T. Djamaluddin
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN
Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama
Pengantar: Ada pertanyaan publik dan mahasiswa pascasarjana via FB atau e-mail yang mungkin juga menjadi pertanyaan banyak orang. Berikut ini jawaban saya:
T: Mengapa secara astronomis bulan baru dimulai ketika terjadi ijtima’?
J: Ijtimak/newmoon sering juga disebut bulan mati secara astronomis dianggap sebagai bulan baru karena saat itulah bermulanya siklus sinodis, yaitu siklus bulan mati, sabit, setengah lingkaran, purnama, setelah lingkaran, kembali sabit, kemudian kembali bulan mati (siklus yang disebut juga di QS 36:39).
T: Argumentasi apa para ahli fiqh dan falak menolak kesimpulan astronomis (bulan baru dimulai ketika terjadi ijtima’)?
J: Konsep ijtimak/newmoon baru muncul setelah berkembangnya hisab. Rukyat yang dipraktekkan Rasul dan ummat Islam generasi awal hanya mengenal awal bulan setelah terlihatnya hilal. Jadi ahli fikih dan pakar falak/astronomi tinggal melanjutkan konsep hilal itu, karena secara hisab pun bisa disesuaikan.
T: Adakah data observasi yang menjelaskan posisi terendah hilal bisa diru’yat? Berapa derajat? Kapan? Dimana ru’yat dilaksanakan?
J: Jurnal astronomi yang menawarkan kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal selalu merujuk pada data kesaksian hilal seluruh dunia. Contohnya, makalah Odeh berisi tabel kesaksian hilal yang sahih secara astronomi. Namun kriteria Odeh yang mensyaratkan tebal sabit kurang dikenal oleh ahli falak Indonesia. Maka dengan menggabungkan kriteria yang ditawarkan beberapa peneliti lain, saya menawarkan kriteria baru yang mempertimbangkan praktek hisab rukyat di Indonesia. Syarat minimal ketampakan hilal (berdasarkan data-data astronomis): (a) Beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat dan (2) jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat.
T: Apa motivasi yang mendorong Bapak terlibat dalam wacana hisab rukyat di Indonesia , terutama upaya untuk mencari titik temu untuk penyatuan kalender Islam?
J: Perbedaan hari raya selama ini hanya dipandang sebagai persoalan fikih, sehingga solusi yang ada hanya tasamuh (toleransi), menghargai perbedaan pendapat. Hal itu tepat ketika yang dipermasalahkan adalah dalil fikih rukyat vs hisab. Dalam perkembangannya, kalangan rukyat pun mulai menerima hisab, walau sebagai pendukung. Maka perlu dicarikan titik temunya. Titik temu rukyat dan hisab adalah “hisab yang memperhatikan rukyat dan rukyat yang dipandu hisab”, yaitu dengan kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria imkan rukyat sudah lama dikenal, tetapi hanya sebatas kriteria hisab, bukan sebagai pemersatu rukyat dan hisab. Saya terdorong untuk menjadikan kriteria imkan rukyat sebagai solusi penyatuan kalender yang menjadi titik temu rukyat dan hisab. Kriteria imkan rukyat tersebut merupakan kriteria dinamis yang harus disepakati. Artinya, pada tahap awal biarkan saja digunakan kriteria sederhana seperti kriteria MABIMS (Tingi minimal 2 derajat, jarak bulan-matahari minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam). Itu sebagai titik awal persatuan. Lalu dikembangkan ke kriteria yang astronomis, dengan memilih salah satunya (misalnya Ilyas, Yallops, SAAO, Odeh) atau menggabungkan berbagai kriteria (Misalnya Kriteria “Hisab Rukyat Indonesia” yang saya usulkan).
T: Apa peran astronomi di dalam penyatuan kalender Islam?
J: Astronomi bisa berperan menjembatani hisab dan rukyat tanpa harus berpihak pada salah satunya. Kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat) astronomi bisa digunakan oleh ahli hisab untuk menentukan masukkan awal bulan dan bisa digunakan oleh ahli rukyat untuk mengkonfirmasi hasil rukyat yang meragukan (misalnya hilal yang terlalu rendah). Kriteria visibilitas hilal pada dasarnya adalah data rukyat jangka panjang yang bisa dijadikan sebagai acuan mungkin tidaknya rukyat terjadi.
T: Problematika penentuan awal bulan salah satunya berangkat dari definisi hilal yang berbeda, apa definisi hilal itu menurut Bapak?
J: Hisal adalah bulan sabit pertama yang tampak sesudah maghrib. Hilal menjadi penentu awal bulan Islam.
T: Bapak menyatakan rukyah yang baik harus dibantu hisab. Bagaimana jika klaim rukyat ternyata bertentangan atau tidak sesuai dengan hasil hisab?
J: Bila ada rukyat yang bertentangan dengan hasil hisab yang akurat, berarti ada kesalahan dalam rukyat atau objek yang dikira hilal sesungguhnya bukan hilal. Untuk membuktikan, bisa digunakan rukyat hari-hari berikutnya yang dibandingkan dengan hasil hisab.
T: Bagaimana penjelasan Bapak tentang kriteria hisab berlandaskan dalil syar’i?
J: Dalil syar’i menjelaskan soal fungsi bulan dan matahari dalam penentuan waktu yang bersifat umum di dalam Al-Quran serta contoh Nabi yang melakukan rukyat dan isyarat Nabi membolehkan hisab (dengan ungkapan “faqdurulahu”). Karena hisab pada dasarnya hanya menghitung posisi bulan, maka harus ada kriterianya. Krietria itu, merujuk pada dalil, tidak boleh mengabaikan rukyat. Maka kriteria yang harus digunakan adalah kriteria ketampakan hilal/visibilitas hilal/imkan rukyat.
T: Mengapa ketika masing-masing pengusung hisab dan rukyah mengklaim bahwa metode masing-masing adalah qath’i, bapak menyatakan kedua-duanya adalah kasus ijtihadiyah dan relatif?
J: Rukyat bergantung pada faktor mata dan faktor gangguan di ufuk, jadi bisa jadi yang dilihatnya bukan hilal. Oleh karenanya ahli rukyat berijtihad dengan keyakinan rukyatnya. Sementara ahli hisab dalam memutuskan masuknya awal bulan juga harus berijtihad dengan kriterianya. Kebenaran keduanya relatif, bergantung pembuktiannya. Suatu saat akan ditemukan metode dan kriteria yang meyakinkan, ketika hisab dan rukyat saling bersinergi. Penggunaan teknologi teleskop dan komputer sangat membantunya.
T: Bagaimana tanggapan Bapak terhadap kelompok yang cenderung menggunakan kreteria rukyat global untuk penyatuan kalender Islam?
J: Saya memandang mereka mempunyai ghirah (semangat) penyatuan ummat yang kuat, tetapi masih lemah dari aspek teknis pelaksanaannya. Karena bumi bulat, bagaimana pun harus ada batasnya. Batas yang benar mestinya disesuaikan dengan batas keterlihatan hilal, jangan gunakan batas tanggal internasional, hanya sekadar menyamakan hari.
T: Sebahagian ulama masih ada yang berpendapat tentang mathla sebagai jarak yang mengikat berlakunya hukum rukyah adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Bagaimana pendapat bapak tentang pandangan demikian?
J: Mathla’ seperti itu didasarkan pada pemahaman ahli fikih dahulu untuk menyatakan batas keberlakuan rukyat, berdasarkan dalil dan wawasan pada saat itu. Ketika wawasan berkembang global, batasan seperti itu tidak bisa diterapkan lagi. Saya berpendapat mathla’ saat ini harus didefinisikan dengan garis tanggal berdasarkan kriteria yang disepakati.
T: Bagaimana pendapat Bapak tentang Garis Batas Tanggal?
J: Garis batas tanggal adalah mathla’ bila diterapkan kriteria imkan rukyat.
T: Dalam kaitan penyatuan kalender, bagaimana pandangan Bapak tentang rukyah apakah menjanjikan terwujudnya suatu kalender mapan?
J: Rukyat diperlukan untuk menetapkan awal bulan, khususnya bagi para pengamal rukyat. Rukyat pun digunakan untuk konfirmasi hisab dan bahan untuk menyempurnakan kriteria imkan rukyat. Rukyat memang bukan untuk membuat kalender. Kalender hanya mendasarkan pada hisab dengan kriteria Imkan Rukyat.
T: Apa kritik Bapak terhadap kriteria rukyah murni?
J: Rukyat murni tidak mempunyai panduan waktu dan arah yang tepat untuk rukyat. Karenanya, rukyat murni rentan terhadap kesalahan identifikasi objek pada saat gangguan di ufuk semakin banyak seperti saat ini.
T: Apa kritik bapak terhadap wujudul hilal?
J: Kriteria wujudul hilal adalah kriteria penyederhanaan dari kriteria imkan rukyat, dengan anggapan syarat minimal keberadaan di atas ufuk, walau pun konsepnya keliru karena yang digunakan sebagai rujukan adalah piringan atas bulan.
T: Apa saja syarat yang harus ada untuk mewujudkan kalender hijriyah yang mapan?
J: Tiga sayart utama: (1) ada otoritas tunggal, (2) ada kriteria tunggal yang disepakati, dan (3) ada batas wilayah yang jelas.
T: Bagaimana peran pemerintah, apakah perlu otorisasi untuk mewujudkan kalender tunggal?
J: Pemerintah adalah otoritas tunggal dalam lingkup kalender nasional.
T: Mengapa ormas-ormas Islam di Indonesia masih belum dapat menerima konsep penyatuan kalender, padahal sudah lama ide itu dikemukakan dan sudah sekian banyak pertemuan diselenggarakan?
J: Saya memandang sebab utama adalah adanya kesalahan konsep yang digunakan sebagian ormas Islam yang diperparah dengan ego organisasi yang kuat. Dikhotomi rukyat dan hisab yang ditanamkan secara sadar atau tak sadar membangun sikap taqlid pada metode dan kriteria yang mereka gunakan yang menyebabkan mereka kehilangan sikap kritis ilmiahnya.
T: Apakah imkanurrukyah itu? Bagaimana sejarah teori imkan rukyah itu dan penganjurnya? Apa dasar syar’iyah dari teori imkan rukyah tersebut? Sebagian orang mengatakan teori itu tidak memiliki landasan syar’i yang kuat.
J: Imkan rukyah adalah kemungkinan ketampakan hilal. Dasar syar’iyahnya bisa dirunur sebagai berikut: Perintah puasa ada di QS 2:183 dan waktu pelaksanaannya pada bulan Ramadhan diperintahkan di QS 2:185. Cara menentukan Ramadhan dirinci di hadits “Shuumu li ru’yatihi…” berupa perintah rukyat. Sekarang berkembang pendapat bahwa hisab dibolehkan, karena ada isyarat QS 10:5 dan rincian hadits dengan frase “faqdurulahu” (“perkirakan”) sebagai alternatif rukyat. Sekadar bandingan fikih, shalat diperintah di Al-Quran. Rincian tata cara shalat dirinci di hadits. Tanda-tanda waktu juga dirinci di hadits. Tidak ada perintah membuat jadwal shalat. Tetapi semua orang kini mengikuti jadwal shalat. Karena isyarat waktu yang disebut di dalam hadits diterjemahkan menjadi parameter astronomi berupa kriteria waktu shalat untuk membuat jadwal shalat. Hal serupa juga berlaku dalam penentuan awal bulan, khususnya awal dan akhir Ramadhan. Isyarat waktu untuk mengawali Ramadhan dengan rukyat diterjemahkan menjadi parameter astronomi berupa kriteria Imkan Rukyat.
T: Ada banyak kriteria dalam imkanurrukyah, sehingga dianggap tidak memberi kepastian. Bagaimana jawaban Bapak tentang hal tersebut?
J: Kriteria imkan rukyat (visisbilitas hilal) adalah produk penelitian sains-astronomi. Dalam sains, masing-masing peneliti berhak untuk mengungkapkan hasilnya, tanpa berkewajiban untuk membandingkan dengan peneliti lain. Tidak ada pula kewajiban untuk membuat kesepakatan di antara para peneliti. Kriteria tunggal yang diperlukan dalam implementasi harus dibuat berdasarkan kesepakatan untuk memilih salah satunya dan mengggabungkannya.
T: Bagaimana kreteria imkan rukyah menurut bapak, atas dasar apa membangun kriteria dimaskud?
J: Saya menawarkan kriteria imkan rukyat berdasarkan data astronomis rukyatul hilal internasional dengan mempertimbangkan praktek hisab rukyat di Indonesia. Kriteria itu mencakup syarat minimal ketampakan hilal (berdasarkan data-data astronomis): (a) Beda tinggi bulan-matahari minimal 4 derajat dan (2) jarak bulan-matahari minimal 6,4 derajat.
T: Terkait perbedaan pendapat dengan Muhammadiyah, mengapa tidak ditempuh dialog?
J: Dialog dengan pakar dan pengurus Pusat Muhammadiyah sudah saya lakukan sejak 1990-an, jadi lebih dari 20 tahun. Oleh karenanya saya pun pernah diundang jadi narasumber di Munas Tarjih Muhammadiyah di Padang pada 2003. Tahun 2009 saya dan teman-teman Salman ITB juga bersilaturrahim ke PP Muhammadiyah di Yogyakarta (lihat foto). Menjelang Ramadhan 1432/2011 saya pun berdialog intensif dengan beberapa pengurus Muhammadiyah Pusat. Karena ada pengurus yang menyebut “itu harga mati, wujudul hilal tidak bisa diubah lagi“, maka sejak Ramadhan 1432/2011 saya lakukan dialog publik, dialog terbuka. Saya pun minta izin ke salah seorang pengurus Pusat Muhamadiyah untuk membuka diskusi publik via blog saya. Memang ada plus-minusnya dialog publik seperti itu. Plusnya semakin banyak warga Muhammadiyah yang mulai terbuka wawasannya dan bisa menilai secara objektif masalah perbedaan yang selalu berulang. Minusnya, saya harus siap dengan segala caci maki yang kadang disertai kata-kata kotor yang terpaksa saya hapus di blog saya.
Filed under: 2. Hisab-Rukyat |
Reblogged this on Naneyan's Blog.
Reblogged this on Maryamingty's Blog.
Akar perpecahan ummat Islam itu bukan pada Muhammadiyah, tetapi pada itsbat itu sendiri. Seandainya Itsbat dihilangkan, sementara pemerintah mengayomi semua pihak, ummat Islam sudah menyatu dengan sendirinya kok. Pengalaman-pengalaman sebelumnya sudah jelas, bahwa ketik ummat Islam sudah mau bareng-bareng hendak berpuasa atau berhari raya, tiba-tiba pemerintah memutuskan belum. Ummat Islam pun bingung dan terpecah. Maka menyatukan ummat Islam dalam persoalan awal puasa atau awal hari raya itu gampang. Hilangkan saja Itsbat. Itsbatlah sumber perpecahan. Ormas Islam cukup dipersilahkan rukyat sendiri-sendiri, dengan biaya sendiri, dan kalau pemerintah ingin membagi duit kepada tokoh agama, cari saja acara lain yang tidak memcah belah ummat.
ehemmmmmm
Maaf pak, apakah pemahaman saya ini benar?
Saya memahami bahwa penyebutan bulan baru dengan metode hisab itu saat bulan mati, tapi istilah bulan baru berdasarkan metode rukyat itu saat terlihat bulan sabit awal, karena bulan mati tidak dapat dilihat sedangkan metode rukyat itu harus terlihat bulannya.
Terimkasih pak.
Ya. New moon (bulan baru) dalam hisab adalah saat ijtimak atau konjungsi. Secara rukyat disebut kondisi bulan mati atau bulan gelap. “Bulan baru” secara rukyat dimulai dari terlihatnya hilal atau builan sabit pertama.
Oh, berarti perhitungan tanggal 1 di kalender hijaiyah itu saat bulan sabit pertama ya pak? Bukaan saat new moon atau ijtimak.
Terimkasih atas pencerahannya pak..
Maaf, itu maksudnya kalender hijriyah pak :)..
Pertanyaan itu hanya untuk memastikan saja, biar saya tidak salah paham..
Izin nyimak
Pengantar Ilmu Falak