Dengan Menyamakan Kriteria Mereka bisa Bersatu, Kita pun (Semestinya) Bisa!


T. Djamaluddin

Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN

Anggota Badan Hisab dan Rukyat, Kementerian Agama RI

Kita mengawali tahun baru 1433 H dengan perbedaan, sama ketika merayakan Idul Fitri 1432. Muhammadiyah dengan hisab dengan kriteria wujudul hilalnya menetapkan satu hari lebih awal daripada hisab dengan kriteria imkan rukyat (kemungkinan hilal bisa dilihat). Muhammadiyah menetapkan awal Muharram 1433 jatuh pada 26 November 2011, sementara hisab imkan rukyat yang digunakan oleh sebagian besar ormas Islam dan Taqwim Standar Indonesia menetapkannya jatuh pada 27 November 2011. Sebenarnya kita bisa bersatu, kalau kita mau mempersatukan kriterianya, batasan yang menentukan awal bulan. Sayang, gerakan tajdid (pembaruan) Muhammadiyah yang dipelopori KH Ahmad Dahlan tidak berlanjut. KH Ahmad Dahlan gigih menerapkan ilmu hisab untuk penyempurnaan arah kiblat didasari jiwa tajdid (pembaruan). Kini warga Muhammadiyah gigih mempertahankan kriteria hisab wujudul hilal yang usang atas dasar jiwa taqlid (“pengekor”). Padahal dari segi dalilnya sangat lemah, karena merujuk pada penafsiran QS 36:40 yang secara pemahaman astronomi tidak tepat dan dari segi konsep ilmiahnya aneh, cenderung mengadopsi logika pseudosains yang hanya diyakini kelompoknya.

Kita tinggal selangkah lagi menuju penyatuan kalender hijriyah di Indonesia. Ya, tinggal menyatukan kriterianya. Ada dua pilihan kriteria: wujudul hilal dan imkan rukyat. Wujudul hilal tidak mungkin bisa dipilih sebagai kriteria bersama, karena wujudul hilal pasti akan berbeda dengan hasil rukyat ketika posisi bulan rendah. Kriteria imkan rukyat adalah kriteria pemersatu antara metode hisab dan metode rukyat. Kriteria imkan rukyat jangan difahami sekadar kriteria ketinggian 2 derajat, karena secara astronomi banyak kajian soal imkan rukyat (visibilitas hilal) yang bisa kita pilih untuk kita sepakati. Untuk implementasi pembuatan kalender yang berlaku untuk penetapan waktu ibadah dan untuk muamalah (bisnis), perlu ada kesepakatan kriteria.

Kesepakatan kriteria tunggal untuk suatu sistem kalender adalah suatu hal yang mutlak. Bukan hanya untuk kalender Hijriyah. Sejarah panjang kalender Masehi pun tak lepas dari masalah perbedaan kriteria. Sampai 1752, Inggris (yang sebagian besar non-Katolik) berbeda hari Natalnya dengan negara-negara Eropa daratan yang terpengaruh Katolik Roma. Ketika Roma merayakan Natal 25 Desember, di Inggris masih tanggal 13 Desember. Mengapa sampai terjadi perbedaan yang sangat jauh, sampai 12 hari? Penyebabnya karena perbedaan kriteria. Inggris masih menggunakan kriteria Julius, sedangkan Roma menggunakan kriteria Gregorius. Menurut kriteria Julius, yang merupakan kriteria usang (dicetuskan pada 46 SM ), tahun Kabisat adalah tahun yang angkanya habis dibagi 4 dan awal tahun jatuhnya 25 Maret yang semestinya bersesuaian dengan posisi matahari saat melintas ekuator. Inggris mengabaikan rukyat matahari, sekadar taqlid (mengekor) Julius, hanya mendasarkan pada hitungan matematis tanpa memperhatikan konsep astronomi untuk kelender matahari. Padahal titik musim semi sebenarnya telah bergeser jauh dari 25 Maret. Kondisinya mirip “keras kepalanya” Muhammadiyah untuk mengubah kriterianya, malah bangga dengan kriteria usangnya.

Kondisi perbedaan hari Natal di wilayah yang penduduknya campuran, antara Katolik dan Kristen asal Inggris tentu menimbulkan ketidaknyamanan. Untuk menulis surat pun harus mencantumkan dua versi tanggal. Namun, akhirnya Inggris mengalah untuk mengikuti kriteria baru, kriteria Gregorius yang berdasarkan imkan rukyat matahari, menyesuaikan dengan pengamatan matahari sesungguhnya. Kriteria Gregorius menyatakan tahun kabisat bukan sekadar  yang angkanya habis dibagi 4, tetapi ada prasyarat lain untuk menyesuaikan dengan pengamatan matahari, yaitu menghilangkan 3 tahun kabisat setiap 400 tahun. Ini mirip dengan kriteria imkan rukyat hilal, bukan sekedar hilal wujud, tetapi ada prasyarat lain agar hilal terlihat. Perubahan kriteria itu tidak mudah, bahkan di Inggris sempat terjadi gejolak. Tetapi demi persatuan, akhirnya Inggris mau menyamakan kriteria dengan konsekuensi terjadi lompatan tanggal, dari 2 September 1752 besoknya menjadi 14 September 1752.

Kaum Kristiani mau bersatu demi menjadikan kalender Masehi yang mapan dengan menyamakan kriterianya sehingga bisa merayakan natal bersama. Inggris bisa menanggalkan ego nasionalismenya demi “persatuan Kristiani”. Kita pun (semestinya) bisa! Kita bisa mendapatkan sistem kelender hijriyah yang mapan, dimulai dari lokal Indonesia, dengan menyamakan kriteria awal bulannya. Sama dengan kasus Inggris, Muhammadiyah pun harus bisa menanggalkan ego organisasinya untuk menginggalkan kriteria wujudul hilal yang usang demi persatuan ummat. Ya, “mengalah demi ummat” seperti yang pernah diungkapkan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar. Pro-kontra internal tidak dapat dihindarkan, sama dengan yang terjadi di Inggris. Tetapi dengan kepemimpinan yang kuat, semestinya Muhammadiyah pun bisa berubah. Sebenarnya bukan hanya Muhammadiyah yang harus berubah, ormas lain pun harus berubah. NU dan Persis serta beberapa ormas pelaksana hisab-rukyat sudah berubah, mengadopsi kriteria imkan rukyat pada hisab kalendernya. Hanya Muhammadiyah yang belum.

Bagaimana kalau Muhammadiyah tetap tidak mau berubah? Sekian perbedaan penetapan awal bulan akan terus terjadi, termasuk untuk bulan-bulan yang menjadi perhatian karena terkait ibadah massal (Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Berikut ini hasil hisab yang mengungkap perbedaan-perbedaan yang bakal terjadi selama tahun 1433 H, diawali dengan perbedaan tahun baru Hijriyah 1433. Selama tahun 1433 akan ada 5 bulan yang berbeda antara hisab wujudul hilal dan hisab imkan rukyat. Data hisab grafis diambil dari http://www.icoproject.org/res.html. Berikut 5 bulan yang berbeda penetapannya:

1. Muharram 1433:

Pada saat maghrib 25 November 2011, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Muharram 1433 = 26 November 2011. Menurut kalender ormas lain dan kalender Taqwim Standar Indonesia yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Muharram 1433 = 27 November 2011.

2. Rabbiul Awal 1433:

Pada saat maghrib 23 Januari 2012, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Rabbiul Awal 1433 = 24 Januari 2012. Menurut kalender ormas lain dan kalender Taqwim Standar Indonesia yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Rabbiul Awal 1433 = 25 Januari 2012.

3. Jumadil Akhir 1433:

Pada saat maghrib 21 April 2012, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Jumadil Akhir 1433 = 22 April 2012. Menurut kalender ormas lain dan kalender Taqwim Standar Indonesia yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Jumadil Akhir 1433 = 23 April 2012.

4. Ramadhan 1433:

Pada saat maghrib 19 Juli 2012, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Ramadhan 1433 = 20 Juli 2012. Menurut kalender ormas lain dan kalender Taqwim Standar Indonesia yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Ramadhan 1433 = 21 Juli 2012.

5. Dzulqaidah 1433:

Pada saat maghrib 16 September 2012, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Dzulqaidah 1433 = 17 September 2012. Menurut kalender ormas lain  yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Dzulqaidah 1433 = 18 September 2012. Karena posisi bulan di sebagian Indonesia Barat sudah sedikit di atas 2 derajat, kalender Taqwim Standar Indonesia menetapkan, 1 Dzulqaidah = 17 September 2012.

Baca juga:

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/19/astronomi-memberi-solusi-penyatuan-ummat/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/03/mengalah-demi-ummat/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/

https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/25/menuju-titik-temu-hisab-wujudul-hilal-dan-hisab-imkan-rukyat/

166 Tanggapan

  1. Terima kasih Prof. sangat bermanfaat…..!!!

    • He..he..he, lihat saja kalender ingkar rukyat… Sama bos dengan kalender jawa peninggalan sultan agung!! Jadi memang cocok utk mengHISAB tradisi hindu pitung dinoan, 40 hari, 100hr, 1000hr, koul buntet, koul sayur dst.
      Itulah kenapa sampeyan sampai sekarang belum atau masih mungkin dan mungkin pokoknya sing penting mungkinlah bikin standar kalender hisab ingkar rukyat! Kenapa??? Saya punya kunci jawabanya meskipun ujian kemarin sudah lewat mau tahu???

  2. Kembali menyebut pseudosains. Saya bisa (sedikit) paham ketika ada pihak yang menyebut imkanu rukyat sebagai kriteria yang “kurang ilmiah”, dan juga mengerti ketika pihak yang menyebut wujudul hilal sebagai bentuk penafsiran yang telah melewati batas. Hanya saja sampai sekarang saya belum bisa mengerti mengapa label pseudosains dilekatkan ke konsep wujudul hilal (dan sepertinya saya tidak bodoh-bodoh amat karena saya juga pernah mengenyam pendidikan di negara Pak Djamaluddin mendapatkan gelar doktornya).

    Bebicara dari sudut pandang fakta dan ilmu pengetahuan, sudah sangat jelas kalau penentuan awal bulan berdasarkan penampakan hilal adalah cara kuno dan ketinggalan zaman. Tidak ada alasan logis ilmiah untuk mempertahankan sistem seperti ini.

    Tetapi mengapa sebagian besar umat tidak mau melepaskan yang kuno dan ketinggalan zamain ini? Jawabannya karena agama memang berbicara tentang keyakinan dan konsep nilai. Praktek yang dicontohkan Nabi mejadikannya sesuatu yang dianggap mempunyai “nilai lebih” dan “benar”. Pada dasarnya agama memang tidak ilmiah sama sekali. Saya justru lebih heran dengan sikap berlebihan terhadap argumentasi imilah terhadap sesuatu yang justru berasal dari hal yang tidak ilmiah.

    • Alhamdulillah, kalau sempat belajar ke Jepang. Mungkin sempat melihat banyak kubah teleskop di sekolah-sekolah Jepang. Observasi adalah bagian penting dalam astronomi, tidak terkecuali untuk hilal yang sangat tipis. Browsing di internet kita akan banyak mendapatkan sumber ilmu tentang “crescent observation”, karena itu terus dikembangkan. Bandingkan browsing soal “wujudul hilal” (atau apa ya bahasa Inggrisnya, karena tidak lazim di astronomi), adakah artikel tentang itu, selain yang bersumber dari Muhammadiyah atau yang mengkritisi Muhammadiyah? Suatu keyakinan ilmu yang hanya terbatas pada suatu kelompok, tidak bisa diuji secara luas, itulah yang tergolong “pseudosains alias sains semu”. Itulah yang terjadi pada konsep wujudul hilal.

  3. Saya baru bisa mengapresiasi tulisan tDj jika ia telah menemukan teori baru di bidang astronomi hasil riset panjangnya (bukan sekedar merangkum teori2 pakar astronomi lain). Atau, ia telah menciptakan software astronomi yang mampu memodelkan benda2 langit semisal stellarium. Jika belum, ia tak lebih dari ahli lain seperti yang dimiliki penganut wujudul hilal. Silakan dilanjut.

  4. Sayangnnya dagangan sampeyan ini tdk memasukkan kriteria “persaksian ghoib” bagi saksi yg telah disumpah. Spt yg telah dicontohkan Rasulullah SAW, beliau sebagai pemegang otoritas tunggal hanya menerima hasil rukyah dan tdk pernah melakukan rukyatul hilal (kalau pernah tlg ditunjukkan!). Dan seorang baduipun beliau terima laporan rukyahnya!.
    Justru INGKAR RUKYATlah yg telah memecah keyakinan para penganut rukyatul hilal khususnya dikalangan warga NU. Betapa tdk yg namanya rukyatul hilal ya rukyatul hilal td ada istilah nego hilal 2,4, 6 derajat!. Kesaksian dibawah kriteria kesepakatan sertamerta hrs ditolak! Bagi penganut ingkar rukyat persaksian semacam ini adalah “persaksian nglindur!”. Mereka lupa “persaksian ghoib” adalah bagian dr teladan nabi yg diyakini kebenarannya sbg suatu keyakinan!

    • Orang badui dulu lebih faham daripada sarjana non-astronomi saat ini, karena mereka belajar dari alam. Sekarang banyak orang mengaku faham soal hilal, termasuk mengaku faham menghitungnya, tetapi sebenarnya hanya bertaqlid, bukan belajar yang sesungguhnya. Itulah sebabnya setiap kesaksian saat ini perlu diuji, tidak bisa sekadar bersumpah. Para ahli hisab rukyat, termasuk teman-teman di Muhammadiyah, sudah faham soal itu.

      • Bisa ditunjukkan bukti kalau seorang badui yg pengembala lebih faham drpada sarjana non astronomi saat ini?

      • Orang badui itu faham betul soal hilal dan bisa membedakan yang bukan hilal. Dia tahu betul bahwa kesaksiannya tidak bisa diputuskan secara sepihak, harus disampaikan dulu ke otoritas yang menetapkan, yaitu Rasulullah. Bandingkan dengan kondisi sekarang. Bulan yang piringan atasnya yang masih menyembul di ufuk (secara hisab) dianggap sebagai penentu awal bulan, seolah setara dengan hilal. Tafsir QS 36:40 pun (silakan baca tafsirnya) sekadar dijadikan sebagai pembenarnya, walau secara astronomis dianggap aneh. Lagi pula, karena merasa sudah “pinter” tidak sepert Nabi yang “ummi”, mereka lakukan jumpa pers secara sepihak, mengumumkan sendiri mendahului yang lain, termasuk otoritas pemerintah (otoritas pemerintah diabaikan, tetapi perlindungan pemerintah dituntut). Semestinya, penetapan awal bulan untuk kepentingan masyarakat tidak bisa diumumkan sepihak. Secara fikih pun, ahli hisab yang sudah tahu tidak boleh mengumumkan, tetapi boleh mengamalkan untuk dirinya atau kelompoknya saja. Ormas lain pun sudah punya hasil hisab (jadi keliru bila beranggapan hanya Muhammadiyah yang bisa menghisab), tetapi mereka melaporkan kepada Pemerintah dan menunggu keputusan pemerintah pada sidang itsbat yang menggabungkan hasil hisab dengan hasil rukyat. Hanya orang yang non-astronomi yang menganggap rukyat tidak penting. Bagi astronomi, hisab dan rukyat setara.

      • Persepsi “paham” atau “tidak paham” seorang badui mestinya harus merujuk pada tuntunan nabi, ketika beliau menerima persaksian seorang badui yg mengaku melihat hilal…,
        ** apakah beliau menanyakan bagaimana ia melihat? Berapa derajatkah? Atau menunggu persaksian yg lainkah?
        ** Beliau cukup meminta org badui tsb bersumpah demi Allah SWT!! Tdk perlu yg namanya uji materi segala!!. Inilah yg sy namakan “persaksian ghoib” itu.
        Bukankah kita mempercayai keilmiahan isro’ mi’raj, mitos isa almasih, peristiwa nabi Ismail as dll sebagai suatu keyakinan didalam rukun iman kita?
        ** Rasulullah hanyalah menerima hasil rukyah, syarat atau kriteria thd penetapan hilal, beliau sgt sederhana kecuali syarat mutlak atas nama ALLAH SWT!!
        ** tindakan Rasulullah adalah sbg suatu teladan utk tdk mempersulit umatnya dalam melakukan ibadah.
        Keyakinan mutlak yg mesti hars dipegang teguh adalah bersandar pada Al Qur’an & Al Hadist saja. Agama bg saya adlh perjanjian ghoib ruh saya dgn sang pencipta.
        Didalam agama ada hal2 ghoib yg tdk sejalan dgn sains!. Krn jika dikonfrontasi dgn sains maka agama hanyalah mjd mitos sj dlm kehidupan kita!.
        ** lalu bagaimana kita bisa menjelaskan kenapa hanya energi adzan bisa didengar dibulan & ruang angkasa? Lalu pernyataan sang astronot wanita (mjd muslimah) dlm meneropng muka bumi ini hanya 2 tempat yg paling terang, mekah & madinah! Penemuan patung bangsa annonaki berusia 200rb th di bulan oleh nasa? Serial alien di bbc knowledge, discovery, ngc maupun history hanyalah mitos belaka?

      • Seperti biasa, Pak Djamaluddin memberi jawaban tanpa mengandung jawaban. Bukannya memberi informasi mengenai bukti yang ditanyakan, tapi malah diisi dengan “sampah” (saya menggunakan kata “noise” dalam komentar sebelumnya supaya lebih halus, tapi sepertinya tidak ada perbedaan berarti buat Pak Djamaluddin).

        Selain itu, ada kecenderungan untuk melakuan generalisasi tanpa disertai argumentasi yang kuat. Sejauh yang saya tahu, Odeh adalah sarjana mesin, jadi masuk dalam golongan sarjana non-astronomi. Apakah orang Badui dulu masih lebih paham dibanding Odeh mengenai astronomi?

      • Pemahaman soal hilal, bukan soal derajat tingginya, tetapi ketampakannya yang kontras dari cahaya syafak (cahaya senja). Orang Badui faham betul soal itu, tidak berlogika soal munculnya piringan atas bulan yang dianggap wujud.
        Soal suara adzan di Bulan dan sejenisnya, itu tergolong hoax, alias kabar bohong. Harus berhati-hati dengan kabar seperti itu.
        BTW, karena ini bukan lembar jawaban ujian, saya tidak harus menjawab sesuai kunci jawaban yang dimiliki penanya. Saya hanya ingin memberikan pencerahan kepada para pembaca hal yang sesungguhnya terkait hisab rukyat. Betul, banyak orang yang awalnya berlatar belakang non-astronomi, tetapi akhirnya bisa diakui kepakarannya, karena mereka BELAJAR astronomi yang sesungguhnya, bukan sekadar bertaqlid dengan rumus-rumus yang ada dan logika usang. Odeh (Audah) dari Jordan mengkaji astronomi soal imkan rukyat dan ketika menghadiri Seminar Internasional Muhammadiyah di Jakarta (2007) dia sama sekali tidak mendukung wujudul hilal.

      • Sampeyan bilang “Kriteria imkan rukyat jangan difahami sekadar kriteria ketinggian 2 derajat, karena secara astronomi banyak kajian soal imkan rukyat (visibilitas hilal) yang bisa kita pilih untuk kita sepakati”
        Ok, lalu kajian manalagi dr ingkar rukyat yg bisa anda tawarkan utk disepakati?? Berkutat lagi di kriteria 4 , 6 , 7, 8, 9 dst, begitu?? Atau kalau tdk apalah namanya? apa nggak dibalik saja namanya jadi rukyatul imkan…
        Apa mengikuti model IR malingsia, jordania, lebanon, turki, mesir?? Lho nak odeh & nak iljas, mereka dan babenya kemarin ikut saudi!. Ini bukan sekadar gaya2an atau ikut2an doang bang ini masalah keyakinan nurani bukan sekadar astrologinomi dari kacamata sampeyan..
        **sampeyan bilang ” Pemahaman soal hilal, bukan soal derajat tingginya, tetapi ketampakannya yang kontras dari cahaya syafak (cahaya senja). Orang Badui faham betul soal itu, tidak berlogika soal munculnya piringan atas bulan yang dianggap wujud” kalau tdk dianggap membual bisa ditunjukkan dalil history ataupun dasar rujuknya apa? Biar pembaca tahu bahwa pencerahan yg anda maksudkan berujung pada pembualan yg bersumber pd kebohongan belaka..
        Sekali lagi, dgn segala ke “ummi”an dan kesederhanaan umatnya, Rasulullah hanya menerima laporan rukyah saja tanpa menanyakan “siapa-apa-mengapa-dimana-kok bisa” kecuali bersaksi demi Allah SWT saja, saya ulangi thok..thok.., only Allah nothing else!
        Mengenai hoax2 an itu bagaimana mungkin mui menggunakan hoax ralat hari raya di saudi sbg media pembenaran?

      • Justru karena ini blog bukan lembar ujian, maka anda dituntut untuk mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan anda. Anda selalu melakukan generalisasi yang berlebihan tanpa perkecualian, sehingga ada yang menyakan alasan dan bukti pernyataan tersebut. Saya menyebut Odeh, karena dia masuk dalam golongan yang anda generalisasi, sedang anda sendiri memasukkan Odeh dalam referensi paper anda.

      • “ketemu dan kenalan sama orang badui zaman itu saja belum pernah, sudah merasa sangat mengenal orang badui” Silaturahim Semu (Psedo-silaturahim)

      • idem saja sama pak td. jd ingat dawuh nya kanjeng nabi

        صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

        “Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan berbukalah jika kalian melihatnya pula. Dan apabila bulan tertutup (awan) dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)

        coba ditelaah kembali hadits diatas, mana ada kata “hisab”??? kalau saja waktu itu ada ilmu hisab, saya yakin secara rukyatul hilal dengan perhitungan hisab pasti berbeda. Sekarang pertanyaannya, apa jika nabi tidak mengacu pada hitungan matematis ilmu hisab, puasa ataupun hari raya nabi dan para shohabat pada saat itu dikatakan keliru???? monggo dipikir kembali….

  5. Untuk kali ini, saya terpaksa sependapat dengan prof. thomas, bahwa orang badui dulu lebih paham dari kita2, termasuk ahli astronomi sekalipun seperti prof. thomas sendiri. Saya pernah mengatakan, profesor kehutanan tidak selalu lebih pinter dari orang “suku anak dalam” atau kalau di sumatera disebut orang Kubu. Profesor kehutanan belum tentu mampu menyebutkan seluruh jenis tumbuhan yang ada di hutan termasuk kegunaannya. Bandingkan dengan orang Kubu yang sudah jadi kepala suku. Jadi, bersyukurlah orang yang berkesempatan belajar hingga memperoleh gelar doktor dan mendapat sebutan pakar (profesor), tapi tidak boleh angkuh dan sombong. Karena ternyata orang badui dan orang kubu masih lebih pinter dari kita2.

  6. Pak thomas tidak pernah mau mengomentari tulisan pembaca yang di link kan seperti yang saya kutip ulang berikut :

    Gambar simulasi terbagi atas tiga bagian. Bagian tengah adalah bagian utama simulasi yg menunjukan posisi terbentuknya fase2 Bulan. Bagian kanan ada dua. Yg atas adl gambaran kenampakan Bulan yg tersinari yg menghadap kita di Bumi. Yg bagian bawah (bagian ini dapat diputar2 dengan mendrag bola langit dengan mouse) menunjukkan posisi Bulan dan Matahari yg diproyeksikan pada bola langit, sehingga keduanya tampak dalam satu lintasan. Menurut saya, ini persis seperti yg diisyaratkan Allah dalam Ya-Sin 38-40. Jadi kalau katanya ada seorang professor yang mengatakan interpretasi Ya-Sin seperti yg saya gambarkan ini salah (maksudnya Ya-Sin 38-40 itu hanya menjelaskan bahwa Matahari dan Bulan itu berada pada lintasan yg berbeda sehingga tidak mungkin ketemu), menurut saya, dia justru malah salah besar. Karena dalam perhitungan Astronomi Geodesi (gemoteris), untuk memperoleh akurasi yg paling tinggi, perhitungan gerakan Matahari dan Bulan harus diproyeksikan ke bola langit yg jejarinya tak terhingga. Jadi firman Allah itu benar2 mengakomodasi pengertian astronomi geometris dan astronomi umum. Ini sangat luar biasa dan menunjukkan kualitas firman dari pencipta alam semesta Yang Maha Agung. Bagian kanan bawah ini juga dapat menunjukkan keadaan siang dan malam jika Matahari memang telah terbit atau tenggelam.

    Bagian bawah, ada dua juga. Keduanya unt mengontrol mode simulasi (otomatis atau manual) dan kecepatan simulasi (menit, jam, hari jika simulasinya manual).

    Silahkan dimulai simulasi pada kedudukan Matahari telah tenggelam (disk bagian atas telah menyentuh horizon), sedangkan untuk Bulan, tempatkan bagian disk bawah Bulan yg baru menyentuh horizon. Ini dapat diperoleh dengan menggerakkan (drag) orang dan Bulan di kotak utama, dg melihat posisi Bulan dan Matahari di kotak kanan bawah unt mengontrol ini secara manual. Dalam kedudukan sept ini, ketinggian hilal adl sekitar 0.5 derajat saja, jauh di bawah 2 derajat syarat imkan-rukyat yang dipersyaratkan oleh pemerintah Indonesia. Sementara itu, di kotak sebelah kanan atas, tampak hilal yg sangat tipis. Definisikanlah ini adalah posisi maghrib di Jakarta yg mengawali bulan Qomariyah.

    Kemudian gerakkan secara manual dg tombol perubahan jam di kotak bawah (kanan). Setelah 9-10 jam (menjelang subuh di Jakarta), hilal akan tampak semakin besar. Memang di Jakarta, hilal yg sudah membesar ini tidak akan tampak karena kita berada berseberangan pada bola langit yg berbeda dg Bulan. Putar bola langit di kotak kiri bawah dengan men-drag untuk melihat langit bagian barat jika diperlukan. Tapi kalau kita di Santiago (Chile) yg saat itu telah maghrib, hilal akan cukup tinggi. Dalam kasus Iedul Fitri lalu, pada tanggal 29/8/2011 lalu, saat maghrib di Santiago, hilal berada pd ketinggian 11 derajat. Apakah hilal yg tampak di Santiago ini berbeda dg yg di Jakarta? Ya jelas sama, cuma kita enggak bisa melihatnya di Jakarta meskipun saat itu di Jakarta telah masuk tanggal 30/8/2011 sekitar jam 4:24 menjelang subuh. Ketinggian hilal saat itu terhadap horizon Jakarta bagian timur adalah -37 derajat (di bawah ufuk).

    Lanjutkan gerakan manual per jam sehingga pada posisi jam 9 pagi Jakarta. Pada saat itu seharusnya di Jakartapun kita dapat melihat hilal yg semakin besar lagi. Tapi ya enggak kelihatan wong Matahari bersinar terang benderang. Bagaimana agar dapat melihat hilal? Pergilah ke San Diego (California) yg saat itu maghrib. Pada saat maghrib di San Diego 29/8/2011 lalu, tinggi hilal hampir 3 derajat, dan hilal itu jugalah sebetulnya yg ada di wilayah udara Jakarta meskipun masih di bagian timurnya. Ketinggian hilal pada saat itu adalah sekitar +34 derajat dari horizon timur Jakarta.

    Jadi konsep imkan-rukyat tentang tinggi hilal minimum 2 derajat itu, enggak masuk akal sama sekali. Secara syar’i maupun saintifik. Persyaratan untuk merukyat hilal pun menurut saya sesuai dg hadis Rasul, ya unt kaum yg tak bisa menghitung. Kalau unt yg bisa menghitung, daripada mengirim ratusan orang ke 90 titik di wilayah Indonesia, ya kirimlah beberapa orang saja dan rukyatlah di Santiago atau San Diego, kemudian umat di Jakarta diperintahkan untuk membatalkan saum pada hari itu, karena haram hukumnya. Hilal sudah membesar saat pagi tg 1 Syawwal 1432-H itu atau pada 30/8/2011, meskipun ENGGAK KELIHATAN! Enggak kelihatan oleh mata, tapi dapat dilihat oleh orang yang enggak malas berfikir.

    Memang simulasi di atas tidak menggunakan hitungan yg robust krn tujuannya hanya menunjukkan secara grafis posisi Bulan, Matahari, dan kenampakan hilal. Kami sedang mendevelop software lain yg sangat robust dg basis Stellarium (opensource), dan insya Allah akan kami bagikan gratis juga bersamaan terbitnya buku saya (sebagai bonus) berjudul sementara “Pseudo Shariah Economy and Muslims’ Civilization Debt”. Insya Allah, 9-10 bulan yad. Software yg ke dua nanti akan memiliki kualitas grafis yg jauh lebih baik (karena basisnya Stellarium), dan hitungan yg sangat robust. Insya Allah, perhitungan al-ayymi al-biydh akan kami tampilkan di sana unt memverifikasi konsep “wujudul hilal” yg memenuhi kriteria syar’i dan saintifik sekaligus.

    • Tulisan itu sudah saya baca dan saya sudah mencoba simulasinya. Itu hanya simulasi yang membantu orang awam memahami gerak bulan dan perubahan fase-fasenya. Bagi orang astronomi, itu hal yang biasa, sudah menjadi bagian abstraksi dalam menafsirkan angka-angka hasil perhitungan astronomis. Tidak ada hal yang baru.

  7. Sebenarnya kalau kita mau konsisten dg hadits rukyah (rukyah fi’li) sebagaimana praktek zaman Rasulullah, kita tidak boleh menggunakan alat bantu optik. Penggunaan alat optik dpt dikategorikan bid’ah, karena tidak pernah dipraktekkan pada zaman Nabi. Kalau kita sudah menggunakan alat optik yang bersifat memperjelas atau memperbesar obyek benda (hilal), maka sesungguhnya kita juga boleh mengabaikan ‘hamburan cahaya matahari senja’. Hal2 yang menghalangi pandangan mata telanjang saat merukyat hilal dan dg penggunaan teleskop dieliminasi oleh alat optik tsb (atau obyek diperbesar) sama saja dg hamburan cahaya matahari senja yang kita abaikan (hilangkan) atau bahkan pembiasan cahaya oleh atmosfir bumi sekalipun. Ini kalau kita mau fair. Jadi jangan kita membolehkan yang satu tapi melarang yg lain, padahal masalahnya sama. Sebab kita harus berangkat dari hukum awal….”melihat hilal atau bulan”. Hukum asalnya melihat bulan dengan mata (hadits). Dalam perkembangannya, fikih membolehkan penggunaan teropong (sederhana) dan sekarang teleskop yang super canggih. Dg teropong dan teleskop, faktor2 yg menghalangi penglihatan mata telanjang dieliminir. Atau kemampuan mata melihat dilipatgandakan dari kemampuan awal. Berangkat dari soal ini, maka kita juga boleh mengabaikan hamburan cahaya matahari senja dan biasan cahaya oleh atmosfir bumi. Ini kalau kita mau konsisten. Jd, imkan rukyat justru pemahaman yg tidak konsisten (tidak fair). Sebab, di satu sisi menggunakan teleskop (yg mereduksi faktor hambatan penglihatan), tapi di sisi lain tetap harus memperhatikan cahaya senja dan faktor parallaks. Aneh.

    • Prinsip utama teleskop adalah memperluas “penampung” cahaya, dari hanya sekitar 0,5 cm pada pupil mata menjadi beberapa puluh cm pada objektif teleskop (lensa/cermin penerima cahaya). Jadi, baik cahaya hilal atau pun cahaya syafak sama-sama diperkuat. Ini yang menyebabkan hilal rendah tidak bisa diamati, walau dengan teleskop sekali pun, karena teleskop tidak meningkatkan kontras. Teleskop tidak mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan mata langsung, seperti refraksi (pembiasan) dan hamburan cahaya. Sedangkan paralaks hanya ada dalam hisab, dengan memperhitungkan bumi sebagai bola, bukan sebagai titik.

      Lalu untuk apa pakai teleskop? Pertama, tentu untuk memperkuat cahaya hilal, walau cahaya syafak ikut diperkuat. Kedua (yang utama) untuk mengeliminasi kemungkinan salah lihat, misalnya cahaya awan tipis, cahaya lampu di kejauhan, bintang Kejora/planet Venus, atau objek terang lainnya. Bid’ah kah itu? Dulu sebagian ulama (seperti terjadi di NU) menganggapnya bid’ah, tetapi setelah tahu apa fungsi teleskop, mereka tidak lagi menganggap bid’ah. Di NU kini banyak pengamat yang sudah pakai teleskop, lalu dipandu juga dengan hasil hisab yang akurat, tidak ada wacana bid’ah.

      Silakan pelajari lagi soal hisab dan rukyat, termasuk soal optiknya. Sangat menarik kalau kita pelajari dengan baik, sehingga nanti bisa berkomentar dengan baik dan tepat. Kalau tanpa ilmu, semakin banyak menulis, semakin banyak terungkap ketidaktahuannya. OK, do your best.

      • Cara rukyatul hilal jaman nabi hanyalah melihat langsung adik hilal!! Sangat mudah, sederhana, tdk bertele-tele.., nabi hanya akan menerima bentuk persaksian bagi si adik hilal bersumpah demi Allah SWT saja! Thok.. Thok.. Dan itu syarat mutlak!.
        Ingkar rukyat ala sampeyan, sy katakan ala sampeyan karena IR malingsia nggak begitu, jordania, turki, mesir jg demikian.
        Ala sampeyan adlh menghilangkan tauladan nabi manakala persaksian ghoib itu dibawah kriteria ala sampeyan!! Kalau tdk disebut bid’ah lalu apa namanya jika menafikan ketauladan nabi?? Namanya BE THE ooOOOH begitu??

    • Alhamdullilah bagi kita sebagai umat Islam perbedaan masuk awal bulan hanya satu hari.Itu menunjukan perbedaan itu tidak signifikan.karena kita selalu melakukan observasi hilal minimal 2 kali dalam satu tahun untuk mengoreksi hisab.Maka dari itu (ma’af) ini pemahaman saya, hisab itu fungsinya untuk memprediksi hitungan awal bulan,apa sudah masuk atau perlu istikmal jumlah hari dalam satu bulan .Maka hisab itu adalah wilayah ijtihad oleh karena itu dalam ijtihad pasti ada perbedaaan pemahaman.Maka dari itu harus ada kesepakatan diantara para ahli astronomi dan ahli fiqih untuk menyamakan persepsi dan dalam hal ini perlu kelapangan dada untuk menerima kesepakatan apapun hasil kesepakatan itu karena Insya Alloh kredit poin Atau nilai yang dikehendaki Alloh itu adalah berlapang dada.Setelah itu kita bertawakal kepada Alloh sambil terus berikhtiar menyamakn persepsi tentang hisab dan ru’yat.

      Wallohu ‘alam bishowab

  8. Saya termasuk yg berpendapat penggunaan alat bantu optik dan ilmu falak utk merukyat hilal bukan perbuatan bid’ah. Jangan disimpulkan seperti itu. Bahkan, saya malah berpendapat, merukyat (melihat) hilal itu sekarang wajib pakai ilmu astronomi (hisab) dan sebaiknya meninggalkan tradisi meneropong (merukyat) bulan baik dg mata telanjang ataupun dg teleskop. Bagi saya, pengamatan benda2 langit (baca : bulan) hanya diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan ilmu astronomi, bukan utk menentukan bulan baru. Menentukan bulan baru dengan melihat terbit-terbenamnya bulan (secara fisik) adalah cara usang. Penglihatan/pengamatan benda2 langit harus diarahkan utk pengembangan ilmu astronomi, termasuk penentuan bulan baru qomariah. Hal ini sejalan dg ayat alquran bahwa, Allah menjadikan matahari dan bulan untuk penentuan tahun dan perhitungan. Maknanya, kita mengamati peredaran benda2 langit untuk penentuan tahun dan perhitungan (secara luas), bukan ”semata2 untuk penentuan awal puasa dan syawal”. Kalau ini pemahaman yang sempit.

    Soal teleskop atau teropong, intinya tanpa menggunakan alat itu kita akan kesulitan melihat/memastikan hilal apalagi posisi hilal berada di dekat ufuk. Artinya, tanpa alat itu kita berkemungkinan besar baru bisa melihat hilal pada posisi yg lebih tinggi, atau mungkin malah sudah jatuh tanggal 2 qomariah. Lompatan kemampuan penglihatan mata manusia dg bantuan teropong atau teleskop itu ternyata bisa mengakibatkan perbedaan 1 hari (24 jam). Maksudnya, jika dg menggunakan mata telanjang mungkin kita harus isti’mal (menggenapkan bulan berjalan), tetapi dg teleskop kita dlm waktu yg bersamaan bisa melihat bahwa bulan baru telah dimulai. Artinya apa, dg teleskop kita bisa melompat 1 hari. Lompatan ini cukup fantastis. Lalu, apa bedanya dg wujudul hilal yang tanpa mempertimbangkan efek cahaya matahari senja? Ini kalau kita mau jujur dan obyektif. Sama saja kan? Dg teleskop atau teropong (saat merukyat) kita mengeliminir sejumlah hambatan yang seharusnya dialami mata telanjang, apapun alasannya (teropong mengumpulkan sinar lah…memperkuat cahaya lah…). Prinsipnya, hambatan penglihatan mata telah dieliminir!!!

    • Kalau astronomi hanya mendasarkan pada sains, bulan baru itu dimulai sejak ijtimak (astronomical newmoon). Tetapi, astronomi digunakan untuk membantu implementasi syar’i bukan sekadar untuk sains terkait dengan kalender. Karenanya, astronomi juga membantu menentukan awal bulan untuk awal waktu ibadah. Secara syar’i, awal bulan itu ditentukan dengan hilal. Itu tegas disebutkan pada QS 2:189. Hilal itu fenomena observasional, tidak bisa disimpulkan secara sepihak dengan interpretasi QS 36:40. (Silakan baca dan bandingkan kedua ayat itu).

      Lalu, bagaimana menentukan hilal. Itu bisa dengan pengamatan dan dengan perhitungan astronomi. Dulu pengamatan tanpa alat, sekarang dibantu dengan teleskop. Dengan astronomi, dikembangkan juga ilmu hisab, bukan sekedar menghitung posisi, tetapi juga merumuskan kriteria agar hisab itu kompatibel dengan rukyat. Itulah yang dirumuskan pada makalah-makalah astronomi, menganalisis kemungkinan bisa dirukyat atau imkan rukyat atau visibilitas hilal. Silakan browsing, crescent visibility terus berkembang, karena itu terus updated. Sebutan usang, tentu oleh penggunanya, kalangan astronom. Dengan terus updated, imkan rukyat tidak dapat dikatakan usang.

      Wujudul hilal tidak dikembangkan lagi sejak ilmu hisab menjadi semakin mudah dengan berkembangnya komputer. Oleh karenanya, kriteria wujudul hilal itu tidak pernah dipakai lagi oleh kalangan astronom, sudah dianggap usang. Tahun 1970-an ketika banyak ormas Islam menanyakan awal bulan Ramadhan, para astronom di ITB/Bosscha menjawabnya dengan kriteria wujudul hilal, termasuk ketika saya mahasiswa astronomi ITB awal 1980-an saya gunakan wujudul hilal. Caranya sangat mudah, cukup cari data matahari dan bulan terbenam dari Astronomical Almanac. Bila bulan telah terlambat terbenam daripada matahari, maka disimpulkan masuk awal bulan. Itu dulu.

      Akhir 1980-an, para astronom beralih ke imkan rukyat, karena fasilitas hisab semakin mudah dan kriteria terus berkembang. Wujudul hilal telah ditinggalkan. Silakan tanya ke lembaga astronomi nasional atau internasional (banyak observatorium di dunia yang bersedia memberikan layanan informasi kepada komunitas Muslim untuk menentukan awal Ramadhan dan mengakhirinya), semuanya tidak ada lagi yang menggunakan wujudul hilal. Wujudul hilal saat ini hanya digunakan oleh Muhammadiyah, baik untuk kalendernya maupun penentuan waktu ibadah. Arab Saudi hanya menggunakannya untuk membuat kalender Ummul Quro untuk kepentingan administratif, sedangkan untuk waktu ibadah mereka menggunakan rukyat.

      • Arab Saudi menggunakan Hisab Wujudul hilal ummul quro justru sebagai acuan utama utk administratif maupun untuk kalender ibadah.
        Rukyat lokal & rukyat global dipakai sbg bentuk penghormatan & spirit ketauladanan nabi dalam melaksanakan kalender2 ibadah. Kedua model rukyat ini saling bersinergi dlm mengklarifikasi kesahihan hisab wujudul hilal ummul quro secara internasional!
        Hanya segelintir diantara astronom mereka yg menolak karena pemikiran mereka masih “local minded” sama seperti pemikiran sampeyan yg “local contents indonesian only for INGKAR RUKYAT”.
        Sampeyan yg provokasor bekas muridnya voldemort tentu akan menyanggah dan 100% tdk percoyo (hrsnya begitu sbg pewaris voldemort). Nah mari kita buktikan saja kedepan siapa yg akan diyakini! Faktanya dikalangan NU sendiri banyak yg tidak mengikuti keyakinan ingkar rukyat ala sampeyan! Mari kita buktikan juga ditingkat dunia kedepannya!
        Bagi saya sampeyan yg salah satu mantan aktifis salman adlh inspirasi perjuangan jilbab di sekolah2 elite surabaya pertgahan ’80.

  9. Coba anda renungkan, dg teleskop, hilal ”seolah2” terlihat oleh mata. Padahal kenyataannya belum tentu. Dg teleskop, hilal ”seolah2” terlihat terang (jelas), padahal kenyataannya belum tentu. Dg teleskop, hilal ”seolah2” terlihat besar, padahal kenyataannya pasti tidak. Dg teleskop, hilal ”seolah2” terlihat dekat, padahal kenyataannya pasti tidak. Semuanya itu boleh disebut ”manipulasi” penglihatan (meski teleskop itu kita akui bermanfaat). Mata telanjang yang terkadang tidak mampu melihat hilal, dg teleskop ”tiba2” bisa melihat. Ini sebuah ”manipulasi” yg bermanfaat. Tapi bagaimanapun, kita harus mengatakan bahwa itu ”manipulasi penglihatan”. Sama saja dg mikroskop yang mampu melihat virus atau bakteri. Kenyataannya, mata telanjang tdk mampu melihat virus atau bakteri.

    Lalu apa bedanya dg kita memanipulasi penghalang (cahaya matahari senja)? Artinya, kita menganggap langit di sekitar matahari itu gelap sehingga hilal bisa terlihat dg jelas oleh mata (observer). Toh, titik fokusnya adalah observer (manusia) dg mata telanjang khan? Lalu, bagaimana jadinya jika manusia mampu menciptakan alat yang mampu meredam cahaya senja dan mampu melihat hilal di garis ufuk? Bukankah kajian imkan rukyat akan menjadi ”barang antik” untuk tidak mengatakan usang? Terlepas manusia berhasil menciptakan alat utk melihat hilal di garis ufuk atau tidak, ”manipulasi” untuk kebaikan itu dibolehkan. Wujud ”manipulasi” itu bisa dlm bentuk ”asumsi”. Contoh : peta bumi dibuat dg asumsi bahwa bumi itu datar. Jika asumsi itu tdk boleh digunakan, bagaimana orang mau membuat peta? Apalagi peta bumi untuk kawasan lintang tinggi (dekat kutub)? Silakan direnungkan.

  10. Pak Thomas, saya akan paparkan banyak hal soal relativitas fenomena alam ini. 1) kita tidak bisa memastikan secara mutlak berapa jarak antara mata dengan ufuk. 2) Tidak ada bukti otentik (empirik) mutlak pembiasan cahaya dari bulan ke bumi. 3) Tidak ada data mutlak jarak antara muka bulan ke muka bumi. 4) Faktanya, muka bumi tidak datar, demikian juga muka bulan. 5) Kecepatan cahaya tidak diketahui secara eksak. 6) Tidak ada seorangpun yang tahu persis tingkat kerapatan atmosfir bumi, termasuk gradualitasnya. 7) Kecepatan rotasi dan revolusi bumi tdk dapat dihitung secara mutlak, demikian juga bulan.

    Semua fakta di atas hanya diketahui secara ‘relatif’ oleh manusia. Hanya Allah yang bisa menghitung secara mutlak. Jadi anda tak pantas mengatakan usang terhadap konsep wujudul hilal, karena sesungguhnya, wujudul hilal, imkan rukyat dan rukyat sekalipun semua bersifat ”relatif”. Tidak ada yang mutlak benarnya. Kebenaran hanya milik Allah. Kenapa anda mesti sombong dan angkuh? Nggak usah jauh2…ditanya umur atau berat badan saja saya yakin anda tidak bisa menjawab. Lha ini boro2 memastikan bulan baru yang jauh posisinya. Semua relatif bung….tinggal kita pilih mana yang diyakini…ya itu yang diamalkan. Gitu aja koq repot. Ntar kita malah senewen sendiri kalau terlalu memaksakan diri.

  11. Kalau kita menggunakan data yg ”relatif”, maka semua hasilnya pasti relatif. Tidak mutlak. Kenapa pesawat terbang (komersil) itu harus dipiloti? Padahal katanya sekarang teknologi dan ilmu pengetahuan sudah demikian maju? Jawabannya karena hitungan manusia itu relatif. Jika hitungan manusia itu bisa mencapai mutlak, maka manusia bisa menciptakan pesawat penumpang yang tanpa dipiloti. Semua program dibuat (take off dan landing), semua data dimasukkan dan dg timer pesawat diberangkatkan. Pesawat akan mendarat secara otomatis di bandara tujuan, pintu terbuka otomatis dan penumpang turun. Tapi itu tak akan tercapai, karena ilmu manusia hanya relatif. Kemampuan manusia hanya bisa menciptakan pesawat tanpa awak, tapi itupun dikendalikan dari pusat kendali. Tdk bisa dilepas begitu saja. Jd jangan merasa imkan rukyat itu sesuatu yg mutlak dan mengatakan yg lain usang.

  12. Bahwa jagad raya ini diciptakan oleh Allah dg hak (mutlak)…itu IYA. Bahwa benda2 langit itu beredar pada orbitnya dg hak (mutlak)…itu IYA. Tapi kemampuan manusia untuk mengetahui fakta2 alam dlm lingkup yang kecil saja (bumi, matahari dan bulan) masih jauh dari sempurna (mutlak). Kemampuan manusia menghitung masih relatif. Semua data terkait benda langit yang berhasil dikumpulkan oleh manusia masih bersifat relatif. Benarkah tilt bumi itu 22,5 derajat? Sudah benarkah manusia menetapkan titik2 kutub bumi pada titik yang tepat? Benarkah garis2 lintang/bujur bumi dan garis2 lintang/bujur ekliptika dibuat dengan tepat? Sudahkah kita memiliki data yang akurat jarak bumi – bulan, bumi – matahari, kerapatan atmosfir, kecepatan rotasi dan revolusi bumi, kecepatan rotasi dan revolusi bulan, keliling bola bumi, kecepatan cahaya, dll? Yakinlah, bahwa semua data yang dimiliki manusia itu sangat relatif. Dus, semua hasil hitungan astronomi yang dibuat manusia juga bersifat relatif. Tidak ada yang mutlak. Jd tak sepantasnya manusia berlaku angkuh dan sombong, merasa paling hebat. Rasanya, tak ada pakar astronomi di seluruh dunia yang mengatakan wujudul hilal itu usang. Bahwa mereka mengkaji kemungkinan terlihat hilal itu bukan berarti mereka menganggap wujudul hilal itu usang. Ini kesimpulan yg dibuat oleh orang yang merasa paling pintar, padahal justru menunjukkan sebaliknya.

    Lalu, hitung2an yg serba relatif itu lantas tidak bisa dipakai? Jawabnya bisa. Karena itulah kemampuan manusia berfikir. Sampai kiamatpun, manusia ttp akan bersilang pendapat soal hilal atau bulan baru, meskipun kesepakatan2 bisa saja dilakukan. Karena alam ini memang ranahnya akal untuk memikirkannya, jadi perbedaan tetap akan selalu teerjadi. Jd kalau kita mengharapkan ”kesepakatan” sementara kita memvonis salah satu pihak dg kata ”usang”, saya yakin kesepakatan itu malah berkemungkinan kecil terjadi. Namanya kesepakatan, tentu ada ‘take and give’, bukan pemaksaan kehendak dan menganggap dirinya paling benar (wong semuanya juga relatif). Ilmu manusia hanya bagai setitik air di lautan. Apa yang mau disombongkan?

  13. Assallamualaikum wr. wb.

    Pak Thomas, terima kasih atas semua pencerahannya dan juga teman-teman diskusi dalam blog ini. Bagi saya yang bukan orang astronomi, diskusi ini menarik dan membuat saya mau tidak mau membuka-buka informasi seputar masalah astronomi. Mungkin “kejutan” yang diberikan oleh Pak Thomas di saat sidang penentuan akhir Ramadhan dapat “membuka mata” kita yang awam terhadap latar belakang terjadinya perbedaan penentuan tanggal bulan HIjriyah.

    Ada kesulitan dalam berdiskusi saat kita menjelaskan atau menanyakan sesuatu yang berbentuk 3 dimensi dengan keterbatasan 2 dimensi pada blog ini. Pemahaman yang berbeda juga sedikit banyak memberikan warna perbedaan dalam berdiskusi, semoga saja diskusi tidak mengarah kepada “debat kusir” yang tidak ada ujungnya.

    Kembali, saya sebagai orang awam hanya berharap kepada semua pemangku keputusan dapat berpikir bijak dalam menentukan segala ketetapan yang terkait dengan kesatuan ummat. Semoga blog ini juga dibaca oleh semua pemangku keputusan tersebut, dan bukan hanya blog yang sekedar berbalas kata saja tanpa kita mencoba “mencerna” setiap jawaban dari teman diskusi kita.

    Untuk Pak Thomas semoga masih tetap diberikan kesehatan supaya dapat selalu berbagi ilmu terkait dengan astronomi. Dan juga untuk teman-teman diskusi supaya dapat memberikan kritik yang bermanfaat, sehingga tujuan diskusi supaya kita semua menjadi lebih paham dengan topik yang didiskusikan akan mudah tercapai, serta ukhuwah kita supaya lebih diutamakan.

    Mohon maaf bila ada kata-kata saya yang kurang berkenan dalam berdiskusi. Dan saya masih meyakini bahwa suatu saat nanti kita akan mempunyai satu kalender Hijriyah yang sama dengan kriteria yang sama. Insya Alloh.

    Wallahu a’lam bishawab

    • Sampeyan mengatakan “KITA”, kita itu siapa? Kita umat islam? nu kah? Muhammadiyah kah? Lokal indonesiakah? Atau islam sejagat raya??? Tdk usah jauh2 berbicara “persatuan faham”, di kalangan NU sendiri saja sdh banyak yg tdk mengikuti faham ingkar rukyat ala idola sampeyan! Mau bukti??
      Mereka cenderung ke rukyatul hilal dengan semangat ketauladan nabi! Mau tahu juga?
      Bagaimana mungkin berbicara “kesefahaman keyakinan” manakala “rumah keyakinan” yg sampeyan yakini kebenarannya itu sebenarnya keropos, mulai membusuk, kotor, dan dikatakan sebagai rumahpun masih dimungkinkan kaaaaaaapaaaaan jadinya??? Mau bukti juga???

      • Gaya tulis idola sampeyan cenderung bermakna comberan maka sudah selayaknya comberan itu hrs dikembalikan kepada si pemiliknya lagi..

    • Perbedaan pendapat adalah wajar. Pilihan kata dalam menanggapi tergantung pada kepribadian masing-masing. Kita jangan terpancing pada kata-kata kasar atau plesetan yang tidak baik. Saya hanya akan menanggapi hal-hal substanstif untuk memberikan pencerahan kepada banyak orang. Jangan pedulikan tanggapan bukan pada hal-hal substantif, anggap itu sebagai variasi supaya tidak mengantuk saat membaca.

      • Kata2 kasar dan plesetan yg td baik yang mana bang?? Tentunya gaya tulis model comberan yg se level comberannya dgn sampeyan tdk lolol moderasinya oleh sampeyan!!
        Buktinya gaya tulis sy yg lembut yg bisa membikin gigi anda 2 derajat nongol kedepan selalu sampeyan moderasi sejak awal saat tulisan2 comberan dan kamphunk an anda buat..
        Nampaknya sampeyan ngefans berat dech ama gue!! Maklum gaya tulis gue yg bersifat internasional lebih oke dr gaya tulis sampeyan yg cenderung bermakna comberan dan kampungan..
        Mengenai hal2 substantif??? Banyak hal2 yg strategis esensi substantif yg menanggapi tulisan2 anda namun cenderung menghindar dan lari..
        Pak ibnu dawam azis yg datang ke kandang sampeyan yg mengajak berdiskusi bahkan menawarkan ke tempat lain, sampeyan mbideg dan ngibrit..
        Ada kesempatan bertatap muka langsung dgn pak susiknan di lokakaryapun habis mbacot lalu colong playu tinggal gelanggang.. Piye..piye.., kenapa demikian?? Kenapa di fb sampeyan bilan “saya hanya mau berbicara dgn teman2 ahli hisab muhammadiyah bukan ahli syariah” lalu pas ketemupun malah kaabuuur dgn alasan yg sangat syar’I nggilani..
        Bahkan tantangan terbuka hak jawab pak susiknanpun sudah membuat anda klepek.. Klepek..
        Nampak sekali sampeyan ini sedang stres, berhalusinasi, dan overdosis pemikiran sampeyan….
        Saya jadi iba manakala tulisan2 sampeyan cenderung benilai spt orang yg ngomel2 sendiri..
        Mending sampeyan jual empal genthonk saja.. Karena semakin anda menulis comberan2 ini pembaca akan semakin tercerahkan akan kedengkian anda dan warga NU semakin banyak yg sadar dan meninggalkan keyakinan ala sampeyan…

  14. Bismillah…Menurut analisis saya,,,,perbedaan antara Wujudul Hilal dan Imkanurrukyat hanya satu yaitu mengenai definisi hilal itu sendiri. Wujudul hilal men-definisikan bahwa hilal adalah bulan sabit pertama yang berada di atas ufuk, walau tidak terlihat. berarti mereka berpatokan kepada Eksistensi bulan. Sementara Imkanurrukyat berpatokan kepada Visualisasi bulan baru yang berada di atas ufuk. dengan kenyataan di atas, maka harus kita cari apa sebenarnya definisi hilal menurut syar’i.
    menurut kajian saya hilal menurut syar’i adalah:

    Dali-dalil syar’i berkaitan dengan hilal
    a. al-Quran
    Dalam al-quran kata hilal disebut hanya satu kali, itupun dalam bentu plural (jamak) yakni al-ahillah. Sebagimana yang tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 189:

    يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ…
    Mereka bertanya kepadamu tentang Ahillah, katakanlah hilal itu merupakan pertanda waktu bagi kepentingan manusia dan buat keperluan ibadah haji..(QS. al-Baqarah [2]: 189)
    b. al-Hadis

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
    عَنْ أََبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
    Contain analysis:
    a. Analisis semantik
    Makna asal dari lapadz hilal adalah البياض (putih). Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam al-faaiq
    َالِهلاَلُ وَهُوَ فِى الأَصْلِ اَلبَيَاضُ (الفائق 4:111).
    Hilal makna asalnya adalah putih. Al-faaiq 4:111.
    Oleh karena itu, warna putih dipangkal kuku-pun sering disebut orang arab dengan kata hilal.
    اَلهِلاَلُ اَلبَيَاضُ الَّذِيْ يَظْهَرُ فِي أُصُوْلِ الأَظْفَارِ
    Hilal adalah warna putih yang nampak pada pangkal kuku. (lisanul Arab 11:704).
    Adapun kenapa qamar pada awal bulan disebut hilal, maka hal ini dikarenakan bersinarnya dia,
    اَلهِلاَلُ غُرَّةُ القَمَرِ حِيْنَ يُهِلُّهُ النَّاسُ فِي غُرَّةِ الشَّهْرِ
    Hilal adalah sinar bulan, ketika orang-orang meneriakinya pada waktu awal bulan. Lisanul Arab 11:704
    b. Analisis struktur kalimat
    Dalam hadis di atas–dan hadis-hadis yang semakna dengannya–lapadz hilal dirangkaikan dengan kalimat ro-a. Sedang kalimat ro-a menggambarkan suatu kerja alat visual. Sedangkan alat inti visual adalah mata (a’in).
    Dalam bahasa arab kata ro-a mempunyai dua arti: [1] melihat dengan mata dan [2] mengetahui atau yakin. Untuk mengetahui arti manakah yang dipakai olehnya dalam suatu kalimat hal ini dapat dilihat dari objeknya: bila objeknya satu maka berarti ro-a tersebut melihat dengan mata, bila objeknya dua, maka ro-a tersebut bermakna yakin atau mengetahui. Sebagaimana dikatakan dalam lisanul Arab:

    اَلرُّؤْيَةُ بِالْعَيْنِ تَتَعَدَّى إِلَى مَفْعُوْلٍ وَاحِدٍ, وَبِمَعْنَى العِلْمِ تَتَعَدَّى إِلَى مَفْعُوْلَيْنِ
    Kata ro-a artinya melihat dengan mata bila muta’addi kepada satu maf’ul, dan dengan arti mengetahui bila muta’addi kepada dua maf’ul. Lisanul Arab 14: 291.
    Bertolak dari analisis di atas diperoleh konklusi bahwa kriteria hilal menurut patokan syar’i adalah dengan visualisasi hilal itu sendiri. Dan tidak bisa disebut hilal kalau tidak terlihat atau tidak mungkin dilihat, walaupun menurut perhitungan astronomi (hisab) bulan sudah wujud diatas ufuk mar’i.

    Jadi bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkanur-rukyat lebih dekat kepada dalil syar’i daripada kriteria wujudul hilal (UTSMAN BN)

  15. Sebenarnya begini….sepanjang rukyat (rukyat bil fi’li) itu dibolehkan menggunakan bantuan alat (teknologi), maka sesungguhnya imkan rukyat yang diagungkan pak thomas itu sedang MENUJU wujudul hilal. Trend nya pasti seperti itu karena kemampuan manusia menciptakan teropong atau teleskop itu berkembang terus (semakin canggih). Jadi sesungguhnya imkan rukyat itu FASE menuju wujudul hilal. Puncaknya adalah wujudul hulal. Nah, di sini Muhammadiyah telah melakukan lompatan yang sangat spektakuler langsung menuju ke titik akhir (wujudul hilal). Lompatan ini yang sulit dipahami oleh orang yang melangkahnya step by step.

    Menurut saya, kita tinggal merumuskan kembali kriteria wujudul hilal. Kriteria Muhammadiyah, asal bulan terlambat terbenam dari matahari…itu sudah bulan baru, tanpa memandang seberapa kenampakan (baca : kewujudan) bulan di atas ufuk. Barangkali ini saja yang perlu dirumuskan ulang. Pilihannya ada 3 menurut saya : 1) asal sudah wujud, 2) wujud dengan minimal separoh badan bulan di atas ufuk, atau 3) wujud dengan syarat seluruh badan bulan di atas ufuk. Kriteria no 2 dan no 3 bisa dikonversi ke derajat. Silakan ahli2 astronomi dan ahli fiqih merumuskan bersama. Kalau imkan rukyat, menurut saya tidak bisa dipedomani, karena teknologi terus berkembang. Boleh jadi saat ini teknologi baru mampu melihat hilal pada tinggi 2 derajat, tapi esok boleh jadi telah ditemukan teknologi yang mampu melihat hilal pada tinggi 1 derajat. Sesuatu yang akan berubah tentu tidak dapat menjadi pedoman. Oleh karena itu, pedoman harus didasarkan pada sesuatu yang tetap (asal bulan wujud, wujud separoh badan atau wujud penuh seluruh badan bulan). Kalau 3 kategori ini akan tetap sepanjang zaman. Tinggal silakan pilih yang logis dan syar’i.

    • Mas pras, model keyakinan ala TDj sebenarnya bukan imkan rukyat namun menjurus ke ingkar rukyat..
      Kenapa?? Kata pak provokasor, sampeyan pasti sudah tahu jawabannya.. Maklum sdh 3 bln ini sampeyan sbg penguji bagi ujian sang provokasor..
      Oh ya, Jipang panolan yg katanya banyak kubah teleskop oleh sang provokasor ternyata ikut IR malingsia (smoga bal-balannya nanti kalah oleh kita..) yg menerima persaksian lokal…

    • Kriteria imkan rukyat adalah kriteria dinamis yang berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan rukyat yang selalu dirumuskan kembali dalam bentuk kriteria yang baru. Sama seperti sains secara umum, suatu teori itu terus berkembang, yang usang digantikan yang baru. Logika berfikir ala wujudul hilal yang statis dan menafikkan rukyat, bukanlah logika berfikir ilmiah, tetapi logika pembenaran ala pseudosains (sains semu). Logika seperti itu mirip dengan logika pembenaran astrologi (ilmu nujum) sebagai pseudosains, perkembangan ilmu astronomi bukannya untuk mengubah cara berfikir pseudosains itu, tetapi malah digunakan untuk pembenaran yang secara sains tampak semu. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/04/hisab-wujudul-hilal-muhammadiyah-menghadapi-masalah-dalil-dan-berpotensi-menjadi-pseudosains/

      • Argumentasi bahwa sifat dinamis dari imkanu rukyat sebagai hal yang digambarkan sebagai hal positif adalah argumentasi semu. Ingat, sebuah teori adalah sebuah bentuk penjelasan ilmiah terhadap fenomena empirik. Anda benar, teori harus selalu dikoreksi terhadap fakta-fakta baru, sebagaimana imkanu rukyat harus selalu mengoreksi parameter-parameter dalam kriteria visibilitas hilal. Permasalahan bahwa teori imkanu rukyat itu sendiri belum begitu dewasa dan mapan adalah masalah yang berbeda, tapi mari lupakan hal ini dulu.

        Sekarang kembali ke masalah awal bulan: bahwa awal bulan tidak lebih dari perkara DEFINISI bukan masalah teori. Sebuah definisi yang dipakai dalam sebuah sistem perhitungan (dalam ini kalender) harus mempunyai sifat stabil dan mapan. Sebagai contoh, lihat “new moon” dalam astronomi sebagai sesuatu yang didefinisikan waktu dimana bulan dalam konjungsi. Konjungsi pun sebuah definisi jelas, tidak berubah-ubah. Apakah fakta adanya kemungkinan untuk medefinisi ulang “new moon” dan konjungsi setiap saat sebagai sesuatu hal yang positif dalam astronomi? Saya yakin tidak. Mengenalkan istilah baru untuk mendefinisikan sebuah kondisi yang (sedikit) berbeda jauh lebih logis.

        Konsep wujudul hilal (catatan: wujudul hilal adalah konsep, bukan teori) mendefinisikan awal bulan berdasar kriteria astronomi dipadukan petunjuk-petunjuk yang ditafsirkan dari Qur’an dan praktek Nabi. Wujudul hilal bukan sebuah teori yang mejelaskan fenomena penampakan hilal sebagai basis permulaan awal bulan. Definisi yang diberikan wujudul hilal mempunyai sifat yang jelas dan pasti, sedang dalam prakteknya perhitungannya membutuhkan perubahan dan penyempurnaan berdasar fakta-fakta observasi.Sifat yang pasti dan tidak berubah-ubah ini justru hal yang positif sebagai dasar pembuatan kalender.

        Jadi sifat “dinamis” dari imkanu rukyat adalah positif untuk teori imkanu rukyat itu sendiri, tapi bukan untuk kalender yang mendasarkan kriteria dari teori imkanu rukyat. Ini adalah dua hal yang berbeda. Sayangnya, membaca komentar anda, sifat “dinamis” ini pun ternyata tidak lebih dari dinamis dalam arti “estimasi kemampuan rukyat”, bukan benar-benar alasan ilmiah sebagai bentuk penyempurnaan untuk menjelaskan dan menformulasikan fenomena hilal itu sendiri.

        Sebagai tambahan, semua “argumentasi ilmiah” terhadap masalah-masalah agama selalu jatuh ke dalam lahan pseudosains. Termasuk argumentasi terhadap keunggulan penggunaan imkanu rukyat yang sedang anda usung: semua pseudosains. Kalau anda tidak setuju, silakan coba jawab pertanyaan satu ini: Apakah landasan logis dan ilmiah untuk mempertahankan visibilitas hilal sebagai dasar untuk menentukan awal bulan dan kalender? Memberikan kepastian bahwa hilal terlihat atau tidak terlhat?: TIDAK (tidak semua parameter masuk). Sudah mapan?: BELUM (kriteria bisa berubah kapan saja). Teori yang memungkinkan kalender global: TIDAK. Ketinggalan zaman?: YA. Karena itu adalah warisan dari praktek Nabi? YA (yang ini sama sekali TIDAK ILMIAH).

  16. Agres…..semua tulisan di blog ini lucu sekali. Kalau diibaratkan, penulisnya adalah seorang cowok. Muhammadiyah adalah cewek cantik yang mempesona. Si cowok sebenarnya naksir berat sama si cewek cantik itu dan ingin memacarinya (membuat kesepakatan2 dlm asmara). Tp karena si cewek acuh tak acuh, si cowok lalu kesal…akhirnya keluarlah kata2 yang tak pantas seperti ”cewek kampungan (usang)” atau ”cewek keras kepala” atau ”cewek tak berdasar (pseudosains)” dll. Harusnya, si cowok introspeksi kenapa cintanya tidak (belum) diterima si cewek. Mungkin rayuannya yg perlu dirubah….hehehe….

    • He..he..he.., bahkan si cowok sdh frustasi, berhalusinasi dan kelewat overdosis pemikirannya..
      Mending nontong bola saja bersatu mendukung indonesia ayoooo…

      • Ayo pak djamal kemungkinan bola kita berapa? Di 2..4..6?? Bagi saya di angka 1 sdh alhamdulillah..
        Yang penting berlaku nilai positif dan bermain dengan sportif, fair, dan menjujung tinggi nilai kejujuran..

    • Ah mas Pras suka gitu ah

    • mas pras, slm knl ya

  17. Agres…si cowok (pak djamal) lagi membuat ”rayuan” (tulisan) baru buat si cewek cantik (muhammadiyah). Kita tunggu saja, apakah rayuannya pakai kata2 mesra atau semakin emosional. Tapi dasar si cewek cantik nggak feel ya ttp aja nggak respon, meskipun si cowok mengaku paling paham dan paling logis. Kebetulan si cewek juga paham astronomi karena rajin memperdalam ilmu astronomi termasuk yang mutakhir sekalipun, sehingga tidak menelan mentah2 rayuan si cowok. Apalagi si cowok sempat mengatakan ”cewek kuno”, ”cewek tidak punya dalil” dan ”cewek pseudosains”. Ya….si cewek semakin menjauh lah…..

  18. Sebenarnya begini….sepanjang rukyat (rukyat bil fi’li) itu dibolehkan menggunakan bantuan alat (teknologi), maka sesungguhnya imkan rukyat yang diagungkan pak thomas itu sedang MENUJU wujudul hilal. Trend nya pasti seperti itu karena kemampuan manusia menciptakan teropong atau teleskop itu berkembang terus (semakin canggih). Jadi sesungguhnya imkan rukyat itu FASE menuju wujudul hilal. Puncaknya adalah wujudul hulal. Nah, di sini Muhammadiyah telah melakukan lompatan yang sangat spektakuler langsung menuju ke titik akhir (wujudul hilal). Lompatan ini yang sulit dipahami oleh orang yang melangkahnya step by step.

    Menurut saya… Sebetulnya Yang telah “melakukan lompatan yang sangat spektakuler langsung menuju ke titik akhir (wujudul hilal)” itu… Bukanlah Muhammadiyah…
    Tapi “lompatan yang sangat spektakuler langsung menuju ke titik akhir (wujudul hilal)” itu SUDAH DILAKUKAN sejak Awal Umat Islam mengembangkan Ilmu Hisab…

    Sejak Awal Peradaban Islam, ketika berbicara mengenai Ilmu Hisab Penetapan Bulan, para Ulama dan Ahli Falak Islam sudah tidak lagi membicarakan Konsep Keterlihatan Hilal…
    Tapi Sudah Langsung kepada Konsep Posisi Bumi-Bulan-Matahari… sebab mereka sudah memahami bahwa penggunaan Rukyat oleh Nabi itu hanyalah karena pada saat itu memang Teknologi Sederhana itulah yang dimiliki Umat Islam… Bukan sebuah Metoda Penetapan Bulan yang harus disakralkan…

    Di Al Quran dikatakan :
    “Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari (As Syams) dan bulan (Al Qomar) untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
    (QS Al An’am 6 : 96)
    Yang Allah swt jadikan buat perhitungan itu adalah Al Qomar…
    Dan Keterlihatan Al Qomar oleh Manusia sebagai Hilal, Tidak Pernah dijadikan Konsep Hisab Penetapan Bulan oleh Para Ulama Ahli Falak Islam Terdahulu…

    Dari Ilmu Falak diketahui bahwa 1 bulan itu adalah dari suatu Ijtima’ ke Ijtima’ selanjutnya…
    Sehingga dikenal Kriteria Penetapan Bulan berdasarkan Ijtima’ seperti :
    – Kriteria Ijtimak sebelum fajar (al-ijtima’ qabla al-fajr), dan
    – Kriteria Ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub)…

    Perbedaan Kriteria Ijtima’ di atas disebabkan dari perbedaan patokan pergantian hari yang digunakan…
    – Pengguna Kriteria Ijtimak sebelum fajar, berpendapat bahwa mulai pergantian hari itu adalah saat Fajar (dianut masyarakat Mulim di Libya)…
    – Pengguna Kriteria Ijtimak sebelum gurub, berpendapat bahwa mulai pergantian hari itu adalah saat Gurub (dianut Mayoritas Muslim Dunia)…

    Jadi dalam hal Ilmu Hisab Penetapan Awal Bulan Hijriyah…
    Muhammadiyah Ternyata Hanya mengembalikan Penetapan Awal Bulan Hijriyah kepada Konsep yang Telah Diwariskan Para Ulama Terdahulu… Dengan hanya menambahkan Syarat :
    ‘Kepastian Hilal Telah di atas Ufuk’ (kata lain dari ‘Bulan terbenam sesudah terbenamnya matahari’)…
    agar lebih yakin bahwa Posisi Bulan tersebut sudah masuk ke dalam Posisi (Manzilah) Bulan Tgl 1…

    Dan berbicara mengenai masalah Kecukupan Kriteria Penetapan Awal Bulan… Kriteria WH Muhammadiyah itu sudah Lebih dari Cukup untuk menetapkan Awal Bulan…
    Sedangkan kalau Kriteria IR, itu terlalu berlebihan… seperti orang yang wudlu membasuh kakinya sampai lutut, padahal yang diperlukan cuma sampai mata kaki… 🙂

    Bagi pemegang teguh Rukyat… Penyamaan Kriteria Seluruh Dunia, akan lebih mudah bila Keterbelengguan ‘Hilal harus berhasil terlihat mata’ yang ada pada mereka berhasil dilepaskan…
    Umat Islam Dunia harus sadar bahwa Kalender Hijriyah itu Harus digunakan oleh Umat Islam di segala bidang…
    Dan Kengototan pemegang teguh Rukyat untuk terus menggunakan Metoda Rukyat hanyalah akan merugikan umat Islam sendiri…
    Akan ada banyak sektor kehidupan yang terganggu akibat Penanggalan yang berbasiskan penglihatan mata manusia…

    • Menafikkan rukyat bukanlah pilihan yang logis. Ketika hisab menyandarkan pada rumus-rumus astronomis dan menganggp itu sebagai interpretasi yang “cerdas” akan rukyat, lalu mencampakkan rukyat, itu ibarat anak durhaka yang tidak lagi lagi mengakui ibunya yang melahirkannya. Di kalangan astronomi, hisab dan rukyat setara. Rukyat terus dikembangkan teknisknya dan diadopsi oleh para pengamat rukyat. Hisab pun terus dikembangkan formulasinya dan diadopsi oleh para pengamal hisab imkan rukyat. Terlalu naif kalau menganggap kalender atau penanggalan berdasarkan rukyat. Namanya kalender/penanggalan ya hasil perhitungan jauh hari sebelumnya. Jadi hisab imkan rukyat lah yang kini banyak digunakan, karena diarahkan untuk kesesuaian dengan hasil rukyat. Hisab imkna rukyat itu BUKAN RUKYAT, tetapi HISAB yang kriterianya disesuaikan dengan kemungkinan bisa dirukyat. Kompatibilitas hisab dan rukyat yang saat ini digunakan di banyak negara, bukan sekadar alasan fikih tetapi juga didukung alasan ilmiah astronomis.

      • Apakah sebuah pilihan logis atau tidak, sangat tergantung dengan kerangka berfikir dan asumsi yang digunakan. Apalagi kita sedang berbicara mengenai persoalan yang terkait dengan agama, yang pada dasarnya semua berawal dari keyakinan (e.g., apakah hal logis bahwa Nabi telah melakukan Isra’ & Mi’raj?)

        Mencampakkan rukyat adalah pilihan logis, ketika rukyat ditafsirkan sebagai praktek Nabi yang dibatasi olek faktor waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pilihan ini mungkin tidak akan diterima oleh pihak yang menganggap rukyat sebagai ritual sakral dari Nabi sebagai manusia yang mendapat pentunjuk langsung dari Allah (secara ilmiah, apakah anda bisa mendefinisikan apa itu Tuhan tanpa terjebak ke pseudosains?).

  19. Ayoo.. Pak djamal !! Sampeyan dan habitat sampeyan lakukan istighozah.. Balas IR malingsia yg telah menelikung sampeyan dlm keputusan bersama asean kemarin…
    Ayo umat muslim indonesia.. Mari kita bersatu mendukung garuda muda kita.. Berlaga.., demi kejayaan bangsa kita INDONESIA…, INDONESIA…, INDONESIA.., INDONESIA…

    • Apapun Kriteria nya yang penting dukung Tim Nas… 🙂

      Semoga Pelatih dan Pemain Indonesia sudah mengadakan persiapan dengan cara MengHisab kekuatan lawan JAUH-JAUH HARI agar bisa mengalahkan dengan menyerang Titik-titik Kritis dari kekuatan lawan…
      Jangan terlambat Persiapan… Musuh sudah di depan mata, eh Pelatih dan Pemain baru mengadakan “sidang isbat”… 🙂

      Hidup WH… eh Hidup Tim Indonesia !… 🙂

  20. Ivan….oke juga. Setuju. Intinya, muhammadiyah telah ”kembali” melompat ke titik tujuan.

    Utsman BN….jika pemahamannya seperti itu, bagaimana hukum penggunaan teleskop yang bisa mengakibatkan lompatan hari (tanggal)? Misalnya begini, dg mata telanjang hilal belum terlihat (bulan diisti’malkan), tetapi dg teleskop boscha atau huble hilal terlihat (bulan baru telah mulai)? Lalu mana yang mesti kita pakai? Karena rukyah tadi maknanya melihat dg mata telanjang (melihat hilal). Apakah dg teleskop itu bisa diartikan melihat dg mata telanjang? Mohon penjelasan. Jika tidak, tentunya teleskop tidak bisa digunakan untuk merukyat. Sebaliknya, jika teleskop boleh digunakan, maka makna rukyah tsb telah lari/bergeser dari makna aslinya. Kalau dmk, lalu apa bedanya dg kita pakai hisab? Mhn penjelasan. Tks.

  21. Utsman BN….kalau pengertian hukumnya seperti itu, imkan rukyat pun tidak memenuhi kaidah hukum itu. Sebab akan mungkin terjadi suatu problem misalnya, kriteria imkan rukyat terpenuhi, tapi tidak ada yang berhasil melihat hilal (oleh berbagai sebab). Ini akan menjadi problem serius dan malah membingungkan umat islam. Lalu, dengan imkan rukyat, ummat islam tidak perlu lagi melakukan rukyat, tapi cukup melakukan hisab untuk mengetahui apakah kriteria imkan rukyat terpenuhi atau belum. Nah, siapkah para ulama meninggalkan rukyat? Ini juga persoalan, karena penganut rukyat tidak semudah itu meninggalkan praktek rukyat, meskipun klaim pak thomas, NU dan Persis sudah berani meninggalkan rukyat.

    • Saya tidak mengatakan NU dan Persis meninggalkan rukyat, karena mereka menggunakan hisab imkan rukyat. Kriteria imkan rukyat menempatkan hisab sejajar dengan rukyat, sehingga hisab dan rukyat bisa saling menggantikan. Dalam kondisi rukyat gagal karena mendung, tetapi secara hisab diperkirakan hilal seharusnya bisa tampak mengalahkan cahaya syafak, hisab imkan rukyat yang didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang, dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Tetang hal ini sudah ada fatwa MUI tahun 1981. Hisab dan rukyat setara, dalam makna keduanya digunakan dan hasilnya kompatibel.

  22. Lalu teleskop. Apa sih maknanya teleskop itu? Kalau kita mau mencermati, teleskop itu sesungguhnya sekumpulan ilmu (khususnya tentang cahaya) yang diwujudkan dalam bentuk benda. Data cahaya (matahari dan bulan) dikumpulkan dan dipusatkan sehingga lebih terang terlihat oleh mata.

    Sekarang soal ilmu astronomi. Sebenarnya sama saja. Ilmu astronomi adalah sebuah alat atau perangkat yang berfungsi mengumpulkan data astronomis dan mengolahnya menjadi suatu produk akhir (katakanlah ketinggian hilal). Ilmu astronomi memiliki fungsi yang sama dengan teleskop. Apalagi sekarang sudah ada software astronomi seperti stellarium yang bisa dilihat melalui komputer. Intinya sama, mengumpulkan data, mengolah dan menampilkan. Sekarang hasil pantauan teleskop sudah bisa ditampilkan ke layar (dinding) dan disaksikan ramai-ramai oleh orang. Mirip nonton bareng sepak bola. Saya meyakini, alur dan proses antara teleskop dengan perangkat komputer itu hakikatnya tidak beda. Bedanya, teleskop merekam data2 pada saat yang singkat, sedangkan ilmu astronomi merekam data2 dalam jangka panjang. Mohon tanggapan.

    • Teleskop dan teknologi komputer sekarang menjadi bagian penting dalam astronomi. Sains dan teknologi tidak ada yang kekal, terus beubah menuju perbaikan. Stellarium (dan banyak s/w astronomi lainnya seperti Stary Night) yang dikembangkan dari formulasi posisi dan gerak benda langit semuanya memasukkan pemodelan hamburan atmosfernya sehingga menampilkan seolah gambar langit yang sesungguhnya. Tetapi, bagaimana pun dengan hasil perhitungan komputer itu (hisab) tidak akan pernah terfikirkan untuk menggatikan pengamatan. Hasil hisab, walau tampak sempurna, sesungguhnya menyimpan sekian banyak penyederhanaan permasalahan yang hanya dapat dilengkapi dengan pengamatan (rukyat). Jadi, untuk kepentingan ilmiah dan praktis, hisab dan rukyat sama-sama diperlukan. Bukan pilihan yang baik untuk menafikkan salah satunya.

      • Dalam konteks ini, rukyat dan observasi (pengamatan) adalah hal yang berbeda.

        Sebagai perbandingan, wujudul hilal sekedar konsep yang mendefinisikan kriteria awal bulan, sedang dalam prakteknya metode perhitungannya selalu diupdate melalui data-data observasi dan perkembangan ilmu astronomi itu sendiri (hal yang senada juga sudah ditegaskan oleh Pak Syamsul Anwar). Tidak ada yang menyuruh untuk meninggalkan observasi. Yang ajukan untuk ditinggalkan adalah cara penentuan awal bulan berdasar observasi penampakan hilal.

        Pembelaan anda mengandung ketidakakuratan yang sengaja atau tidak sengaja selalu memberikan persepsi yang salah kepada pembaca yang tidak cermat memahami konteks pembicaraan.

      • Ibadah harus didasarkan pada dalil syar’i. Dalil yang qathi’ lebih kuat kedudukannya dari yang dzhanni. Dalil tentang rukyat sangat jelas dan tegas. Adakah perintah untuk meninggalkan rukyat? Yang ada, hanya yang membolehkan adanya alternatif rukyat dengan perintah “faqdurulah” (perkirakan). Perkirakan dengan hisab, tidak harus berarti meninggalkan rukyat. Hisab dengan memperkirakan hasil rukyat. Itulah yang dikehendaki hisab imkan rukyat. Suadara-saudara kita di Muhammadiyah mencari pembenaran untuk meninggalkan rukyat, lalu muncullah takwil QS 36:40 yang dianggap memberi isyarat soal wujudul hilal. Secara astronomi takwil itu ANEH. Padahal QS 36:40 termasuk ayat yang muhkamat, tegas dan jelas, tidak harus ditakwilkan pada makna yang keluar dari konteksnya., apalagi sekadar untuk jadi pembenaran untuk menginggalkan rukyat.

      • Seperti yang sudah saya tegaskan sebelumnya, saya tidak punya keberatan kalau Pak Djamaluddin menganggap wujudul hilal sudah meninggalkan sunnah Nabi. Penilaian ini adalah manifestasi dari keyakinan terhadap “warna” agama yang dianut, jadi bukan hal yang perlu dipaksakan. Saya tentu saja menghormati penilaian ini. Sebenarnya saya juga mengharapkan yang sebaliknya, namun sepertinya itu adalah hal yang cukup sulit melihat pernyataan-pernyataan anda tidak konstruktif dengan infomasi tidak seimbang terhadap wujudul hilal.

        Saya selalu mencoba hanya berdiskusi yang berkaitan dengan sains dan logika. Itu dikarenakan sebelumnya anda mengatakan kalau kritikan bahwa sifat “kuno”, “usang” dan “ketinggalan zaman” (kemudian ditambah label “pseudosains”) yang anda lekatkan kepada wujudul hilal adalah murni dinilai dari ilmu astronomi. Hanya saja, sampai sekarangpun saya tidak bisa melihat argumentasi yang benar-benar ilmiah dan logis yang mendukung klaim tersebut. Saya hanya bsa melihat sikap itu sebatas manifestasi dari keyakinan anda terhadap agama yang anda anut, yang kebetulan sedikit berseberangan dengan apa yang dipahami oleh Muhammadiyah. Ini yang kemudian saya permasalahkan, karena anda tidak benar-benar berbicara secara ilmiah dalam kapasitas anda sebagai astronom.

  23. Ivan…boleh juga tuh….guyonannya….setuju….

  24. Rukyat sendiri sesungguhnya juga masih banyak masalah. Dibiaskannya cahaya bulan atau matahari ke bumi yang konon mengakibatkan matahari terlihat 3 menit sebelum terbit yang sesungguhnya atau terlihat hingga 3 menit setelah terbenam yang sesungguhnya, masih bersifat hipotesa2. Kerapatan atmosfir diasumsikan semakin tebal ke arah bumi secara gradual, padahal faktanya tidak. Terbukti kalau kita naik pesawat sering tiba2 terjun bebas karena memasuki hampa udara. Jika cahaya bulan melewati ruang hampa di atmosfir bumi seperti kasus pesawat, tentu cahaya bulan akan mengalami ”ketidakteraturan” atau pembelokan arah sehingga arahnya tdk seperti yg seharusnya (kondisi normaal). Faktor ini yang tidak pernah dikaji pd saat kita melakukan rukyat. Jd jangan pernah menganggap bahwa kenampakan bulan itu sudah sesuai dg fakta di lapangan. Makanya, imkan rukyat yang anda agungkan itu juga mengandung kelemahan. Sama saja.

    Kalau soal wujudul hilal tdk dibicarakan lagi di kalangan astronom, ini lebih disebabkan oleh sebagian besar ulama kita tidak bisa melepaskan ketentuan rukyat. Oleh karena itu timbul pemikiran bagaimana mendekatkan hisab dan rukyat sebagaimana yang anda perjuangkan saat ini. Sayangnya, hingga saat ini manusia baru mampu menciptakan teleskop yg bisa melihat hilal sekitar 2 derajat, sehingga imkan rukyat masih terus dikaji. Jika manusia telah mampu menciptakan teknologi yang mampu melihat hilal pada garis ufuk, maka imkan rukyat tiba2 menjadi ”antik” krn imkan rukyat telah sama dg wujudul hilal. Kesimpulannya, wujudul hilal itulah sebenarnya yang dituju oleh imkan rukyat. Buktinya, imkan rukyat tahun 80 an mungkin 6 – 8 derajat, sekarang 2 – 4 derajat. Esok boleh jadi 0 – 1 derajat (wujudul hilal).

  25. Orang suka terkecoh memahami ilmu dan teknologi. Keduanya hakikatnya sama yaitu ”ilmu”. Bedanya, teknologi itu ilmu yang sdh diwujudkan dlm bentuk benda (alat). Jadi, sesungguhnya kedudukan teleskop dg software astronomi (tentunya dg harware/komputernya) itu sama. Fungsi teleskop adalah mengumpulkan cahaya hilal/bulan (ini kata pak thomas) dan memusatkannya pada pupil mata manusia. Bahkan sekarang hasil rekaman teleskop sdh bisa ditransfer ke layar dan disaksikan bersama orang banyak (bukan masuk pupil mata manusia seperti kata pak thomas). Praktis, hilal bisa dilihat secara tidak langsung, yaitu melalui pantulan gambar di layar. Dalam konteks rukyat, peristiwa ini sudah tidak termasuk kategori rukyat bil fi’li, karena posisi mata tidak lagi segaris dg obyek aslinya yang dilihat. Makanya, jika umat islam ttp berpegang pada rukyat bil fi’li, bisa ditinggalkan oleh zaman.

    Pada kasus hasil teleskop dipantulkan ke layar dan disaksikan orang ramai, maka kedudukan teleskop sama dengan komputer yang dilengkapi software astronomi. Keduanya sama2 bisa disaksikan oleh orang ramai. Berangkat dari kasus ini, maka ummat islam tidak selayaknya terus berpegang pada rukyat dalam menetapkan bulan baru qomariah. Pernyataan ini bukan berarti mengesampingkan (menganggap tdk penting) rukyat (dlm arti observasi/pengamatan oleh mata), karena hampir tdk ada ilmu (khususnya ilmu alam) yang tidak dimulai dg rukyat (pengamatan oleh mata). Jd kalau pak thomas mengatakan, kita tdk mungkin mengembangkan hisab tanpa rukyat, ya memang seperti itu (tapi tak perlu dinyatakan). Semua orang juga tahu. Wong yg dimaksud dg kalimat ”kita seharusnya meninggalkan rukyat” itu dalam konteks rukyat utk penetapan 1 ramadhan, 1 syawal dan 1 dzulhijjah. Gitu lho pak….

    • Dalam konteks penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah masalahnya bukan hanya soal teknis hisab dan rukyat, tetapi masalah fikih yang sudah sekian ratus tahun tidak ada penyelesaiannya. Mungkin sebagian orang masih terus mencari pembenaran dalil dan logika untuk menghilangkan salah satu metode. Para pengamal rukyat yang fanatik masih terus berupaya mematahkan dalil soal hisab. Para pengamal hisab yang fanatik pun terus berupaya untuk meninggalkan rukyat. Saya dan teman-teman berupaya untuk mencari solusi lain dengan pemahaman astronomi, tidak lagi mempermasalahkan dalil soal hisab dan rukyat yang kami anggap setara. Hisab dan rukyat dihargai, karena itu suatu kenyataan keberagaman pendapat di ummat. Mungkinkah itu disatukan? Mungkin, dengan hisab berbasis kriteria rukyat atau hisab imkan rukyat. Dengan krietria itu saudara-saudara kita yang percaya hisab tetap melaksanakan keyakinannya, sementara saudara-saudara kita yang percaya rukyat juga tetap melaksanakan keyakinannya. Karena kriterianya kompatibel, insya-allah hasil akhirnya akan sama, yaitu tanggal yang tercantum di kalender akan sama dengan hasl keputusan rukyat. Dalam kondisi seperti itu, sidang itsbat tidak diperlukan, karena cukup pemerintah langung mengumumkan keputusannya karena hasil hisab selalu sama dengan rukyat.

      “Astronomi memberi Solusi” ditujukan untuk mempersatukan ummat. Iptek seharusnya memberi manfaat kepada ummat untuk mencari titik-titik temu penyatuan, bukan untuk mencari pembenaran yang memecah belah ummat.

      • Boleh2 saja ini hari sampeyan berpendapat spt ini.., lihat saja tulisan2 anda kebelakang penuh kotradiksi dan over distruktif!!
        Nggak percaya?? Renungkan dan baca lagi tulisan2 anda terdahulu…!!

  26. Kasusnya mirip dg perintah ”menghadap ka’bah” dlm shalat. ”Di manapun kalian berada, palingkanlah (hadapkanlah) wajahmu ke masjidil haram”. Dulu, ummat islam yg berada di sebelah timur Ka’bah, cukup menghadap ke barat. Itulah hadapan yg benar (saat itu). Dlm perkembangannya, kiblat utk kawasan timur Ka’bah (khususnya Indonesia) diketahui serong kanan dari arah barat. Ummat islam terpaksa merubah arah kiblat dari sekedar mengarah ke barat menjadi serong kanan sedikit dari arah barat. Ternyata, arah itu pun belum benar karena kemudian diketahui bahwa matahari bergerak semu ke utara dan selatan. Sehingga pada saat bulan Juni, hadapan sholat bisa melenceng ke arah Kaspia, sebaliknya pada saat bulan Desember hadapan shalat bisa melenceng ke arah Afrika bagian tengah atau selatan. Akhirnya diketahui arah kiblat yang paling tepat dg cara menggaris bayangan benda (misalnya konsen jendela) pada saat matahari tepat berada di atas Ka’bah. Sayangnya, tidak semua kalender qomariah di Indonesia mencantumkan waktu saat matahari tepat berada di atas Ka’bah. Biasanya, di kalender Muhammadiyah, dicantumkan keterangan waktu saat matahari tepat berada di atas Ka’bah.

    Penggunaan kompas sebenarnya dapat membantu penentuan arah kiblat, tapi tingkat kesalahannya masih relatif tinggi karena dari masing2 daerah arahnya tentu berbeda-beda, misalnya dari Manado dan dari Kupang. Selain itu, umumnya kompas yang kita gunakan berukuran kecil shg ketika diaplikasikan di lapangan (misal saat membangun masjid), tingkat akurasinya menjadi rendah.

    Saat matahari tepat berada di atas Ka’bah itulah cara pengukuran yang paling tepat dan mudah (setidaknya untuk saat ini). Jika diibaratkan penentuan bulan baru, cara ini sama dengan metode hisab wujudul hilal.

    • Sangat beda analoginya. Penentuan arah kiblat dengan posisi matahari berkembang dari analisis empirik, bahwa pada sekitar 28 Mei dan sekitar 15 Juli matahari tepat berada di atas Mekkah saat tengah hari. Saat itu di Mekkah tidak ada bayangan. Nah, ibarat di atas Mekkah ada lampu yang sangat terang di menara yang sangat tinggi yang terlihat dari banyak tempat di seluruh dunia, maka arah ke lampu itulah arah Mekkah yang menjadi arah kiblat untuk orang yang jauh dari ka’bah. Lampu yang sangat terang dan sangat tinggi itu adalah matahari pada tanggal-tanggal istimewanya.

      Saat ini, posisi istimewa mudah dihitung, yaitu saat deklinasi matahari mendekati lintang Mekkah saat tengah hari di Mekkah. Info itu sudah banyak diketahui pada ahli hisab-rukyat sehingga banyak juga dicantumkan di banyak kalender ormas Islam, bukan hanya kalender Muhammadiyah. Bahwa ada juga kalender yang mencantumkan arah bayangan matahari harian di suatu kota yang bisa dijadikan rujukan arah kiblat.

      Problematika Arah Kiblat

  27. BERSATULAH WAHAI KALENDER ISLAM!!!!!! KEPALKAN TANGAN!!! SAYA SEORANG NAHDATUL ULAMA & PERSIS, AKAN SELALU MENGIKUTI PROF THOMAS DJAMALUDDIN. ALLAHU AKBAR!!! DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH, DEMI RASULULLAH MUHAMMAD SAW SAYA BERSUMPAH, KALENDER ISLAM HARUS SATU!!!!!!!!!!!

    • INI ORANG MENGAKU-NGAKU NU DAN PERSIS!!! MANA MAU ORANG PERSIS MENGAKU NU!! MANA MAU PERSIS MENGIKUTI RITUAL HINDU PITUNG DINOAN DST!!
      BENAR-BENAR “KALAP” TEKS INI ORANG!!!!!

    • aneh banget,,,pasti albi ini bukan orang persis,karena jamaah nggak bakalan ngelakuin hal hal yang berbau bid‘ah .. sebaiknya sebelum ngaku ngaku orang nu sekaligus persis,pelajari dulu apa itu persis sejarah dan dasar dasar gerakannya.. klu warga muhammadiyah dan sekaligus jamaah persis mungkin bisa d satukan karena mereka adik kakak dan bsnyak kemiripan dlm hal ibadah,,lambangnya aja mirip kok,,sebaiknya Albi ngakunya orang NU sekaligus NW atau perti atau al washliah ata MA,,jadi bisalah.. pelajari dulu ya pak albi tentang gerakan pemikiran islam di indonesia baru komen lagi 🙂

    • Wahh pak Albi semangat banget ya..,, hehehe.. pak albi ngaku NU nggak apa apa,, tapi jangan ngaku-ngaku jamaah Persis dong,, Nggak mungkin anggota NU sekaligus Persis,, karena warga Persis pasti nggak mau melakukan hal-hal yang dianggap bid’ah oleh Persis sedangkan di angggap sunnah oleh NU..mending pak albi ngaku NU sekaligus NW atau Perti, atau Al washliyah atau Mathlaul Anwar.. Kalau Persis itu sekelompok dengan Muhammadiyah dan al Irsyad… pak albi pelajari dulu tentang gerakan Islam di Indonesia..Kalu Orang Muhammmadiyah ngaku orang Persis itu sih nggak masalah karena mereka adik kakak,, lambangnya aja sama kok,, mereka sama2 membenci TBC,,,ntar marah lho warga Persis orang NU kayak pak ASlbi ngaku2 nya warga Persis 🙂

  28. pak thomas kelihatan selalu menghindar dari pak agus,,jawabannya nggak menyentuh apa yg di sampaikan pak agus,,kayaknya pak thomas dapat lawan tuh,sesama alumni mipa itb,sama sama alumni salman dan sama sama alumni jepang.. argumentasi pak thomas nggak mencerminkan akademisi tapi peneliti titipan pemerintah,,mungkin karena pak thomas bukan akademisi kali ya,

    • Tidak ada alasan untuk menghindar, karena saya berupaya memberikan pencerahan kepada siapa pun, awam maupun pakar tak sebidang. Soal jawaban yang dianggap tidak menyentuh, itu sangat subjektif. Saya mencoba menjelaskan duduk masalahnya menurut cara pandang astronomi, yang mungkin berbeda dengan cara pandang fisika teoritik. Oh, tampaknya “Agus” yang menanggapi adalah Pak Agus Purwanto. Bagaimana pun cara pandang saintis bisa saja beda, karena cara “menghayatinya” yang berbeda. Cara pandang ahli fisika pada soal hilal dan bulan purnama belum tentu sama dengan cara pandang astronom. Wajar saja berbeda. Bagaimana pun domain ilmu ada wilayahnya juga, tidak harus ahli fisika berarti juga menguasai betul masalah astronomi, dan sebaliknya.

      • He..he..he.., sampeyan memang pakar kok!.. Pakar sekali kejumudannya bila dibandingkan nak odeh dan nak iljas yg mau berhari raya bersama mekah dan dunia.
        Jadi PAKAR JUMUD memang layak untuk anda..
        Dalam memahami gaya pak djamal yg “GAUL” tentunya kita tdk akan ada titik temu manakala berbicara serius.. Karena gayanya dia ternyata sekelas dg gaya “GAUL MBECAK’an”.
        Untuk itu para pembaca harus cermat memahami “GAUL MBECAK’an” ala pak djamal. Mohon maaf kalau sampeyan yang salah..

    • Kalau yang dimaksud agus ini adalah saya, saya ingin mengklarifikasi bahwa saya bukan alumni MIPA ITB (meskipun sempat kuliah di ITB satu semester). Kesalahan ini mungkin dikarenakan pernyataan saya sebelumnya yang mengatakan “mempunyai sedikit latar belakang fisika” yang memungkinkan penafsiran bahwa saya adalah sarjana di bidang fisika. Saya mohon minta maaf kalau memang pernyataan itu yang mejadi sebab. Hanya saja, saya pernyataan tersebut masih benar adanya, karena memang fisika memang mempunyai nilai tersendiri dalam riwayat pendidikan saya (maaf, saya tidak akan mengungkapkannya di sini).

      • Ya, tampaknya “Agus” ini bukan Pak Agus Purwanto, karena setelah saya bandingkan, cara pandang “Agus” dengan Pak Agus Purwanto berbeda http://purwanto-laftifa.blogspot.com/2011/10/sidang-itsbat-sudah-tidak-relevan.html .

      • Membaca tautan yang disodorkan, saya justru tidak melihat perbedaan yang cukup berarti. Termasuk yang dibawah ini pun saya setuju:

        Kalau wujudul hilal dikaitkan dengan keterlihatan hilal, tudingan Thomas benar.

        Klaim “usang”, “kuno”, “ketinggalan zaman” memang benar KALAU kriteria wujudul hilal berkaitan dengan visibilitas hilal. Ketika bagian dari “kalau” tidak terpenuhi, maka tudingan belum tentu benar. Pak Djamaluddin selalu mengandaikan bahwa bagian “kalau” ini sudah terpenuhi, padahal sama sekali tidak — ini adalah bagian yang saya selalu saya ungkapkan. Pak Djamaluddin tentu saja tidak bisa menerima ini, karena tanpa mengaitkan wujudul hilal sebagai kriteria visibilitas hilal, semua argumentasi Pak Djamaluddin menjadi tidak berdasar dan tidak mempunyai arti sama sekali.

  29. Intinya sama. Shalat kita berusaha menghadap ka’bah (0 derajat) dan awal bulan kita mencari posisi bulan di garis ufuk saat matahari terbenam (0 derajat). Bukan mencari sesuatu utk dilihat. Imkan rukyat itu tak punya landasan dalil. Kalau mau rukyat ya rukyat saja nggak usah hisab. Ini dalilnya jelas, hadits Rasul. Kalau mau hisab ya hisab saja, dalilnya alquran. Imkan rukyat justru ambigu….plin-plan.

  30. Begini… Ayah saya Persis, Ibu saya NU. Saya..? Ya saya Al-Islam. Kita mesti menjadi orang yang paling bijah menyikapi bid’ah ini. Andaikata, bid’ah ini terus diperdebatkan, maka ayah dan ibu saya tidak akan bersatu.Jiwa saya ada PERSIS yang telah mendarahdaging dengan NU. Begitu Kang…DAN KENAPA MENUDUH SAYA BID’AH? KENAPA PERSIS MENGGUNAKAN IMKAN RUKYAT DALAM MENYUSUN KALENDERNYA? AYO JAWAB!

    • Albi..albi.. Kamu yang mengaku bapakmu orang persis darah dagingmu persis NGGAK TAHU KENAPA PERSIS MENGGUNAKAN IMKANRUKYAT DLM MENYUSUN KALENDERNYA? Berarti kamu ini GUUOOOBLOOK PUOOOL..!! Tanyakan sana blok-goblok sama kyai maman yg sedang memimpikan pungguk merindukan bulan itu.. Atau tanyakan babemu lagi jika babemu masih hidup..
      Tahukah kamu jika ustadz Ahmad Hassan (penegak aqidah PERSIS) pasti akan menangis melihat kamu yg goblok yg mengaku berdarah persis yg membacot “BID’AH HRS DISIKAPI DGN BIJAK”
      Bagi saya kamu tidak lebih sebagai PECUNDANG YG MUNAFIQ..

  31. BEGITU MUDAHNYA SEORANG AHMAD YANG MENYATAKAN BAHWA SAYA SEORANG YANG NGAKU2. ASTAGHFIRULLAH… COBA LAKUKAN DULU OBSERVASI KANG!

  32. Intinya sama. Shalat kita berusaha menghadap ka’bah (0 derajat) ???? <— SALAH BESAR!
    Awal bulan kita mencari posisi bulan di garis ufuk saat matahari terbenam (0 derajat) <— SALAH BASAR!
    Ulangi:
    ….
    Waktu Dhuha apakah 0 derajat Mataharinya?
    Mengapa waktu Dhuha, kita tidak boleh Dhuha sebelum Fajar usai?
    Waktu Ashar apakah 0 derajat?
    Dalam Sains, sesuatu tidak harus bermula dari 0.
    Misalnya, suara itu memang ada.
    Tetapi, manusia normal baru bisa mendengar suara dengan frekuensi di atas 20 Hz sampai 20.000 Hz.
    Suara memang ada (sama seperti Qamar, Wujudnya sudah ada setiap saat).
    Tapi, suara "MULAI" bisa didengar mulai 20 HZ…

  33. Seorang Ahmad, bisa dengan mudahnya “MELARANG” saya untuk mengakui jiwa saya di PERSIS. Sungguh na’udzubillahimindzalik.

  34. Kasian dehh…Persis, dan Al-Irsyad saja acuan Kalender Islamnya sudah Hisab Imkanur Rukyat. Hanya: MUHAMMADIYAH, NAQSABANDIYAH, SATARIYAH, ISLAM GOWA, yang masih memiliki Kalender Islam yang berbeda. Mari kita bersatu. Dengan semangat bersatu, kita akan terhindar dari problem sekterian.

    • Kasian dech kamu dan ibumu yg telah terbelenggu oleh imkan rukyat ala djamaluddin yg sangat berbeda dgn odeh dan iljas!!
      Kasian dech kamu dan ibumu yg masih melestarikan kalender ingkarrukyat warisan kalender jowo yg memang cocok utk mengHISAB tradisi hindu 7hari,40hr,100hr,1000hr, khoul buntet, khoul sayur dst..

  35. Albi….maksud saya begini. Jika kita (contohnya ummat islam Indonesia) berhasil menghadap ka’bah tepat pada saat shalat, berarti kita dg ka’bah membentuk sudut 0 derajat (tdk ada penyimpangan). Jika kita melenceng sedikit ke utara, kita sudah membentuk sudut dg ka’bah (katakanlah sudutnya positif). Sebaliknya jika kita melenceng sedikit ke selatan, juga terbentuk sudut (katakanlah negatif). Itu yg saya maksud, bukan thd matahari. Ini hampir sama dg kita menetapkan/mencari bulan pada garis ufuk. Garis ufuk itulah garis 0 derajat. Semakin tinggi posisi bulan, nilai derajatnya semakin besar. Jika kita menetapkan tanggal 1 keliru (misal tinggi bulan sdh 10 atau 12 derajat), maka kita sesungguhnya telah terlambat 1 hari. Gitu bung.

  36. Albi…kalau soal angka2 itu memang manusia yang menentukan. Kalau celcius menetapkan suhu 0 derajat sebagai titik beku air raksa itu kan pemikiran dia. Buktinya, fahrenheit atau reamur lain lagi. Sama soal suara, range suara yg didengar manusia itu juga hasil penetapan manusia, bukan Tuhan. Ya…suka2 manusialah…wong satuannya juga manusia yang menetapkan bukan Tuhan. Tuhan hanya menetapkan bilangan tahun, umur bulan dan penciptaan alam semesta. Kalau soal berat, tinggi, panas, kecepatan cahaya, kecepatan angin, daya dll itu manusia yg menetapkan ukurannya. Soal2 seperti ini terlalu kecil utk diurus Tuhan. Jd boleh koq anda mau menetapkan sesuatu ukuran atau takaran. Dan anda bebas mau mulai dari nol atau dari minus, atau juga plus. Misal takaran kenyang orang makan, mumpung ini belum ada. Jd ntar ada takaran misalnya 1 albi = ukuran kenyang makan orang normal/standar. Jd kalau di restoran, anda bisa pesan 1 albi atau kalau mau nambah misalnya 2 albi. Getoooo

  37. Jangan2, pengunjung blog ini sedang ”diperangkap” oleh pak djamal. Dia melempar isu trus menunggu reaksi pembaca. Siapa tau ada pendapat2 baru dari pembaca, lalu dijadikan bahan tambahan wawasan atau kajian. Hehehe….nggak layaw…….

    Ya…soalnya saya punya pengalaman.
    Sy pernah punya boss yang tidak pernah mau minta saran pendapat kpd bawahan secara terus terang (maklum namanya juga boss…..gengsi donk…). Lalu bagaimana caranya biar dapat masukan dari staf? Dia masuk ke ruang2, melempar isu atau persoalan lalu diam2 merekam saran pendapat staf. Yang namanya bawahan pasti berusaha memberi saran pendapat yang terbaik lah. Namanya juga yang ngomong si boss. Sesudah dapat masukan, dia pun lantas kabur, dan tentunya sdh dpt bahan yang diinginkan. Boleh jadi, masukan2 bawahan itulah yg kemudian dibawa ke rapat yang lebih tinggi. Cara meminta saran pendapat seperti ini merupakan cara yang tidak bijaksana (untuk tidak menyebut licik) karena tidak menghargai orang yg dimintai saran pendapat. Seharusnya, panggil seluruh staf (pejabat) dan minta saran pendapat. Hasilnya/kesimpulannya sampaikan ke level yg lbh tinggi. Ini namanya ”memanusiakan” bawahan. Dalam teori manajemen, inilah cara yg diinginkan. Bukan lempar batu sembunyi tangan.

    Tapi saya yakin pak djamal tidak demikianlah. Wong dia sudah pakar…masa masih minta masukan khalayak? Tidaklah….. Saya harus berbaik sangka (khusnuzon) kpd pak djamal.

    • Pak Thomas masang “perangkap” atau tidak… asalkan blog beliau ini menjadi sarana pembelajaran Ilmu Falak, itu sudah bagus… 🙂

      Saya masih berharap dengan adanya diskusi di blog Pak Thomas ini… Orang atau Ormas atau Instansi yang tadinya menggunakan Rukyat Murni, mau beralih kepada Hisab Imkan Rukyat… dibuktikannya dengan cara mengumumkan jauh-jauh hari penetapan Puasa dan Lebaran…

      Kemudian setelah beralih kepada Kriteria Imkan Rukyat, mereka mau membuka diri kepada Kriteria Wujudul Hilal… 🙂

      • NU, Persis, dan banyak ormas Islam lainnya sudah menghisab dan mempunyai kalender masing-masing. Tidak perlu diumumkan kepada umum, karena itu menjadi rujukan organisasinya. Untuk tingkat nasional ada kalender Taqwim Standar Indonesia yang disusun oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) yang beranggotakan perwakilan ormas-ormas Islam dan pakar instansi terkait. Semuanya sudah menggunakan kriteria imkan rukyat, kecuali Muhammadiyah. Itu tidak perlu diumumkan, kalau diperlukan silakan hubungi ormas terkait atau Kementerian Agama RI. Taqwim Standar Indonesia bentuknya seperti ini (kompilasi 12 bulan, termasuk peta ketinggian bulan): http://bimasislam.kemenag.go.id/images/kalendar.jpg
        Terkait dengan penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, kewenangan pengumuman ada di Menteri Agama RI seusai sidang itsbat, sesuai kesepakatan ormas-ormas Islam yang tergabung di BHR.

  38. Manusia itu ditakdirkan tidak sempurna sehingga tidak ada dalam kamusnya untuk merasa paling bersih, hal ini tersebut mewujudkan manusia menjadi orang yang bertaqwa yaitu dalam tekad,kata dan tingkah laku penuh dengan kehati-hatian.Maka dari itu untuk menyelesaikan perbedaan diperlukan musyawarah untuk memutuskan perkara. Dan ciri orang bertaqwa adalah orang yang ikhlas menerima keputusan hasil musyawarah apapun hasilnya.Nah kalau kita merasa akan ada perbedaan dan kita yakin dengan hasil ijtihad bahwa kita yang pailing benar mengapa harus ikut musyawarah. Contoh sikap yang elegant yaitu kaum khawarij pada masa halifah ‘Ali bin abi Tholib mereka tidak ikut musyawarah tatkala pendapatnya tidak diindahkan.

    • Jadi maksud pak Endang, Khawarij lebih baik daripada Muhammadiyah… Hehehe anda itu siapa pak, Inkar Sunnah ?…

      Kalau mau Muhammadiyah tidak ikut musyawarah… ya jangan diundang dong… Kalau diundang saudaranya, adalah sudah sepantasnya seorang muslim untuk menghadiri undangan tersebut…

      Kita umat Islam di Indonesia itu aneh, demi Persatuan Lokal mengorbankan Persatuan Global…

      • ya begitulah pemahaman saya terima kasih

      • Ya begitulah juga… Muhammadiyah dalam Musyawarah telah meminta izin untuk Lebaran duluan… terima kasih…

      • “Mengorbankan persatuan global”? Belum ada persatuan global. Persatuan itu semestinya dimulai dari lokal dulu, baru, regional, baru global. Percuma kita mengupayakan persatuan global, kalau persatuan lokal saja belum terjadi. Kalau Muhammadiyah masih bersikukuh pada wujudul hilal, wacana kalender unifikasi yang sering disebut-sebut beberapa tohoh Muhammadiyah, tidak akan terwujud, karena kalender unifikasi ala Jamaluddin Abd al Raziq menggunakan imkan rukyat. Silakan baca : https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/09/30/muhammadiyah-menuju-persatuan-semangat-kalender-unifikasi-didasarkan-pada-hisab-imkan-rukyat/ .
        Sementara klaim bahwa Muhammadiyah berlebaran 1432 sama dengan banyak negara, bukan sebagai pembenaran wujudul hilal, tetapi hanya suatu kebetulan yang dasarnya berbeda dari wujudul hilal. Silakan baca: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/10/04/wujudul-hilal-tidak-ada-dasar-pembenaran-empiriknya/

      • Dalam konteks kalender global, kriteria wujudul hilal atau imkanu rukyat tidak begitu signifikan lagi. Kedua-duanya mewarisi sebagian dari problem rukyat yang ditimbulkan oleh fakta bahwa kriteria awal bulan adalah kriteria lokal. Meminjam argumentasi dari imkanu rukyat, kalender global juga sudah tidak mungkin sepenuhnya syar’i lagi: selalu ada pemaksaan terhadap sebagian umat Islam yang mustahil untuk melihat hilal untuk memulai bulan baru.

        Mengganti kriteria imkanu rukyat dengan kriteria wujudul hilal dalam tataran kalender global bukan hal yang sulit, karena kriteria imkanu rukyat hanya sekedar “dipakai”, bukan faktor “key enabler” untuk kalender global tersebut. Dalam prakteknya, saya cenderung berpendapat bahwa kriteria konjungsi akan jauh lebih signifikan dalam mendefinisikan karakter sebuah kalender global (perbedaan mungkin terjadi untuk kasus-kasus ekstrim tertentu).

        Persatuan global yang harus dimulai dengan persatuan lokal dalam arti pengakuan terhadap imkanu rukyat tidak sepenuhnya perlu. Definisikan kalender global, konsisten menggunakannya, dan tunjukkan kelebihan dari kalender itu. Ketika secara de facto itu kalender itu sudah jalan dan mapan secara global, secara otomatis pihak lain yang berseberangan akan menggunakannya. Sebagai contohnya, lihat bahwa umat Islam pun mengakui dan menggunakan garis tanggal internasional (IDL) untuk kebutuhan ibadah yang lebih mendasar: sholat Jum’at. Padahal tidak ada landasan syar’i untuk menggunakan kesepakatan internasional ini.

      • Dalam penyusunan kalender global, justru kuncinya adalah KESEPAKATAN KRITERIA yang digunakan, termasuk ketentuan implementasinya. Garis tanggal berbasis wujudul hilal akan berbeda dari garis tanggal berbasis imkan rukyat yang disepakati. Kriteria imkan rukyat akan memungkinkan kompatibilitas hisab dan rukyat, sehingga hasil keputusan hisab yang tercantum di kalender akan sama dengan keputusan pihak-pihak yang masih memerlukan rukyat untuk penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah (kita harus akui masih ada kelompok yang mendasarkan keputusan waktu ibadah atas dasar rukyat, seperti Arab Saudi). “Pemaksaan” tidak dapat dihindarkan, tetapi masih dalam konteks wilayatul hukmi yang banyak dianut oleh ulama fikih, termasuk di Muhammadiyah.

      • Kalender global tidak sekedar menarik garis tanggal hijriyah yang dimanis sesuai kriteria visibilitas hilal, kecuali ketika kita sedang menyederhanakan kalender global sebagai sebuah “kumpulan kalender lokal seluruh dunia”. Tidak ada manfaatnya memberi nama kalender global, meskipun kriterianya bisa jelas namun tidak bisa memberikan kepastian keterkaitan tanggal dan waktu antara dua wilayah yang berbeda. Kalau konsep kalender global dari Pak Djamaluddin hanya seperti ini, saya tidak akan berhenti di sini.

        “Garis tanggal kalender lokal” antara imkanu rukyat dan wujudul hilal tentu saja berbeda, tetapi ketika definisi wilayah meliputi jangkauan yang cukup luas, pergeseran garis ini menjadi tidak begitu signifikan lagi dibanding pemakaian garis ini dalam kalender lokal. Sekali lagi ini memang tergantung seperti apa definisi kalender global itu sendiri. Selain itu kalender global juga tidak bisa memenuhi kebutuhan umat yang mewajibkan rukyat, karena memang sudah tidak kompatibel lagi. Kriteria wilayatul hukmi pun bisa diberlakukan ketika secara de facto ada kesamaan wilayah hukum dalam naungan sebuah negara. Ketika tidak ada itu, yang ada tentu saja hanyalah bentuk kompromi dan pemaksaan. Alasan kelogisan dan kepraktisan dalam penggunaanya memberi peranan lebih penting yang memungkinkan kompromi dan pemaksaan.

        Untuk penyatuan kalender global, saya kira dua langkah di bawah jauh lebih strategis dibanding memaksa persatuan lokal terhadap satu kriteria imkanu rukyat.
        1. Membuat kriteria imkanu rukyat yang diterima dan digunakan oleh semua penganut imkanu rukyat, bukan justru mengedepankan kriteria imkanu rukyat lokal seperti “Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia” anda usung. Kalau perlu membuat badan internasional independen sendiri yang berhak merubah kriteria imkanu rukyat atas persetujuan anggota-anggotanya.
        2. Memaksa pemerintah Saudi menghormati hasil hisab: bahwa laporan rukyat harus ditolak ketika hal itu adalah mustahil (paling tidak melalu kriteria kalender Ummul Qura / wujudul hilal sebagai kriteria minimum, atau imkanu rukyat kalau dipandang sudah mapan).

      • Saya itu orang awam yang berpikirnya sederhana… Apapun kriterianya kalau itu ternyata menghasilkan penetapan tgl yang sama… Itu bisa lebih diterima…
        Muhammadiyah dengan Kriteria WHnya beberapa kali penetapan Puasa dan Lebarannya sama dengan orang-orang Mekah… ketika Ormas lain dan Pemerintah di Indonesia (yang menggunakan Rukyat atau Kriteria Imkan Rukyat) beda…

        Kalau menurut saya… Penyatuan Penetapan Tanggal Hijriyah itu bukan hanya masalah bagi Indonesia saja… Tapi sebetulnya ini adalah Masalah Umat Islam Sedunia… bukan hanya sekedar masalah lokal-regional umat Islam…
        Jadi sebaiknya Kesepakatannya itu langsung dibawa ke tingkat Dunia… Tidak usah bertahap Lokal – Regional – Internasional…

        NU, Muhammadiyah bahkan mungkin ormas-ormas lain itu menurut saya, kelasnya sudah bukan lagi kelas Lokal… Tapi sudah Kelas Internasional…
        Jadi sudah sepantasnya mereka dibawa kepada Perundingan Umat Islam tingkat Dunia… bersama Ormas atau Instansi negara-negara muslim lainnya, baik itu dari Asia, Eropa, Afrika, Amerika dll…
        Dibawa ke tingkat Dunia juga memberi peluang agar tidak ada perasaan gengsi antar ormas atau instansi yang mungkin saja ada… ketika Pendapat mereka ternyata “kalah”… sebab “kekalahan” itu adalah demi kebersamaan Umat Islam seluruh Dunia…

        Belum adanya Kesatuan Kalender Hijriyah Global sekarang ini menunjukkan bahwa Umat Islam Dunia masih belum bangkit dari Keterpurukan akibat dijajah bangsa Barat…
        Kita itu sebaiknya Kembali berpikir sebagai Umat “Penakluk” yang memegang “Lokomotif” Peradaban… Bukannya malah berpikir sebagai umat Taklukan yang hanya cuma “Gerbong” Peradaban yang mau saja disetir umat lain…

        Seandainya kita sekarang tetap menjadi Umat “Penakluk” yang memegang “Lokomotif” Peradaban Dunia seperti zaman Keemasan Islam dahulu… maka dapat kita pastikan Kalender Internasional yang digunakan adalah Kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi…
        Kalender Hijriyah Internasional yang dipastikan menggunakan 1 Matlak untuk seluruh bumi… Sebab Mustahil terbentuk Kalender Hijriyah Internasional bila yang digunakan adalah Matlak-matlak Lokal…

        Kalender Hijriyah akan digunakan di segala bidang… Bukan hanya baru ribut-ribut digunakan untuk Puasa dan Lebaran saja, seperti yang kita lihat pada kenyataan di hampir seluruh dunia yang menyedihkan sekarang ini…

        Dan bila Kalender Hijriyah adalah Kalender Internasional yang digunakan bersama-sama oleh seluruh manusia di muka bumi… Maka penggunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Hijriyah adalah suatu Kemestian yang tidak bisa ditawar-tawar… Tidak mungkin ada Kalender Hijriyah Internasional bila hanya mengandalkan metoda Rukyat…

        Karena kebetulan saya sekarang ada di kubu WH (mungkin saja berubah bila sudah ada kesepakatan umat Islam seDunia)…
        maka dalam kesempatan ini, saya walaupun orang awam mencoba ikut mempromosikan WH… siapa tahu ada Pengguna Rukyat Murni dan kriteria IR yang tertarik… 🙂
        Sesama kubu WH atau yang lebih tahu mohon koreksinya bila ada yang salah… 🙂

        Kriteria WH

        Para Ulama dan Ahli Falak Islam terdahulu ketika masuk ke dalam pembahasan Ilmu Hisab, sudah tidak lagi membicarakan Keterlihatan Hilal oleh mata… Tapi sudah masuk ke dalam pembahasan mengenai Penghitungan Posisi Bumi-Bulan-Matahari…

        Dari Ilmu Falak diketahui bahwa yang namanya 1 periode bulan adalah dari suatu Ijtima’ (Konjungsi) ke Ijtima’ berikutnya…
        Sehingga dikenal Kriteria Penetapan Bulan berdasarkan Ijtima’ seperti :
        – Kriteria Ijtima’ sebelum fajar (al-ijtima’ qabla al-fajr), dan
        – Kriteria Ijtima’ sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub)…

        Perbedaan Kriteria Ijtima’ di atas disebabkan dari perbedaan patokan pergantian hari yang digunakan…
        – Pengguna Kriteria Ijtima’ sebelum fajar, berpendapat bahwa mulai pergantian hari itu adalah saat Fajar (dianut masyarakat Muslim di Libya)…
        – Pengguna Kriteria Ijtima’ sebelum gurub, berpendapat bahwa mulai pergantian hari itu adalah saat Gurub (dianut Mayoritas Muslim Dunia)…

        Selain syarat Ijtima’ sebelum Gurub… untuk lebih menyakinkan bahwa Penanggalan sudah masuk bulan Baru, Muhammadiyah dalam Penetapan Awal Bulan Hijriyah nya menambahkan Syarat Hilal harus telah Positif di atas ufuk pada saat Gurub…

        ‘Hilal telah Positif di atas ufuk pada saat Gurub’ bisa dipahami juga sebagai :
        – ‘Bulan terbenam setelah matahari terbenam’
        – ‘Posisi Bulan telah kembali lagi di atas ufuk Barat pada saat Gurub’
        – ‘Bulan telah Terbit di ufuk Barat pada saat Gurub’

        Bulan disebut ‘telah kembali di atas ufuk Barat pada saat Gurub’… sebab dari sejak Purnama sampai akhir bulan Qomariyah, Posisi bulan pada saat Gurub adalah di bawah Ufuk (baik ufuk Timur apalagi ufuk Barat)…
        Baru pada awal bulan Qomariyah, pada saat Gurub, posisi bulan kembali di atas Ufuk Barat…

        Posisi (Manzilah) bulan tgl 1 bisa dikatakan dimulai sejak terbitnya Bulan di ufuk Barat saat Gurub…
        Bila Terbitnya Bulan dipahami sebagai ‘Kembalinya bulan kepada posisi di atas ufuk Barat pada saat Gurub’… maka adalah logis bila disimpulkan bahwa posisi Bulan “nongol” sedikitpun itu sudah masuk kategori ‘Terbit’…

        Bila kemudian Terbitnya Bulan itu dipahami sebagai ‘Kembalinya bulan Terlihat di atas ufuk Barat pada saat Gurub’… adalah aneh… sebab matahari terbit pun tetap dikatakan terbit walaupun tertutup awan…

        Pada zaman Nabi, umat Islam hanya melakukan Rukyat dalam penetapan awal bulan itu disebabkan Karena Hanya teknologi sederhana itulah yang dimiliki umat Islam pada waktu itu dalam memberikan jaminan kepastian bahwa posisi (Manzilah) bulan sudah masuk ke dalam Penanggalan Baru…

        Beberapa Permasalahan Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional sekarang yang ada menurut saya :

        1. Belum adanya kesepakatan kesatuan Matlak Internasional (termasuk Garis Batas Penanggalan Hijriyah Internasional nya)…

        Solusi
        (ini hanya usulan dari saya orang awam, tapi mudah-mudahan bisa dijadikan bahan pertimbangan atau kajian oleh para Pakar… 🙂 ) :

        a) Kesatuan Matlak Internasional ini harus diikuti juga dengan kesamaan antara Hari dan Tanggal di seluruh permukaan bumi…
        Bila di suatu Tempat, tgl 1 yang sedang berjalan adalah misalnya hari Jum’at, maka di seluruh bumi sama… Tidak ada yang tgl 1 nya itu hari Kamis atau Sabtu…
        Bila berbeda hari pada tgl yang sama, dapat dipastikan ada kekacauan di dalam Administrasi Hubungan Internasional antar Negara…

        Dicontohkan pada zaman Nabi, laporan hilal masih diterima pada siang hari tgl 30…
        Ini mungkin bisa dikembangkan pemahamannya menjadi… walaupun di daerah kita hilal belum ada pada saat matahari terbenam tgl 29, asal ada di daerah lain di muka bumi pada hari dan tgl yang sama Hilal telah ada, Itu sudah cukup untuk penetapan awal bulan…

        b) Menjadikan Mekah (koordinat Ka’bah) sebagai 0 derajat Bujur Timur-Barat, sehingga Garis Batas Penanggalan Internasional nya ada di 180 derajatnya (di wilayah Kepulauan Pasifik dengan negara yang paling timur dalam perubahan hari adalah Hawaii)
        Konsekuensi nya wilayah Hawaii harus memajukan hari nya… misalnya hari yang sedang berjalan adalah hari Kamis, maka begitu Mekah dijadikan 0 derajat Bujur Timur-Barat, Hawaii hari berubah menjadi hari Jumat…
        Konsekuensi yang sulit, mengingat merubah hari di Hawaii tidak semudah membalikkan telapak tangan…

        c) Tetap berpatokan pada 0 derajat Bujur Timur-Barat Greenwich seperti yang ada sekarang… sehingga negara yang paling timur dalam perubahan hari adalah tetap seperti yang sekarang ini, yaitu negara Kiribati…

        2. Koordinat yang dijadikan Patokan Perhitungan Hisab Internasional
        (bila sudah ada kesepakatan Kesatuan Matlak Internasional)…

        a) Apakah “dibebaskan” saja ?… dengan artian :
        di mana pun di muka bumi… sekalipun hanya di daerah paling barat dalam perubahan hari, Hilal telah ada, itu cukup untuk penetapan awal Bulan seluruh bumi…

        b) atau berpatokan pada Koordinat Lokasi “Tengah-tengah (Pusat)” untuk mempemudah Penghitungan juga agar lebih meyakinkan bahwa Penanggalan memang sudah masuk Bulan Baru, di mana Lokasi “Tengah-tengah (Pusat)” itu menurut Al Quran adalah Ka’bah Al Mukaromah ?…

        Dengan pertimbangan bahwa bila di Mekah (Ka’bah) Hilal sudah ada setengah derajat pun, maka di daerah sebelah Barat Mekah pada hari yang sama pada saat Gurub di tempat tersebut maka Hilal pasti sudah lebih tinggi daripada di Mekah…

      • Tidak mungkin kita melompat membuat kalender internasional, karena membuat kesepakatan tingkat global dengan latar belakang yang sangat beragam jelas sangat sulit. Di Indonesia saja mencari kesepakatan tinggal 1 ormas lagi sangat sulit, padahal semua ormas Islam pelaksana hisab rukyat sudah sepakat. Kita sudah juga punya pengalaman “melompat” langsung pada kesepakatan regional dalam forum MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) awal 1990-an. Pada awalnya berjalan baik, tetapi karena di Indonesia pun implementasinya tidak konsisten akibat belum disepakati secara nasional — waktu itu Muhammadiyah juga yang menolak– , akhirnya masing-masing negera menerapkan kebijakan sendiri-sendiri dalam implementasinya, walau kriteria MABIMS masih dipakai.

        Secara internasional kita pun punya pengalaman kesepakatan kalender hijriyah internasional, tetapi hanya di atas kertas. Tahun 1978 ada kesepakatan Istambul dan tahun 1994 ada kesepakatan di Malaysia. Tetapi, selama belum ada otoritas yang menjaganya kesepakatan itu buyar begitu saja. Kita harus cari cara lain yang lebih mapan. Mulailah dari lokal-nasional Indonesia, karena itu tinggal selangkah lagi untuk bersatu, tinggal Muhammadiyah yang perlu melepaskan ego organisasinya untuk bersatu bersama ormas-ormas lain. Penyatuan kalender hijriyah di Indonesia akan berpengaruh besar untuk tingkat regional ASEAN. Dan contoh implementasi di ASEAN bisa kita bawa di tinggkat internasional untuk mewujudkan kelender hijriyah global.

        Soal sejarah hisab, tidak benar dengan hisab ketampakan hilal tidak dibicarakan lagi. Itu distorsi sejarah untuk membela wujudul hilal. Di kitab-kitab hisab rukyat, termasuk yang klasik –seperti Sulammunayrain, tinggi minimal ketampakan hilal yang menjadi rujukan penentuan awal bulan selalu disebutkan.

        Terkait pembuatan kalender hijriyah global, kita tidak boleh terpaku pada kesamaan hari, misalnya harus seragam awal bulan Ramadhan Senin. Garis tanggal memungkinkan wilayah di sebelah barat garis tanggal harinya lebih dulu, misalnya Senin, sedangkan di sebelah Timurnya baru hari berikutnya, misalnya Selasa. Pada hakikatnya sama tanggalnya, hanya ketika diurutkan secara kronologis ke arah Barat, sesampainya pada Garis Tanggal Internasional sekitar garis bujur 180 derajat di Pasifik nama hari menjadi berubah. Garis tanggal internasional hanyalah garis hasil konvensi buatan manusia, sedangakn garis tanggal qamariyah bebar-benar berdasarkan ketampakan hilal.

        Bagaimana implementasi garis tanggal qomariyah pada pembuatan kalender hijriyah global? Silakan simak catatan saya:

        Menuju Kalender Hijriyah Tunggal Pemersatu Ummat

      • Dalam penyusunan kalender global, justru kuncinya adalah KESEPAKATAN OTORITAS TUNGGAL BUKAN LAGI MENCARI-CARI KRITERIA YG MUNGKIN2 TERUS. Otoritas tunggal YAITU MEKKAH.
        Hrs ada keihklasan yg mendalam dr dunia islam untuk menerima MEKKAH sbg pemegang Otoritas tunggal bg kalender Hijriyah internasional agar spy berjalan sesuai dgn kaidah kalender itu sendiri.
        Nampaknya bagi penganut imkan ruyat hal ini tdk memungkinkan karena faktor “syiah”, ego yg jumud, taqlid pada sains, dan yg penting asal bukan Wujudul Hilal..
        Jadi percuma saja bicara persatuan kalender scr “islam se dunia” manakala masih ada pemikiran “islam yg terpetak-petak” yg celakanya hanya ada di indonesia.
        Pemikiran imkan rukyat ala djamaluddin benar2 konyol.., dan itu terbukti lebaran kemarin.. KEBETULANKAH?? Ayo kita buktikan kedepan.. Mana yg sama dengan mekkah dan dunia..

      • Dengan menggunakan garis tanggal yang berubah-ubah, jadi menurut Pak Djamaluddin konsep kalender global adalah sekedar “kumpulan kalender lokal seluruh dunia”.
        Maaf, apapun kriteria awal bulannya, menggunakan menggunakan kalender “global” seperti ini tidak begitu banyak faedahnya. Lebih baik tetap memakai kalender Gregorian yang lebih modern, praktis, mapan dan pasti, dan tentu saja lebih berguna.

      • Secara internasional kita pun punya pengalaman kesepakatan kalender hijriyah internasional, tetapi hanya di atas kertas. Tahun 1978 ada kesepakatan Istambul dan tahun 1994 ada kesepakatan di Malaysia. Tetapi, selama belum ada otoritas yang menjaganya kesepakatan itu buyar begitu saja. Kita harus cari cara lain yang lebih mapan.

        Kalau menurut saya Kesepakatan yang dibangun dengan dasar kriteria yang belum mapan yang bisa berubah (dinamis) seiring berkembangnya penemuan-penemuan baru (dalam hal ini Kriteria IR)… Kesepakatan itu akan buyar dengan sendirinya ketika penemuan-penemuan yang baru menghasilkan angka kriteria IR yang berbeda dengan kriteria IR lama…

        Juga Kesepakatan itu akan buyar dengan sendirinya apabila tidak memperhitungkan Masalah yang ditimbulkan dalam Pengaplikasian Kesepakatan tersebut…
        Kalender Global yang tidak memberikan kepastian Kesamaan Hari dan Tgl di seluruh dunia akan selalu memungkinkan Kekacauan Administrasi Hubungan Internasional antar Negara… dan menurut saya, ini adalah masalah yang besar…
        Selalu akan ada kesalahpahaman Hubungan Kerjasama Internasional yang terjadi, ketika misalnya satu pihak menganggap tgl 1 dalam kesepakatan perjanjian itu adalah hari Senin sedang pihak yang lain menganggap hari Selasa (sesuai dengan kalender yang ada pada masing-masing)…

        Solusinya untuk ke depannya mungkin perlu menggunakan Kriteria WH plus Matlak Global… 🙂 :

        – Mencoba kesepakatan Internasional berdasarkan Kriteria WH (terserah, mau Terbitnya Bulan asal positif / setengah lingkaran bulan / bulan 1 lingkaran penuh di atas ufuk) dengan Patokan Koordinat “Pusat” yaitu Mekah, dengan 1 matlak untuk seluruh bumi dengan Patokan Perubahan Hari 0 derajat Bujur Timur-Barat Greenwich (bila 0 derajat Mekah belum bisa)…

        – Memaksa Otoritas Mekah (Arab Saudi) untuk menolak Laporan Terlihatnya Hilal pada saat posisi Hilal di Arab Saudi (Mekah) masih di bawah ufuk… seperti yang selalu diterima mereka selama ini… Bahkan sebaiknya acara penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah dengan selalu menunggu dulu laporan rukyat dihilangkan saja…

        Kegiatan Rukyat bisa dialihkan kepada bulan-bulan lain dengan posisi hilal pada awal bulan sangat mudah untuk dilihat dan diukur… sebagai salah satu cara untuk menjamin keakuratan Perhitungan Hisab yang digunakan…
        Bonus dari pihak Kerajaan Arab Saudi yang katanya ada untuk saksi rukyat yang mengaku berhasil melihat hilal, bisa dialihkan untuk pengadaan alat-alat astronomi yang dibagikan gratis kepada orang-orang yang sangat berminat dengan dunia astronomi… 🙂

        Garis tanggal internasional hanyalah garis hasil konvensi buatan manusia, sedangakn garis tanggal qamariyah bebar-benar berdasarkan ketampakan hilal.

        Kalau menurut saya yang hasil konvensi manusia itu adalah penentuan posisinya yang seperti sekarang, yaitu garis 180° dengan Patokan 0° Greenwich…

        Sedangkan Keberadaan Garis Batas Hari dan Tgl itu sendiri adalah suatu kepastian yang telah ditetapkan Allah swt (Sang Maha Pencipta Yang Maha Sempurna)… sebagai akibat oleh bentuk bumi yang berupa bola berputar pada porosnya…

        Sehingga planet Bumi pun dikondisikan untuk keperluan Garis Batas ini… yaitu dengan adanya wilayah berupa lautan yang sangat luas (Samudera Pasifik) di wilayah yang bisa dikatakan merupakan tempat terjauh ke sebelah Timur dan ke sebelah Barat dari Tempat Tinggal manusia pertama di bumi (daerah Mekah)…

        Manusia baru menyadari adanya Garis Batas Hari dan Tgl ini ketika pelayaran kapal-kapal laut berhasil melakukan pelayaran keliling dunia…

        Sebetulnya kalau melihat Sejarah Penyebaran Manusia di muka bumi… ditambah dengan Informasi dalam Al Quran, bahwa yang namanya Pusat adalah Baitullah Ka’bah di Mekah…
        Maka daerah Hawaii yang sekarang merupakan termasuk daerah terBarat Perubahan Hari, sebetulnya pada zaman dahulu termasuk daerah terTimur Perubahan Hari…

        Penduduk Hawaii (yang sekarang berupa salah satu negara bagian Amerika Serikat)… Bukan bagian dari suku bangsa yang ada di Benua Amerika…
        Penduduk aslinya adalah suku bangsa Polynesia… dan yang termasuk suku bangsa Polinesia adalah penduduk asli Australia, Tonga, Tuvalu, Samoa, Selandia Baru…
        Menurut saya tidak mungkin informasi hari yang ada di Hawaii zaman dahulu itu lebih telat sehari dibanding orang Polynesia lainnya…

        Dengan melihat hal di atas maka bisa dikatakan… bahwa sekarang Muslim Hawaii itu bershalat Jumat pada hari yang pada zaman dahulu dianggap oleh penduduk daerah Hawaii sebagai hari Sabtu…
        Kemudian kalau kemungkinan Dugaan berubahnya hari di Hawaii ini adalah benar… saya pikir tidak akan ada seorang Ulama pun yang menyatakan bahwa Shalat Jumat di Hawaii sekarang ini adalah tidak sah… sebab bisa dikatakan Muslim Hawaii itu shalat Jumat di hari Jumat (Hari Jumat Hasil Konvensi)…

        Bila kita kita bisa memaklumi shalat Jumat di hari Jumat Hasil Konvensi… sebaiknya kita pun bisa memaklumi Penetapan Awal Bulan Hasil Konvensi, walaupun pada saat berlakunya Penetapan Awal Bulan Hasil Konvensi itu, Hilal di tempat kita belum ada…
        (Ini kebalikan dari Resolusi Penang tentang kalender Islam internasional 1988… yang menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh mengacu hasil pengamatan hilal pada negara-negara di sebelah baratnya… Misalnya, Indonesia tidak boleh mengacu kepada Arab Saudi)…

        Dengan begitu InsyaAlloh, Kalender Hijriyah akan bisa digunakan selain untuk Ibadah Puasa dan Haji, juga untuk segala keperluan… Kalender Hijriyah bisa dijadikan Kalender Resmi Internasional…
        Sementara Kalender Masehi hanya akan dijadikan kalender pendukung saja… yang mungkin bisa dioptimalkan untuk Kalender bercocok tanam dan memancing ikan… 🙂
        Juga bisa jadi nantinya kita merayakan Proklamasi RI itu bukan pada setiap tgl 17 Agustus… tapi setiap tgl 9 Ramadhan… 🙂

        Soal sejarah hisab, tidak benar dengan hisab ketampakan hilal tidak dibicarakan lagi. Itu distorsi sejarah untuk membela wujudul hilal. Di kitab-kitab hisab rukyat, termasuk yang klasik –seperti Sulammunayrain, tinggi minimal ketampakan hilal yang menjadi rujukan penentuan awal bulan selalu disebutkan.

        Saya mencari-cari informasi di Internet, hanya baru tahu informasi sejauh ini… kriteria Imkan Rukyat baru ramai diwacanakan dan digunakan oleh Umat Islam setelah Para Astronom Barat mengeluarkan konsep Visibiltas Hilal… Sebelum itu tidak pernah Umat Islam menggunakan nya dalam Penetapan Awal Bulan… Umat Islam hanya menggunakan Kriteria Ijtima’…

        Saya sedang mencari kapan ditulisnya Kitab Sulammunayrain, tapi belum menemukan… Mungkin ada yang bisa memberi informasi, kapan ditulisnya kitab hisab rukyat ini ?…
        Apakah Konsep IR telah dikenal pada zaman Muhammad Thurgay Ulughbek yang membangun observatorium di Samarkand pada tahun 823 H / 1420 M ?…

        Dengan menggunakan garis tanggal yang berubah-ubah, jadi menurut Pak Djamaluddin konsep kalender global adalah sekedar “kumpulan kalender lokal seluruh dunia”.
        Maaf, apapun kriteria awal bulannya, menggunakan menggunakan kalender “global” seperti ini tidak begitu banyak faedahnya. Lebih baik tetap memakai kalender Gregorian yang lebih modern, praktis, mapan dan pasti, dan tentu saja lebih berguna.

        Sebetulnya menyedihkan juga bahwa Dunia Internasional sekarang ini tidak menggunakan Kalender Hijriyah sebagai Kalender Resminya…

        Ini adalah bukti kekalahan Peradaban Islam…
        Padahal tidak semata-mata Allah swt menetapkan Kalender Qomariyah di dalam Al Quran (dengan 4 bulan Haram nya)… bila tidak ada keunggulan Kalender ini bagi manusia dibanding dengan Kalender Syamsiah…

        Beberapa Keunggulan Kalender Qomariyah :

        1) Kalender Qomariyah penggunaannya lebih tua dibanding dengan Kalender Syamsiah… secara Penentuan Penanggalan dengan melihat tanda-tanda alam Perubahan Penampakan Bulan adalah lebih mudah dibanding Penanggalan yang berpatokan kepada peredaran bumi mengelilingi matahari…

        Diketahui oleh para peneliti, Kalender Qomariyah telah digunakan lebih dari 15.000 tahun dengan bukti keberadaan kalender ini terpahat di dinding Gua Lascaux, Perancis.
        Bahkan kalau dari Informasi Al Quran… Nabi Adam as, sebagai manusia pertama di muka bumi pun dapat dipastikan menggunakan penanggalan Qomariyah…

        36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
        (QS At Taubah 9 : 36)

        2) Kalender Qomariyah (Hijriyah) mampu menghitung tanggal berapa suatu kejadian di ribuan tahun yang lalu, bila diketahui posisi bulannya…

        Contohnya :

        – Waktu terjadinya perbedaan Awal Puasa antara Abdullah bin Abbas ra di Medinah dan Muawiyah di Syam (dengan Hilal sangat jelas pada malam Jumat di Syam)… Para peneliti bisa menghitung bahwa kejadian tersebut terjadi pada bulan Ramadhan 35 H (bulan Maret 656 M), pada saat umat Islam dipimpin Khalifah Ustman bin Affan ra…

        – Waktu terjadinya gerhana matahari yang bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw… Para peneliti bisa menghitung bahwa kejadian tersebut terjadi pada akhir bulan Syawwal 10 H (bulan Januari 632)…

        Bahkan tidak menutup kemungkinan, Peristiwa yang ratusan tahun atau ribuan tahun sebelum Hijriyah… bila diketahui tanda-tanda alamnya (posisi bulan dan mungkin benda langit lainnya) dengan ditambah data-data kisaran kasar rentang waktunya dari zaman Nabi Muhammad saw, para peneliti bisa memperkirakan nya secara ilmiah tgl dan tahun berapa Sebelum Hijriyah (SH) terjadinya peristiwa tersebut… Dengan dianggap bahwa nama bulan Qomariyah yang jumlah nya tetap 12 itu sejak Allah swt menciptakan langit dan bumi, namanya sama dengan Kalender Hijriyah sekarang…

      • Pak Ivan,

        Saya sendiri tidak akan mencoba mengatakan kalau kalender lunar (qomariah) akan lebih baik dibanding kalender solar (syamsiah), karena kedua-duanya mempunyai kelebihan. Buat daerah yang mengenal 4 musim, kalender solar jauh lebih berguna dan lebih berarti untuk kebutuhan sehari-hari dibanding kalender lunar, karena memnag musim sangat mempengaruhi kecenderungan aktivitas manusia.

        1) Kalender Qomariyah penggunaannya lebih tua dibanding dengan Kalender Syamsiah… secara Penentuan Penanggalan dengan melihat tanda-tanda alam Perubahan Penampakan Bulan adalah lebih mudah dibanding Penanggalan yang berpatokan kepada peredaran bumi mengelilingi matahari…

        Seperti yang Pak Ivan sebut sendiri, penggunaan kalender lunar lebih dahulu karena itu metode kalender paling mudah karena berdasarkan penampakan bulan. Hanya saja itu bukan menjadi salah satu keunggulan kalender tersebut untuk zaman modern. Buktinya, setelah 15 ribu tahun kemudian, manusia yang sudah mempunyai alat sains yang jauh sekali lebih unggul masih tetap berkutat untuk merumuskan teori visibilitas bulan untuk menentukan kalender ini — cara kuno yang masih dicoba untuk dipertahankan. Dan lebih fatalnya, masih juga belum ada suatu konsep atau kriteria yang mejadi kesepakatan dari semua pihak yang menggunakan kalender ini.

        2) Kalender Qomariyah (Hijriyah) mampu menghitung tanggal berapa suatu kejadian di ribuan tahun yang lalu, bila diketahui posisi bulannya…

        Ini sama halnya dalam kalender solar ketika diketahui posisi bumi dalam revolusinya terhadap matahari. Dalam dalam kasus waktu yang lampau, musim bisa digunakan untuk memperkirakan waktu.

        Dengan ditolaknya penggunaan kalender lunisolar oleh Qur’an, kalender hijriyah adalah sebatas cara penanggalan menurut kaidah tertentu, dimana event-event agama berbasis kepada penanggalan ini. Saya menggunakan ungkapan ini karena saya memang tidak mempercayai bahwa waktu tertentu yang berbasis kalender itu sendiri mempunyai nilai “keramat” dalam ibadah, kecuali sesuatu yang dihubungkan dengan apa, bagaimana, maksud, dan oleh siapa sebuah perbuatan ibadah itu dilakukan.

      • Saya sendiri tidak akan mencoba mengatakan kalau kalender lunar (qomariah) akan lebih baik dibanding kalender solar (syamsiah), karena kedua-duanya mempunyai kelebihan. Buat daerah yang mengenal 4 musim, kalender solar jauh lebih berguna dan lebih berarti untuk kebutuhan sehari-hari dibanding kalender lunar, karena memnag musim sangat mempengaruhi kecenderungan aktivitas manusia.

        Sudah tentu bahwa keduanya mempunyai kelebihan masing-masing… Saya hanya berpikir kalau sampai Allah swt menyebutkan Kalender Lunar dalam Al Quran… berarti itu Hikmahnya lebih besar bila menggunakan Kalender Solar…

        Pendapat ini mungkin terlihat “tidak sangat ilmiah”… 🙂
        Tapi mudah-mudahan menjadi penyemangat bagi umat Islam sedunia (tidak hanya Arab Saudi saja) agar mau menggunakannya sebagai Kalender Utama… dan untuk selalu terus menggali secara ilmiah, apa hikmah Kalender Qomariyah ini sampai Allah swt menyebutkannya di dalam Al Quran…

        Secara sederhana, salah satu hikmahnya mungkin adalah agar umat Islam selalu siap siaga beraktivitas dan menjalankan perintah Tuhan di musim apa pun…
        Tidak peduli musim dingin atau musim panas kalau waktunya puasa atau ibadah haji… ya kerjakan di waktu itu…
        Jangan berperang di 4 bulan Haram… ya jangan berperang… walaupun misalnya kondisi alam pada saat itu Ideal untuk melakukan penyerangan dadakan…

        Dan lebih fatalnya, masih juga belum ada suatu konsep atau kriteria yang mejadi kesepakatan dari semua pihak yang menggunakan kalender ini

        Sebetulnya sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab ra… beliau dan para sahabat lainnya telah mengadakan terobosan-terobosan yang hebat pada zamannya…
        Seperti ditemukannya Konsep Penghitungan ‘Aul oleh Zaid bin Tsabit ra yang digunakan dalam Penghitungan Waris Islam dan mempelopori penggunaan Hisab Urfi yang tidak terbatasi oleh matlak-matlak lokal…

        Semangat inilah yang kemudian hilang bersamaan kemunduran peradaban umat Islam… diperparah dengan berhasilnya negara-negara mayoritas Islam dijajah barat…

        Mudah-mudahan ke depan, para Ulama dan Ahli Falak Islam bisa secepatnya memberikan solusi untuk Kalender Hijriyah Global ini… amin…

        Ini sama halnya dalam kalender solar ketika diketahui posisi bumi dalam revolusinya terhadap matahari. Dalam dalam kasus waktu yang lampau, musim bisa digunakan untuk memperkirakan waktu.

        Posisi bumi dalam revolusinya yang mungkin mudah terekam oleh manusia (misalnya catatan tentang musim)… tidak akan memberikan informasi yang detail sampai ke tanggal…

        Berbeda dengan catatan posisi bulan yang mudah terekam (misalnya terjadi gerhana matahari di hari anu)… akan bisa memberikan informasi yang detail sampai ke tanggal berapa kejadian tersebut…

        Contoh Informasi Musim :

        – Peristiwa Siti Maryam melahirkan Nabi Isa as dalam Al Quran :
        “25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”
        (QS Maryam 19 : 25)

        Dari informasi di atas, Nabi Isa as dilahirkan pada saat musim panen kurma (buah nya sudah masak)… Musim panen kurma adalah pada saat musim Panas…
        Musim panas di belahan bumi utara adalah dari tgl 21 Juni ~ 23 September…

        Contoh Informasi Posisi Bulan :

        – Riwayat meninggalnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw, di Medinah, yang bertepatan dengan terjadi gerhana matahari di sana…
        Terjadinya gerhana matahari, berarti pada waktu itu adalah akhir bulan… Akhir bulan itu tgl 29 atau 30 bisa dilihat dari posisi hilal awal bulan tersebut dengan software astronomi…

  39. Ivan….hampir seluruhnya saya setuju. Tapi ada satu yg perlu disepakati. Pada saat muncul di ufuk barat, hilal (bulan) bergerak turun ke bawah ufuk. Berbeda dg matahari yang terbit di ufuk timur, begitu ia (piringan atas matahari) mulai nyembul di atas ufuk, ia bergerak ke atas (membesar/meninggi). Sehingga kriteria “terbit” memang terpenuhi. Bandingkan dg bulan saat terbit di ufuk barat. Jika hanya garis atas piringan bulan yang muncul di atas ufuk padahal ia bergerak turun, apakah kriteria terbit bulan sudah terpenuhi? Apa tidak sebaiknya minimal separuh badan bulan nongol di atas ufuk, atau jika perlu seluruh badan bulan di atas ufuk? Hal ini untuk menghindari keraguan keyakinan. Bayangkan, hanya SEGARIS kecil lingkaran atas bulan nyembul di garis ufuk lalu dalam beberapa saat hilang (tenggelam) sudah dianggap terbit? Ini menurut saya pertanyaan yang harus dijawab (disepakati). Andai kriteria itu diubah menjadi “MINIMAL SEPARUH BADAN BULAN” nyembul di atas ufuk bagaimana?

    Saya membayangkan bagaimana memahami makna “tergelincir matahari”? Apa dimulai saat piringan depan matahari melewati garis bujur imajiner di atas kepala, atau separuh badan matahari melewati garis imajiner, atau seluruh badan matahari melewati garis imajiner? Kalau analogi ini yang dipakai, maka saya berpendapat bahwa tergelincir matahari itu minimal harus dimaknai “separoh” badan matahari melewati garis imajiner. Nah berkaca dari makna ini, saya cenderung bulan terbit itu jika separoh badan bulai telah di atas ufuk saat matahari terbenam. Ini lebih meyakinkan ketimbang hanya segaris (setitik) badan bulan di atas ufuk. Kecuali pergerakan bulan dari barat ke timur…..logika itu (setitik badan bulan) saya setuju. Jadi kriteria WH sebaiknya ditambah, separoh badan bulan telah berada di atas ufuk. Bagaimana?

    • Menurut saya tidak masalah nanti kesepakatan bagaimana… apakah asal positif / setengah lingkaran / lingkaran penuh bulan di atas ufuk…

      Yang penting semua setuju bahwa Yang dimaksud Terbitnya Hilal tgl 1 adalah Terkait Posisi Bulan dengan Ufuk… Bukan terkait dengan Terlihatnya Hilal tgl 1 oleh mata…

      Sebab bila Kaitannya adalah dengan Terlihatnya Hilal… maka kriteria Terlihatnya Hilal itu akan selalu ada kemungkinan berubah-ubah menyesuaikan dengan penemuan-penemuan terbaru… dan “Cuaca” yang selalu dinamis bisa berubah-ubah ini tidak baik bagi “kesehatan” Kalender Hijriyah… 🙂

  40. Assalamu’alaikum wr.wb. Setelah menyimak.diskusi yg hangat diatas, timbul banyak pertanyaan dihati saya, a.l. : Bukankah yg dimaksud dg hilal adalah bulan yg cahayanya berbentuk sabit tipis? Apakah piringan bulan tanpa cahaya bisa disebut sbg hilal? Sepanjang yg saya pahami, piringan bulan tanpa cahaya itu (=bulan mati) terbit diufuk timur beriringan dg matahari dan akan terbenam diufuk barat, benarkah? Mohon pencerahan. Terimakasih. Wass.wr.wb.

  41. Ashoura on Tuesday

    JEDDAH – Sheikh Abdul Aziz Bin Abdullah Aal Al-Sheikh, Grand Mufti of the Kingdom, has said the day of fasting for Ashoura, Muharram 10, falls on Tuesday, Dec. 6. Sheikh Aal Al-Sheikh called this a way out of arguments that the crescent was not sighted to mark the beginning of Muharram. He said Saturday therefore was the last day of Dhul Hijjah and Sunday the first of Muharram. Hence, the 9th and 10th of Muharram – days on which Muslims are recommended to fast – fall on Monday (Dec. 5) and Tuesday (Dec. 6) respectively. — Okaz/SG __

    http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method=home.regcon&contentID=20111202113101

    • Muharram 10 is on Tuesday: Supreme Court

      By ARAB NEWS
      Published: Dec 3, 2011 21:29 Updated: Dec 3, 2011 21:29

      JEDDAH: Muharram 10 is on Tuesday (Dec. 6, 2011) and not on Monday as appeared in the existing calendar, the Supreme Court announced on Saturday.

      “As nobody sighted the new Muharram crescent on Saturday (Nov. 26), the first day of Muharram falls on Nov. 27. So Muharram 9 and 10 will be on Monday and Tuesday, respectively,” it said.

      http://arabnews.com/saudiarabia/article542590.ece

  42. Assalamu’alaikum wr wb, Tanda tanya dihati saya berikutnya adalah mengenai kesepakatan global utk menentukan awal bulan hijriyah. Bukankah garis perubahan hari/tanggal utk perhitungan kalender hijriyah tidak seperti garis perubahan hari/tgl kalender internasional yg disepakati berlaku mulai jam 00.00 berada pd jalur bujur 180°, melainkan secara teratur selalu bergeser sesuai pergeseran posisi bumi pd saat konjungsi/ijtimak setiap bulan dan berlaku mulai saat magrib, Mohon pencerahan. Wass

    • Assallamuallaikum Pak Bambang Supriadi, penentuan garis tanggal dan waktu Internasional juga sebenarnya tidak berlaku tegas mengikuti garis bujur bumi tetapi berdasarkan batas wilayah ketetapan negara masing-masing. Umumnya semua negara menggunakan GMT sebagai awal perhitungan jam 00:00 (bujur 0 derajat) sehingga batas pergantian hari akan berada di samudera pasifik (bujur 180 derajat). Karena semua kriteria perhitungan jam dan hari tersebut telah diketahui dan disepakati bersama, maka kalau boleh dikatakan tidak/belum ada masalah dalam pelaksanaannya.

      Satu contoh menarik dari penetapan garis batas hari internasional yaitu batas garis internasional yang membatasi kepulauan kiribati dan kepulauan hawaii dimana posisi geografisnya berada pada sekitar bujur derajat yang sama. Tetapi karena perbedaan perhitungan jam dari GMT, maka apabila kita terbang dari kep. kiribati (GMT +12) misalnya pada hari minggu tanggal 4 Desember 2011 kita akan mendarat di kep. hawaii (GMT -12) pada hari sabtu tanggal 3 Desember 2011…jadi kita kembali ke hari sebelumnya…padahal perjalanan dengan pesawat terbang kemungkinan hanya beberapa jam saja… menarik bukan 🙂

      Silahkan, Pak Bambang Supriadi melihat tautan menarik berikut ini dari BBC yang secara ringkas dan menarik membahas tentang perbedaan waktu di bumi: http://www.bbc.co.uk/news/world-12849630

      Jadi saya sepakat kalau kita memulai menyamakan penetapan kalender Hijriyah dalam satu wilayah kedaulatan sebuah negara terlebih dahulu, supaya penduduk negara tersebut tidak mendapati adanya perbedaan waktu yang membuat bingung penduduknya. Menurut saya, kita jangan dulu membanding-bandingkan dengan penetapan waktu/kalender hijriyah negara lain yang mungkin kriteria penetapannya berbeda. Dan umumnya, kita menggunakan dasar perbedaan hari pada kalender masehi untuk menjustifikasi perbedaan hari pada kalender hijriyah, padahal dasar perhitungannya (antara masehi dan hijriyah) dan kriteria penetapannya berbeda.

      Wallahu a’lam bishawab

    • Dan umumnya, kita menggunakan dasar perbedaan hari pada kalender masehi untuk menjustifikasi perbedaan hari pada kalender hijriyah, padahal dasar perhitungannya (antara masehi dan hijriyah) dan kriteria penetapannya berbeda.

      Pak Syarif,
      Harus adanya kepastian kesamaan antara Hari dan Tanggal pada kalender Hijriyah Global… tidak terkait dengan Kalender Masehi…

      Malah harapan saya kita lupakan saja Kalender Masehi itu… secara nama-nama bulan nya saja adalah warisan budaya pagan Romawi… 🙂
      Kita butuh kalender Syamsiah hanya sebagai kalender musim saja…
      Sedangkan untuk catatan sejarah dan administrasi bisa jadi sebetulnya Kalender Qomariyah lah yang sangat cocok…

      Selama ini, bahkan dalam catatan sejarah Umat Islam sendiri, kita selalu terbiasa merujuk kepada kalender Masehi…
      Menurut saya ini sangat menyedihkan…

      Contohnya pada tgl lahir Nabi Muhammad saw sendiri… Kita cuma bisa bilang “beliau lahir tgl 12 Rabiul Awal tahun Gajah”… tanpa mau tahu, tahun SH (Sebelum Hijriyah) berapa tahun Gajah itu…

      Alih-alih mengkonversikannya kepada Tahun SH, kita malah terbiasa merujuk ke Tahun Masehi… yaitu tahun 570…

      Dari perhitungan Accurate Times, didapat data Hilal Rabiul Awal bertepatan 570 M… adalah pada bulan April tgl 21, Hilal untuk Rabiul Awal -53 H…
      (mungkin nantinya bisa kita sebut Rabiul Awal 53 SH)…

      Accurate Times menghitung bulan sebelum Muharram 1 H adalah Bulan Dzulhijjah 0 H…
      dan saya pikir ada baiknya juga kita menggunakan tahun 0 H ini… supaya mudah menghitung usia orang yang lahirnya sebelum tahun 1 H…
      Misalnya bila lahirnya tgl 1 Muharram 1 SH… maka pada tgl 1 Muharram 1 H, usia nya adalah 1+1 = 2 tahun,
      Nabi yang lahir tgl 12 Rabiul Awal 53 SH, pada saat tgl 12 Rabiul Awal 1 H usia beliau adalah 53+1 = 54 tahun qomariyah…
      Usia dalam tahun Syamsiah = 54/365 x 354 = 52,3 tahun
      Nabi Wafat bulan Rabiul Awal 11 H dalam usia :
      53 + 11 = 64 tahun Qomariyah = 62 tahun syamsiah…

      Menurut riwayat, beliau hijrah berangkat dari Mekah pada akhir bulan Safar 1 H, singgah di Quba dan sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awal 1 H…

      Dari perhitungan Accurate Times, Hilal Rabiul Awal di Mekah bertepatan April 570 M :
      – G. Conjunction Time: 21/04/0570 CE, 06:59 LT

      21/04/570 jam 18:44 waktu Mekah, hari Senin malam Selasa
      – G. Moon Altitude: +03°:48′:51″ G. Moon Azimuth: +282°:18′:49″
      – G. Sun Altitude: -01°:26′:47″ G. Sun Azimuth: +284°:06′:08″

      22/04/570 jam 18:44 waktu Mekah, hari Selasa malam Rabu
      – G. Moon Altitude: +14°:40′:46″ G. Moon Azimuth: +283°:13′:31″
      – G. Sun Altitude: -01°:26′:47″ G. Sun Azimuth: +284°:27′:34”

      Hari Senin tgl 12 adalah benar, bila tgl 1 nya adalah Kamis… Kemungkinan nya pada saat itu yang dianggap 1 Rabiul Awal tahun Gajah adalah hari Kamis…

      Bila dengan kriteria WH, tgl 1 Rabiul Awal 54 SH itu adalah Selasa… maka yang hari Senin pada bulan tersebut adalah tgl 7, 14, 21 dan 28…
      Sehingga kemungkinan tanggal lahir beliau menurut Kriteria WH adalah Senin, 14 Rabiul Awal 53 SH…
      bertepatan 5 Mei 570 Masehi Gregorian…

      _________________

      Kembali kepada masalah Kesamaan Hari dan Tanggal… 🙂
      Kepastian Kesamaan Hari dan Tanggal di seluruh muka bumi itu… adalah demi penggunaan Kalender Hijriyah Global itu sendiri…

      Mungkin biar lebih mudah dirasakan betapa urgennya kebutuhan Kalender Hijriyah Global yang sama Hari dan Tanggalnya ini… Kita bayangkan saja situasinya ketika semua manusia di dunia hanya mempunyai Kalender Hijriyah saja…

      ‘Kesamaan hari dan tanggal’ seperti di kalender masehi… ketika melewati Garis Batas Tanggal Internasional yang Tetap tempat nya… Bisa membuat bingung jadwal penerbangan…
      Bisa dibayangkan betapa kacau balaunya Administrasi Dunia bila Kalender Global nya :
      – Tidak ada nya kesamaan antara hari dan tanggal
      – Garis Batas Tanggal Internasional nya bisa berubah-ubah tempatnya
      – Garis tersebut bahkan bisa terletak di wilayah perbatasan negara yang padat penduduknya…

      Kutipan dari Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Batas_penanggalan_internasional

      Batas Penanggalan Internasional dapat membingungkan para penumpang pesawat terbang. Situasi yang paling menyusahkan biasanya terjadi pada penerbangan singkat dari barat ke timur. Misalnya, untuk bepergian dari Tonga menuju Samoa melalui udara membutuhkan waktu dua jam. Jika seseorang berangkat pukul 12:00 pada hari Selasa, dia akan tiba pukul 14:00 pada hari Senin. Sementara itu, seseorang di Samoa yang menanyakan penerbangan keberangkatan kemungkinan dijawab tidak ada penerbangan hingga keesokan harinya. Ada pula masalah yang timbul apabila si pengunjung mengulangi hari Senin. Entri di jurnal dan foto mungkin tidak berurutan, dan jadwal pemakaian obat seseorang bakal salah. Selain itu, mereka yang akan melanjutkan penerbangan dengan pesawat lain mungkin akan memilih tanggal yang salah untuk reservasi.

    • Dan umumnya, kita menggunakan dasar perbedaan hari pada kalender masehi untuk menjustifikasi perbedaan hari pada kalender hijriyah, padahal dasar perhitungannya (antara masehi dan hijriyah) dan kriteria penetapannya berbeda.

      Pak Syarif,
      Harus adanya kepastian kesamaan antara Hari dan Tanggal pada kalender Hijriyah Global… tidak terkait dengan Kalender Masehi…

      Malah harapan saya kita lupakan saja Kalender Masehi itu… secara nama-nama bulan nya saja adalah warisan budaya pagan Romawi… 🙂
      Kita butuh kalender Syamsiah hanya sebagai kalender musim saja…
      Sedangkan untuk catatan sejarah dan administrasi bisa jadi sebetulnya Kalender Qomariyah lah yang sangat cocok…

      Selama ini, bahkan dalam catatan sejarah Umat Islam sendiri, kita selalu terbiasa merujuk kepada kalender Masehi…
      Menurut saya ini sangat menyedihkan…

      Contohnya pada tgl lahir Nabi Muhammad saw sendiri… Kita cuma bisa bilang “beliau lahir tgl 12 Rabiul Awal tahun Gajah”… tanpa mau tahu, tahun SH (Sebelum Hijriyah) berapa tahun Gajah itu…

      Alih-alih mengkonversikannya kepada Tahun SH, kita malah terbiasa merujuk ke Tahun Masehi… yaitu tahun 570…

      Dari perhitungan Accurate Times, didapat data Hilal Rabiul Awal bertepatan 570 M… adalah pada bulan April tgl 21, Hilal untuk Rabiul Awal -53 H…
      (mungkin nantinya bisa kita sebut Rabiul Awal 53 SH)…

      Accurate Times menghitung bulan sebelum Muharram 1 H adalah Bulan Dzulhijjah 0 H…
      dan saya pikir ada baiknya juga kita menggunakan tahun 0 H ini… supaya mudah menghitung usia orang yang lahirnya sebelum tahun 1 H…
      Misalnya bila lahirnya tgl 1 Muharram 1 SH… maka pada tgl 1 Muharram 1 H, usia nya adalah 1+1 = 2 tahun,
      Nabi yang lahir tgl 12 Rabiul Awal 53 SH, pada saat tgl 12 Rabiul Awal 1 H usia beliau adalah 53+1 = 54 tahun qomariyah…
      Usia dalam tahun Syamsiah = 54/365 x 354 = 52,3 tahun
      Nabi Wafat bulan Rabiul Awal 11 H dalam usia :
      53 + 11 = 64 tahun Qomariyah = 62 tahun syamsiah…

      Menurut riwayat, beliau hijrah berangkat dari Mekah pada akhir bulan Safar 1 H, singgah di Quba dan sampai di Madinah pada bulan Rabiul Awal 1 H…

      Dari perhitungan Accurate Times, Hilal Rabiul Awal di Mekah bertepatan April 570 M :
      – G. Conjunction Time: 21/04/0570 CE, 06:59 LT

      21/04/570 jam 18:44 waktu Mekah, hari Senin malam Selasa
      – G. Moon Altitude: +03°:48′:51″ G. Moon Azimuth: +282°:18′:49″
      – G. Sun Altitude: -01°:26′:47″ G. Sun Azimuth: +284°:06′:08″

      22/04/570 jam 18:44 waktu Mekah, hari Selasa malam Rabu
      – G. Moon Altitude: +14°:40′:46″ G. Moon Azimuth: +283°:13′:31″
      – G. Sun Altitude: -01°:26′:47″ G. Sun Azimuth: +284°:27′:34”

      Hari Senin tgl 12 adalah benar, bila tgl 1 nya adalah Kamis… Kemungkinan nya pada saat itu yang dianggap 1 Rabiul Awal tahun Gajah adalah hari Kamis…

      Bila dengan kriteria WH, tgl 1 Rabiul Awal 54 SH itu adalah Selasa… maka yang hari Senin pada bulan tersebut adalah tgl 7, 14, 21 dan 28…
      Sehingga kemungkinan tanggal lahir beliau menurut Kriteria WH adalah Senin, 14 Rabiul Awal 53 SH…
      bertepatan 5 Mei 570 Masehi Gregorian…

      _________________

      Kembali kepada masalah Kesamaan Hari dan Tanggal… 🙂
      Kepastian Kesamaan Hari dan Tanggal di seluruh muka bumi itu… adalah demi penggunaan Kalender Hijriyah Global itu sendiri…

      Mungkin biar lebih mudah dirasakan betapa urgennya kebutuhan Kalender Hijriyah Global yang sama Hari dan Tanggalnya ini… Kita bayangkan saja situasinya ketika semua manusia di dunia hanya mempunyai Kalender Hijriyah saja…

      ‘Kesamaan hari dan tanggal’ seperti di kalender masehi… ketika melewati Garis Batas Tanggal Internasional yang Tetap tempat nya… Bisa membuat bingung jadwal penerbangan…
      Bisa dibayangkan betapa kacau balaunya Administrasi Dunia bila Kalender Global nya :
      – Tidak ada nya kesamaan antara hari dan tanggal
      – Garis Batas Tanggal Internasional nya bisa berubah-ubah tempatnya
      – Garis tersebut bahkan bisa terletak di wilayah perbatasan negara yang padat penduduknya…

      Kutipan dari Wikipedia, Batas penanggalan internasional :

      Batas Penanggalan Internasional dapat membingungkan para penumpang pesawat terbang. Situasi yang paling menyusahkan biasanya terjadi pada penerbangan singkat dari barat ke timur. Misalnya, untuk bepergian dari Tonga menuju Samoa melalui udara membutuhkan waktu dua jam. Jika seseorang berangkat pukul 12:00 pada hari Selasa, dia akan tiba pukul 14:00 pada hari Senin. Sementara itu, seseorang di Samoa yang menanyakan penerbangan keberangkatan kemungkinan dijawab tidak ada penerbangan hingga keesokan harinya. Ada pula masalah yang timbul apabila si pengunjung mengulangi hari Senin. Entri di jurnal dan foto mungkin tidak berurutan, dan jadwal pemakaian obat seseorang bakal salah. Selain itu, mereka yang akan melanjutkan penerbangan dengan pesawat lain mungkin akan memilih tanggal yang salah untuk reservasi.

  43. Assalamu’alaikum wr wb. Terimakasih pak Syarif, sepertinya pemahaman saya saat ini sudah berada dijalur yg sama dg bapak. Menentukan garis peralihan hari/tgl memang perlu kesepakatan krn hrs diusahakan tidak melintasi/membelah sebuah komunitas agar tidak membingungkan. Dan kesepakatan itu bukan bertujuan untuk mendaulat seluruh permukaan bumi utk berada pd satu hari/tgl secara serentak melainkan utk menegaskan darimana dan kapan awal bln hijriyah hrs diawali. Mohon pencerahan. Wass.wr.wb.

  44. Assalamu’alaikum wr wb. Pemahaman saya selanjutnya adalah bahwa setelah garis perubahan hari/tgl ditentukan dan disepakati dimana mulai pd grs tsb saat magrib hilal pertamakali dilihat, maka pemberlakuan hari/tgl 1 awal bln hijriyah secara global tidak serentak seluruh permukaan bumi, melainkan akibat rotasi bumi akan dimulai pd grs tsb saat magrib dan bergulir berturut2 kearah barat dimana wilayah2 tsb akan memasuki awal bln hijriyah pd saat magrib diwilayah masing2. Mohon pencerahan. Wass wr wb.

  45. Assalamualaikum wr wb. Selanjutnya apabila rotasi bumi tlh berlangsung satu putaran, maka tibalah kembali saat magrib keesokan harinya di wilayah garis perubahan hari/tgl hijriyah dimana hari/tgl kedua bln hijriyah sdh hrs mulai diberlakukan. Dan berikutnya wilayah disebelah baratnya juga akan berturut2 mulai memasuki hari/tgl kedua bln hijriyah berkenaan saat magrib diwilayah masing2. Demikianlah seterusnya hingga saat konjungsi/ijtimak bln2 berikutnya. Mohon pencerahan. Wass wr wb.

    • Wa alaikum salam wr wb…

      Pak Bambang ikutan komentar yaa… 🙂

      Mungkin sebelum ke persoalan tanggal, kita fokus dulu kepada perubahan hari…

      Yang namanya perubahan hari secara internasional (global) batas nya selalu tetap di garis 180° Bujur Timur-Barat di Samudera Pasifik…
      (garis tersebut tidak selalu lurus dari atas ke bawah, tapi mengikuti garis negara yang dilewatinya… tapi intinya adalah di garis 180° tersebut)

      Yang nama Hari secara Internasional akan selalu berubah di garis tersebut…
      Tidak peduli mau yang disebut awal hari itu adalah jam 00.00 atau saat magrib…
      Tidak peduli mau menggunakan Kalender Masehi, Hijriyah Rukyat, Hijriyah IR atau Hijriyah WH…

      Misalnya Sebelah barat garis adalah hari Jum’at, maka sebelah timur garis adalah hari Kamis..
      Selalu begitu…

  46. Assalamualaikum wr wb. Terimakasih pak Ivan, sepertinya pemahaman saya berada pd arah yg sama dg bapak. Sebuah sistem kalender memang harus ditunjang dg penetapan garis perubahan hari/tgl. Begitu juga sistem kalender Masehi yg merupakan kalender syamsiyah dimana pergantian hari/tgl didasarkan pada peredaran semu matahari akibat rotasi bumi. Garis perubahan hari/tgl internasional pd bujur 180° adalah penunjang sistem kalender Masehi yg berfungsi sbg patokan tempat dimulainya suatu hari/tgl.Wass ww

  47. Assalamu’alaikum wr wb. Berlakunya hari/tgl Masehi juga tidak serentak diseluruh permukaan bumi, melainkan dimulai dari jam 00.00 diwilayah garis perubahan hari/tgl internasional pd bujur 180° dan bergulir berturut2 kearah barat dimana wilayah2 ini akan memasuki hari/tgl berikutnya pd jam 00.00 diwilayah masing2. Demikian yg saya pahami. Mohon pencerahan. Terimakasih. Wass.wr.wb.

    • Pak Bambang, Perubahan hari dan tanggal memang seperti itu, tidak semua serentak tiba-tiba di seluruh jam 00.00 sama semua…
      Kalau begitu mah, planet bumi datar dong seperti kertas… 🙂

      Yang saya maksudkan dalam postingan-postingan saya terdahulu mengenai Kesamaan Hari dan Tanggal dalam Kalender Hijriyah Global adalah :

      Ketika satu tempat yang disebut tgl 1 adalah Senin… Taro lah misalnya Patokan nya Mekah…

      Bila yang disebut tgl 1 yang sedang berjalan di Mekah itu adalah Senin… Maka Senin hari itu di semua tempat di tempat masing-masing adalah sama, dari sejak magrib malam senin sampai magrib besok nya lagi adalah tanggal 1…

      Ini hanya bisa kalau ditetapkan Garis Batas Tanggal Internasional (GBTI) yang tetap… yaitu di garis Bujur Timur-Barat 180°
      (dengan 0° nya sekarang adalah Greenwich… kalau saya berharapnya 0° Bujur Timur-Barat itu diubah ke Mekah 🙂 )

      Kalau GBTI Hijriyah tidak ditetapkan tempatnya… Tetap mengacu kepada Garis Daerah Penampakan Hilal…
      Maka akan ada Tanggal 1 yang di Mekah hari Senin (misalnya)… di tempat lain bisa hari Ahad atau hari Selasa…
      Tanggal Global yang seperti itu… bila dijadikan Kalender Administrasi Dunia (misal jadwal penerbangan antar wilayah) akan menimbulkan banyak kekacauan…

      • Pak Ivan, saya ikutan berpendapat yah…

        Maka akan ada Tanggal 1 yang di Mekah hari Senin (misalnya)… di tempat lain bisa hari Ahad atau hari Selasa…

        Mohon maaf, pernyataan seperti di atas itulah yang saya maksud dengan “menjustifikasi kalender Hijriyah dengan kalender Masehi”. Andaikan kita lupakan kalender Masehi, maka perbedaan yang muncul dalam kalender Hijriyah akan ditanggapi sebagai perbedaan waktu 24 jam biasa (tentunya setelah dilakukan penyesuaian) dikarenakan perbedaan awal dari perhitungan bulan Hijriyah berjalan. Coba tanyakan kepada semua umat muslim di dunia tentang saat Idul Fitri yang lalu, kalau ditanya berdasarkan kalender Hijriyah saya YAKIN semua jawabannya sama yaitu tgl 1 Syawal, tetapi kalau dibawa ke kalender Masehi maka akan berbeda jawabannya.

        Seandainya semua negara sudah mendeklarasi dimulainya awal bulan Hijriyah, maka apabila kalender Hijriyah diterapkan diseluruh dunia, akan ada penyesuaian berdasarkan perbedaan permulaan bulan tersebut, seperti halnya penyesuaian waktu bagi orang yg terbang dari Tonga ke Samoa seperti yang dicontohkan oleh Pak Ivan.

        Selama setiap negara memutuskan satu bentuk awal bulan hijriyah maka penyesuaian tersebut hanya akan sedikit menimbulkan masalah. Permasalahan BESAR muncul apabila dalam satu negara memiliki 2 waktu dalam kalender Hijriyah yang berbeda.

        Misalnya kita mengetahui bahwa Malaysia dan Singapura 1 hari lebih cepat dalam kalender Hijriyah (berdasarkan keputusan akhir Ramadhan yang lalu), maka apabila kita melaksanakan kegiatan yang bersifat adminsitrasi dengan Malaysia dan Singapura, kita sudah dapat menyesuaikannya (dalam perumpamaan ini kita LUPAKAN dulu kalender Masehi). Tetapi apabila Malaysia atau Singapura akan melakukan kegiatan administrasi dengan kita, mereka akan bingung mengenai posisi hari di Indonesia, apakah menggunakan kalender Hijriyah yang ditetapkan pemerintah Indonesia atau oleh Muhammadiyah. Karena ini bersifat administrasi kegiatan sipil dan kenegaraan yang aturannya ditetapkan oleh otoritas suatu negara, maka saya lebih berpendapat keputusan kalender Hijriyah oleh pemerintah Indonesia yang seharusnya digunakan.

        Demikian, mohon maaf apabila ada yang salah dan tidak berkenan. Wallahu ‘alam bishawab

      • Untuk bung Syarif boleh dong saya tersenyum.., tersenyum geli aja kok.. Boleh khan..?? Hihihihi…
        Terima kasih membolehkan saya tersenyum geli dan mohon maaf jika saya hanya tersenyum geli saja..

      • Pak Syarif,
        Terlepas dari argumentasi seperti apa kalender Hijriyah, saya tidak pernah berharap kalender yang murni berdasar syar’i menjadi kalender administrasi yang baik untuk zaman modern ini.

        Saya berikan contoh berikut ini:
        Anggaplah kita mempunyai kegiatan harian yang dilakukan tepat jam 18:00 WIB di Jakarta. Sekarang lihat jadwal sholat maghrib di Jakarta tanggal 10 dan 11 Desember 2011. Dari salah satu referensi, saya dapati masing-masing pukul 17:59:32 WIB dan 18:00:02 WIB. Mengingat pergantian hari terjadi pada waktu maghrib,
        10 Desember 2011 18:00:00 –> 15 Muharram 1433 H (baru saja masuk)
        11 Desember 2001 18:00:00 –> 15 Muharram 1433 H (belum masuk hari berikutnya). Kalau saya ingin menjadwalkan kegiatan tersebut mengguanakan kalender Hijriyah, bagaimana cara menuliskannya? Apakah saya harus membuang konsep waktu (jam) dan menggantinya dengan waktu acuan yang dinamis seperti: waktu maghrib (M) + 30 menit, waktu fajar (F) + 12 jam?

        Permasalahanya akan kembali ke pertanyaan yang mendasar: sebenarnya untuk apa kalender itu dibuat?

      • Pak Agus, terima kasih atas tanggapannya. Harapan untuk menjadikan kalender Hijriyah menjadi kalender murni zaman modern ini menurut saya tergantung dari umat islam itu sendiri. Untuk saat ini kita tergantung oleh kesepakatan dimana kalender yang diakui sebagai kalender administrasi adalah kalender Masehi, karena harus kita akui pusat perekonomian dunia saat ini berada di negara yang bukan negara islam. Pedoman hari libur mingguan (weekend) administrasi pada hari sabtu dan minggu pun ditentukan oleh mereka (catatan: Arab Saudi menggunakan hari kamis dan jum’at sebagai saat weekend). Akan tetapi tentunya persyaratan untuk menjadikan kalender Hijriyah menjadi kalender administrasi dunia masih harus disepakati dulu kriterianya dalam kalangan umat islam sendiri, supaya terdapat keseragaman pemahaman dalam penanggalannya.

        Mengenai waktu sholat bukankah mengacu pada peredaran matahari? Jadi saya tidak melihat masalah untuk penentuan waktu sholat diakibatkan oleh penentuan Kalender Hijriyah yang didasarkan oleh peredaran bulan. Konsep penentuan batas dinamis adalah pada permulaan bulan, sedangkan waktu sholat itu sendiri tetap berdasarkan perhitungan peredaran matahari. Mohon maaf, saya masih belum paham dengan contoh permasalahan yang diberikan oleh Pak Agus tentang waktu Maghrib tanggal 10 dan 11 Desember. Karena pergantian hari terjadi saat matahari terbenam, maka Maghrib pada kedua tanggal tersebut, tentunya terjadi pada hari yang berbeda (kalau tidak salah untuk wilayah Indonesia Barat, waktu matahari terbenam adalah sekitar jam 17:55 WIB). Apakah maksudnya tgl 10 Desember yang dicontohkan Pak Agus Maghrib jam 17:59 sedangkan matahari terbenam jam 18:00? Mohon koreksinya.

        Kalender tentunya dibuat untuk memudahkan dalam pencatatan mengenai suatu kegiatan administratif. Bayangkan apabila kita tidak mempunyai kalender, maka untuk mencari data/informasi kegiatan yang dilakukan saat-saat sebelumnya akan menjadi sulit. Sekarang tinggal pilihan kita sebagai umat islam, apakah tetap menggunakan kalender Masehi yang didasari peredaran matahari atau kalender Hijriyah yang didasari oleh peredaran bulan. Menggunakan kedua kalender tersebut akan tidak bermasalah selama ada kriteria yang disepakati bersama. Contohnya penggunaan unit dalam pengukuran. Walaupun telah ada sistem internasional atau biasa disebut sistem metrik yang disepakati oleh hampir di seluruh negara di dunia, tetapi Amerika Serikat dengan “kekuatannya” tetap menggunakan sistemnya sendiri yang berdasarkan sistem imperial Inggris. Karena telah disepakati kriteria perbedaan kedua unit tersebut (antara metrik dan US unit), maka tidak menimbulkan masalah. Sekarang, beranikah umat islam meniru apa yang dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan kalender Hijriyah untuk kegiatan administrasinya (tentunya kalender Hijriyah yang telah dispekati bersama kriterianya) menggantikan kalender masehi yang sekarang digunakan?

        Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. Terima kasih. Wallahu ‘alam bishawab

      • Pak Syarif,

        Seperti yang telah disepakati oleh mayoritas umat Islam, kalender Hijriyah memulai harinya dari sejak terbenamnya matahari. Saya coba mendeskripsikan masalah ini dengan pertanyaan berbeda: Ketika saya dijadwalkan melakukan pertemuan pada tanggal 15 Muharram 1433 H pukul 18:00 WIB di Jakarta, kapan sebaiknya saya datang, apakah tanggal 10 Desember 2011, atau 11 Desember 2011? Pada jam 18:00 WIB di kedua hari tersebut tanggal kalender Hijriyah masih sama-sama 15 Muharram 1433 H.

        Permasalahan di atas akan memaksa kalender Hijriyah untuk menetapkan agar panjang hari yang sama, dan dimulai pada jam yang sama, bukan tepat pada saat waktu maghrib yang selalu berubah-ubah yang tergantung oleh posisi kemiringan sumbu rotasi bumi terhadap bidang edar bumi. Angka pukul 18:00 adalah waktu yang mungkin paling cocok untuk dipilih sebagai standar pergantian hari dan tanggal di daerah tropis. Bagaimana dengan belahan bumi utara atau selatan (misalnya Norwegia ketika maghrib musim dingin pukul 15:30 atau pukul 22:00 pada musim panas)? Kalau sudah seperti ini, apa dasar syar’i untuk menetapkan jam perubahan hari dan tanggal kecuali hanya sebagai “pilihan yang paling rasional”?

        Kalender “paling syar’i” yang menjadi impian pendukung imkanu rukyat semakin dekat ke angan-angan. Semakin dibakukan ke dalam formalitas kalender, semakin banyak “pemaksaan” yang dilakukan agar kalender tersebut mempunyai kegunaan dalam administrasi (selain memberikan kepastian hari-hari raya dalam agama). Permasalahan akan bertambah kompleks ketika kalender global Hijriyah ternyata hanya sekedar koleksi kalender-kalender “syar’i” lokal seperti apa yang dikemukakan Pak Djamaluddin. Terus terang saya hanya bisa menemukan kesemerawutan dalam kalender seperti ini.

        Terlepas dari keyakinan apakah kelender seperti ini adalah bentuk perintah otentik dari Allah SWT, saya hanya mencoba objektif bahwa sistem kalender yang diwariskan oleh Nabi mengandung terlalu banyak masalah jika dipraktekkan seperti apa adanya.

      • Pak Agus, terima kasih atas penjelasannya. Saya paham sekarang apa yang dicontohkan oleh Bapak. Dari contoh tersebut, Pak Agus membandingkan kalender Hijriyah yang didasarkan oleh perhitungan peredaran bulan (sekitar 24 jam 49 menit dalam 1 hari), dengan konsep waktu yang didasarkan oleh perhitungan peredaran matahari (24 jam dalam 1 hari). Sehingga jam 18:00 pada tanggal 11 Desember adalah tepat 1 hari (24 jam) dari jam 18:00 pada tanggal 10 Desember apabila kita menggunakan waktu peredaran matahari. Apabila kita akan menggunakan kalender Hijriyah, maka perhitungan waktunya pun harus disesuaikan dengan peredaran bulan, dimana dalam 1 hari adalah 24 jam 49 menit. Bagaimana cara pelaksanaannya terus terang sayapun tidak tahu. Tetapi kalau kita lihat bagaimana waktu di dunia ini juga berbeda-beda berdasarkan penetapan masing-masing negara (misalnya China hanya menggunakan 1 zona waktu, atau Rusia yang membuat zona waktu sendiri), maka penetapan waktu dalam kalender Hijriyah juga dapat disesuaikan dengan kriteria yang disepakati.

        Jadi, apabila Pak Agus memiliki janji pada jam 18:00, maka apabila menggunakan acuan kalender masehi, maka janji tersebut adalah tepat pada jam 18:00. Tetapi apabila ingin menggunakan acuan janji pada tanggal 15 Muharram, maka perlu ada konversi waktu yang 24 jam dalam satu hari, menjadi 24 jam 49 menit dalam perhitungan peredaran bulan. Bagaimana konversinya, tentunya perlu disepakati bersama.

        Saya belum paham mengenai istilah “pemaksaan” yang Pak Agus maksud. Bukankah dalam waktu yang didasarkan oleh peredaran matahari juga banyak “pemaksaan-pemaksaan” yang dilakukan oleh otoritas negara masing-masing, dan selama “pemaksaan” itu telah disepakati dalam satu negara, sepertinya tidak ada/belum ada masalah dalam negara tersebut,selama ada kesepakatan bahwa dalam satu negara hanya ada satu tanggal dan satu kesepakatan zona waktu. Jadi kalau saya sendiri lebih memilih kata “kesepakatan” dibandingkan dengan kata “pemaksaan” walaupun mungkin maksudnya sama… 🙂

        Mengenai waktu di kutub utara dan kutub selatan, mungkin pembahasannya sama dengan pembahasan waktu sholat. Misalnya di wilayah yang 24 jam (dalam hitungan peredaran matahari) terus menerus disinari oleh matahari, maka tentunya penentuan waktu untuk sholat maghrib dan sholat Isya harus berdasarkan ijtihad. Dengan konsep yang sama, maka perhitungan waktu dan hari pada daerah tersebut mengacu pada garis batas wilayah terdekat.

        Saya juga melihat ada masalah dalam penentuan kalender hijriyah oleh Pak Thomas. Karena ada negara-negara yang memiliki wilayah kedaulatan yang jaraknya cukup berjauhan. Misalnya Inggris dengan kep. Falkland (Malvinas)nya. Apabila hilal sudah terlihat di Kep. Falkland, apakah di Inggris sudah masuk bulan baru, karena termasuk dalam wilayah kedaulatan negara yang sama? permasalahan-permasalahan ini tentunya memerlukan ijtihad dan kesepakatan untuk memecahkannya apabila kita ingin menggunakan kalender Hijriyah.

        Berdasarkan riwayatnya, Islam pernah menjadi salah satu kekuatan besar di dunia yang tersebar dari afrika sampai ke daratan eropa. Pada saat itu, tentunya kalender yang digunakan/dipraktekan adalah kalender Hijriyah. Artinya, pernah dicontohkan bahwa kalender Hijriyah dapat digunakan sebagai kalender acuan global (walau hanya untuk wilayah islam). Apakah kemudian kalender tersebut dapat digunakan pada zaman modern sekarang ini, kembali tergantung kepada kita sebagai umat islam yang menggunakannya. Apabila kita sudah memiliki acuan kalender hijriyah global yang disepakati bersama oleh seluruh umat islam dan memiliki acuan konversi terhadap kalender masehi yang disepakati bersama, mengapa tidak.

        Demikian, mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah dan kurang berkenan, mohon koreksinya. Terima kasih.

        Wallahu ‘alam bishawab

      • Saya belum paham mengenai istilah “pemaksaan” yang Pak Agus maksud. Bukankah dalam waktu yang didasarkan oleh peredaran matahari juga banyak “pemaksaan-pemaksaan” yang dilakukan oleh otoritas negara masing-masing, dan selama “pemaksaan” itu telah disepakati dalam satu negara, sepertinya tidak ada/belum ada masalah dalam negara tersebut,selama ada kesepakatan bahwa dalam satu negara hanya ada satu tanggal dan satu kesepakatan zona waktu. Jadi kalau saya sendiri lebih memilih kata “kesepakatan” dibandingkan dengan kata “pemaksaan” walaupun mungkin maksudnya sama… 🙂

        Saya menggunakan kata “pemaksaan” karena saya berbicara dalam konteks kalender berdasar imkanu rukyat. Alasan paling mendasar untuk menggunakan kriteria visibilitas hilal bagi pendukungnya adalah karena hanya penampakan hilal sebagai satu-satunya metode yang mempunyai landasan syar’i. Ditolaknya konsep wujudul hilal kurang lebih juga dengan alasan ini (sedang alasan tidak astronomis, kuno, pseudosains dan lain-lainnya menurut saya hanyalah sebatas alasan yang dicari-cari). Mari kita konsisten dengan prinsip yang mendasari imkanu rukyat ini.

        Segala perubahan dalam pendefinisian kalender berbasis imkanu rukyat tanpa landasan syariat yang jelas adalah bentuk “pemaksaan”. Menggunakan kata “kesepakatan” pun tidak ada bedanya ketika alasannya tidak ada justifikasi dari agama. Termasuk alasan kepraktisan ataupun kelogisan dalam penggunaan kalender itu sendiri (kalau alasan ini diterima, tentu saja konsep wujudul hilal akan diperlakukan dengan jauh lebih baik, karena pada dasarnya wujudul hilal adalah “pemaksaan” ke arah kriteria yang lebih ideal). Dengan prinsip bahwa kalender harus benar-benar mempunyai dalil agama yang kuat, tidak akan ada perubahan terhadap kriteria awal hari (catatan: sekali lagi awal hari, bukan kriteria awal bulan), maka waktu maghrib akan selalu menjadi patokan. Maka permasalahan yang saya contohkan tersebut akan terjadi. Ketika “pemaksaan” itu kemudian bisa dijustifikasikan, alasan pengunaan kriteria imkanu rukyat perlu dipertanyakan lagi.

        Tentusaja banyak “pemaksaan” dalam dalam kalender Gregorian (seperti, mengapa jumlah hari di bulan Februari jauh lebih sedikit?). Tetapi dalam prinsipnya, bahwa sebuah sistem kalender harus logis, praktis, dan terutama memberi manfaat. Kalender ini tidak membutuhkan dalil-dalil agama untuk menjustifikasian definisi kalender itu sendiri. Kalender Gregorian tidak begitu mempermasalahkan satuan hari, karena satu hari secara historis sudah didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan bumi untuk sekali berotasi. Dalam satuan hari, kemudian dibagi menjadi 24 jam (OK, meskipun kadang bisa 24 jam 1 detik, tetapi itu relatif jarang dan diumumkan jauh-jauh hari). Sedangkan kalender syar’i Hijriyah telah terlalu jauh mendefinisikan ulang konsep hari, dimana waktu awal dan panjang hari sangat variatif tergantung tempat dan waktu. Ini memberi masalah baru karena kalender Hijriyah ini tidak mempunyai konsep unit waktu dalam satu hari yang bisa dipakai sebagai acuan yang akurat untuk keperluan sehari-hari di zaman modern. Tanpa ini, saya kira kalender Hijriyah memang tidak mungkin bisa dipakai diluar kegunaan utama sebagai penentu hari-hari. Saya mengatakan ini bukan karena terlalu pesimis terhadap kalender Hijriyah, tapi saya hanya ingin jujur terhadap diri sendiri bahwa kalender ini jauh dari sempurna, bahkan untuk keperluan administrasi di zaman modern lebih inferior dibanding kalender Gregorian sebagai salah satu hasi peradaban umat manusia.

      • Pak Agus, terima kasih atas penjelasannya.

        Saya mohon penjelasan dari Pak Agus, apakah permasalahan yang dicontohkan oleh Pak Agus mengenai hjam 18:00 pada tanggal 15 Muharram, TIDAK AKAN TERJADI apabila kita menggunakan kalender Hijriyah yang didasarkan oleh kriteria Wujudul Hilal, karena kriteria Wujudul Hilal lebih ideal?

        Terima kasih

      • Kalender yang mendasarkan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal akan tetap mempunyai permasalahan yang sama ketika hari berawal sejak waktu maghrib. Sedang perbedaan utamanya adalah, bahwa konsep wujudul hilal telah berani membuat penafsiran-penafsiran yang dinilai lebih baik dan memberi manfaat dalam prakteknya. Imkanu rukyat pada dasarnya tidak mau (baca: tidak berani?) dengan hal ini, dan cenderung menabukan cara berpikir seperti ini. Meskipun awal hari yang berubah-ubah akan memberikan permasalahan yang nyata, pendukung imkanu rukyat akan jauh lebih susah mencari justifikasi perubahan kalender, karena pada prinsipnya tidak akan mau mengubah kriteria yang sudah menjadi praktek di masa Nabi.
        Kembali ke pernyataan saya yang mengawali tema ini, bahwa kalender murni yang berdasar syar’i tidak akan bisa menjadi kalender administrasi yang baik di zaman modern ini. Kalau menginginkan kalender yang benar-benar syar’i, posisikan kalender itu sebagai kalender yang berguna untuk menentukan hari-hari khusus untuk keperluan agama, atau penggunaan yang lain yang kurang lebih sekedar formalitas. Untuk keperluan administrasi dan lain-lainnya, menurut saya tak ada jalan lain kecuali sedikit mengendorkan ketergantungan terhadap dalil agama yang eksplisit (baca: melakukan penafsiran), dan melakukan perbaikan-perbaikan yang dipandang perlu dan logis sesuai dengan keperluannya.

  48. Ass wr wb. Pada sistem kalender Hijriyah, garis perubahan hari/tgl secara otomatis muncul yaitu diwilayah dimana penduduk bumi pertamakali melihat hilal yg merupakan tanda telah memasuki awal bulan hijriyah. Garis perubahan hari/tgl kalender hijriyah ini dapat diprediksi melalui proses hisab yg akan digunakan sebagai dasar penyusunan kalender hijriyah dan sebagai patokan tempat melaksanakan rukyat atas penampakan hilal. Dalam melaksanakan hisab inilah diperlukan juga kriteria yg sama. Wass wr wb.

    • Hisab global & rukyat global ?? Mana mau penganut fanatik mazhab safie menerima ide semacam itu.. Mereka maunya lokalisasi-lokalisasi saja. Atau kebih tepatnya perkumpulan lokalisasi sedunia khuzuson bulan2 ibadah

  49. Assalamu’alaikum wr wb. Terimakasih pak Ivan atas konfirmasinya. Alhamdulillahirobbil’alamiin terhapus sudah sebagian keraguan saya. Dalam penerapan kalender Masehi secara global saja terdpt banyak hal yg hrs dg sabar kita sepakati utk memahami dan memaklumi keanehannya, apalagi dalam penerapan sistem kalender Hijriyah secara berdampingan dg sistem kalender Masehi. Terimakasih. Wass wr wb.

    • Sama-sama pak Bambang, 🙂

      Keanehan kalender global (seperti kalender masehi) itu hanya pada daerah dekat GBTI saja… Seperti dari Tonga ke Samoa…

      Itu karena 0° garis bujur nya Greenwich… Coba kalo 0° nya Mekah, pasti seluruh Kepulauan Polynesia masuk pada Wilayah Hari yang sama…
      Sedang dari Hawaii ke daratan Amerika lumayan jauh, walaupun Hawaii sekarang masuk bagian negara Amerika Serikat…

      Malah mungkin nanti kalau seluruh dunia sepakat merevisi ulang 0° garis bujur menjadi Mekah dan Hawaii menjadi daerah terTimur Perubahan Hari… Amerika bisa menggunakan nya sebagai bagian dari keunikan wilayah Amerika… 🙂

      Cuma mungkin tinggal memikirkan wilayah antara Alaska dan Kanada, sebab garis bujur 180° dari 0° Mekah itu akan membelah daratan antara Alaska Kanada…

      Keanehan garis batas tanggal di atas tersebut… Bila kalender Hijriyah Global dipaksakan tetap dengan GBTI Hijriyah yang selalu berubah tiap bulan menyesuaikan dengan Penampakan Hilal… Hanya akan lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat…

  50. Assalamu’alaikum wr wb. Untuk pak Argres terimakasih tanggapannya, Sesungguhnya semuanya itu hanyalah mimpi saya sebagai pemeluk agama Islam yg cuma paham sedikit ttg Al Qur’an, Hadist, astronomi dan sistem kalender. Saya ingin sekali melihat umat Islam bisa memiliki kesepakatan2 global yg salah satunya spt kalender Hijriyah. Sepertinya memang banyak tantangannya, tetapi krn fenomena alam astronomi merupakan peristiwa global maka kalender Hijriyahpun seyogyanya juga mengglobal. Semoga. Wass wr wb.

  51. Assalamu’alaikum wr wb. Pak Ivan, pemahaman saya ttg garis perubahan hari/tgl adalah bahwa garis tsb merupakan penunjang pelaksanaan satu sistem kalender, Utk kalender masehi (syamsiyah) berdasarkan konvensi internasional menggunakan garis perubahan hari/tgl internasional pd bujur 180°, sedangkan utk kalender hijriyah(komariah) secara otomatis wilayah dimana hilal pertamakali dpt dilihat akan menjadi garis perubahan hari/tgl dlm bln hijriyah berkenaan. Mohon konfirmasi. Terimakasih. Wass wr wb.

    • Pak Bambang,

      Bila kita tetap mengacu kepada GBTI Hijriyah sesuai ketampakan hilal… Ketampakan hilal itu hanya akan berpengaruh kepada Garis Perubahan Tanggal saja…

      Perubahan Tanggal yang tidak Tetap Tempatnya setiap bulan… mengakibatkan :
      negara-negara / wilayah-wilayah yang langsung berbatasan satu sama lain … baik dari arah kiri ke kanan pada peta (arah timur-barat), atau arah atas-bawah (utara-selatan)… Terkadang masuk pada Wilayah Tanggal yang sama, terkadang Tidak sama…

      Sementara itu Garis Perubahan Hari nya tetap di 180° dari 0° Greenwich… yaitu dengan Negara Kiribati sebagai daerah terTimur perubahan hari…

      Pada negara-negara yang langsung berbatasan… dengan lalulintas manusia antar wilayah yang sangat tinggi… Perbedaan wilayah Tanggal yang suka berubah-ubah ini… Akan menimbulkan kekacauan Administrasi Hubungan antar wilayah…

      Pada riwayat Nabi, diinformasikkan bahwa Nabi Pernah membatalkan Puasa tgl 30, sebab pada saat siang tgl 30 itu datang rombongan dari luar daerah yang bersaksi melihat Hilal tadi malam…

      Menurut saya… semangat dari riwayat di atas adalah :
      Kita boleh “meminjam” hilal wilayah lain… 🙂

      Nah, sekarang yang diperlukan adalah :
      Konvensi umat Islam sedunia, Hilal di Koordinat berapa yang boleh “dipinjam” itu… untuk digunakan negara-negara di seluruh muka bumi pada HARI yang sama…
      Apakah seluruh Lokasi di bumi atau kita berpatokan 1 Lokasi saja ?…

      Kalau saya mengusulkan berpatokan tetap 1 lokasi saja… yaitu Koordinat Ka’bah (Mekah)…

  52. Ass wr wb. Garis perubahan hari/tgl hijriyah yg diketahui secara otomatis bisa dikatakan sebagai sunatullah, karena penampakan hilal (bulan dg cahaya sabit tipis) adalah peristiwa yg sangat istimewa yaitu hanya bisa dilihat selama beberapa menit pada saat magrib dari satu jalur wilayah tertentu. Dg demikian penetapan penampakan hilal sbg saat awal bln hijriyah adalah merupakan sumber ilmu yg paling lengkap krn langsung disertai dg kapan dan dimana dimulainya awal bln hijriyah ybs. Wass wr wb.

  53. Ass wr wb. Pak Ivan, terimakasih konfirmasinya. Maaf pak, pemahaman yg saya uraikan belum sampai pd tahap spt yg bapak uraikan yg kalau tidak salah adalah wacana MMT(Mecca Mean Time) menggantikan GMT. Pemahaman yg saya uraikan masih berada pada tahap penerapan sistem kalender hijriyah secara global dgn masih mengakui dan mengikuti sistem kalender masehi spt yg masih berlaku sekarang, sesuai pula dg topik yg disajikan pak T.Djamaluddin yaitu utk menemukan kesepakatan satu kriteria hisab.Wassww

  54. Ass wr wb. Selanjutnya mengenai penampakan hilal sebagai tanda masuknya awal bln hijriyah yg difirmankan ALLAH SWT, saya pahami bukan hanya sekedar perintah agama saja tetapi justru merupakan referensi science sempurna yg tiada taranya dibandingkan dg karangan manusia, sebab kalau ada yg memilh peristiwa yg lain (misalnya : saat konjungsi/ijtimak) sebagai tanda awal bln hijriyah maka ia akan disibukkan dg usaha merekayasa kapan dan diwilayah mana awal bln hijriyah global hrs dimulai. Wass w w.

  55. Assalamu’alaikum wr wb. Oleh karena itu yg saya pahami berikutnya adalah bahwa rukyat global thd penampakan hilal merupakan harga mati yg tidak bisa ditawar. Utk mengefisienkan pelaksanaan rukyat dan juga utk bahan penyusunan kalender hijriyah, ditempuh dg cara memprediksi penampakan hilal yaitu dg proses hisab global. Dan utk mendapatkan prediksi yg paling akurat perlu adanya kesepakatan satu kriteria hisab yg dpt menjamin suksesnya rukyat. Demikian yg saya pahami. Wass wr wb.

  56. Ass wr wb. Dan berkaitan dg satu kriteria hisab yg paling akurat yg hrs disepakati bersama, apabila belum memungkinkan utk menuju kesepakatan global maka pd tahap sekarang seyogyanya segera diusahakan adanya kesepakatan lokal utk wilayah negara kita Republik Indonesia dg tetap mengedepankan pemahaman kalender hijriyah global. Demikian impian saya, semoga cepat menjadi kenyataan, amiin. Terimakasih. Wass wr wb.

  57. Ass wr wb. Pak Agus, salam kenal. Ilustrasi yg bpk uraikan mengenai keunikan jam 18.00 tgl 15 Muharram 1433H, kalau saya lihat dari sisi lain justru menunjukkan bahwa rekayasa manusia itu tdk ada yg sempurna dan kadang bikin repot yg mempedomaninya. Kalau magrib tgl 10-12-2011 jatuh pd jam 17.59.32 dan magrib tgl 11-12-2011 jatuh pd jam 18.00.02 berarti dr magrib ke magrib = 1 hari = 24 jam 30 dtk. Nah mana yg salah ? Yg menyusun jadwal sholat atau memang satu hari itu tidak pas 24 jam. Wass w w.

  58. Ass wr wb. Selajutnya, karena saat magrib adalah sunatullah yaitu pd saat matahari terbenan, maka yg tidak tetap dan bergeser-geser justru jam 18,00-nya yg merupakan rekayasa manusia. Jadi sesungguhnya siapa yg bikin kita jadi repot ? Sunatullah atau manusia ? Waktu kecil saya selalu diingatkan oleh guru agama saya kalau mengamalkan ajaran Al Qur’an hrs ikhlas dan jangan berusaha mencari2 logikanya karena logika manusia tdk akan bisa menembus ketetapan Allah SWT. Wass wr wb.

    • Pak Bambang, wa’alaikum salam wr. wb.
      Mohon dicermati lagi maksud tulisan saya di atas. Dengan kalender yang berawal dari waktu maghrib yang berubah-ubah tidak bisa memberikan kepastian dalam merepresentasikan waktu yang spesifik. Contoh yang saya sebutkan adalah 15 Muharram 1433H 18:00 WIB bisa menunjuk 2 waktu yang berbeda untuk satu tempat yang sama. Agar dua waktu bisa direpresentikan secara unik, maka waktu awal hari harus dipakai sebagai acuan (‘M’ untuk waktu maghrib).

      10 Desember 2011 18:00 WIB —> 15 Muharram 1433H M+00:00:28
      11 Desember 2011 18:00 WIB —> 15 Muharram 1433H M+24:00:28

      Sekarang, siapa yang bakalan susah dengan cara reprentasi waktu seperti di atas? Semua pengguna kalender tersebut.

  59. Ass wr wb. Pak Agus, terimakasih atas konfirmasinya. Keruwetan yg pak Agus uraikan sepertinya disebabkan karena sistem kalender masehi (syamsiyah) yg menetapkan pembagian hari dari saat tengah malam ke tengah malam esok harinya menjadi 24 jam (jam 00.00 = jam 24.00). Dengan pembagian waktu spt itu, saat matahari terbenam (magrib) seharusnya jam-nya tetap setiap hari, tetapi ternyata menurut referensi yg bpk dptkan dr magrib ke magrib di Jakarta berlangsung selama 24 jam 32 detik. Wass wr wb,

  60. Ass wr wb. Dlm menyikapi FIRMAN ALLAH SWT yg terkandung dlm Al Qur’an yg kita imani seyogyanya janganlah kita memainkan logika utk mencari kelemahanNYA, apalagi hanya berdasarkan referensi hasil rekayasa manusia yg jauh dari sempurna, akan sia-sia hasilnya. Marilah kita mainkan logika dg sekuat daya untuk mencari pembenaran atas semua FIRMAN ALLAH SWT, Insya ALLAH akan ada hidayah yg diturunkan kepada kita semua, amiin ya robbal’alamiin. Wass wr wb,

  61. Ass wr wb. Kembali bicara ttg keunikan jam 18.00 tgl 15 Muharram 1433H, karena pembagian hari menjadi 24 jam sdh terlanjur menjadi bagian hidup kita, maka sdh tentu harus kita terima kekurangannya dg memahami dan memakluminya. Lagi pula, kegiatan harian apakah yg akan dilakukan pak Agus pd jam 18.00? Bukankah wkt tsb adalah saat kita sholat magrib berjamaah di masjid. Dan mengenai undangan pd tgl 15 Muharram 1433H, karena pasti dikirim oleh sdr muslim kita, maka tidak mungkin jam 18.00. Wass ww

  62. Ass wr wb. Maaf, masih ada yg mengganjal di hati saya, yaitu mengenai keputusan Nabi Muhamad SAW membatalkan puasa setelah mendapat laporan dr seorang badui bhw dia tlh melihat hilal. Apakah tdk ada cerita yg lengkap ttg proses pengambilan keputusan itu? Saya rasa sebagai Nabi pasti akan bertindak dg sangat cermat, tdk sekedar hanya meminta ybs disumpah. Oleh karena itu pengamalan hadist berkenaan jg hrs cermat. Wass wr wb.

  63. Islam mengajarkan sikap tawadhu seperti dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

    Tawadhu adalah sikap tunduk kepada Allah dan rendah hati serta sayang terhadap hamba-Nya. Insan yang tawadhu adalah hamba-hamba Allah yang yang berjalan di bumi dengan rendah hati.
    (QS Al-Furqan [25]:63).

    Orang yang tawadhu adalah mereka yang tak pernah sombong dan bersikap angkuh serta tak pernah menyombongkan diri. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.

    Sungguh Allah tak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS asy-Syu’ara [31]:18). Sesunguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. (QS Al-Hujurat [49]:13).

    Mudah-mudahan bangsa ini dapat mengembangkan budaya tawadhu, sehingga tumbuh menjadi bangsa kuat yang ditopang oleh budaya kebersamaan dan saling menghormati….demikian pula dengan para penganut Imkan Ru’yat 2 derajat, semoga segera disadarkan oleh Allah dan kembali dijalan yang benar, sehingga tidak menjadi penganut Munkarun Ru’yat. Wallaahu a’lam…..

  64. […] bisa dirukyat). Perbedaan itu terjadi karena masih ada pengguna kriteria Wujudul Hilal. Berdasarkan hisab (perhitungan astronomi) 1433 sudah dapat diprakirakan awal Ramadhan 1433 menurut kriteria Wujudul Hilal akan jatuh pada 20 Juli […]

  65. Sepertinya pak Thomas kok ngebelain mati2an pendapatnya sendiri, tdk mau menghormati pendapat orang lain. Bahkan terbersit dalam hati kecil pak Thomas (maaf) membenci banget sama metode yg dipedomani Muhammadiyah. padahal kalo kita lihat di STELLARIUM sdh jelas sekali bahwa kebenaran hisab hakiki yang dipedomani Muhammadiyah adalah bukti kebenaran setelah ada sistem STELLLARIUM.

    • Belajar dulu astronomi. Stellarium atau software astronomi lainnya secara umum sama, hanya menampilkan posisi yang bulannya. Untuk menjadikan dasar pengambilan keputusan awal bulan, sangat bergantung pada kriterianya. Pendapat saya bukanlah pendapat pribadi, tetapi sudah menjadi pendapat umum praktisi hisab rukyat. Semua ormas Islam anggota BHR (Badan Hisab Rukyat) sudah bersepakat untuk menggunakan kriteria imkan rukyat, kecuali Muhammadiyah yang masih menggunakan kriteria wujudul hilal. Kita lihat pada sidang itsbat Syawal 1432 lalu, semua ormas Islam sepakat, kecuali Muhammaduyah. Silakan baca catatan saya dan tulisan terkait di dalamnya: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/

  66. Fakta terjadi ketika bulan rajab 1433 H, bulan pada Hari Senin 22 Mei 2012 sdh diatas ufuk dengan ketinggian diatas 3 derajat, tapi oleh LF NU justru diundur tanggal satunya bukan hari selasa malah hari Rabu. ini kan aneh, padahal ketika Selasa malam Rabu bulan sudah besar sekali kelihatan di daerah kami. Kenapa Bapak nda mengusulkan pada pemerintah bahwa Libur Isro Mi’roj bukan tanggal 17 Juni dong, tapi tanggal 18 Juni. Ayoo berani gak????

  67. ternyata orang yang merasa benar itu kalau didenger malah seperti bener. tidak mencerminkan akhlakul karimah, kalau memerasa golongan tertentu berfikirlah bahwa tidak semua golongan anda seperti anda….. kasar…. nggilani aku isin dadi wong muhammadiyah gak santun. gak mencerminkan intelektualitas

  68. Assalamu’alaikum Prof.
    Saya terkesan dengan tulisan Prof, terutama saat baca nomor 5, yaitu: “Pada saat maghrib 16 September 2012, bulan telah wujud di Indonesia, tetapi ketinggiannya kurang dari kriteria imkan rukyat. Menurut Muhammadiyah, 1 Dzulqaidah 1433 = 17 September 2012. Menurut kalender ormas lain yang menggunakan kriteria imkan rukyat, 1 Dzulqaidah 1433 = 18 September 2012. Karena posisi bulan di “…sebagian Indonesia Barat…” sudah sedikit di atas 2 derajat, kalender Taqwim Standar Indonesia menetapkan, 1 Dzulqaidah = 17 September 2012.”

    Karena alasan yang terdapat pada kalimat terakhir, saya mohon penjelasan lebih lanjut dari profesor tentang:
    1. Kesan saya dari kalimat tersebut bahwa posisi bulan-matahari di hari yang sama di seluruh dunia berbeda-beda, semakin barat semakin besar, betulkah demikian?
    2. Jika betul, apakah posisi bulan-matahari pada tgl 19 Juli 2012 tidak ada yg lebih dari 2 derajat di seluruh dunia Prof?

    Terima kasih banyak.

  69. Alahamduliliilah dengan hasil diskusi ,dari p Bambang,pak ivan dan pa Agus serta p syarif yang secara ilmiah, ditunjang dengan pemapaparan pak T Djamaludin , saya yang orang awam , menjadi mengerti , semoga bapak-bapak ini ,bisa menjadi rujukan untuk , pembentukan penanggalan hijriah …..Amin

  70. yg membuat perpecahan justru metode rukyat, karena tidak mengcover seluruh dunia, jangan memikirkan indonesia saja, indonesia wilayah yg kecil, klo bisa seluruh dunia

  71. […] Falak yang bernama Prof. Dr. Thomas Djamaluddin. sebagaimana yang tertera dalam blognya di sini.. https://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/11/16/dengan-menyamakan-kriteria-mereka-bisa-bersatu-kita-pun… Rate this:Like this:SukaBe the first to like […]

Tinggalkan Balasan ke Prasojo Batalkan balasan