapi tidak mungkin dijadikan rujukan untuk memperkuat argumentasi saintifiknya.

Mengapa tidak mungkin? Ada contoh sederhana untuk menjawabnya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang pembentukan bintang, dengan sengaja saya menuliskan kalimat pasif yang secara implisit mengandung pengertian “bintang dibentuk”, bukan terbentuk sendirinya. Artinya ada peran Allah sebagai khaliq. Tetapi profesor pembimbing saya mencoretnya dan mengganti kalimatnya sehingga lebih netral, tanpa nuasa konflik keyakinan ada tidaknya Tuhan pencipta alam. Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa dalam sains, argumentasi ilmiah harus sepenuhnya berpijak pada landasan yang dapat diterima bersama, apa pun agamanya.

Islamisasi Sains?

Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di Pakistan pada masa Presiden Zia ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood, Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera menyambutnya dengan dengan mendirikan “Holy Quran Research Foundation”. Salah satu hasil kajiannya berupa buku “Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran” (1987).

Sayang, obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjaunya dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia, publikasi serupa itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.

Semangat Islamisasi sains di Pakistan yang dirasakan telah salah arah, menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan kritik-kritiknya atas upaya Islamisasi sains di Pakistan dalam bukunya “Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality” (1992). Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya Islamisasi Sains yang dimotori Presiden Zia ul Haq telah salah langkah dan memalukan.

Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang oleh para pemaparnya — di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains — dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis isra’ mi’raj dengan teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.

Sebenarnya, adakah sains Islam? Dan perlukah Islamisasi sains? Untuk menjawabnya, kita kembali mengkaji lebih dalam lima ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah s. a. w. dan kita fahami prinsip dasar sains.

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5).

Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca ayat-ayat qur’aniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk itu.

Manusia yang diciptakan dari substansi serupa gumpalan darah telah dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai rahasia-rahasia di balik semua fenomena alami. Kompilasi pengetahuan manusia kemudian didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini melahirkan sains dalam upaya menafsirkannya. Ada astronomi, matematika, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya tunduk pada hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah hukum-hukum alam yang tunduk pada sunnatullah. Pembuktian teori-teori yang dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana.

Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.

Jadi, Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.

Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan“. Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukurinya dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia” (Q. S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.

Ketika Pluto Digugat & Implikasi Perubahan Status Pluto

T. Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi, LAPAN Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2006)

Setelah 76 tahun menyandang predikat planet, kini Pluto dianggap sebagai bukan planet, walau punya sebutan planet kerdil atau planet katai (dwarf planet). Perhimpunan Astronomi Internasional (International Astronomical Union, IAU) melalui mekanisme voting pada akhir sidang umumnya di Praha, Ceko, pada 24 Agustus 2006 membuat definisi baru tentang planet yang akhirnya mengeluarkan Pluto dari kelompok planet. Jadi, kini keluarga tata surya dikelompokkan menjadi tiga kelompok:  planet (8), planet kerdil (kini ada 3, mungkin terus bertambah menjadi puluhan), dan benda kecil tata surya (komet, asteroid, dan benda kecil lainnya yang jumlahnya sangat banyak). Terminologi planet minor untuk asteroid kini dihapuskan.

Mengapa status pluto mesti digugat? Pendefinisian ulang tentang planet diperlukan agar tidak membingungkan masyarakat astronomi dan masyarakat umum. Sejak tahun 1990-an perkembangan astronomi sistem planet demikian pesat yang telah mengaburkan definisi awal tentang planet. Penemuan planet-planet di luar tata surya yang mempunyai beberapa kesamaan sifat dengan objek katai coklat (bakal bintang yang gagal bersinar) menambah rumitnya mendefinisikan planet.

Perdebatan tentang status Pluto dipicu oleh penemuan objek yang diklasifikasikan sebagai “objek lintas Neptunus” (Trans-Neptunian Objects, TNO), yaitu objek tata surya yang mengorbit melintasi atau di luar orbit planet Neptunus. Sampai akhir 1990-an telah ditemukan hampir 100 TNO, kini jumlahnya terus bertambah.

Penemuan TNO diawali oleh D. Jewitt dan J. Luu. Pada 1992 mereka menemukan objek yang dinamakan QB1. Objek itu diklasifikasikan bukan planet, bukan asteroid, juga bukan komet. Objek itu mempunyai kemiripan dengan sifat-sifat dinamika Pluto.  Pluto kurang cocok dianggap sebagai planet, seperti delapan planet lainnya. Tetapi, terlalu besar bila digolongkan sebagai TNO. Namun, divisi III IAU yang membidangi sains sistem planet cenderung menggolongkannya sebagai TNO, berdasarkan kedekatan ciri-ciri dinamikanya. Namun sejak 2002 ditemukan objek-objek yang cukup besar sehingga diusulkan sebagai planet baru, yaitu Quaoar, Sedna, and Xena (nama informal bagi objek 2003 UB313). Diskusi panjang sejak 1990-an tentang status Pluto dan objek-objek baru serupa planet lainnya akhirnya diputuskan dalam voting  IAU dalam 2006 lalu, pluto bukan planet.

Pluto Memang Aneh

Wajar Pluto digugat. Aneh kalau Pluto dipertahankan sebagai planet. Pluto berbeda dengan kedelapan planet lainnya. Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus mempunyai ciri-ciri yang mirip dan sifat-sifatnya bisa dijelaskan dari proses pembentukan tata surya. Empat planet pertama disebut planet keluarga bumi karena komposisinya mirip bumi, terutama terdiri dari batuan silikat dan logam. Empat planet berikutnya disebut planet keluarga Jupiter yang merupakan planet raksasa dengan komposisi utamanya adalah unsur-unsur ringan (Hidrogen, Helium, Argon, Karbon, Oksigen, dan Nitrogen) berbentuk gas atau cair.

Planet-planet keluarga bumi hanya terbentuk dari materi padat yang terkondensasi, terutama dari senyawa besi dan silikat. Sedangkan Jupiter dan planet-planet raksasa lainnya terbentuk dari planetesimal (bakal planet) besar, antara lain akibat turut terkondensasinya es air, sehingga mampu menangkap gas, terutama Hidrogen dan Helium.

Pluto terdiri dari batuan dan es. Diperkirakan komposisinya terdiri dari 70% batuan dan 30% es air. Atmosfernya sangat tipis terdiri dari nitrogen, karbon monoksida, dan metan yang hampir selalu berupa gas beku. Kondisi ini aneh bila dibandingkan dengan proses pembentukan planet keluarga Jupiter. Semestinya semakin jauh dari matahari, bila proses pembentukannya sama, akan terbentuk planet gas juga yang tergolong besar ukurannya.

Keanehan lainnya, pluto berukuran sangat kecil dibandingkan planet-planet lainnya. Diameternya hanya setengah diameter Merkurius atau dua pertiga diameter bulan. Bidang orbitnya juga sangat menyimpang (inklinasinya 17 derajat) dari bidang orbit rata-rata planet (inklinasi rata-rata 2 derajat). Lintasan orbitnya pun yang paling lonjong.

Pluto ditemukan dari keberuntungan yang bersumber dari kesalahan perhitungan Percival Lowell tentang gangguan orbit planet Uranus dan Neptunus pada awal 1900-an. Menurut dia, mestinya ada planet pengganggu di luar orbit Neptunus. Tidak menyadari adanya kesalahan perhitungan Lowell, Clyde Tombaugh dengan gigih mencari planet pengganggu di sekitar posisi yang disebutkan oleh Lowell.

Pencarian Tombaugh tak sia-sia. Februari 1930, dia menemukan objek yang akhirnya dikenal sebagai planet Pluto. Walaupun belakangan diketahui bahwa Pluto terlalu kecil untuk dapat disebut pengganggu planet raksasa Uranus dan Neptunus. Kenyataan ini yang kemudian membangkitkan minat astronom mencari planet ke-10, planet-X. Hasilnya nihil.

Memang, hasil pengamatan akurat pesawat Voyager tahun 1980-an tentang massa Neptunus akhirnya menunjukkan bahwa tidak ada yang aneh dengan orbit planet Neptunus. Pluto atau Planet-X tak perlu ada untuk menjelaskan gangguan orbitnya. Tetapi Pluto terlanjur ditemukan dan telah diakui sebagai planet selama 76 tahun.

Definisi Planet

Dengan pengamatan mata, benda terang di langit terbagi menjadi dua: bintang tetap yang umumnya diasosiasikan dengan rasi-rasi bintang dan ”bintang” yang berpindah. Bintang yang berpindah bisa berupa bintang berekor (komet), bintang jatuh (meteor), atau bintang berjalan di sekitar rasi-rasi bintang. Dahulu orang menyebut bintang yang berjalan itu sebagai ”pengembara” yang dalam bahasa Yunani disebut planet. Sekarang diketahui bahwa “bintang” pengembara itu sebenarnya adalah benda tata surya yang mengelilingi matahari, sehingga tampak bergerak relatif terhadap bintang-bintang yang diam.

Dari fisik hasil pengamatan, kemudian planet didefinisikan sebagai benda langit yang mendapatkan cahayanya dari matahari. Definisi ini untuk membedakannya dari bintang yang cahayanya bersumber dari reaksi nuklir di intinya. Definisi sederhana ini yang kini banyak digunakan di buku-buku pelajaran. Tidak salah, hanya tidak tepat, karena masih banyak objek langit lainnya yang bersifat seperti itu.

Dengan definisi seperti itu, semua objek tata surya bisa dianggap sebagai planet. Komet, sebagai “bintang berekor” juga memenuhi definisi tersebut, karena sumber cahayanya hanya berasal dari cahaya matahari. Asteroid yang mengorbit di antara Mars dan Jupiter juga memenuhi definisi ini. Dengan bentuk yang beraneka ragam, semua asteroid hanya memantulkan cahaya matahari. Ceres sebagai salah satu asteroid terbesar yang ditemukan 1801 memang sempat menikmati status planet selama tujuh tahun, tetapi kemudian dianggap bukan planet.

Kisah pencoretan Ceres sebagai planet setelah 7 tujuh tahun pun mirip dengan kisah pencoretan Pluto sebagai planet setelah 76 tahun. Dulu Ceres dianggap sebagai planet yang “hilang” menurut hukum Bode yang terletak di antara Mars dan Jupiter. Tetapi kemudian dipertanyakan karena  ternyata Ceres bukanlah sebuah planet yang besar. Apalagi setelah ditemukan banyak objek sejenis, yang kemudian dikenal sebagai asteroid. Maka Ceres kemudian dinyatakan bukan planet, tetapi asteroid.

Sejarah memang berulang. Dulu Ceres dicoret sebagai planet lalu dikelompokan dalam planet minor (minor planet), mirip dengan Pluto yang dicoret sebagai planet lalu masuk kelompok planet kerdil (dwarf planet).  Selama seratus tahun lebih hanya  dikenal dua kelompok: planet (yang berukuran besar) dan planet minor (asteroid, yang berukuran kecil). Ketika ditanyakan batasan besarnya antara planet dan planet minor, tidak ada kejelasan. Batasan besarnya  untuk membedakan klasifikasi planet dan asteroid tidak didasarkan pada pertimbangan fisika, tetapi tampaknya berdasarkan pertimbangan praktis untuk tetap menganggap Ceres sebagai asteroid dan Pluto sebagai planet. Selama puluhan tahun digunakan diameter sekitar 1000 – 2000 km sebagai batasannya.

Dengan ditemukannya objek-objek baru yang diusulkan sebagai planet, masyarakat astronomi dituntut untuk memberi batasan atau definisi hakikat planet. Selama tujuh tahun sejak 1999 diskusi resmi di IAU tentang definisi planet belum mencapai kata sepakat, termasuk pada saat terakhir sudang umum IAU baru lalu. Ada usulan untuk menunda lagi pendifinisiannya. Ada banyak usulan. Definisi. Ada definisi berdasarkan batasan massanya, ada yang berdasarkan batasan gravitasinya yang dapat mempertahankan struktur bulatnya, atau berdasarkan dinamika massa total dominan di sekitar orbitnya.

Kini IAU telah membuat definisi baru tentang planet. Planet adalah benda langit yang (1)  mengorbit matahari, (2) mempunyai massa yang cukup bagi gaya gravitasinya untuk mengatasi gaya-gaya luar lainnya sehingga dengan kesetimbangan hidrostatiknya mempunyai bentuk hampir bulat, dan (3) telah menyingkirkan objek-objek lain di sekitar orbitnya. Rumusannya dapat juga disederhanakan menjadi, planet adalah benda langit yang mengitari matahari, bentuknya bulat, dan merupakan satu-satunya objek dominan di orbitnya.

Dengan definisi itu Pluto tersingkir, karena di sekitar orbitnya banyak juga objek sejenis berupa TNO. Ceres pun yang sempat diusulkan lagi jadi planet bersama Charon dan Xena jadi tersingkir karena di sekitar orbitnya banyak terdapat asteroid. Jupiter walau pun di orbitnya ada asteroid Troyan, tetapi massa Jupiter masih dominan. Demikian juga bumi yang di orbitnya masih ada objek dekat bumi (Near Earth Objects, NEO), massanya masih dominan. Tidak seperti Ceres dan Pluto yang massanya kecil.

Planet kerdil walau pun mengandung nama ”planet” bukanlah planet, sama halnya dengan penamaan asteoroid sebagai planet minor. Planet kerdil didefinisikan sebagai benda langit yang (1) mengorbit matahari, (2) mempunyai massa yang cukup bagi gaya gravitasinya untuk mengatasi gaya-gaya luar lainnya sehingga dengan kesetimbangan hidrostatiknya mempunyai bentuk hampir bulat, (3) belum menyingkirkan objek-objek lain di sekitar orbitnya, dan (4) bukan satelit.

Dengan definisi itu baru Pluto, Ceres, dan Xena yang masuk dalam kelompok planet kerdil. Charon yang sebelumnya diusulkan sebagai planet ganda berpasangan dengan Pluto, tidak dimasukkan sebagai planet kerdil karena berstatus sebagai satelit Pluto. Di luar planet dan planet kerdil, objek tata surya lainnya seperti komet, asteroid, TNO, NEO, dan lainnya dikelompokan sebagai ”benda kecil tata surya” (Small Solar System Bodies).

Implikasi

Pencoretan nama Pluto yang secara klasik sudah dianggap sebagai planet tentu mempunyai implikasi, terutama pada dunia pendidikan, baik formal di sekolah-sekolah maupun pendidikan publik semacam planetarium. Setidaknya buku-buku terkait dengan tata surya perlu direvisi. Demikian juga dengan alat peraga model planet dan poster-poster. Dengan alasan itu ada juga penerbit ensiklopedia yang menunda penerbitannya sampai adanya keputusan sidang umum IAU agar dapat menyajikan informasi terbarunya. Nantinya, buku-buku yang masih mencantumkan pluto sebagai planet akan dengan mudah dianggap sebagai buku kadaluwarsa. Banyak planetarium mulai bersiap merevisi alat peraga dan poster-posternya. Pembuat perangkat lunak astronomi, seperti Space Update, paling cepat melakukan revisi dan mulai menyebarkannya kepada para langganannya.

Selain kerumitan revisi, ada juga sisi positifnya, yaitu menyederhanakan pemahaman tentang planet dan memberikan kepastian. Tampaknya jumlah 8 planet bisa dianggap sebagai jumlah final, tidak akan bertambah lagi. Ini memberi kepastian, tidak dihinggapi kekhawatiran akan munculnya nama-nama planet baru yang memaksa revisi buku dan alat-alat peraga. Mungkin juga baru berubah 700 tahun lagi, kalau merujuk pada angka istimewa perubahan status Ceres setelah 7 tahun dan Pluto setelah 70 tahun (kalau dihitung sejak diskusi intensif pada awal tahun 2000). Perburuan planet baru bukan lagi tujuan para astronom pengamat langit. Kini peluang terbesar adalah menemukan planet kerdil yang diduga jumlahnya sangat banyak. TNO akan menjadi tantangan untuk menemukan planet kerdil, ukurannya kecil tetapi jumlahnya banyak.

Sebelumnya TNO secara umum digolongkan sebagai planet minor, seperti halnya asteroid. Keberadaan TNO mulanya diusulkan oleh G. P. Kuiper pada 1951 berdasarkan argumentasi bahwa semestinya materi-materi dari piringan nebula pembentuk tata surya berkurang secara gradual ke arah tepi piringan. Usulan ini kemudian diperkuat oleh analisis dinamika komet-komet periode pendek yang menunjukkan bahwa komet-komet itu berasal dari “sarang” komet yang terletak di luar orbit Neptunus. Kawasan “sarang” komet yang diduga berisi sekitar 35.000 objek batuan mengandung es itu kini dikenal sebagai sabuk Kuiper.

TNO menjadi nama umum untuk objek dari sabuk Kuiper dan  objek berorbit lonjong yang melintasi orbit Neptunus. Para astronom membagi TNO dalam dua kelompok besar: objek berorbit lingkaran (objek sabuk Kuiper) dan objek berorbit lonjong berperiode 1,5 kali periode orbit Neptunus yang disebut objek Plutinos atau Plutonian, dengan Pluto sebagai contohnya. Ya, Pluto si bungsu yang aneh dalam kelompok planet, kini telah telah ditempatkan pada posisi seharusnya menjadi pemimpin kelompok baru, planet kerdil.

Pluto Bukan Planet?

T. Djamaluddin

Peneliti Bidang Matahari dan  Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat Republika, 7 Februari 1999)

Voting bukan hanya ada di gelanggang politik. Saat ini Perhimpunan Astronomi Dunia (International Astronomical Union, IAU) sedang mempersiapkan perdebatan dan voting tentang status Pluto yang hampir 70 tahun telah dianggap sebagai planet. Bila para astronom bisa mengambil konsensus, maka Pluto akan dikeluarkan dari daftar nama planet di tatasurya. Bila tidak ada konsensus, maka status Pluto dibiarkan menggantung diklasifikasikan sebagai planet dan bukan planet.

Konsensus itu diperlukan untuk mendapatkan definisi yang tidak membingungkan masyarakat astronomi dan masyarakat umum. Dalam dasawarsa terakhir ini perkembangan astronomi sistem planet demikian pesat yang telah mengaburkan definisi awal tentang planet. Penemuan planet-planet di luar tata surya yang mempunyai beberapa kesamaan sifat dengan objek katai coklat (bakal bintang yang gagal bersinar) menambah rumitnya mendefinisikan planet.

Perdebatan tentang status Pluto dipicu oleh penemuan objek yang diklasifikasikan sebagai “objek lintas Neptunus” (Trans-Neptunian Objects, TNO), yaitu objek tata surya yang mengorbit melintasi atau di luar orbit planet Neptunus. Sampai akhir 1998 telah tercatat ada 84 TNO.

Penemuan TNO diawali oleh D. Jewitt dan J. Luu. Pada 1992 mereka menemukan objek yang dinamakan QB1. Objek itu diklasifikasikan bukan planet, bukan asteroid, juga bukan komet. Objek itu mempunyai kemiripan dengan sifat-sifat dinamika Pluto.      Pluto kurang cocok dianggap sebagai planet, seperti delapan planet lainnya. Tetapi, terlalu besar bila digolongkan sebagai TNO. Namun, divisi III IAU yang membidangi sains sistem planet cenderung menggolongkannya sebagai TNO, berdasarkan kedekatan ciri-ciri dinamikanya. Kepastian statusnya akan diputuskan dalam voting para pakar IAU dalam waktu dekat ini.

Keanehan Pluto

Pluto ditemukan dari keberuntungan yang bersumber dari kesalahan perhitungan Percival Lowell tentang gangguan orbit planet Uranus dan Neptunus pada awal 1900-an. Menurut dia, mestinya ada planet pengganggu di luar orbit Neptunus. Tidak menyadari adanya kesalahan perhitungan Lowell, Clyde Tombaugh dengan gigih mencari planet pengganggu di sekitar posisi yang disebutkan oleh Lowell.

Pencarian Tombaugh tak sia-sia. Februari 1930, dia menemukan objek yang akhirnya dikenal sebagai planet Pluto. Walaupun belakangan diketahui bahwa Pluto terlalu kecil untuk dapat disebut pengganggu planet raksasa Uranus dan Neptunus. Kenyataan ini yang kemudian membangkitkan minat astronom mencari planet ke-10, planet-X. Hasilnya nihil.

Memang, hasil pengamatan akurat pesawat Voyager tentang massa Neptunus akhirnya menunjukkan bahwa tidak ada yang aneh dengan orbit planet Neptunus. Pluto atau Planet-X tak perlu ada untuk menjelaskan gangguan orbitnya. Tetapi Pluto terlanjur ditemukan dan telah diakui sebagai planet. Kini para astronom mulai mempertanyakan statusnya karena ada beberapa perbedaan dengan delapan planet lainnya.

Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus mempunyai ciri-ciri yang mirip dan sifat-sifatnya bisa dijelaskan dari proses pembentukan tata surya. Empat planet pertama disebut planet keluarga bumi karena komposisinya mirip bumi, terutama terdiri dari batuan silikat dan logam. Empat planet berikutnya disebut planet keluarga Jupiter yang merupakan planet raksasa dengan komposisi utamanya adalah unsur-unsur ringan (Hidrogen, Helium, Argon, Karbon, Oksigen, dan Nitrogen) berbentuk gas atau cair.

Planet-planet keluarga bumi hanya terbentuk dari materi padat yang terkondensasi, terutama dari senyawa besi dan silikat. Sedangkan Jupiter dan planet-planet raksasa lainnya terbentuk dari planetesimal (bakal planet) besar, antara lain akibat turut terkondensasinya es air, sehingga mampu menangkap gas, terutama Hidrogen dan Helium.

Planetesimal kecil yang tidak membentuk planet atau pecah akibat tumbukan sesamanya tersisa sebagai komet, asteroid, dan meteoroid serta objek tata surya lainnya yang baru diketahui dalam dasawarsa terakhir ini, seperti TNO.

Pluto terdiri dari batuan dan es. Diperkirakan komposisinya terdiri dari 70% batuan dan 30% es air. Atmosfernya sangat tipis terdiri dari nitrogen, karbon monoksida, dan metan yang hampir selalu berupa gas beku. Kondisi ini agak aneh bila dibandingkan dengan proses pembentukan planet keluarga Jupiter. Semestinya semakin jauh dari matahari, bila proses pembentukannya sama, akan terbentuk planet gas juga yang tergolong besar ukurannya.

Keanehan lainnya, pluto berukuran sangat kecil dibandingkan planet-planet lainnya. Diameternya hanya setengah diameter Merkurius atau dua pertiga diameter bulan. Bidang orbitnya juga sangat menyimpang (inklinasinya 17 derajat) dari bidang orbit rata-rata planet (inklinasi rata-rata 2 derajat). Lintasan orbitnya pun yang paling lonjong.

Pluto sebagai Planet?

Planet sebenarnya berarti “bintang” yang mengembara, seperti arti katanya dalam bahasa Yunani: pengembara. Setelah orang mengetahui bahwa “bintang” pengembara itu sebenarnya adalah benda tata surya yang mengelilingi matahari (sehingga tampak bergerak relatif terhadap bintang-bintang yang diam), definisinya berubah.

Planet didefinisikan sebagai benda langit yang mengambil cahayanya dari matahari. Definisi ini yang banyak digunakan di kalangan siswa sekolah, sekedar untuk membedakannya dari bintang yang cahayanya bersumber dari reaksi nuklir di intinya. Matahari adalah sebuah bintang.

Kalau demikian definisinya, semua objek tata surya bisa dianggap sebagai planet. Komet, walau pun sudah dikelompokkan tersendiri sebagai “bintang berekor” sebenarnya memenuhi definisi tersebut. Asteroid yang merupakan batuan yang relatif kecil yang mengorbit di antara Mars dan Jupiter juga memenuhi defisi ini. Pluto pun tak diragukan lagi memenuhi definisi ini. Ceres yang ditemukan 1801 tetapi tujuh tahun kemudian dianggap bukan planet, sebenarnya juga memenuhi definisi ini.

Mengapa Ceres akhirnya dianggap bukan planet? Alasannya, setelah ditemukan banyak objek sejenis, planet yang dianggap “hilang” menurut hukum Bode ternyata bukanlah sebuah planet yang besar, melainkan banyak planet kecil. Maka kemudian definisinya dipertajam menjadi dua golongan: planet (yang berukuran besar) dan planet minor (asteroid, yang berukuran kecil). Ceres digolongkan sebagai asteroid, bukan planet.

Seberapa batasan kecil dan besar untuk membedakan klasifikasi planet dan asteroid? Selama ini digunakan diameter sekitar 1000 – 2000 km sebagai batasannya. Tampaknya berdasarkan pertimbangan praktis untuk tetap menganggap Ceres sebagai asteroid dan Pluto sebagai planet.

Definisi-definisi lain tentang planet belum disepakati. Ada definisi berdasarkan batasan massanya, ada yang berdasarkan batasan gravitasinya yang dapat mempertahankan struktur bulatnya, atau berdasarkan dinamika massa total dominan di sekitar orbitnya. Bagi pemburu planet di luar tata surya, planet dibedakan dari bintang katai coklat (objek sejenis planet yang sebenarnya bintang yang “gagal” bersinar).

Jadi, kalau masih mau menggunakan definisi sederhana tentang planet, tanpa memperhitungkan sifat-sifat dinamika dan komposisi fisisnya, orang masih boleh menyebut pluto sebagai planet. Status planet tersebut, semata-mata diperoleh Pluto karena alasan historis serta belum adanya konsensus definisi tentang planet.

Pluto TNO?

TNO secara umum digolongkan sebagai planet minor. Keberadaan TNO mulanya diusulkan oleh G. P. Kuiper pada 1951 berdasarkan argumentasi bahwa semestinya materi-materi dari piringan nebula pembentuk tata surya berkurang secara gradual ke arah tepi piringan. Usulan ini kemudian diperkuat oleh analisis dinamika komet-komet periode pendek yang menunjukkan bahwa komet-komet itu berasal dari “sarang” komet yang terletak di luar orbit Neptunus. Kawasan “sarang” komet yang diduga berisi sekitar 35.000 objek batuan mengandung es itu kini dikenal sebagai sabuk Kuiper.

Objek dari sabuk Kuiper saat ini disebut dengan nama umum TNO, dengan memasukkan juga objek berorbit lonjong yang melintasi orbit Neptunus. Dari sekitar 84 TNO yang telah teridentifikasi, para astronom membaginya dalam dua kelompok besar: objek berorbit lingkaran (objek sabuk Kuiper) dan objek berorbit lonjong berperiode 1,5 kali periode orbit Neptunus (objek Plutinos, sejenis Pluto). Secara dinamika, pluto tergolong sebagai TNO, walaupun dari segi ukuran sangat jauh lebih besar daripada rata-rata TNO yang telah ditemukan.

Pluto tampaknya hanya suatu kebetulan historis yang menggolongkannya sebagai planet. Setelah hampir 70 tahun dianggap planet, kini statusnya dipertanyakan. Sebab, “teman-teman” sejenisnya (TNO) kini banyak yang telah teridentifikasi. Hal serupa pernah terjadi pada Ceres. Pada saat ditemukan, 1801, Ceres dianggap sebagai planet. Tetapi, tujuh tahun kemudian “teman-teman” sejenisnya ditemukan. Ceres tidak lagi dianggap sebagai planet, tetapi sebagai astroid terbesar. Mungkin Pluto pun tidak akan dianggap lagi sebagai planet, melainkan sebagai TNO terbesar.

Waktu Shubuh Ditinjau secara Astronomi dan Syar’i

T. Djamaludin

(Anggota BHR Kementerian Agama RI/Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN)

Penentuan waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat. Tentang waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim). Fajar yang bagaimana yang dimaksudkan tersebut? Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam fikih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu).

Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, perlu diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut. Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq. Kemudian perlu batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer.

Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Fajar apakah sebagai pembatas awal shaum dan shalat shubuh? Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam.

Apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Di ekuator, atmosfernya lebih tebal sehingga memungkinkan hamburan cahaya terjadi pada atmosfer yang lebih tinggi daripada di lintang lainnya. Akibatnya sangat beralasan di wilayah ekuator fajar dapat terlihat lebih awal (posisi matahari kurang dari -18 derajat di bawah ufuk) daripada di lintang tinggi (posisi matahari bisa lebih dari -18 derajat di bawah ufuk).

Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 17 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria tersebut yang kini digunakan Departemen Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

Kalau saat ini ada yang berpendapat bahwa waktu shubuh yang tercantum di dalam jadwal shalat dianggap terlalu cepat, hal itu disebabkan oleh dua hal: Pertama, ada yang berpendapat fajar shadiq ditentukan dengan kriteria fajar astronomis pada posisi matahari 18 derajat di bawah ufuk, karena beberapa program jadwal shalat di internet menggunakan kriteria tersebut, dengan perbedaan sekitar 8 menit. Kedua, ada yang berpendapat fajar shadiq bukanlah fajar astronomis, karena seharusnya fajarnya lebih terang, dengan perbedaan sekitar 24 menit. Pendapat seperti itu wajar saja dalam interpretasi ijtihadiyah.

Baca juga: Warna Fajar Tanda Shubuh

Menyempurnakan Arah Kiblat dari Bayangan Matahari

T. Djamaluddin (LAPAN Bandung)

Mari kita lakukan penyempurnaan arah kiblat. Apakah arah kiblat berubah? Tidak. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlunya penyempurnan atau pemeriksaan ulang karena sebagian besar masjid atau musala arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada atau dengan menggunakan kompas yang tidak akurat. Nah, dengan bayangan matahari pada saat-saat tertentu yang disebutkan di bawah ini, arah kiblat dapat lebih mudah dan lebih akurat ditentukan. Waktunya diberikan banyak pilihan, silakan gunakan waktu yang sesuai dengan mempertimbangkan keadaan cuaca dan konversi waktu setempat. Arah kiblat bisa ditentukan dari bayangan benda vertikal, misalnya tongkat, kusen jendela/pintu, atau sisi bangunan.

Untuk daerah yang mengalami siang bersamaan dengan Mekkah (Indonesia Barat, Asia Tengah, Eropa, Afrika) silakan gunakan jadwal berikut ini untuk menentukan arah kiblat.

26 – 30 Mei, pukul 16:18 WIB (09:18 UT/GMT)

14 – 18 Juli, pukul 16:27 WIB (09:27 UT/GMT)

Rentang waktu plus/minus 5 menit masih cukup akurat. Arah kiblat adalah dari ujung bayangan ke arah tongkat.

Untuk daerah yang mengalami siang berlawanan dengan Mekkah (Indonesia Timur, Pasifik, dan benua Amerika) silakan gunakan jadwal berikut ini untuk menentukan arah kiblat menurut waktu setempat (konversikan WIB atau UT ke waktu local).

12 – 16 Jan, pukul 04:30 WIB (11 – 15 Jan , 21:30  UT/GMT)

27 Nov – 1 Des, pukul 04:09 WIB (26 – 30 Nov, 21:09 UT/GMT)

Rentang waktu plus/minus 5 menit masih cukup akurat. Arah kiblat adalah dari tongkat ke ujung bayangan.

Gunakan benda tegak, misalnya kusen jendela, untuk menentukan arah kiblat dari bayangannya pada waktu yang ditentukan. Beri tanda arah bayangan, misalnya dengan sajadah. Buat garis shaf baru berdasarkan arah yang telah ditentukan. Jangan ragu menyempurnakan arah kiblat demi kebenaran.

Bumi dan Peran Kita

Renungan Tahun Internasional Planet Bumi 2008 dan Hari Bumi 2008

SELAMATKAN BUMI UNTUK KITA DAN ANAK-ANAK KITA

T. Djamaluddin

(Dimuat di Pikiran Rakyat, 22 April 2008)

Banjir kini telah menjadi hal yang hampir selalu terjadi setiap hujan, dalam skala kecil maupun besar. Walau kecil, banjir cileuncang telah menyusahkan banyak orang, setidaknya memacetkan lalu lintas dan menyusuhkan penghuni di sekitarnya. Jalan dan gang banyak yang berubah menjadi sungai deras saat hujan lebat. Kadang kita menyalahkan pihak lain, tanpa mau menyadari bahwa bisa jadi kita salah satu pihak yang menyebabkannya. Sampah yang kita buang sembarang telah menyumbat saluran air dan resapan di halaman kita telah tertutup lapisan semen.

Kota juga semakin terasa panas dan pengap. Kicau burung semakin langka. Pendingin udara semakin menjadi kebutuhan vital di kota-kota besar. Lagi-lagi kita sering menyalahkan pihak lain sebagai penyebabnya, tanpa mau menyadari bahwa bisa jadi kita salah satu pihak yang menyebabkan. Pohon sering dianggap pengganggu sehingga dibiarkan mati di pinggir jalan atau ditebang saat membangun rumah, tanpa menggantikannya. Halaman rumah dibiarkan gersang sekadar karena alasan lahan sempit dan sibuk.

Sering kita berfikir terlalu global dan mengabaikan hal kecil yang ada di sekitar kita. Padahal kita bisa berbuat banyak sesuai peran masing-masing untuk menyelamatkan lingkungan bumi kita. Ketika sampah menggunung, kita hanya berharap pemerintah yang menyelesaikan, padahal kita bisa juga membantu menyelesaikannya, setidaknya dengan mengurangi sampah yang dibuang.

Tiga contoh kecil itu sekadar pembuka kesadaran pentingnya kepedulian kita pada lingkungan untuk tujuan yang lebih besar penyelamatan planet bumi. Bukan untuk kepentingan planet bumi tentunya, tetapi untuk kita sendiri dan anak-anak kita. Setidaknya peringatan Hari Bumi 22 April dan pencanganan Tahun Internasional Planet Bumi sebagai momentum yang tepat untuk kembali merenungkan posisi kita masing-masing. Tidak sekadar berharap pihak lain yang berbuat untuk kita, tetapi kembalikan tanyakan apa yang bisa kita perbuat.

Hari Bumi dan Planet Bumi

Hari Bumi 22 April diperingi oleh banyak negara untuk mengingatkan pentingnya penyelamatan bumi. Ini diawali dengan keprihatian makin meluasnya kerusakan lingkungan di Amerika Serikat. Kemudian aktivis lingkungan, Senator Gaylord Nelson, menggalang Hari Bumi di Amerika Serikat pada 22 April 1970 yang diikuti lebih dari 20 juta orang. Siswa SD sampai mahasiswa serta masyarakat umum bersatu dalam demonstrasi menuntut pembenahan lingkungan. Gerakan berhasil membangun kesadaran masyarakat dan mendobrak tradisi proses politik yang terkait dengan penyelamatan lingkungan.

Hasilnya luar biasa. Banyak undang-undang tentang lingkungan hidup kemudian berhasil dikeluarkan setelah gerakan itu, antara lain tentang perlindungan udara bersih, air minum, lahan, dan laut. Badan perlindungan lingkungan Amerika Serikat kemudian didirikan.  Keberhasilan itu kemudian diikuti oleh banyak negara untuk memperingatinya dengan berbagai kegiatan yang berorientasi pada penyadaran semua pihak akan pentingya penyelamatan lingkungan di bumi. Tujuan pokoknya adalah untuk mengubah perilaku masyarakat dan mendorong perubahan kebijakan agar lebih ramah lingkungan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Hari Bumi 2008 mempunyai arti lebih penting karena tahun 2008 telah dicanangkan oleh Majelis Umum PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) sebagai Tahun Internasional Planet Bumi. Dengan pencanangan itu diharapkan adanya upaya peningkatan kesadaran akan peran ilmu-ilmu kebumian dalam mencapai pembangunan berkelanjutan dan mendukung langkah-langkah lokal, nasional, regional, dan internasional. Badan PBB untuk pendidikan, keilmuan, dan budaya (UNESCO) dan untuk program lingkungan (UNEP) serta himpunan ilmu kebumian mengkoordinasikan penelitian dan pemasyarakatan ilmu-ilmu kebumian agar dapat diaplikasikan dalam membangun bumi yang lebih aman dari bencana, lebih sehat, dan lebih sejahtera.

Ilmu-ilmu kebumian, misalnya geologi dan sains atmosfer, melalui riset dan pemasyarakatannya diharapkan lebih berperan dalam mencegah bencana alam dan bencana akibat ulah manusia, termasuk perubahan iklim. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam proses pembangunan agar dapat memperbaiki lingkungan agar lebih sehat serta dapat memanfaatkan sumberdaya alam lebih efisien. Tentunya juga dengan riset ilmu kebumian diharapkan semua proses di bumi dan kaitannya dengan kehidupan dapat difahami lebih baik.

Hari Bumi 22 April adalah alarm untuk mengingatkan kembali bahwa kita bisa berbuat untuk menyelamatkan planet Bumi untuk kita dan anak-anak kita. Tahun Internasional Planet Bumi 2008 di Indonesia bisa diisi dengan rangkaian kegiatan yang terkait, seperti Hari Lingkungan Hidup 5 Juni dan Hari Perlindungan Ozon 16 September.

Bumi Makin Rusak

Secara kasat mata kita merasakan betapa bumi kita makin rusak. Hutan makin gundul yang berakibat makin banyaknya bencana tanah longsor dan banjir bandang. Lingkungan perkotaan makin tidak nyaman dengan makin panasnya udara, sampah bertebaran tak terkendali, sungai menyempit, dangkal, dan kotor, udara makin kotor, serta banjir bila hujan. Anomali iklim ekstrim yang menyebabkan kekeringan dan besarnya curah hujan serta bencana lainnya kini frekuensi kejadiannya semakin sering. Ya, bumi kita makin rusak. Telah terjadi perubahan yang bersifat lokal, regional, dan global. Hasil-hasil penelitian lembaga-lembaga riset menunjukkan fakta adanya perubahannya yang berpotensi mengancam kehidupan manusia saat ini dan masa mendatang.

Sekadar memberikan contoh, hasil-hasil kajian peneliti di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Anatriksa Nasional) memberikan gambaran kerusakan yang perlu diwaspadai semua pihak.  Pemerintah, lembaga legislatif, dan masyarakat perlu merenungkannya untuk mengambil langkah yang tepat.

Kajian perubahan suhu di Jakarta menunjukkan bahwa dalam 100 tahun, tahun 1901 – 2002, suhunya cenderung terus menaik. Pada awal 1900-an suhu rata-rata di Jakarta sekitar 26 derajat, pada awal 2000-an mencapai sekitar 28 derajat. Penelitian lebih rinci dengan data satelit di beberapa kota besar menunjukkan kecenderungan pemanasan kota yang disebut urban heat island (pulau panas perkotaan). Disebut pulau panas, karena pemanasan hanya bersifat lokal di tengah kota, sedangkan daerah sekitarnya relatif lebih dingin. Pemanasan kota lebih disebabkan berkurangnya tanaman dan bertambahnya bangunan serta jalan beraspal.

Di Bandung, daerah panas dengan suhu tinggi 30-35 0C yang umumnya terletak di sekitar pusat kota bertambah dengan laju per tahun 4,47% atau kira-kira 12.606 ha. Laju pertambahannya di Semarang 8,4% (12.174 ha) dan di Surabaya 4,8% (1.512 ha). Hal ini terkait dengan laju pertumbuhan per tahun kawasan terbangun di Bandung 0,36% (1.029 ha), di Semarang 0,83% (1.200 ha), dan di Surabaya 1,69% (531 ha).

Perkembangan pembangunan yang berdampak pada peningkatan polusi udara juga berpotensi meningkatkan keasaman air hujan. Fenomena hujan asam perlu diwaspadai karena terkait dengan potensi kerusakan pada bangunan dan usaha pertanian. Pengukuran keasaman hujan asam di Bandung mulai memberi sinyal lampu kuning. Sejak 1996 air hujan di Bandung cenderung berada di bawah batas keasaman dan mulai mengindikasikan fenomena hujan asam. Bahkan pada tahun 1999 – 2000 mencapai batas terendah dengan keasaman (pH) sekitar 4 yang mungkin juga sebagian disebabkan oleh sumber-sumber dari gunung berapi. Sulfur Dioksida dan Nitrogen Dioksida dari polusi udara dari kendaraan bermotor dan industri menjadi faktor yang perlu diwaspadai dari fenomena hujan asam.

Curah hujan rata-rata di Jawa Barat dan Banten ada kecenderungan berkurang, dari 2.596 mm pada 1901 – 1930 menjadi 2.215 mm pada 1973 – 2002. Secara spasial, daerah yang mengalami penurunan curah hujan terutama di daerah Jawa Barat bagian selatan. Banyak faktor yang berpengaruh, selain faktor lokal dan regional, sangat mungkin juga dipengaruhi faktor global.

Secara global diyakini perubahan iklim telah terjadi akibat pemanasan global yang terkait peningkatan gas rumah kaca (terutama CO2) akibat aktivitas manusia. Suhu rata-rata global makin panas, naik sekitar 0,7 derajat dalam 50 tahun. Tampaknya kenaikannya kecil, tetapi diduga kuat berperan pada peningkatan tinggi permukaan air laut dan mencairnya es di kutub. Bila emisi CO2 dari industri, transportasi, dan aktivitas manusia lainnya terus bertambah sedangkan hutan sebagai penyerap CO2 makin berkurang. Akibatnya, bumi akan makin panas dan curah hujan juga berubah. Bila itu terjadi, Indonesia bagian utara cenderung akan makin tinggi curah hujannya, sedangkan Indonesia bagian selatan (termasuk Jawa) cenderung berkurang curah hujannya. Dengan suhu makin tinggi produksi padi dan jagung juga cenderung menurun, kecuali bila ditemukan bibit unggul baru.

Mari Berbuat

Kecenderungan makin rusaknya bumi, baik dalam skala lokal maupun global bukan lagi sekadar wacana ilmiah. Perlu langkah kongkret untuk mengatasinya. Langkah-langkahnya mulai dari lingkup global, nasional, regional, sampai lokal, bahkan personal. Kalau kita biarkan, potensi bencana mengancam kita, manusia saat ini maupun generasi anak-anak kita.

Di tingkat global telah diupayakan perjanjian-perjanjian internasional untuk penyelamatan bumi. Misalnya, Protokol Montreal untuk perlindungan lapisan ozon dan Protokol Kyoto untuk pengendalian pemanasan global, walau masih ada kendala pelaksanaannya. Di tingkat nasional perlu terus diupayakan adanya peraturan perundangan yang menjamin kelestarian hutan, tata guna lahan yang ramah lingkungan, pengendalian pencemaran, dan segala aspek lainnya yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan demi penyelamatan bumi dan kehidupannya.

Menjelang Hari Bumi 22 April ada berita menggembirakan dengan disahkannya Undang-undang tentang Pengelolaan Sampah. Beberapa aspek mendasar serta strategis yang ditekankan dalam UU ini antara lain adanya kewajiban pengelola kawasan pemukiman, kawasan komersil, kawasan industri, kawasan khusus, tempat umum, tempat sosial juga bagi tempat-tempat lainnya untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah. Ada juga larangan bagi masyarakat membuang sampah tidak pada tempatnya atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah.

Pembuat kebijakan tentu berperan pada langkah-langkah strategis pada lingkup global, nasional, dan lokal kota/kabupaten. Tetapi aksi penyelamatan bumi bisa juga pada lingkup personal. Setidaknya perilaku individual itu dapat mengurangi kerusakan lingkungan secara langsung atau tidak langsung dari perubahan perilaku masyarakat secara kolektif.

Perubahan perilaku individu dan masyarak terkait dengan sampah sangat penting ditekankan. Sikap egois dan tidak peka terhadap masalah lingkungan masih sering dijumpai sehingga seenaknya membuang sampah di mana saja. Perilaku untuk memilah sampah dalam konteks 3 R (Reduce, Reuse, Recycle atau Kurangi, Pakai ulang, Daur ulang) perlu terus diupayakan. Pemilahan mulai tingkat rumah tangga bukanlah hal yang rumit bila dibiasakan. Menyediakan 3 tempat sampah di rumah dapat mengurangi masalah sampah. Sampah organik bisa sekadar ditimbun di halaman dengan lubang bergilir untuk menyuburkan tanah. Sampah yang bisa didaur ulang (misalnya kertas, karton, dan botol) bisa diserahkan kepada pemulung atau pengumpul sampah daur ulang. Tempat sampah ketiga untuk sampah lainnya. Dengan pembiasaan kita pasti bisa berdisiplin, agar saluran air tak tersumbat sampah dan gunung sampah tak pernah perjadi lagi..

Tanam dan pelihara pohon harus diintensifkan untuk mengurangi dampak pemanasan karena efek gas rumah kaca lokal maupun global. Pohon akan menyerap CO2 di udara untuk diubah menjadi batang, daun, dan buah. Dengan berkurangnya CO2 di udara panas dari permukaan bumi dapat langsung dilepaskan ke angkasa tanpa hambatan. Semakin besar dan semakin banyak pohon dipelihara, semakin baik pengurangan pemanasan kota dan global. Namun, dalam skala kecil pun, tanaman dalam pot yang ditempatkan di dalam dan sekitar rumah dan gedung perkantoran dapat menciptakan efek pendinginan selain menambah unsur keindahan.

Penghematan listrik bukan hanya faktor ekonomi, tetapi juga faktor penting dalam penyelamatan lingkungan bumi. Saat ini pembangkit listrik banyak yang bergantung pada bahan bakar minyak dan batu bara. Pembakaran bahan bakar minyak dan batu bara berpotensi memperbanyak emisi CO2 yang menambah pemanasan bumi. Pada lingkup individu, kita bisa berbuat dengan menggunakan listrik secara bijak. Lampu dan AC hanya digunakan bila diperlukan. Gunakan sebanyak mungkin cahaya alami dan upayakan sistem pendinginan sirkulasi udara alami.

Di perkantoran selain mengupayakan penanaman pohon, pemilahan sampah, dan penghematan listrik, upaya penyelamatan bumi bisa dengan penghematan penggunaan kertas.  Secara umum, semakin banyak kertas digunakan akan semakin banyak pohon ditebang sebagai bahan baku kertas. Jadi, jika tidak diperlukan jangan membuat cetakan dokumen. Gunakan transfer informasi tertulis secara digital.

Contoh-contoh itu hanyalah sebagian kecil langkah yang bisa kita lakukan dalam menyelamatkan planet bumi. Bencana atau ketidaknyamanan yang kita alami dan saksikan akibat kerusakan lingkungan bumi tentunya tidak kita inginkan makin parah. Kasih sayang kita pada anak-anak harus kita wujudkan dengan mewariskan lingkungan bumi yang lebih baik. Kota yang semakin hijau dan sejuk. Sungai yang semakin bersih dan tertata. Udara yang semakin segar dan langit semakin biru

Menuju Titik Temu Menentukan 1 Syawal

Dr. T. Djamaluddin, Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, LAPAN Bandung

(Dimuat Media Indonesia,  10 Oktober 2007)

Ilmu hisab untuk menghitung posisi bulan dan matahari, sebagai bagian astronomi, bukanlah ilmu langka. Kini banyak orang yang menguasainya, termasuk di berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis. Bahkan dengan banyaknya program komputer, siapa pun yang bisa mengoperasikannya dengan mudah dapat menghitung posisi bulan dan matahari. Masalahnya, tidak semua orang mengerti arti angka-angka itu dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Kini, dengan metode astronomi yang sama, bahkan dengan program komputer yang sama, hasil hitungan pasti akan sama. Tidak peduli siapa yang menghitung, apakah ahli hisab Muhammadiyah, NU, Persis, atau orang awam sekali pun. Terlalu naif, kalau ada orang yang merasa hasil hisabnya lebih unggul  sambil menyebutkan seolah metodenya beda dengan metode yang digunakan ormas lain yang menggunakan rukyat. Padahal tidak ada bedanya, semua ormas bisa menghitung dengan hasil yang sama.

Dalam astronomi, yang menjadi induk ilmu hisab dan rukyat, tidak ada dikhotomi hisab (perhitungan) dan rukyat (observasi). Keduanya harus saling mendukung dan tidak boleh bertentangan. Kekisruhan yang terjadi dalam perbedaan penentuan Idul Fitri semata-mata lebih bernuansa kesalahpahaman hisab rukyat yang diperparah dengan ego keormasan yang cukup kentara.

Kalau kita kaji akar masalahnya, sebenarnya sangat sederhana solusinya: samakan kriterianya dalam menafsirkan angka-angka hasil hisab. Banyak orang yang pesimis dalam menyatukan pendapat antara Muhammadiyah dan NU, karena berbeda keyakinan dalam memahami dalil syariat. Banyak juga yang masih mengira sumber perbedaan adalah pertentangan antara kubu hisab dan kubu rukyat.

Belajarlah dari ilmu induknya, astronomi, untuk menafsirkan makna angka-angka hasil hisab yang seharusnya tidak bertentangan dengan hasil rukyat. Penyatuan hasil hisab dan rukyat dalam menyimpulkan masuk awal bulan atau belum, terletak pada kriteria awal bulan. Saat ini ada dua kriteria yang digunakan dua ormas besar yang sering menimbulkan kesimpulan yang berbeda ketika posisi bulan di Indonesia berada pada ketinggian di antara dua kriteria tersebut, seperti terjadi pada tahun 2006 dan 2007.

Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal (bulan telah wujud di atas ufuk) dengan prinsip wilayatul hukmi (berlaku di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan hukum). Sementara NU menggunakan kriteria ketinggian minimal 2 derajat dengan prinsip menunggu hasil rukyat. Kedua kriteria tersebut adalah kriteria lama yang secara astronomi dianggap ketinggalan zaman. Sebenarnya sangat memalukan bila masih ada pihak-pihak yang tetap mempertahankannya. Apalagi bila dianggapnya sebagai sesuatu yang qath’i (mutlak benarnya) secara hukum.

Kita bisa bersatu kalau kita menyempurnakan kriteria kemudian menyepakatinya sebagai kriteria hisab rukyat yang baru. Dalam konsep ini, bukan meminta yang satu naik yang lain turun, tetapi mengajak semua pihak sama-sama maju selangkah.

Muhammadiyah

Bagaimana Muhammadiyah harus melangkah, tanpa harus meninggalkan keyakinannya bahwa hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan? Kita coba pendekatan lain menuju titik temu. Tidak menggunakan alur lama ketika membahas dalil, tetapi gunakan alur alternatif untuk mencari titik temu.

Secara ringkas, alur alternatif itu kita-kira seperti ini. Di dalam Al-Quran surat (QS) 2:185 diperintahkan untuk berpuasa bila telah menyaksikan syahr (bulan kalender, month, bukan moon). Apa tandanya syahr? QS 2:189 menjelaskan tentang hilal sebagai penentu waktu bagi manusia dan penentu pelaksanaan ibadah haji. Bagaimana cara memanfaatkan hilal untuk penentu syahr? Muhammadiyah biasanya menggunakan QS 36:39-40 yang menjelaskan bahwa matahari tak mungkin mengejar bulan dan malam pun tak mungkin mendahului siang. Tafsir singkatnya, syahr dapat ditentukan ketika matahari mulai mengejar bulan (mendahului terbenam) pada peralihan saing dan malam, yaitu kriteria wujudul hilal. Ini adalah kriteria paling sederhana, tetapi mengabaikan aspek rukyat.

Untuk mencari titik temu, alurnya diubah ke dalil lain yang juga sangat kuat. Apakah tandanya syahr? Rasulullah SAW menjelaskan secara eksplisit “berpuasalah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah bila melihatnya”. Maka hilal sebagai penentu syahr adalah yang terlihat. Dengan perkembangan ilmu, posisi bulan bisa dihitung dengan ilmu hisab. Lalu apa syaratnya agar terlihat? Ini dirumuskan dengan suatu kriteria imkan rukyat (kemungkinan rukyat) atau kriteria visibilitas hilal yang didasarkan pada pengalaman rukyat jangka panjang dan dihitung dengan ilmu hisab.

Banyak ahli hisab yang terkesan anti kriteria imkan rukyat, dengan ungkapan ”Kalau sudah menghisab mengapa harus membahas rukyat”. Kepada mereka perlu dijelaskan, bahwa angka-angka hasil hisab tidak bisa langsung ditafsirkan menjadi awal bulan qamariyah tanpa menggunakan kriteria. Kriteria itu bisa sekadar wujud di atas ufuk (wujudul hilal) dan bisa juga kemungkinan untuk dirukyat. Komunitas astronomi semuanya merujuk pada kemungkian untuk dirukyat (imkan rukyat atau visibilitas hilal). Untuk mencapai titik temu, kriteria yang harus dipilih adalah kriteria imkan rukyat. Inilah yang disebut maju selangkah, memilih kriteria yang menuju titik temu.

Muhammadiyah nantinya perlu merumuskan bersama kriteria imkan rukyat yang bagaimana yang diusulkan. Apakah berdasarkan rukyat lokal atau hasil analisis internasional seperti terungkap dalam ”Simposium Penyatuan Kalender Internasional”  yang digagasnya menjelang Ramadhan lalu. Diharapkan, dari simposium internasional itu ada pencerahan untuk memudahkan langkah menuju titik temu.

NU

NU pun harus maju selangkah, tanpa harus mengubah keyakinan bahwa rukyat yang menentukan. Kriteria imkan rukyat yang selama ini digunakan perlu diubah. Kriteria 2 derajat berasal dari data pengamatan yang menyatakan hilal terendah yang berhasil diamati ketinggiannya 2 derajat. Dalam kompilasi hasil sidang itsbat Departemen Agama memang ada data pada 16 September 1974 dilaporkan rukyat berhasil di 3 lokasi dengan  jumlah saksi 10 orang, tanpa gangguan Venus. Hasil analisis hisab menunjukkan tinggi bulan saat itu  2,19 derajat. Setelah itu tidak ada lagi data yang cukup meyakinkan yang mendukung ketinggian 2 derajat.

Analisis yang dilakukan LAPAN dari kompilasi hasil sidang itsbat 1962 – 1997 itu dijumpai kenyataan bahwa pada umumnya tinggi bulan yang rendah hanya dilaporkan dari 1 atau 2 lokasi pengamatan dari sekian banyak titik pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kemungkinan salah lihat objek bukan hilal. Bahkan sebagian di antaranya mengindikasikan pengamat terkecoh oleh cahaya planet Venus (bintang Kejora) yang posisinya dekat posisi bulan.

Dari analisis itu diusulkan kriteria imkan rukyat dengan ketinggian bulan yang tergantung beda azimut (beda jarak horizontal di kaki langit) antara bulan dan matahari. Bila jaraknya jauh dari matahari, ketinggian minimal 2 derajat, tetapi makin dekat dengan matahari ketinggiannya harus makin tinggi, tidak pukul rata 2 derajat seperti kriteria lama. Bila bulan tepat berada di atas matahari, saat matahari terbenam ketinggiannya perlu lebih dari 8,3 derajat. Kriteria itu masih bisa dikaji ulang. Kalau kriteria limit Danjon (batas minimal jarak bulan-matahari) diperhitungkan, kriterianya akan makin mendekati kriteria internasional dengan ketinggian minimal 3 derajat.

Bila nanti kriteria imkan rukyat sudah ditetapkan, masalah lain yang harus diselesaikan adalah bila hilal sudah diatas kriteria imkan rukyat, tetapi tidak ada kesaksian hilal. Demi mencapai titik temu, Fatwa MUI tahun 1981 dapat digunakan, seperti halnya saat sidang itsbat penetapan awal Ramadhan 1407/1987. Salah satu butir fatwa itu menyatakan bila ahli hisab telah sepakat bahwa malam itu sudah imkan rukyat tetapi hilal tidak dapat dilihat karena terhalang, maka keesokan harinya dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru. Artinya, kriteria imkan rukyat cukup menentukan.

NU harus maju satu langkah dengan memperbaiki kriteria imkan rukyat dan menerima fatwa MUI 1981 tersebut. Bila masih keberatan dengan fatwa MUI tersebut, perlu juga diingat bahwa kriteria imkan rukyat juga didasari pada hasil rukyat masa lalu. Jadi pada dasarnya menggunakan krietria imkan rukyat dalam mengambil keputusan tidak berarti mengabaikan rukyat pada saat itu. Dengan kriteria imkan rukyat dapat juga ditolak kesaksian yang di bawah kriteria karena kemungkinan terkecoh objek bukan hilal, kecuali bila dilaporkan dari banyak tempat dan tidak ada pengganggu dari planet Venus atau Merkurius.

Bersatu Beridul Fitri

Tampaknya, kalau pun Muhammadiyah dan NU mau maju satu langkah menujuk titik temu kriteria imkan rukyat yang baru, implementasinya tidak bisa segera dilaksanakan untuk mengubah potensi perbedaan Idul Fitri 1428H. Mekanisme organisasi tampaknya akan menghambatnya. Muhammadiyah tetap akan beridul fitri 12 Oktober dan NU kemungkinan besar beridul fitri 13 Oktober. Persis (Persatuan Islam) yang mendasarkan pada hisab (seperti Muhammadiyah) tetapi dengan kriteria imkan rukyat yang disederhanakan menjadi wujudul hilal diseluruh Indonesia, juga sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 13 Oktober 2007.

Pertanyaan yang muncul di masyarakat, dengan perbedaan itu mungkinkah merayakan Idul Fitri bersama? Jawabnya, mungkin dengan menunda shalat Idul Fitri agar bersama. Dalam salah satu kesempatan rapat Badan Hisab Rukyat, wakil dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia  menyampaikan bahwa berdasarkan saran dari ulama di Arab Saudi, mendahulukan ukhuwah (persaudaraan) yang wajib lebih utama daripada shalat Idul Fitri yang sunnah. Karenanya menunda shalat Idul Fitri keesokan harinya demi menjaga ukhuwah sangat dianjurkan, walau pun pada 12 Oktober sudan tidak berpuasa.

Dewan Syariah Pusat PKS pun pernah membuat edaran penangguhan shalat Idul Adha 1427 (2006) yang dalilnya sebenarnya terkait dengan shalat Idul Fitri. Dasarnya adalah untuk menghindari mudharat (daf’ul madharat) karena terjadinya perbedaan dalam syiar yang bersifat jama’i (massal) dan untuk merealisasikan kemaslahatan (tahqiq mashlahah), yaitu kemaslahatan mendukung wihdatul umat (persatuan umat).

Memang shalat Idul Fitri walaupun hukumnya sunnah, tetapi sangat diutamakan karena nilai syi’arnya yang bersifat massal. Orang boleh berbeda mengakhiri puasa, karena tidak akan tampak oleh siapa pun. Tetapi berbeda merayakan Idul Fitri dengan shalat Idul Fitri di tempat terbuka sangat jelas dampaknya.

Menunda shalat Idul Fitri dalilnya merujuk pada hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Al-Nasai, dan Ibn Majah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tidak melihat hilal Syawal sehingga pada hari ke-30 Ramadhan itu mereka masih berpuasa. Namun kemudian pada penghujung siang (menjelang Dzuhur) datanglah rombongan yang mengabarkan mereka melihat hilal. Maka, Rasul segera menyuruh mereka untuk berbuka pada hari itu dan menunaikan shalat ied pada keesokan harinya.

Dalil ini diperdebatkan untuk menunda shalat ied untuk alasan lain selain terlambat melihat hilal. Tetapi dari riwayat diketahui bahwa rombongan yang melihat hilal pun ikut menunda shalat sampai melaporkannya kepada Rasul dan kemudian diperintahkan untuk shalat ied keesokan harinya.

Alangkah indahnya kalau saudara-saudara kita yang sudah meyakini Idul Fitri jatuh pada 12 Oktober membatalkan puasa pada hari itu tetapi menunda shalat iednya bersama saudara-saudara yang beridul fitri 13 Oktober. Ini bersifat ijtihadiyah. Kalau pun salah, setelah dikaji matang-matang, tidaklah berdosa. Namun, tujuan menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan memperkuat syi’ar tercapai dengan bershalat idul fitri bersama.

Langkah menyatukan Idul Fitri bisa dimulai dengan bersama shalat ied, walau berbeda keputusan mengakhiri Ramadhan. Kelak, setelah kriteria imkan rukyat yang baru dapat disepakati, kita dapat mengakhiri Ramadhan dan beridul fitri benar-benar bersama. Kalender Islam pun mendapatkan kepastian dan keseragaman. Kita bisa bersatu.

Sains

T. Djamaluddin

(Dimuat  di Republika (Hikmah), 7 Maret 1999)

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan

Menciptakan manusia dari segumpal darah

Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah

Yang mengajarkan dengan pena

Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya

Q. S. Al-Alaq:1-5)

Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca ayat-ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk itu.

Manusia yang diciptakan dari substansi serupa gumpalan darah telah dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai rahasia-rahasia di balik semua fenomena alami. Kompilasi pengetahuan manusia kemudian didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini melahirkan sains dalam upaya menafsirkannya. Ada astronomi, matematika, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya tunduk pada hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah hukum-hukum alam yang tunduk pada sunnatullah. Pembuktian teori-teori yang dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana.

Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.

Jadi, Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.

Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukurinya dengan ungkapan “Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia” (Q. S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.