Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN
Kepala LAPAN (2014-2021)
Ketua Mejelis Kehormatan Periset (MKP), Perhimpunan Periset Indonesia (PPI)
Saya sering berpesan kepada para periset LAPAN, bahwa “Peneliti harus bisa mencerdaskan, menjelaskan, dan mengingatkan kepada masyarakat”. “Mencerdaskan” masyarakat dengan informasi yang mendidik dan akurat, agar masyarakat tidak mudah termakan “hoax” atau berita bohong. “Menjelaskan” fenomena-fenomena yang dianggap aneh atau luar biasa oleh masyarakat, seperti kemarau basah (saat kemarau tetapi masih ada hujan) atau jatuhnya sampah antariksa. “Mengingatkan” masyarakat tentang fenomena yang perlu diwaspadai atau dinantikan kejadiannya, seperti potensi cuaca ekstrem atau gerhana.
Salahkah periset mendiseminasikan analisis ilmiahnya? Jawabnya “tidak”, asalkan berdasarkan analisis yg sahih dan bertanggung jawab.
Secara ilmiah, prakiraan SADEWA (Satellite based Disaster Early Warning System) tentang kondisi ekstrem meteorologi saat musim hujan bisa dipertanggungjawabkan. Hanya saja pada kasus “28 Des 2022” ada penyampaian yang terkesan terlalu berlebihan dengan sebutan “badai hebat”🙏. Sesungguhnya “badai” (storm) bukan hanya merujuk siklon tropis, tetapi kondisi ekstrem meteorologi lainnya juga lazim disebut storm (badai). Dan periset yang bersangkutan juga lupa mencantumkan pernyataan bahwa “prakiraan perlu di-update sesuai sifat atmosfer yg dinamis”. Prakiraan 26 Desember untuk kejadian 28 Desember semestinya memang harus terus di-update. Kalau itu dilakukan (atau dilihat langsung pada situs SADEWA), hasilnya sama dengan pernyataan BMKG bahwa untuk Jabodetabek potensi ekstrem pada 28 Desember sudah menurun.
Tentang “SADEWA” (Satellite based Disaster Early Warning System) sesungguhnya dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), khususnya Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), sejak awal 2000-an dengan menggabungkan analisis citra satelit cuaca dan model atmosfer untuk peringatan dini bencana meteorologi. Sejak awal BMKG sudah dilibatkan untuk nengembangkan, menguji, sampai nantinya diharapkan menggunakannya. Tetapi BMKG terkesan enggan memanfaatkan hasil riset. BMKG cenderung memanfaatkan produk luar. Memang itu cara praktis, tetapi mahal dan terus bergantung pada pihak luar. Sementara BMKG pun tidak mungkin mengembangkan sendiri, karena BMKG bukan lembaga riset.
Saat ini LAPAN sudah berintegrasi ke Badan Riset dan Inivasi Nasional (BRIN) dan riset SADEWA diteruskan di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, BRIN.
Ada dua pola pasang maksimum. Pola Jakarta yang diurnal (siklus harian) dipengaruhi oleh parameter deklinasi bulan, perigee (jarak terdekat bumi – bulan), dan deklinasi matahari. Pola Surabaya yang semi-diurnal (siklus setengah harian) dipengaruhi oleh fase bulan (bulan baru – purnama), perigee, dan deklinasi matahari. Pengaruh deklinasi matahari yang menyebabkan puncak pasang tertinggi sekitar awal tahun (November – Februari) dan pertengahan tahun (Mei – Agustus). Oleh karenanya dalam prakiraan difokuskan untuk rentang waktu November – Februari dan Mei – Agustus.
Kecocokan model untuk pola Jakarta dan Surabaya dengan data puncak pasang ditunjukkan pada gambar berikut:
Perbandingan model (kurva biru) dengan data pasang maksimum di Jakarta pada 1993.
Perbandingan model (kurva biru) dengan data pasang maksimum di Jakarta pada 2000.
Perbandingan model (kurva biru) dengan data pasang maksimum di Surabayapada 1991.
Perbandingan model (kurva biru) dengan data pasang maksimum di Surabayapada 2001. Data pasang maksimum tidak lengkap.
Berikut ini prakiraan pada 2022 (khususnya November – Desember) untuk pola Jakarta (Pantura bagian barat dan tengah) dan pola Surabaya (Pantura bagian timur). Tanggal-tanggal yang dicantumkan adalah puncak kurva prakiraan. Kejadian rob diprakirakan sekitar tanggal-ganggal tersebut. Perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh warga di kawasan Pantura.
Prakiraan puncak pasang maksimum yang berpotensi menyebab banjir rob. Data banjir rob dari berita media massa sampai pertengahan 2022 ditunjukkan sebagai titik di atas kurva. Terlihat sebagian besar kejadian banjir rob terjadi di sekitar puncak kurva.
Prakiraan puncak pasang maksimum pada 2022 yang perlu diwaspadai dan diantisipasi.
Berikut ini prakiraan pada 2023 untuk pola Jakarta (Pantura bagian barat dan tengah) dan pola Surabaya (Pantura bagian timur). Tanggal-tanggal yang dicantumkan adalah puncak kurva prakiraan. Kejadian rob diprakirakan sekitar tanggal-ganggal tersebut. Perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh warga di kawasan Pantura.
Prakiraan puncak pasang maksimum pada 2023.
Prakiraan puncak pasang maksimum pada 2023 yang perlu diwaspadai dan diantisipasi
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN
Banjir rob di pelabuhan (dari internet)
Catatan: Ini adalah versi terjemah populer makalah “Simple Model of Sea Level Peak Potentially Trigger Coastal Flood on North Coast of Java” yang ditulis oleh Thomas Djamaluddin, Andi Sitti Mariyam, Widodo Setiyo Pranowo, Arif Aditiya, Lesi Mareta, Andi Pengerang Hasanuddin, Ruli Dwi Susanti, dan Iyus Edi Rusnadi. Makalah tersebut sudah diterima untuk dipaparkan dan dipublikasikan di The 7th International Conference on Science and Applied Science (ICSAS 2022).Versi terjemah dengan bahasa yang populer disediakan untuk menjadi informasi bagi publik. Bila akan dijadikan rujukan di makalah ilmiah, silakan merujuk pada makalah aslinya.
ABSTRAK
Banjir rob sering menjadi masalah di pantai utara Jawa. Faktor utama yang menyebabkannya adalah kenaikan muka air laut yang dipicu oleh beberapa komponen utama pasang surut laut. Komponen pemicu utama yang telah lama diketahui adalah komponen gravitasi bulan dan matahari. Pemicu lainnya adalah gelombang tinggi di laut, terutama akibat cuaca buruk. Djamaluddin dkk. (2022) telah menemukan bukti empiris komponen astronomi dalam peningkatan pasang maksimum di Jakarta dan Surabaya dari analisis data pasang surut jangka panjang dari tahun 1984 hingga 2004. Parameter astronomi yang paling dominan adalah kombinasi fase bulan pada bulan baru-purnama atau deklinasi bulan, kedekatan bulan dengan bumi (perigee), dan deklinasi matahari. Stasiun pengukur pasang surut Jakarta dan Surabaya dianggap mewakili kondisi umum di pantai utara Jawa, meskipun terdapat perbedaan karakteristik pasang surut. Pasang surut di Jakarta umumnya memiliki pola diurnal (siklus harian) yang dipengaruhi oleh komponen deklinasi bulan, sedangkan pasang surut di Surabaya umumnya memiliki pola semi-diurnal (siklus setengah-harian) yang dipengaruhi oleh komponen bulan baru-purnama. Atas dasar bukti empiris tersebut, model sederhana dari pengaruh parameter astronomi pada kenaikan permukaan laut dibuat. Model disusun dengan superposisi periodisitas deklinasi atau fase bulan, perigee bulan, dan deklinasi matahari. Nilai absolut dari siklus minimum deklinasi bulan, fase bulan, dan deklinasi matahari digunakan, karena puncak kenaikan muka air laut juga terjadi pada fase minimum bulan, serta deklinasi minimum (paling selatan) bulan dan matahari. Model sederhana ini cukup baik bersesuaian dengan pasang maksimum pada periode 1984 – 2004. Sebagian besar kejadian banjir rob juga sesuai dengan puncak variasi dalam model. Dengan demikian, model sederhana yang dikembangkan dapat digunakan sebagai prakiraan potensi banjir rob di pantai utara Jawa. Tentu saja, faktor pemicu gelombang tinggi lainnya yang tidak dapat diprakiraan sebelumnya perlu diwaspadai, karena menjadi faktor penguatan potensi banjir rob.
PENDAHULUAN
Banjir rob sering menjadi masalah bagi wilayah pesisir, terutama di pantai utara Jawa yang pesisirnya landai. Pemicu utama banjir rob adalah naiknya permukaan air laut akibat pasang maksimum yang diperparah dengan tingginya gelombang di laut, terutama akibat cuaca buruk. Faktor gravitasi matahari dan bulan diketahui menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam pasang surut air laut. Namun, belum banyak bukti empiris bahwa komponen astronomi ini berperan dalam pasang maksimum pada saat pasang maksimum.
Djamaluddin dkk [1] menemukan bukti empiris tentang hubungan antara parameter astronomis dengan pasang maksimum di pantai utara Jawa. Dengan menggunakan data pasang surut jangka panjang (1984 – 2004) di Jakarta dan Surabaya, diperoleh dua pola pengaruh parameter astronomi di Jakarta dan Surabaya. Pola pasang surut di Jakarta dipengaruhi oleh parameter deklinasi matahari, perigee bulan, dan deklinasi bulan. Pola ini juga terkait dengan pola pasang surut diurnal (siklus harian) di Jakarta [2] dan [3]. Pola pasang surut di Surabaya dipengaruhi oleh parameter deklinasi matahari, perigee bulan, dan fase bulan (ditunjukkan dengan iluminasi bulan). Pola ini juga terkait dengan pola semi-diurnal (siklus setengah-harian pasut di Surabaya [2] dan [4].
Riset ini bertujuan untuk merumuskan model sederhana potensi banjir rob berdasarkan parameter astronomis yang dibuktikan secara empiris oleh Djamaluddin dkk [1]. Model dibuat sederhana karena hanya memperhitungkan periodisitas parameter astronomis tersebut untuk memprakiraan pasang maksimum (Peak SL). Meskipun modelnya sederhana, namun model tersebut harus mampu memprakiraan pasang maksimum yang berpotensi menyebabkan banjir rob. Keparahan banjir rob biasanya diperkuat oleh gelombang laut akibat cuaca buruk di laut.
KONSTRUKSI DAN PENGUJIAN MODEL
Model dibuat didasarkan pada asumsi bahwa superposisi parameter deklinasi matahari, perigee, dan deklinasi bulan atau iluminasi bulan (menunjukkan fase bulan) mempengaruhi pasang maksimum. Nilai absolut parameter deklinasi matahari dan bulan diambil, karena pengaruh tertinggi pada pasang maksimum terjadi pada deklinasi paling utara dan paling selatan. Nilai absolut iluminasi bulan diambil dari iluminasi minimum (saat bulan baru), karena efek tertinggi pada pasang maksimum terjadi pada saat bulan baru dan purnama (iluminasi maksimum). Perigee diambil dari nilai diameter sudut bulan, yaitu perigee terjadi pada saat diameter sudut bulan maksimum. Untuk disuperposisikan, semua nilai parameter tersebut dinormalisasi menjadi 0 – 1. Kemudian model disusun berdasarkan superposisi deklinasi matahari, perigee, dan deklinasi bulan (untuk pola Jakarta) dan superposisi deklinasi matahari, perigee, dan iluminasi bulan (untuk pola Surabaya).
Data parameter astronomi dari 1984 hingga 2040 diambil dari https://ssd.jpl.nasa.gov/horizons/app.html#/. Untuk perbandingan pasang maksimum dengan model digunakan puncak pasang maksimum harian di Jakarta dan Surabaya. Data pasang surut diperoleh dari Badan Informasi Geospasial [1]. Model dan data pasang maksimum bersifat independen karena model didasarkan pada parameter astronomi. Selain diuji dengan pasang maksimum, model juga diuji dengan data laporan kejadian banjir rob di pantai utara Jawa. Data sebelum tahun 2011 sangat jarang, sehingga pengujian dilakukan dengan data kejadian banjir rob tahun 2011 – 2022. Data banjir rob diperoleh dari website Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, http://dibi.bnpb.go.id dan https://gis.bnpb.go.id/, untuk data 2011 – 2022). Juga dari makalah Jamalludin dkk [5] untuk kejadian 2013 – 2015 di Jakarta dan Egaputra dan lain-lain [6] untuk kejadian 2012 – 2020 di Semarang. Berita peristiwa banjir rob di media massa online juga menjadi rujukan untuk peristiwa 2019-2022.
HASIL
Perbandingan model pola Jakarta dan pasang maksimum di Jakarta ditunjukkan pada Gambar 1. Sedangkan perbandingan model pola Surabaya dan pasang maksimum di Surabaya ditunjukkan pada Gambar 2. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa model cukup baik dalam menggambarkan pasang maksimum sesuai dengan kurva puncak pada model. Artinya, model tersebut cukup baik untuk digunakan sebagai prakiraan banjir rob terutama sekitar akhir dan awal tahun (November – Februari) dan pertengahan tahun (Mei – Agustus). Menurut temuan Djamaluddin dkk [1], pengaruh parameter deklinasi matahari cukup dominan pada periode tersebut (November – Februari dan Mei – Agustus) untuk memperkuat pasang maksimum.
Gambar 3 menunjukkan perbandingan model pola Jakarta dan pola Surabaya dengan tanggal kejadian banjir rob di pantai utara Jawa. Perbandingan ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar peristiwa banjir rob terjadi ketika superposisi parameter astronomis berada pada puncaknya. Beberapa peristiwa terjadi setelah fase puncak, tetapi masih dalam kondisi pasang. Seperti yang ditemukan Djamaluddin dkk [1], sebagian besar peristiwa terjadi pada akhir dan awal tahun (November – Februari) dan pertengahan tahun (Mei – Agustus).
Kasus kejadian banjir rob pada pertengahan tahun 2022 menarik untuk dikaji lebih dalam. Gambar 4 dan Tabel 1 menunjukkan peristiwa banjir rob di pantai utara Jawa dari pemberitaan media massa. Memang hal itu terjadi tidak di seluruh pantai utara Jawa, melainkan di beberapa kota. Namun, semuanya terkait dengan puncak potensi banjir rob dalam model. Beberapa peristiwa terjadi beberapa hari setelah fase puncak, namun masih dalam kondisi muka air laut yang cukup tinggi. Banjir rob besar pada tanggal 23 dan 24 Mei 2022 (lingkaran merah pada Gambar 4) terjadi beberapa hari setelah fase puncak parameter astronomi dalam model. Menurut Yulihastin dkk [7], banjir besar pesisir terutama dipicu oleh gelombang badai hebat dari 22 Mei hingga 2 Juni 2022 yang melanda pantai utara Jawa dan Bali. Hal ini juga menunjukkan bahwa gelombang besar yang disebabkan oleh badai di laut tidak selalu menyebabkan banjir rob jika permukaan laut normal. Beberapa kejadian banjir rob lainnya setelah fase puncak potensi banjir rob (lingkaran biru pada Gambar 4) juga diduga terkait dengan cuaca buruk di laut.
KESIMPULAN
Dari bukti empiris pengaruh komponen astronomis terhadap pasang maksimum (Peak SL) [1], dibuatlah model sederhana potensi banjir rob. Secara umum ada dua pola yaitu pola Jakarta dan pola Surabaya. Model dibangun dari superposisi periodisitas deklinasi matahari, deklinasi bulan, dan perigee bulan (pola Jakarta) atau superposisi periodisitas deklinasi matahari, iluminasi bulan (fase bulan), dan perigee bulan (pola Surabaya). Siklus negatif pada deklinasi dan siklus minimum pada iluminasi bulan diambil nilai absolutnya. Semua parameter tersebut dinormalisasi dengan nilai 0 – 1, kemudian disuperposisikan. Model yang diperoleh dibandingkan dengan data pasang maksimum Jakarta dan Surabaya dari tahun 1984 hingga 2004. Data kejadian banjir rob tahun 2011 hingga 2022 dari berbagai sumber juga digunakan. Hasil riset menunjukkan bahwa variasi pasang maksimum sesuai dengan kurva variasi pada model. Artinya, fase puncak dalam model sesuai dengan pasang maksimum. Perbandingan model dengan kejadian banjir rob juga menunjukkan bahwa kejadian banjir rob sebagian besar sesuai dengan fase puncak pada model, terutama sekitar akhir dan awal tahun (November – Februari) dan pertengahan tahun (Mei – Agustus). Dengan demikian, model sederhana yang dikembangkan dapat digunakan untuk memprakiraan potensi banjir rob di pantai utara.
RUJUKAN
[1] T. Djamaluddin, R. D. Susanti, A. Aditiya, W. S. Pranowo, A. S. Mariyam, A. P. Hasanuddin, L. Mareta, and I. E. Rusnadi, “Astronomical Tidal Constituents Potentially Trigger Coastal Floods on the North Coast of Java), Int. Sem. on Aerospace Sci. and Tech. (ISAST) (2022) (Accepted).
[2] D. Pugh and P. Woodworth, Sea-Level Science: Understanding Tides, Surges, Tsunamis and Mean Sea-Level Changes, Cambridge University Press, 2014.
[3] A. D. ‘Amalina, W. Atmodjo, & W. S. Pranowo, Karakteristik Pasang Surut di Teluk Jakarta Berdasarkan Data 253 Bulan, J. Riset Jakarta, 12(1), 25-36, 2019. https://doi.org/10.37439/jurnaldrd.v12i1.7
[4] E. A. Kisnarti, Characteristics of Tidal in Surabaya, Applied Mechanics and Materials Vol. 862, pp 46-51, 2017, doi:10.4028/www.scientific.net/AMM.862.46
[5] J. Jamalludin, K. I. Fatoni, & T. M. Alam, Identifikasi Coastal flood Periode 2013 – 2015 di Kawasan Pantai Utara Jakarta, Jurnal Chart Datum, 2(2), 105-116, 2016. https://doi.org/10.37875/chartdatum.v2i2.97
[6] A. A. Egaputra, D. H. Ismunarti, & W. S. Pranowo, Indonesian Journal of Oceanography (IJOCE), 4(2), 29–40, 2022
[7] E. Yulihastin1, I. Fathrio, D. Nugroho, R. B. Hatmaja, Suaydhi, H. Satyawardhana, F. Nauval, R. Bramawanto, W. S. Pranowo, T. Djamaluddin and D. E. Nuryanto, “Propagation of Tropical Squall Line Induced Storm Coastal Inundation Episodes in Java-Bali, Indonesia” (2022), (Submitted to Geophysical Research Letter)
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN
Banjir rob di pelabuhan (dari internet)
Catatan: Ini adalah versi terjemah populer makalah “Astronomical Tidal Constituents Potentially Trigger Coastal Floods on the North Coast of Java” yang ditulis oleh Thomas Djamaluddin, Ruli Dwi Susanti, Arif Aditiya, Widodo Setiyo Pranowo, Andi Sitti Mariyam, Andi Pengerang Hasanuddin, Lesi Mareta, dan Iyus Edi Rusnadi. Makalah tersebut sudah diterima untuk dipaparkan dan dipublikasikan di The 9Th International Seminar on Aerospace Science and Technology (ISAST 2022). Versi terjemah dengan bahasa yang populer disediakan untuk menjadi informasi bagi publik. Bila akan dijadikan rujukan di makalah ilmiah, silakan merujuk pada makalah aslinya.
ABSTRAK
Data pasang surut di Jakarta dan Surabaya selama 1984 – 2004 digunakan untuk menganalisis komponen astronomi yang memicu banjir rob di pantai utara Jawa. Analisis empiris hubungan antara pasang maksimum (Peak SL) di Jakarta dan Surabaya menunjukkan bahwa secara umum komponen perigee bulan sama-sama meningkatkan puncak SL bila terjadi bersamaan dengan deklinasi maksimum bulan (di Jakarta) atau bulan baru. – bulan purnama (di Surabaya). Komponen lain yang dominan terkait dengan peningkatan SL puncak adalah siklus deklinasi matahari (semi-tahunan). Sedangkan komponen siklus nodal 18,6 tahun tampaknya tidak berpengaruh. Komponen non-astronomi yaitu La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif, terbukti meningkatkan pasang maksimum. Sehingga dari unsur astronomis perlu diwaspadai potensi banjir rob akibat variasi deklinasi matahari (semi-tahunan) pada bulan November – Februari dan Mei – Agustus terutama pada saat bulan baru – bulan purnama atau deklinasi bulan maksmium bertepatan dengan perigee bulan. Fenomena La Nina dan IOD Positif juga perlu diwaspadai perannya dalam meningkatkan potensi banjir rob. Cuaca ekstrem juga dapat memperkuat potensi banjir rob.
PENDAHULUAN
Banjir di pesisir pantai utara (Pantura) Jawa sudah sering terjadi dan berpotensi meningkat. Selain itu, tahun lalu NASA [1] melaporkan hasil kajian terbaru oleh Tim Sains Perubahan Permukaan Laut bahwa pada tahun 2030-an banjir rob atau banjir pasang akan lebih sering terjadi untuk mengancam pantai di Amerika Serikat. Alasannya karena siklus nodal orbit bulan yang memperkuat dampak pemanasan global. Thompson dkk [2] menunjukkan bahwa efek gabungan dari kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global dan siklus nodal bulan akan meningkatkan banjir pasang. Siklus bulan nodal 18,6 tahun diprakirakan berdampak pada peningkatan banjir rob pada 2030-an. Sementara itu Takagi dkk [3] menggunakan banjir rob besar pada November 2007 di Jakarta sebagai rujukan dalam membuat kajian proyeksi banjir rob 2050 di Jakarta. Pada tahun 2007, diduga terjadi pasang tidak normal bersamaan dengan peristiwa La Nina dan siklus nodal bulan 18,6 tahun.
Pasang surut air laut dipengaruhi oleh konfigurasi bumi-bulan-matahari. Pasang surut harian dipengaruhi oleh gravitasi diferensial bulan. Sementara itu, konfigurasi bumi-bulan-matahari yang hampir sejajar saat bulan baru – bulan purnama menambah efek pasang surut karena gravitasi diferensial matahari. Konfigurasi ini menimbulkan pasang tertinggi. Kedekatan bidang orbit bulan dan bidang ekuator mempengaruhi tinggi pasang maksimum. Sementara itu, presesi bidang orbital yang menyebabkan perubahan simpul menaik atau simpul menurun berputar di bidang ekliptika dengan periode 18,6 tahun. Parker [4] membahas siklus nodal bulan 18,6 tahun. Pasang maksimum ketika bidang orbit bulan mendekati bidang ekuator menyebabkan banjir rob yang lebih tinggi. Artinya, banjir rob di wilayah pesisir akan bertambah atau berkurang seiring dengan siklus nodal orbit bulan dengan periode 18,6 tahun.
Siklus nodal orbit bulan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030-an. Selain mengkaji potensi peningkatan banjir rob di pantai utara Jawa akibat siklus nodal bulan, penelitian ini juga mengkaji komponen astronomi lainnya dan fenomena terkait. Bukti empirik berdasarkan data pasang surut diperlukan untuk memastikan komponen penting yang berpotensi memicu banjir rob yang perlu diwaspadai.
ANALISIS DATA
Penelitian ini menggunakan data jangka panjang dari stasiun pemantau pasang surut yang disediakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Data deret waktu harus lebih dari 18,6 tahun. Data jangka panjang tersebut hanya ada untuk Jakarta dan Surabaya dengan rentang waktu 1984 – 2004 (lihat Gambar 1). Seperti terlihat pada Gambar 1, rentang pasang-surut di Surabaya lebih besar daripada di Jakarta.
Data ephemeris bulan dan matahari diperoleh dari https://ssd.jpl.nasa.gov/horizons/app.html#/. Deklinasi bulan digunakan untuk analisis komponen dari siklus nodal bulan 18,6 tahun dan siklus bulanan. Iluminasi bulan digunakan sebagai parameter siklus bulan baru dan bulan purnama terkait dengan pasang maksimum. Diameter bulan digunakan sebagai parameter perigee bulan (jarak terdekat bulan dari bumi) yang juga mempengaruhi pasang maksimum. Deklinasi matahari digunakan untuk mempelajari komponen matahari dalam siklus pasang maksimum.
Namun, dari analisis data pasang surut, diperoleh anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh komponen astronomi saja. Diduga kuat terkait dengan fenomena Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh karena itu, data Oceanic Nino Index (ONI) dari https://origin.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ONI_v5.php dan data Dipole Mode Index (DMI) dari https://psl.noaa. gov/gcos_wgsp/Timeseries/DMI/ digunakan.
Data pasang surut, ephemeris bulan dan matahari, serta ONI dan DMI dianalisis dan diplot menggunakan Excel. Analisis pasang surut difokuskan pada puncak harian kejadian pasang maksimum dan variasinya untuk dibandingkan secara empirik dengan variasi fenomena astronomi dan fenomena yang berkaitan dengan El Nino-La Nina atau Dipol Samudera Hindia. Analisis tidak memperhatikan nilai amplitudo pasang surut. Puncak terjadinya pasang (Peak of Sea Level — Peak SL) adalah pasang maksimum. Hubungan empirik pada grafik digunakan dalam penelitian ini karena secara langsung menunjukkan komponen dominan yang mempengaruhinya. Pasang maksimum digunakan karena kejadian tersebut berpotensi menimbulkan banjir rob. Komponen meteorologi yang juga berpotensi menyebabkan banjir rob tidak dibahas dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pasang maksimum bulan baru-purnama karena diferensial gravitasi bulan dan diperkuat oleh diferensial gravitasi matahari pada bulan baru dan bulan purnama dengan periode 0,5 x 29,5 hari adalah komponen astronomi utama yang mempengaruhi pasang surut. Gambar 2 menunjukkan bahwa variasi pasang maksimum bulan baru-purnama di Jakarta seringkali tidak mengikuti variasi bulan baru – bulan purnama, tetapi terkait dengan variasi absolut deklinasi bulan yang dikenal sebagai variasi semi-nodik dengan periode 0,5 x 27,2. hari. Variasi puncak pasang maksimum harian terkait dengan pasang maksimum akibat bulan baru – variasi bulan purnama sangat terlihat di Surabaya (Gbr. 3). Pasang maksimum umumnya terjadi pada, setelah, atau sebelum bulan baru – bulan purnama. Diduga pergeseran pasang maksimum setelah atau sebelum bulan baru – bulan purnama terkait dengan dinamika laut yang berada di luar cakupan penelitian ini. Dan pasang maksimum meningkat karena penguatan oleh bulan pada posisi perigeenya (lihat Gbr. 2 dan Gbr. 3).
Perbedaan siklus bulan yang mempengaruhi Pasang maksimum di Jakarta dan Surabaya dijelaskan oleh mekanisme pola pasang surut [5]. Siklus deklinasi bulan berhubungan dengan pola pasang diurnal (siklus satu hari), sedangkan siklus bulan baru – purnama berhubungan dengan pola pasang surut semi-diurnal (siklus setengah hari). Ternyata hal ini memang dibuktikan dengan hasil ‘Amalina dkk [11] yang menyatakan bahwa pola pasang surut di Jakarta adalah campuran diurnal dan hasil Kisnarti [12] yang menyatakan bahwa pola pasang surut di Surabaya adalah campuran semi-diurnal. Peningkatan pasang maksimum yang terkait dengan fenomena perigee pada Gambar 2 dan Gambar 3 juga dijelaskan oleh Pugh dan Woodworth [5] bahwa dengan jarak yang dekat, efek gravitasi bulan semakin kuat.
Analisis pasang maksimum selama lima tahun menunjukkan variasi semi-tahunan di Jakarta dan Surabaya (lihat Gambar 4 dan Gambar 5). Pasang maksimum meningkat sekitar bulan Desember dan Juni, saat matahari berada pada titik balik selatan (Desember) atau titik balik utara (Juni). Komponen semi-tahunan matahari sudah dikenal dalam analisis spektral pasang surut. Hal ini terkait dengan siklus deklinasi matahari dan berdampak pada puncak pasang surut pada bulan Desember dan Juni [5]. Kajian ini dengan jelas menunjukkan bahwa variasi semi-tahunan pada pasang maksimum perlu dipertimbangkan dalam memprakirakan banjir rob. Fenomena peningkatan pasang maksimum setiap semester tampaknya mampu menjelaskan terjadinya banjir rob di Jakarta dan Semarang sekitar awal tahun dan pertengahan tahun [6] [7].
Jamalludin dkk [6] mengidentifikasi banjir rob selama tahun 2013 – 2015 di pantai utara Jakarta terutama disebabkan oleh pasang maksimum pada saat bulan baru atau purnama. Selama periode tersebut, banjir rob terjadi pada bulan November – Februari (6 kejadian) dan Mei – Agustus (2 kejadian). Banjir rob yang terjadi dan tidak terkait dengan siklus setengah tahunan hanya satu kejadian di bulan Oktober. Egaputra dkk [7] menganalisis kejadian pasang surut di pantai Semarang selama tahun 2012 – 2022. Banjir rob paling banyak di Semarang terjadi pada bulan Desember – Februari dan Mei – Juli. Sebagian besar banjir rob terkait dengan pasang maksimum saat bulan baru atau purnama. Pada sekitar Desember – Februari, komponen cuaca menguat.
Sebagai kajian kasus, telah dilakukan analisis lebih lanjut dengan model sederhana pasang maksimum yang berpotensi memicu banjir rob di pantai utara Jawa [8]. Model sederhana menggabungkan parameter astronomi seperti deklinasi matahari, perigee bulan, dan deklinasi bulan atau iluminasi bulan (bulan baru dan purnama) yang ditemukan dalam makalah ini. Model tersebut sesuai dengan variasi pasang maksimum air laut. Selain itu, kejadian banjir rob selama 2011 – 2022 terkait dengan puncak pada model, terutama pada bulan Mei – Agustus dan November – Februari.
Amerika Serikat khawatir pada tahun 2030-an banjir rob akan menjadi lebih sering [1] [2]. Selama pertengahan 2030-an bidang orbit bulan yang dekat dengan ekuator ditunjukkan oleh nilai absolut maksimum deklinasi bulan sekitar 18,5 derajat. Rochlin dan Morris [9] menunjukkan variasi tertinggi dalam rentang pasang maksimum pada deklinasi bulan dekat khatulistiwa. Data pasang surut di New York selama 1940 – 2015 menunjukkan pasang maksimum terjadi saat nilai absolut deklinasi bulan berada di kisaran 18,5 derajat.
Gambar 6 menunjukkan rata-rata tahunan pasang maksimum di Jakarta dan Surabaya (1984 – 2004) selama hampir satu siklus nodal bulan selama 18,6 tahun dibandingkan dengan deklinasi bulan paling selatan. Berbeda dengan kondisi di New York seperti yang ditunjukkan oleh Rochlin dan Morris [9], di Jakarta dan Surabaya tidak terdapat korelasi antara pasang maksimum dengan deklinasi bulan. Semestinya pada saat deklinasi bulan dekat ekuator (sekitar tahun 1997) pasang maksimum juga mencapai puncak tertingginya. Kondisi di Jakarta dan Surabaya sesuai dengan temuan Peng dkk. Dari 574 alat pengukur pasang surut yang dianalisis, Peng dkk [10] menyatakan bahwa dua pengukur pasang surut di Indonesia (dari peta tampak untuk Jakarta dan Surabaya) termasuk lokasi yang tidak mendeteksi siklus nodal 18,6 tahun.
Diduga Laut Jawa yang dangkal menjadi penyebab tidak adanya efek siklus nodal 18,6 tahun seperti yang dijelaskan oleh Parker [4]. Menurut Parker [4], bahkan variasi jangka panjang seperti yang disebabkan oleh regresi 18,6 tahun dari siklus nodal bulan dapat dipengaruhi oleh hidrodinamika nonlinier, sehingga variasi 18,6 tahun dalam komponen pasang surut mungkin tidak sesuai dengan variasi yang diharapkan dari aspek astronomi. Di perairan dangkal hidrodinamika juga mentransfer energi pasang surut, melalui berbagai proses nonlinier, ke frekuensi baru, menciptakan pasang surut dan pasang surut majemuk (terutama di dalam kelompok semidiurnal). Fenomena yang disebut komponen pasang surut perairan dangkal ini bisa lebih besar daripada banyak komponen pasang surut yang dihasilkan dari aspek astronomis. Proses nonlinier yang sama ini juga mengarah pada interaksi antara pasang surut dan fenomena non-pasang surut lainnya seperti gelombang badai dan debit sungai, yang harus dipertimbangkan ketika menganalisis ketinggian air atau data arus untuk sinyal pasang surut.
Variasi jangka panjang tidak menunjukkan komponen siklus nodal bulan 18,6 tahunan. Namun ada hal yang menarik, ada kecenderungan pasang maksimum meningkat atau menurun pada waktu-waktu tertentu. Ternyata hal ini terkait dengan kejadian La Nina dan El Nino (ditunjukkan dengan parameter Ocean Nino Index) yang diperkuat dengan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) (ditunjukkan dengan parameter Dipole Mode Index). Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh La Nina dan IOD Positif cenderung meningkatkan pasang maksimum dan El Nino cenderung menurunkan pasang maksimum. Kecenderungan peningkatan pasang maksimum di Jakarta (Gbr. 7) dikonfirmasi oleh hasil ‘Amalina dkk [11], yang melaporkan bahwa tinggi muka air maksimum (MHWL) adalah sebagai berikut: pada tahun 1987 (El Nino, 2,528 m ), tahun 1988 (La Nina, 2,813 m), tahun 1989 (La Nina 3,163 m), tahun 1990 (3,172 m), tahun 1992 (El Nino, 2,590 m), tahun 1997 (3,049 m), tahun 1998 (El Nino, 2.542 m), pada tahun 1999 (La Nina, 2,772 m), pada tahun 2000 (La Nina, 2,670), dan pada tahun 2001 (3,098 m).
Mekanisme hubungan La Nina (dan IOD Positif) dengan El Nino yang mempengaruhi pasang maksimum diduga terkait dengan penambahan atau pengurangan massa air laut Jawa akibat faktor curah hujan. Tingginya curah hujan pada saat peristiwa La Nina diduga menjadi penyebab meningkatnya pasang maksimum. Siregar dkk [13] menunjukkan bahwa pada musim barat (musim hujan) salinitas laut Jawa relatif rendah. Rendahnya salinitas diduga karena masuknya air tawar dari curah hujan yang besar.
KESIMPULAN
Analisis empirik menunjukkan bahwa pasang maksimum di Jakarta terkait dengan siklus deklinasi bulan dan Surabaya terkait dengan siklus sinodik bulan baru – bulan purnama. Selain itu, kenaikan pasang maksimum akibat deklinasi bulan maksimum atau bulan baru – bulan purnama akan diperkuat oleh efek perigee bulan. Komponen dominan lain yang meningkatkan Pasang maksimum adalah siklus deklinasi matahari (semi-tahunan) di sekitar titik balik utara (Juni) dan titik balik selatan (Desember). Sedangkan komponen siklus nodal 18,6 tahun tampaknya tidak berpengaruh. Ditemukan juga komponen non-astronomi yaitu La Nina dan IOD Positif yang meningkatkan pasang maksimum.
Dari bukti empirik tersebut, komponen astronomi yang perlu diwaspadai terhadap potensi banjir rob adalah pada bulan November – Februari dan Mei – Agustus, terutama pada saat bulan baru – bulan purnama atau deklinasi bulan maksimum bertepatan dengan perigee bulan. Fenomena La Nina dan IOD Positif juga perlu diwaspadai perannya dalam meningkatkan potensi banjir rob. Komponen cuaca dapat memperkuat potensi banjir rob.
P. R. Thompson, M. J. Widlansky, B. D. Hamlington, et al., Rapid increases and extreme months in projections of United States high-tide flooding. Nat. Clim. Chang. 11, 584–590 (2021). https://doi.org/10.1038/s41558-021-01077-8
H. Takagi, M. Esteban, T. Mikami, D. Fujii, Projection of coastal floods in 2050 Jakarta, Urban Climate, Elsevier, Vol.17, pp.135-145, 2016.
D. Pugh and P. Woodworth, Sea-Level Science: Understanding Tides, Surges, Tsunamis and Mean Sea-Level Changes, Cambridge University Press, 2014.
J. Jamalludin, K. I. Fatoni, & T. M. Alam, Identifikasi Banjir Rob Periode 2013 – 2015 di Kawasan Pantai Utara Jakarta, Jurnal Chart Datum, 2(2), 105-116, 2016. https://doi.org/10.37875/chartdatum.v2i2.97
A. A. Egaputra, D. H. Ismunarti, & W. S. Pranowo, Indonesian Journal of Oceanography (IJOCE), 4(2), 29–40, 2022
I. Rochlin, and J. T. Morris, Regulation of salt marsh mosquito populations by the 18.6-yr lunar-nodal cycle, Ecology, 0(0), pp. 1–10, 2017, DOI: 10.1002/ecy.1861
D. Peng, E. M. Hill, A. J. Meltzner, & A. D. Switzer, Tide gauge records show that the 18.61‐year nodal tidal cycle can change high water levels by up to 30 cm. Journal of Geophysical Research: Oceans, 124, 736–749, 2019. https://doi.org/10.1029/2018JC014695
A. D. ‘Amalina, W. Atmodjo, & W. S. Pranowo, Karakteristik Pasang Surut di Teluk Jakarta Berdasarkan Data 253 Bulan, J. Riset Jakarta, 12(1), 25-36, 2019. https://doi.org/10.37439/jurnaldrd.v12i1.7
E. A. Kisnarti, Characteristics of Tidal in Surabaya, Applied Mechanics and Materials Vol. 862, pp 46-51, 2017, doi:10.4028/www.scientific.net/AMM.862.46
S. N. Siregar, L. P. Sari, N. P. Purba, W. S. Pranowo, & M. L. Syamsuddin, Pertukaran Massa Air di Laut Jawa terhadap Periodisitas Monsun dan Arlindo pada tahun 2015, Depik Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan, Vol. 6, pp: 44-59, 2017, DOI: 10.13170/depik.6.1.5523
Ilustrasi banjir pasang (rob) di Jakarta Utara setelah Purnama, 23 November 2021 (CNN Indonesia)
Beberapa hari terakhir media sosial dan media massa memberitakan serta membagikan gambar dan video banjir pasang atau banjir rob di Jakarta utara, Kepulauan Seribu, dan beberapa daerah pantai lainnya. Beberapa video menampakkan air mengalir deras dari arah pantai. Apa bedanya banjir rob dengan banjir karena curah hujan?
Banjir rob terjadi karena kenaikan permukaan air laut akibat pasang sehingga air laut melimpas ke daratan. Itu sebabnya arah datangnya dari laut. Biasanya banjir rob segera surut dalam waktu enam jam, tetapi bisa berulang sekitar 12 jam kemudian. Banjir karena curah hujan berasal dari daerah dataran tinggi yang mengalami hujan lebat. Air berasal dari sungai yang meluap, mengalir menuju laut. Banjir akan surut kalau air segera terbuang ke laut dan hujan mereda.
Kondisi banjir akan parah ketika terjadi kombinasi banjir karena curah hujan dan banjir rob. Saat itu banjir bisa bertahan lama, karena air tidak segera terbuang ke laut akibat ketinggian permukaan air laut. Kondisi gabungan sering terjadi saat musim hujan. Kondisinya akan lebih parah lagi bila terjadi angin kencang di laut yang menyebabkan gelombang tinggi. Hal ini lah yang perlu diwaspadai masyarakat di wilayah pantai.
Apa yang sesungguhnya terjadi di Jakarta Utara dan beberapa daerah lainnya beberapa hari terakhir, ketika curah hujan tidak menyebabkan banjir? Itu murni banjir pasang atau banjir rob saat pasang maksimum. Sesungguhnya, setiap hari pasang-surut air laut terjadi reguler rata-rata setiap 12 jam 25 menit. Hal itu disebabkan karena efek gravitasi bulan. Gravitasi bulan mempengaruhi setiap komponen di bumi dan yang paling terdampak adalah massa cair air laut. Dampaknya, air laut tertarik ke arah bulan dan arah menjauhi bulan. Itulah yang disebut pasang air laut. Pada sisi yang tegak lurus arah bulan terjadi air laut surut. Dari pasang ke surut berselang sekitar 6 jam, lalu enam jam kemudian terjadi pasang lagi.
Ada saat istimewa yang menyebabkan pasang maksimum dan surut minimum, yaitu sekitar bulan baru dan bulan purnama. Pada saat bulan baru dan bulan purnama, bulan hampir segaris dengan matahari. Bahkan saat terjadi gerhana sentral (gerhana matahari total/cincin atau gerhana bulan total), sistem bumi – bulan – matahari benar-benar segaris. Pada saat itulah gravitasi bulan diperkuat gravitasi matahari yang menyebabkan pasang maksimum, tinggi permukaan air laut lebih tinggi dibandingkan rata-ratanya. Diduga pasang maksimum saat bulan baru atau purnama juga berpotensi memicu (bukan menyebabkan) pelepasan energi yang terkait dengan gempa dan erupsi gunung berapi. Pengaruh posisi bulan dan matahari terhadap pasang air laut diilustrasikan pada animasi berikut.
Ilustrasi pengaruh posisi bulan dan matahari pada ketinggian pasang air laut. Pasang maksimum akan terjadi saat bulan baru dan purnama ketika terjadi efek gabungan pasang akibat bulan dan akibat matahari. Secara skematik, tinggi pasang maksimum adalah tinggi pasang akibat bulan (warna ungu) ditambah tinggi pasang akibat matahari (warna kuning). (Dari situs NOAA).
Hal yang perlu diwaspadai, banjir rob di beberapa wilayah pantai di Indonesia berpotensi makin sering terjadi. Sebab pertama, karena faktor lokal wilayah pantai, yaitu terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence). Beberapa kajian menunjukkan adanya penurunan tanah di sejumlah wilayah pantai utara Jawa, seperti Jakarta. Diduga penyebabnya adalah faktor alami pemadatan tanah endapan. Di beberapa kota besar, seperti Jakarta, diduga juga ada faktor antropogenik (akibat aktivitas manusia), yaitu pengambilan air tanah yang berlebihan dan beban banyaknya bangunan.
Namun, di wilayah yang tidak mengalami penurunan permukaan tanah, seperti Kepulauan Seribu, kejadian banjir rob juga diprakiraan akan makin sering terjadi. Sebab utamanya adalah efek pemanasan global dan efek siklus orbit bulan. Dua hal itu bersifat global. Pemanasan global diprakirakan akan meningkatkan volume air laut karena pemuaian dan melelehnya gunung-gunung es. Sementara siklus orbit bulan akan menyebabkan bidang orbit bulan secara periodik (setiap 18,6 tahun) akan makin mendekati bidang ekuator. Itu berdampak peningkatan efek pasang maksimum. Tim peneliti ketinggian permukaan laut dari NASA menyimpulkan banjir rob akan makin sering terjadi di pantai-pantai Amerika Serikat mulai 2030-an. Secara skematik efek gabungan pemanasan global dan siklus orbit bulan ditunjukkan pada gambar berikut:
Skematik peningkatan banjir rob akibat pemanasan global dan siklus orbit bulan. Garis biru adalah gambaran peningakatan permukaan air laut akibat pemanasan global. Kurva ungu tipis adalah gambaran variasi tinggi pasang maksimum akibat siklus orbit bulan berperiode 18,6 tahun. Kurva merah tebal adalah gambaran efek gabungan peningkatan pasang maksimum yang berpotensi meningkatan kejadian banjir rob. (Dari https://theconversation.com/this-supermoon-has-a-twist-expect-flooding-but-a-lunar-cycle-is-masking-effects-of-sea-level-rise-158412).
Diduga siklus orbit bulan juga berpotensi meningkat kejadian banjir rob di Indonesia. Hal ini akan diteliti tim peneliti Pusat Riset Antariksa, LAPAN-BRIN, bersama BIG dan beberapa perguruan tinggi.
Contoh penggunaan Sadewa untuk prakiraan banjir Jabodetabek 8 Februari 2020
T. Djamaluddin
Kepala LAPAN
Beberapa orang mempertanyakan layanan Sadewa (Satellite based Disaster Early Warning System — https://sadewa.sains.lapan.go.id/) yang dianggap tumpang tindih dengan layanan lembaga operasional BMKG. Berikut ini penjelasannya, bahwa tidak ada tumpang tindih. LAPAN sebagai lembaga litbang siap mendukung kinerja BMKG.
Menurut Undang-undang nomor 21/2013 tentang keantariksaan disebutkan “Lembaga adalah Instansi Pemerintah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya serta Penyelenggaraan Keantariksaan”. Lembaga yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut adalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN). “Kedirgantaraan” (aerospace) adalah hal-hal yang terkait ruang udara dan ruang antariksa.
Di dalam Peraturan Presiden nomor 49/2015 LAPAN mempunyai fungsi, antara lain, pelaksanaan penelitian dan pengembangan sains antariksa dan atmosfer, teknologi penerbangan dan antariksa, dan penginderaan jauh, serta pemanfaatannya.
Menurut Undang-undang nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), LAPAN sebagai salah satu Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala, antara lain informasi mengenai kegiatan dan kinerja LAPAN.
Merujuk Undang-undang nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), hasil penelitian dan pengembangan wajib dipublikasikan dan didiseminasikan, antara lain oleh LAPAN sebagai bagian Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Penelitian sains atmosfer sudah lama dilaksanakan oleh LAPAN, sejak sebelum 1980-an. Pusat penelitian atmosfer di LAPAN (terakhir bernama Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – PSTA) merupakan satu-satunya lembaga penelitian dan pengembangan yang melakukan kajian dinamika atmosfer ekuator di Indonesia, sebelum dibentuknya Puslitbang di BMKG. Pada 1990-an LAPAN diberi tugas oleh pemerintah melalui arahan Menristek saat ini (BJ Habibie) untuk mengembangkan model iklim (tepatnya model atmosfer) Indonesia. Sejak saat ini LAPAN mengembangkan model atmosfer ekuator yang sangat dinamis yang bisa digunakan untuk membuat prakiraan iklim dan cuaca. Pada 2015 PSTA ditetapkan Kemristekdikti sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Pemodelan Atmosfer Indonesia
Sebagai lembaga yang ditugasi Pemerintah mengembangkan model iklim (model atmosfer) Indonesia yang sangat komplek, LAPAN bekerjasama dengan CSIRO (The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation) Model atmosfer global kemudian di-down-scaling dan ditingkatkan kualitasnya oleh para peneliti LAPAN agar cocok untuk kondisi atmosfer ekuator benua maraitim yang sangat dinamis. Pada 2012 dimulai pengembangan aplikasi “Sadewa” (Satellite based Disaster Early Warning System) yang menggabungkan data satelit cuaca dengan model atmosfer Indonesia. Sebagai hasil litbang, prakiraan Sadewa tentu saja sudah melewati fase verifikasi dengan data-data satelit, radar, dan pengukuran curah hujan di berbagai titik. Data-data tersebut sebagian diperoleh dari BMKG.
Kami memahami bahwa BMKG adalah lembaga pemerintah yang secara operasional memberikan layanan meteorologi dan klimatologi yang terkait dengan dinamika atmosfer ekuator. LAPAN sebagai lembaga litbang atmosfer berkewajiban untuk mendukungnya dengan hasil-hasil litbangnya. Oleh karenanya, pada berbagai kesempatan LAPAN menawarkan hasil litbang LAPAN tersebut untuk diuji dan dimanfaatkanoleh BMKG. Pada 2015 kami hadir menemui Kepala BMKG untuk membahas irisan kewenangan LAPAN dan BMKG terkait dengan layanan informasi cuaca dan iklim. BMKG kita akui sebagai lembaga operasional layanan cuaca dan iklim. Layanan informasi yang diberikan LAPAN hanya sebagai layanan hasil litbang yang diharapkan memberi manfaat kepada Kementerian, Lembaga, dan Daerah serta masyarakat umum. Bagaimana pun LAPAN sebagai lembaga litbang dituntut hasil nyatanya yang bisa dimanfaatkan secara nasional dan sesuai amanat undang-undang KIP dan undang-undang Sisnas Iptek. LAPAN sebagai sesama lembaga pemerintah semestinya bisa membantu meningkatkan kualitas layananan BMKG berdasarkan hasil litbangnya.
Kami melihat layanan BMKG, sesuai kelaziman internasional, berbentuk informasi prakiraan berbasis teks dengan waktu pagi, siang, malam, dan dini hari untuk berbagai titik kota/kabupaten. Sementara informasi liputan awan dari satelit dan pantauan hujan dari radar disajikan terpisah. Dengan aplikasi Sadewa, kami mengisi kekosongan layanan BMKG dengan layanan berbasis web (https://sadewa.sains.lapan.go.id/). Sadewa menampilkan peta interaktif yang berisi berbagai informasi: liputan awan dari satelit, data radar Santanu yang dikembangkan LAPAN, serta prakiraan cuaca secara grafis berbasis model atmosfer. Pengguna Sadewa dapat menampilkan liputan awan dari satelit Himawari dan mencocokkannya dengan grafis prakiraan model atmosfer sebagai verifikasi langsung. Kemudian bisa dilihat prakiraan sampai 3 x 24 jam, yang di-update setiap 6 jam. Verifikasi langsung dengan data satelit bisa memberikan gambaran tingkat kepercayaan pengguna akan kualitas prakiraan.
Informasi Sadewa bisa digunakan sebagai peringatan dini bagi publik secara visual pada peta, melengkapi peringatan dini BMKG yang berbasis teks. Pada Screen shoot FB di atas ditunjukkan contoh penggunaan Sadewa yang bisa dilakukan publik sebagai peringatan dini. Pada Sabtu 7 Februari 2020 malam Jakarta diguyur hujan. Berdasarkan informasi satelit Himawari yang ditampilkan di Sadewa pada pukul 21.00 awan tebal memang melingkupi Jabodetabek. Saat dicocokkan dengan prakiraan Sadewa, memang Jabodetabek diprakirakan hujan lebat (warna ungu). Maka kemudian ditampilkan prakiraan Sadewa untuk pukul 23.00, 01.00, 03.00, sampai 05.00. Terlihat Jakarta diprakirakan akan mengalami hujan lebat sekitar 5 jam. Itu berpotensi menimbulkan genangan. Terbukti Ahad 8 Februari beberapa wilayah di Jakarta tergenang banjir.
Sesungguhnya, layanan informasi cuaca berbasis peta seperti Sadewa sudah diberikan oleh BMKG di situs https://signature.bmkg.go.id/, tetapi informasi tersebut tampaknya sangat ekslusif. Tidak ada link di situs BMKG untuk mencapainya. Bahasanya pun masih bahasa Inggris dan waktunya bukan WIB. Orang awam sulit memahaminya. Lagi pula, kalau kita bandingkan, Sadewa mempunyai keunggulan daripada Signature:
Sadewa sudah menggunakan model dengan down-scaling yang disesuaikan dengan model atmosfer Indonesia.
Sadewa memberikan prakiraan setiap jam, sementara Signature setiap 3 jam.
Resolusi spasial sadewa 5×5 km, sementara Signature sekitar 25×25 km.
Sadewa di-update otomatik setiap 6 jam, sementara update Signature setiap 24 jam.
Di era keterbukaan informasi, info prakiraan cuaca sangat melimpah di internet. Publik tinggal memilih informasi yang dianggap paling akurat. Maka, sebagai lembaga pemerintah, BMKG dituntut memberikan layanan informasi lebih baik dari semua layanan yang ada. LAPAN sebagai lembaga litbang sangat berkeinginan mendukung BMKG agar bisa memberikan layanan yang lebih baik kepada publik. Inilah beberapa contoh layanan informasi cuaca yang banyak diakses publik:
Dark Sky – Hyperlocal Weather (Aplikasi iOS dan Android)
1Weather (Aplikasi)
Transparent Clock & Weather (Aplikasi)
GO Weather (Apliksi)
Amber Weather (Aplikasi)
Sesuai amanat Undang-undang nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, bahwa dalam hal penyelenggaraan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan yang menghasilkan invensi dan inovasi yang dibiayai oleh Pemerintah, LAPAN sebagai bagian dari Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi wajib melakukan alih teknologi, antara lain kepada BMKG sebagai bagian dari Lembaga Pemerintah. Saat ini LAPAN sudah menghasilkan inovasi, antara lain aplikasi Sadewa, radar hujan Santanu, dan sensor radio sonde yang bisa mendukung peningkatan kinerja BMKG dan mengurangi impor.
Banjir 1 januari 2020 merendam banyak kawasan di Jabodetabek — gambar dari internet.
Banjir disebabkan karena kombinasi cuaca ekstrem (curah hujan tinggi) atau persisten (berlangsung lama) serta faktor daya dukung lingkungan yang tidak memadai atau rusak. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak negatif adalah mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi dari aspek cuaca, dilakukan dengan memahami perilaku cuaca dan memprakirakan secara cepat dan tepat. Namun atmosfer Indonesia yang sangat aktif sangat sulit diprakirakan. Tingkat akurasi prakiraan cuaca harus terus ditingkatkan. Salah satu model prakiraan yang dikembangkan LAPAN adalah SADEWA (Satellite-based Disaster Early Warning System). SADEWA berisi data pengamatan dan prakiraan. Data pengamatan adalah liputan awan dari satelit Himawari-8 serta radar hujan Santanu dan AWS (automatic Weather Station). Radar dan AWS sementara baru dari Bandung. Data prakiraan berasal dari model WRF (Weather Reseach and Forcasting) dengan menggunakan masukan GFS (Global Forcast System) dengan pengaturan skema konveksi dan boundary layer sesuai kondisi Indonesia. Prakiraan dilakukan setiap 6 jam untuk 3 x 24 jam ke depan. Prakiraannya untuk setiap jam dengan resolusi spasial 5 km persegi.
Hal mendasar yang perlu difahami adalah pola pergeseran gugusan awan yang mengindikasikan musim hujan. Gugusan awan biasanya dikenal sebagai Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan zona pertemuan (konvergensi) angin dari daerah musim dingin dengan angin dari daerah musim panas. Di daerah konvergensi itulah terbentuknya awan-awan konveksi yang menjulang yang menurunkan hujan, disebut awan Kumulonimbus (Cb, awan menggumpal yang menurunkan hujan). Dengan berubahnya posisi matahari di belahan selatan, maka belahan selatan lebih panas dengan tekanan udara yang lebih rendah dari belahan utara yang mengalami musim dingin. Maka daerah pembentukan awan atau ITCZ bergeser ke arah selatan. Puncak musim hujan ditandai ketika ITCZ (pusat pembentukan awan hujan) berkumpul di wilayah Indonesia. Itu terjadi sekitar Januari – Februari.
Gugusan awan konveksi berkumpul di wilayah Indonesia yang menyebabkan musim hujan di sebagian besar wilayah. Gugusan awan konveksi sebagai Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ) bergeser ke selatan. Garis merah adalah rata-rata gugusan awan konveksi pada November 2019. Garis merah rata-rata gugusan awan konveksi pada Desember 2019. Januari – Februari adalah puncak musim hujan ketika gugusan awan konveksi berkumpul di wilayah Indonesia.
Hal yang perlu diwaspadai adalah ketika terjadi fase penguatan pembentukan awan di wilayah Indonesia. Kondisi reguler musiman pergeseran ITCZ kadang mendapat penguatan dari fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation) dan Cold surge atau Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS). MJO adalah fenomena gangguan atmosfer yang berawal dari Samudera Hindia melewati Indonesia dan berakhir di Samudra Pasifik. Ada dua jenis dampak MJO: penguatan atau pelemahan pembentukan awan. Fenomena Cold surge atau Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS) adalah aliran udara dingin yang cukup kuat dari utara yang menambah aktivitas pembentukan awan hujan.
Fenomena MJO pada awal Januari 2020 menyebabkan penguatan pembentukan awan (warna biru) di wilayah barat Indonesia. — Dari CPC-NOAA
Prakiraan angin dan curah hujan di SADEWA. Angin cukup kuat dari utara yang melintasi ekuator pada musim dingin, berpotensi membawa angin dingin sebagai “cold surge”.
Apa yang terjadi pada malam pergantian tahun 2019-2020 yang menyebabkan banjir besar di Jabodetabek?
Hasil analisis balik prakiraan SADEWA dan konfirmasi kondisi liputan awan dari satelit Himawari 8 (juga disajikan di SADEWA) menjadi pelajaran untuk antisipasi potensi banjir di masa mendatang. Waspadai prakiraan cuaca ekstrem (hujan lebat) dan persisten (hujan dalam waktu lama).
Analisis regional menunjukkan adanya pengaruh MJO aktif yang berdampak penguatan pembentukan awan pada awal Januari 2020. Analisis balik prakiraan SADEWA menunjukkan ada angin yang cukup kuat bertiup dari utara, melintasi ekuator, dan sampai ke Jawa. Angin dari utara membawa udara dingin. Kuatnya angin dari utara mengindikasikan juga adanya tekanan yang cukup kuat dari arah Asia yang mengalami musim dingin, yang mengindikasikan terjadinya cold surge atau Cross-Equatorial Northerly Surge (CENS). Dua fenomena tersebut, MJO dan Cold Surge, sesungguhnya menjadi peringatan dini yang perlu diwaspadi.
Bagaimana prakiraan curah hujannya? Walaupun prakiraan SADEWA belum terlalu akurat, namun uji empirik di beberapa lokasi menunjukkan prakiraan SADEWA bisa menjadi peringatan dini untuk diwaspadai. Prakiraan SADEWA yang dikeluarkan pada akhir Desember 2019 mengindikasikan ada potensi hujan lebat di kawasan Jabodetabek mulai pukul 21.00, 31 Desember 2019 sampai pukul 03.00, 1 Januari 2020.
Prakiraan SADEWA hujan pukul 21.00, 31 Desember 2019 di kawasan Jabodetabek.
Prakiraan SADEWA hujan pukul 23.00, 31 Desember 2019 di kawasan Jabodetabek.
Prakiraan SADEWA hujan pukul 01.00, 1 Januari 2020 di kawasan Jabodetabek.
Prakiraan SADEWA hujan pukul 03.00, 1 Januari 2020 di kawasan Jabodetabek.
Prakiraan itu terkonfirmasi dengan data satelit Himawari 8 yang menunjukkan adanya gugusan awan raksasa yang digolongkan sebagai MCC (Meso-scale Convective Complex — gugusan awan konvektif skala meso).
Konfirmasi data satelit Himari 8: ada gugusan awan raksasa yang digolongkan sebagai MCC (Meso-scale Convective Complex — gugusan awan konvektif skala meso) pada pukul 21.00, 31 Desember 2019.
Konfirmasi data satelit Himari 8: ada gugusan awan raksasa yang digolongkan sebagai MCC (Meso-scale Convective Complex — gugusan awan konvektif skala meso) pada pukul 23.00, 31 Desember 2019.
Konfirmasi data satelit Himari 8: ada gugusan awan raksasa yang digolongkan sebagai MCC (Meso-scale Convective Complex — gugusan awan konvektif skala meso) pada pukul 01.00, 1 Januari 2019.
Konfirmasi data satelit Himari 8: ada gugusan awan raksasa yang digolongkan sebagai MCC (Meso-scale Convective Complex — gugusan awan konvektif skala meso) pada pukul 03.00, 1 Januari 2019.
Dampak cutah hujan ekstrem dari awan raksasa (MCC) tersebut, banyak daerah di Jawa Barat, DKI, dan Banten yang terdampak dengan genangan atau banjir.
Genangan di Provinsi Jabar
Genangan di DKI
Genangan di Provinsi Banten
Bagaimana daya dukung lingkungan Jabodetabek sehingga memungkinkan banjir besar Jabodetabek 1 Januari 2020? Analisis global dengan citra satelit memang menunjukkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane, Ciliwung, dan Citarum serta sungai-sungai di hilir sudah mengalami perubahan drastis bila dibandingkan dengan kondisi 2002. Secara umum terlihat daerah resapan air makin berkurang. Jadi sebagian besar air hujan terbuang ke arah hilir, yang kondisinya tidak memadai atau rusak.
Kawasan DAS Cisadane, Ciliwung, dan Citarum serta sungai-sungai di hilir pada 2002, dari analisis citra satelit.
Kawasan DAS Cisadane, Ciliwung, dan Citarum serta sungai-sungai di hilir pada 2019, dari analisis citra satelit.
Perbandingan kondisi 2002 dan 2019 atas DAS Cisadane, Ciliwung, dan Citarum serta sungai-sungai di hilir, secara umum menunjukkan daerah resapan air makin berkurang.
Langkah mitigasi yang diperlukan untuk antisipasi bencana banjir adalah fahami karakteristik cuaca Indonesia dan senantiasa waspada dengan peringatan dini yang diberikan BMKG. Aplikasi SADEWA dapat melengkapi informasi peringatan dini secara spasial untuk tiga hari ke depan. Mitigasi dari segi daya dukung lingkungan adalah mengupayakan agar daerah resapan air di hulu dibenahi dan daya tampung aliran sungai di hilir mesti diperbaiki juga. Sejalan dengan itu, adaptasi di wilayah-wilayah yang memang menjadi kawasan genangan air (bekas situ atau cekungan) perlu dilakukan.
Suhu panas pada musim pancaroba (peralihan kemarau ke musim hujan sekitar Oktober dan peralihan musim hujan ke kemarau sekitar April-Mei) sering menjadi viral dengan informasi yang keliru dan bercampur hoax. Suhu panas tersebut bukanlah gelombang panas atau cuaca ekstrem. Itu adalah fenomena tahunan yang normal, seperti ditunjukkan pada data klimatologi di atas.
Suhu panas di banyak kota di Indonesia disebabkan 3 faktor utama:
1. Posisi matahari berada di atas Indonesia (deklinasi matahari = lintang tempat). Sering juga disebut “hari tanpa bayangan”. Pada saat itu, pancaran sinar matahari pada tengah hari tegak lurus, sehingga penerimaan panas menjadi maksimum.
2. Liputan awan masih minim. Pada saat musim pancaroba, liputan awan tidak terlalu banyak, sehingga pemanasan permukaan bumi juga bisa maksimum.
3. Efek pendinginan dari angin yang berasal dari daerah musim dingin sudah berhenti. Pada musim kemarau terjadi efek pendinginan dengan embusan angin dari Australia yang sedang musim dingin. Sementara saat musim hujan terjadi efek pendinginan dari embusan angin dari Asia yang sedang musim dingin
Faktor lain yang menambah efek pemanasan adalah urban heat island (pulau panas perkotaan) akibat berkurangnya pepohonan, bertambahnya bangunan, dan peningkatan emisi karbon dioksida (CO2) dari transportasi, industri, dan aktivitas rumah tangga. Karbon dioksida di atmosfer menahan pelepasan panas ke antariksa. Akibatnya terjadi peningkatan suhu udara permukaan.
Zona pembentukan awan lintas tropik (ITZC) mulai bergerak ke utara, pertanda musim pancaroba, peralihan musim hujan menuju musim kemarau di Indonesia. (Dari situs sadewa.lapan.go.id)
T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Akhir April 2019 kabar cuaca ekstrem dengan banjir dan tanah longsor kembali mencuat di pemberitaan nasional. Diawali dengan banjir besar di Bengkulu. Padahal saat ini sudah mulai memasuki akhir musim hujan. Saat musim pancaroba, peralihan musim hujan menuju kemarau. Pola daerah ITCZ (Inter-Tropical Convergence Zone — zona pembentukan awan lintas tropik) sudah mulai bergerak ke utara (lihat gambar ITCZ di atas). Mengapa terjadi lagi cuaca ekstrem. BMKG memberikan peringatan cuaca ekstrem karena fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation). Apakah MJO dan apa dampaknya?
Cuaca di Indonesia secara reguler dipengaruhi oleh siklus angin pasat karena perubahan pemanasan matahari akibat kemiringan sumbu rotasi bumi. Kita mengenal perubahan musim hujan – pancaroba – kemarau – pancaroba – hujan, dan seterusnya sebagai siklus tahunan. Kadang-kadang terjadi kekeringan atau musim hujan panjang akibat pemanasan di lautan Pasifik (dikenal sebagai fenomena El-Nino/La-Nina) atau pemanasan di samudra Hindia (dikenal sebagai fenomena Indian Dipole-Mode — IOD). Fenomena El-Nino/La-Nina dan IOD biasanya berulang setiap 3 – 7 tahunan. Ada juga variasi yang disebut “kemarau basah” (banyak hujan saat kemarau) karena efek pemanasan di perairan sekitar Indonesia. Saat ini dikenal juga fenomena MJO yang dampaknya sekitar sepekan yang bisa berulang sekitar 2 bulanan bila fasenya masih aktif. Dampaknya bisa berupa penguatan pembentukan awan yang memicu cuaca ektrem atau pengurangan pembentukan awan yang menyebabkan jeda hujan saat musim hujan.
Dengan mempelajari dinamika atmosfer (pola pergerakan awan dan angin) di sepanjang daerah tropik, mulai dari Afrika, samudera Hindia, benua maritim Indonesia, sampai Pasifik, diketahui ternyata ada pola periodik aktivitas atmosfer ekuator yang dikenal MJO. MJO adalah kondisi dinamika atmosfer periodik yang bergerak sepanjang wilayah tropik dari barat ke timur dengan periode sekitar 40-50 harian. Namun tidak selalu aktif. Contohnya, selama Maret sampai pertengahan April 2019 fenomena MJO dalam kondisi tenang, jadi tidak berdampak apa pun. Namun, sejak akhir April MJO mulai aktif ditandai dengan penguatan pembentukan awan di Samudera Hindia yang bergeser ke wilayah benua maritim Indonesia. Saat ini penguatan pembentukan awan berada di wilayah Indonesia, kemudian terus bergeser ke timur menuju Pasifik. Sampai kapan? Fenomena MJO biasanya berlangsung sekitar sepekan. Berikut ini prakiraan efek MJO pada penguatan pembentukan awan di Indonesia yang diprakirakan sampai awal Mei 2019.
MJO yang berdampak pada penguatan pembentukan awan (warna biru) diprakirakan berlangsung sampai awal Mei. Setelah itu ada kemungkinan disusul penekanan pembentukan awan (warna merah). (Dari situs NOAA).