SAMPAH ANTARIKSA MAKIN PADAT

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN

(Dimuat di Pikiran Rakyat — Cakrawala, 22 April 2004)

Bila cuaca cerah, sesudah maghrib sampai sekitar isya atau sesudah shubuh sampai menjelang matahari terbit sempatkanlah mengamati langit. Mungkin kita beruntung bisa menyaksikan satelit yang mengorbit bumi yang terlihat seperti bintang berpindah. Satelit tersebut tampak cemerlang sekitar senja atau fajar karena memantulkan cahaya matahari yang tidak terlalu jauh dari kaki langit. Bila ingin lebih pasti melihatnya, silakan rencanakan pengamatan setelah melihat prakiraan satelit yang akan tampak dari suatu lokasi pada situs http://www.heavens-above.com. Mengamati satelit dapat menjadi hobi menyenangkan. Apalagi benda antariksa akan semakin banyak.

Sacara umum benda antariksa buatan manusia dapat dikelompokkan dalam empat jenis orbit. Terbanyak berada pada orbit rendah (LEO = Low Earth Orbit) dengan ketinggian kurang dari 5500 km yang periode orbitnya kurang dari 225 menit. Batasan 5500 km adalah batas kemampuan radar rata-rata untuk mendeteksi objek berukuran 10 cm. Satelit eksperimen ilmiah dan satelit penginderaan jauh umumnya berada pada orbit rendah, terutama pada ketinggian 500 – 2.000 km. Terbanyak ke dua berada pada orbit geosinkron (GEO = Geosynchronous Earth Orbit) pada ketinggian 36.000 km yang periode orbitnya sama dengan 24 jam. Satelit telekomunikasi dan pengamat cuaca umumnya berada pada orbit ini. Satelit GEO dengan inklinasi (kemiringan terhadap bidang ekuator) 0 derajat dan dikontrol terus (seperti pada satelit telekomunikasi) bisa berada pada titik stasioner, sehingga orbitnya disebut Orbit Geosationer (GSO).

Orbit menengah (5.500 – 36.000 km) disebut MEO (Medium Earth Orbit). Sistem satelit navigasi milik Amerika Serikat, GPS (Global Positioning System)  dan milik Rusia, GLONASS (Global Navigation Satellite System) menempati orbit menengah ini, sekitar 18.000 – 20.000 km. Jenis orbit lainnya adalah orbit transfer yang mengantarkan satelit dari LEO ke GEO/GSO atau orbit non-transfer yang sangat lonjong yang mungkin menjelajahi dari LEO sampai GEO. Roket-roket peluncur satelit komunikasi banyak yang masih berada pada orbit ini.

Sampai akhir Maret 2004, di antariksa masih terdapat 9.236 benda yang mengorbit bumi yang terdeteksi radar pemantau antariksa. Dari jumlah itu 2.988 berupa satelit, baik yang masih berfungsi maupun tidak berfungsi lagi. Selebihnya 6.248 adalah sampah, berupa badan roket atau pecahan satelit atau roket. Sebenarnya, satelit yang tidak berfungsi lagi dapat digolongkan sebagai sampah juga. Hanya saja dari pemantauan radar tidak mungkin membedakan satelit yang masih berfungsi dan yang telah mati. Jadi sebenarnya sampah antariksa yang mendominasi wilayah orbit satelit. Sampah antariksa semakin padat. Amerika Serikat dan Negara-negara bekas Uni Sovyet merupakan pemilik terbesar benda antariksa tersebut.

Kondisi Antariksa

Sampai penghujung abad 20 benda antariksa buatan manusia di orbit rendah (ketinggian kurang dari 2000 km) mencapai sekitar 2.000 ton. Sebagian besar berupa ribuan roket bekas dan  satelit bekas. Namun, jumlah yang dapat dideteksi oleh jaringan radar (ukuran lebih dari 10 cm) hanya sekitar 9.000 objek. Sampai April 2003  jumlah yang terdeteksi radar mencapai 9.067. Namun pada akhir Maret 2004 tercatat 9.237 benda antariksa yang mengorbit bumi, meningkat sekitar 2% pertahun. Dari jumlah itu, sekitar 95% dapat digolongkan sebagai sampah antariksa. Satelit aktif hanya sekitar 5%.

Objek-objek tersebut mengorbit bumi sambil saling berpapasan dengan kecepatan relatif rata-rata 10 km/detik (36.000 km/jam). Sekali bertabrakan, akan hancur menjadi kepingan yang lebih kecil. Satelit pecah atau meledak juga menjadi sumber sampah antariksa kecil. Pada tahun 1960-an jumlah satelit pecah hanya sekitar 1 satelit per tahun. Tetapi sejak 1980-an  rata-rata ada 5 satelit pecah per tahun. Sebuah roket pecah bisa menghasilkan lebih dari 200 potong sampah. Tidak heran bila jumlahnya makin bertambah dan makin membahayakan wahana antariksa. Pecahan-pecahan sangat kecil (kurang dari 10 cm) yang membahayakan satelit aktif jumlahnya tidak terhitung (diperkirakan lebih dari 35 juta potongan) karena tidak terdeteksi oleh jaringan radar saat ini.

Untuk mengkajinya, beberapa satelit sengaja dibiarkan terpapar oleh sampah antariksa halus yang mengenainya. Misalnya satelit Solar Max, LDEF (the Long Duration Exposure Facility, satelit khusus untuk menerima tumbukan jangka panjang), Eureca (European Retrievable Carrier), dan teleskop antariksa Hubble. Jumlah tumbukan dan ukurannya kemudian diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah dan kecepatan sampah antariksa berukuran kecil ini cukup siginifikan dan bisa membahayakan pesawat antariksa.

Sampah antariksa berukuran sangat kecil (kurang dari 0,1 mm) jumlahnya makin banyak. Walau pun bahayanya tidak langsung, namun untuk jangka panjang sampah halus ini berdampak negatif bagi satelit aktif.  Sampah berukuran 0,01 – 1 cm berdampak serius, terutama pada bagian bagian yang sensitif. Sampah yang paling berbahaya  adalah yang berukuran lebih dari 1 cm yang langsung dapat merusakkan satelit. Namun sampai saat ini (2004) baru ada satu kasus tertabraknya satelit oleh sampah antariksa besar yang kerusakannya cukup serius, yaitu satelit mikro.

Kasus kerusakan lainnya dialami pesawat ulang alik Chalenger 1983 yang kaca pelindungnya harus diganti gara-gara ada serpihan cat yang menabraknya. Ukurannya memang kecil, hanya 0,3 mm, tetapi kecepatannya diperkirakan sangat tinggi, sekitar 14.000 km/jam. Antena teleskop antariksa Hubble juga mengalami kerusakan akibat tumbukan sampah antariksa hingga menimbulkan lubang berukuran 1,9 cm x 1,7 cm.

Masa Tinggal di Antariksa

Masalah sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi. Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat akan jatuh ke permukaan bumi. Satelit GEO bisa bertahan berjuta-juta tahun. Satelit pada orbit 400 – 900 km mungkin bisa bertahan beberapa tahun sampai ratusan tahun, tergantung ukuran satelit. Sedangkan untuk orbit kurang dari 400 km hanya bertahan beberapa bulan saja. Pada ketinggian kurang dari 200 km waktu jatuh hanya dalam hitungan beberapa puluh jam. Bentuk orbit juga berpengaruh. Orbit lingkaran lebih mampu bertahan lama dari pada orbit elips.

Masa hidup atau lamanya satelit atau sampah antariksa bertahan di orbitnya sangat tergantung pada hambatan atmosfer. Semakin rendah ketinggian satelit hambatan atmosfer semakin besar karena semakin rapat. Kerapatan atmosfer juga dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Peningkatan aktivitas matahari dapat menyebabkan kerapatan atmosfer meningkat dan hambatan terhadap satelit juga meningkat.

Pada saat aktivitas matahari lemah, satelit atau sampah antariksa pada ketinggian 600 km dapat bertahan puluhan tahun. Namun, pada saat matahari aktif satelit atau sampah antariksa tersebut hanya mampu bertahan sekitar 1 tahun. Itulah sebabnya pada saat matahari aktif, sekitar 1979 – 1981, 1989 – 1991, dan 2000 posisi satelit harus selalu dikontrol. Prakiraan aktivitas matahari juga penting untuk menentukan masa hidup satelit. Jatuhnya Skylab tahun 1979 sangat dipengaruhi oleh peningkatan  aktivitas matahari yang melebihi perkiraan semula.

Masa hidup satelit GEO/GSO bergantung pada bahan bakar pengendalinya agar tetap berada pada posisi operasionalnya. Efek gravitasi bumi, bulan, dan matahari menyebabkan satelit GEO berpindah tempat. Agar tetap berfungsi, maka satelit tersebut harus dijaga posisinya dengan roket kendali. Tetapi satelit pada ketinggian sekitar  36.000 tersebut tidak mungkin jatuh. Bila tidak berfungsi lagi satelit atau sampah antariksa tetap mengorbit membentuk angka delapan di sekitar titik ekuator.

Membersihkan Sampah Antariksa

Sampai saat ini tidak ada mekanisme yang dapat dilakukan manusia untuk membersihkan sampah antariksa. Satu-satunya yang diharapkan adalah membiarkan alam melakukannya untuk sampah di orbit rendah. Sementara tidak ada satu pun mekanisme untuk sampah di orbit GEO/GSO. Dalam kasus tertentu, ada upaya memulung sampah satelit yang gagal. Tetapi itu hanya dilandasi perhitungan ekonomis untuk mendaur ulang sampah tersebut dengan mengambilnya, memperbaikinya, dan menjualnya. Untuk sampah yang tidak punya nilai ekonomis, mengambilnya dengan pesawat ulang alik adalah upaya yang terlalu mahal untuk dilakukan.

Pemulungan satelit gagal terjadi pada satelit Palapa B2 yang diluncurkan Februari 1984. Satelit tersebut gagal mencapai posisi yang direncanakan karena motor apogee tidak berfungsi semestinya. Pada November 1984 Palapa B2 diambil dengan pesawat ulang alik kemudian diperbaiki dan dijual kembali kepada Indonesia. Kemudian diluncurkan kembali pada April 1990 dengan nama baru Palapa B2R. Akibat kegagalan peluncuran Palapa B2, Palapa B3 yang diluncurkan Maret 2003 diganti namanya menjadi Palapa B2P (pengganti B2 yang gagal), yang kemudian berganti lagi namanya jadi Agila 1 dengan pemilikan beralih kepada Filipina.

Kembali kepada masalah pembersihan, upaya maksimal yang kini bisa dilakukan adalah mengurangi sampah untuk masa mendatang. Langkah pertama adalah pencegahan pembuangan sampah yang harus dilakukan para perancang wahana antariksa. Sedapat mungkin benda-benda yang akan jadi sampah di buang sebelum mencapai orbit, sehingga langsung jatuh ke bumi. Pencegahan juga dilakukan dengan mengurangi kemungkinan ledakan di angkasa. Selain itu perlu dicari bahan bakar roket yang bebas debu, tidak seperti yang terjadi saat ini yang masih menyisakan debu halus aluminium oksida (Al3O2).

Langkah ke dua adalah merancang sistem untuk menjatuhkan sampah antariksa secara terencana atau membuang ke “zona sampah” pada akhir missinya. Tetapi langkah ini sangat mahal dan sangat sulit. Hanya missi antariksa besar yang saat ini sudah menerapkan langkah ini. Misalnya, stasiun antariksa Mir berbobot total 130 ton diturunkan secara terkendali ke daerah aman di Pasifik Selatan. Langkah ini mempunyai dua tujuan sekaligus, menjamin keselamatan penghuni bumi dari bahaya kejatuhan benda antariksa dan menjamin keselamatan wahana antariksa oleh sampah-sampah yang terus meningkat. Prioritas utama langkah ini sebenarnya untuk benda-benda di zona yang ramai diminati para pengguna satelit, baik di orbit rendah maupun GEO/GSO.

Langkah untuk membuang ke “zona sampah”  terutama ditujukan untuk satelit di GEO/GSO yang dapat dikatakan tidak bisa turun secara alami dan satelit mengandung bahan berbahaya, seperti bahan bakar nuklir. “Zona sampah” di orbit rendah konon pernah digunakan oleh Uni Soviet pada era 1980 – 1990-an untuk membuang satelit berbahan bakar nuklir. Tetapi zona sampah di orbit rendah bukanlah zona aman, suatu saat akan jatuh juga. Zona sampah yang aman berada di atas orbit GEO/GSO. Selama ini yang digunakan pada zona 40 – 70 km lebih tinggi dari zona satelit operasional di GEO/GSO. Tetapi zona yang disarankan adalah sekitar 300 km lebih tinggi. Namun, untuk pembuangan ke zona ini sangat mahal biayanya. Perlu lebih banyak bahan bakar untuk mencapai orbit lebih tinggi itu dan membutuhkan pengendalian sekitar 3 bulan untuk mencapai orbit di zona aman tersebut.

Langkah ke tiga adalah pemusnahan sampah. Tetapi langkah ini masih impian. Cara pemulungan sampah antariksa, seperti pada satelit Palapa B2, sangat mahal dan masih perlu menggunakan pesawat berawak sejenis pesawat ulang alik untuk menangkapnya. Sementara cara lain yang diusulkan belum ditemukan teknologinya yang efektif, efisien, dan relatif tidak mahal. Misalnya, dengan balon penjaring untuk pengurangi kecepatannya dan menurunkan sampah ke orbit yang memungkinkan jatuh secara alami. Tetapi cara ini berbahaya bagi satelit operasional, karena penjaringan tidak pilih-pilih, semua yang terkena dipaksa jatuh. Cara lain adalah menembakkan sinar laser berenergi tinggi pada serpihan sampah antariksa untuk mengurangi kecepatannya hingga bisa jatuh atau menghancurkannya menjadi butiran halus yang tidak berbahaya. Namun, cara ini belum ada teknologinya, masih impian yang ingin diwujudkan.

Potensi Jatuh

Satelit atau sampah antariksa jatuh ke bumi akan semakin banyak dengan makin bertambahnya populasi antariksa oleh wahana buatan manusia. Pertambahan juga dipacu oleh saling bertabrakan antar-sampah antariksa tersebut. Data pantauan jaringan radar menunjukkan, rata-rata setiap 2 – 3 hari ada bekas satelit, roket, atau sampah antariksa lainnya yang jatuh ke bumi. Benda berukuran besar, berbobot beberapa puluh ton rata-rata 2 pekan sekali ada yang jatuh.

Masalah yang menjadi perhatian utama adalah lokasi jatuh dan waktunya. Lokasi jatuh terkait erat dengan lintasan orbitnya. Mir yang jatuh Maret 2001 orbitnya mempunyai inklinasi 51,6 derajat, berpeluang jatuh di wilayah antara 51,6 derajat lintang utara (LU) – 51,6 derajat lintang selatan (LS), sehingga dapat mengancam 80 negara yang mungkin dilewatinya. BeppoSAX yang jatuh 30 April 2003 orbitnya mempunyai inklinasi 4 derajat, sehingga mengancam 39 negara di sabuk ekuator.

Setiap satelit atau sampah antariksa orbitnya pasti melewati ekuator, sehingga peluang jatuh di daerah ekuator sangat besar. Indonesia yang merupakan negara ekuator terbesar sangat potensial kejatuhan satelit atau sampah antariksa. Namun, jangan cemas dahulu. Perbandingan luasnya daerah jelajah dengan ukuran satelit atau sampah antariksa sangat jauh,  sehingga kemungkinan untuk membahayakan manusia atau barang milik manusia sangat kecil. Kemungkinan seorang manusia terkena benda jatuh dari antariksa 1:1.000.000.000.000. Sedangkan kemungkinan ada pesawat terbang yang terkena 1:10.000.000.

Selama perkembangan teknologi antariksa memang belum ada laporan orang atau barang yang terkena benda jatuh dari antariksa. Bila terkena, tentu dampaknya sangat hebat. Benda jatuh dari antariksa mempunyai kecepatan sampai puluhan atau ratusan km/jam. Bobotnya pun bervariasi, bisa mencapai puluhan kilogram. BeppoSAX yang jatuh beberapa waktu lalu, pecahan terbesar berbobot 120 kg. Untungnya, puing-puingnya akhirnya jatuh di lautan Pasifik, sebelah barat daya Ekuador, Amerika Selatan.

Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat, 10 April 2000)

Kalender hijriyah ditetapkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab, 17 tahun setelah hijrahnya Rasulullah SAW. Keputusan itu muncul setelah dijumpai kesulitan mengidentifikasikan dokumen yang tak bertahun. Hijrah Rasulullah akhirnya sepakat dipilih dari sekian usulan alternatif acuan tahun Islam, karena saat itulah titik awal membangun masyarakat Islami.

Akurasi penghitungan mundur untuk menetapkan awal tahun hijriyah dan peristiwa-peristiwa penting lainnya sepenuhnya bergantung pada ingatan banyak orang. Secara hitungan berskala besar, seperti tahun, kemungkinan kesalahannya relatif kecil. Mungkin sekian banyak orang masih ingat suatu peristiwa terjadi tahun ke berapa sesudah atau sebelum Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Tetapi hitungan rinci sampai tanggal atau bulan, kemungkinan kesalahannya lebih besar.

Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah yang menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriyah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender Hijriyah-Masehi yang saya buat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.

Analisis konsistensi kronologi sejarah dengan pendekatan astronomi menunjukkan bahwa sistem kalender hijriyah juga baik untuk menelusur kejadian sebelum hijrah. Walaupun bilangan nol belum dikenal saat itu, sistem kalender hijriyah ternyata telah memperkenalkan konsep tahun nol. Saat Rasul hijrah dianggap sebagai tahun nol, karena angka tahun menyatakan sekian tahun setelah Rasul hijrah.

Konsep tahun nol seperti itu tidak dikenal dalam sistem kalender Masehi sehingga menimbulkan polemik tentang kapan awal abad 21 atau milenium ke tiga (tahun 2000 atau 2001). Dengan konsep tahun nol pada tahun Hijriyah, umat Islam secara tepat dapat menyatakan tahun 1400 lalu sebagai awal abad 15 hijriyah, yang disebut sebagai abad kebangkitan Islam.

Rekonstruksi Kronologis

Dalam sebuah hadits sahih tentang puasa hari Senin, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hari itu (Senin) dilahirkan, diutus menjadi Rasul, dan diturunkan Alquran pertama kalinya (HR Muslim). Jabir dan Ibnu Abbas berpendapat Rasulullah SAW dilahirkan malam Senin 12 Rabi’ulawal, pada hari dan tanggal itu beliau diangkat sebagai Nabi dan Rasul, di mi’rajkan ke langit, hijrah ke Madinah, dan wafat.

Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Shafar, Rabi’ulawal, Rajab, atau Ramadhan. Tahunnya: tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin 12 Rabi’ulawal tahun Gajah.

Tahun Gajah adalah saat Abraha dan pasukan bergajahnya berniat menghancurkan Ka’bah, tetapi digagalkan Allah. Hal itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran Nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.

Kapankah tepatnya pengangkatan beliau menjadi Rasul? Tahun kejadiannya umumnya bersepakat pada saat Nabi berumur 41 tahun, atau tahun Gajah ke-41 (tahun -13 H). Hanya tentang tanggal dan bulannya tidak ada kesepakatan. Menurut Jabir dan Ibnu Abbas tersebut di atas, hal itu terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ulawal. Itu bertepatan dengan Senin 24 Februari 609 M.

Pendapat lainnya menyatakan terjadi pada 17 Ramadhan berdasarkan isyarat pada QS 8:41 bahwa Alquran diturunkan pada hari Furqan, hari bertemunya dua pasukan yang ditafsirkan sebagai saat perang Badar 17 Ramadhan. Isyarat lainnya ada pada QS 2:185 bahwa Alquran diturunkan pada bulan Ramadhan. Bila harinya mengacu pada hadits Muslim serta pendapat Jabir dan Ibnu Abbas, maka 17 Ramadhan -13 H tersebut bertepatan dengan hari Senin 25 Agustus 609 M.

Hasbi Ash Shiddieqy dalam pengantar Tafsir Al Bayaan menyatakan ayat nubuwah (pengangkatan sebagai Nabi) pertama kali turun pada bulan Rabi’ulawal dengan 5 ayat pertama surat Al Alaq. Kemudian ayat risalah (pengangkatan sebagai Rasul) turun pada 17 Ramadhan dengan beberapa ayat awal surat Al Muddatstsir. Riwayat menyatakan bahwa baik saat menerima ayat nubuwah maupun ayat risalah, Rasulullah SAW meminta Sitti Khadijah menyelimuti beliau. Pendapat mana pun yang diambil, kenyataan pada saat musim panas bulan Agustus Rasulullah SAW minta diselimuti, menunjukkan betapa hebatnya ketakutan manusiawi beliau hingga beliau menggigil.

Peristiwa Isra’ Mi’raj saat mulai diwajibkannya shalat lima waktu pun tidak ada kesepakatan kapan terjadinya. Sebagian besar mengikuti pendapat Ibnu Katsir dari riwayat yang tidak sahih isnadnya, bahwa Isra’ mi’raj terjadi pada 27 Rajab -1 H (satu tahun sebelum Hijrah). Itu berarti terjadi pada hari Rabu 15 Oktober 620. Tetapi bila mengikuti pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada hari Senin 12 Rabi’ulawal, berarti terjadi pada 12 Rabi’ulawal -3 H (tiga tahun sebelum Hijrah) yang bertepatan dengan Senin 6 November 618.

Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW terjadi pada bulan Rabi’ulawal tahun 13 Bi’tsah (13 tahun setelah pengangkatan sebagai Rasul). Berangkat pada 2 Rabi’uilawal dan tiba pada 12 Rabi’ulawal. Saat tiba di Madinah 12 Rabi’ulawal 0 H bertepatan dengan hari Senin, 5 Oktober 621. Ini sesuai dengan pendapat Jabir dan Ibnu Abbas bahwa hainya Senin. Beberapa penulis riwayat Rasulullah SAW merancukan saat hijrah tersebut dengantahun baru hijriyah pertama. Haekal dan Al Hamid Al Husaini menyebutkan peristiwa Hijrah terjadi pada bulan Juli. Haekal menyatakan Rasullullah tiba di Madinah hari Jumat. Sesungguhnya bulan Juli adalah tahun baru 1 Muharram 1 H yang jatuh pada hari Jumat, 16 Juli 622.

Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin 2 Sya’ban 2 H atau 30 Januari 624 M. Itu berarti puasa Ramadhan pertama terjadi pada bulan Februari-Maret, dengan suhu yang relatif sejuk dan panjang hari termasuk normal (panjang siang hari sekitar 12 jam). Menurut analisis astronomis, selama Rasulullah hidup hanya 9 kali beliau berpuasa, 6 kali selama 29 hari dan hanya 3 kali selama 30 hari. Puasa pertama selama 29 hari.

Riwayat tentang perang Badar tidak konsisten dari segi hari dan tanggalnya. Menurut beberapa pendapat, perang Badar terjadi hari Jumat 17 Ramadhan 2 H. Sesungguhnya 17 Ramadhan 2 H jatuh pada hari Selasa 13 Maret 624.  Tanggal 17 Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat terjadi pada tahun 1 H yang bertepatan dengan 25 Maret 623. Namun, dikonfirmasikan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, tidak mungkin hal itu terjadi pada tahun pertama hijriyah. Jadi, riwayat yang menyatakan perang Badar terjadi pada hari Jumat, tidak akurat menyebutkan harinya.

Perang Uhud yang memberikan pelajaran berharga akan pentingnya ketaatan kepada perintah Rasul terjadi pada 15 Syawal 3 H atau hari Ahad 31 Maret 625. Pada perang tersebut kemenangan berbalik menjadi kekalahan ketika pasukan pemanah yang diperintah Rasulullah tidak taat untuk tetap di tempat. Walaupun demikian kedua belah pihak sama-sama menderita korban yang besar. Kemudian Abu Sufyan ketika hendak meninggalkan medan perang menantang untuk berperang kembali di Badar.

Ternyata perang Badar Shugra (Badar kecil) yang terjadi pada Sya’ban 4 H (Januari 626) saat musim paceklik tidak jadi berlangsung karena Abu Sufyan merasa ketakutan dan menarik pasukannya kembali ke Mekah (QS 3:172-174). Mungkin pada peristiwa inilah, yang terjadi sebelum Ramadhan, Rasulullah menyatakan bahwa mereka baru pulang dari perang yang kecil menuju jihad yang besar, jihadunnafs, jihad melawan hawa nafsu pada puasa Ramadhan yang menjelang tiba.

Berbeda dengan perang Badar kubra dan perang Uhud yang terjadi pada awal musim semi, perang Khandaq terjadi pada musim dingin saat krisis pangan dan perang Tabuk pada akhir musim panas yang sangat terik. Perang Khandaq (parit) terjadi pada bulan Syawal 5 H (Februari 627). Saat itu kaum Muslimin yang membentengi diri dengan parit di sekeliling Madinah dikepung selama 3 pekan. Kaum musyrikin menghentikan pengepungannya setelah diporak porandakan oleh badai yang sangat dingin.

Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab 9 H (Oktober 630). Hadits dan Alquran (QS 9:81) menceritakan perjuangan yang berat di tengah cuaca yang sangat terik menghadapi ancaman tentara Rumawi. Sebagian penulis sejarah meragukan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Oktober yang dianggapnya sudah memasuki musim dingin, yang berbeda dari ungkapan dalam hadits atau Alquran. Tapi sesungguhnya pada bulan itu suhu mendekati 30 derajat pada siang hari bukan hal yang mustahil dalam perjalanan dari Madinah ke Tabuk (dekat Jordan).

Hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah ditandai dengan turunnya QS 5:3 yang menyatakan bahwa Allah telah menyempurkan agama Islam dan meridlainya. Ayat itu turun saat wukuf di Arafah 9 Dzulhijjah 10 H yang bertepatan dengan Jumat 6 Maret 632. Mungkin ini berkaitan dengan sebutan haji akbar bila wukufnya jatuh pada hari Jumat.

Tiga bulan setelah turunnya ayat tersebut Rasulullah wafat pada  12 Rabi’ulawal 11 H. Analisis astronomis menyatakan 12 Rabi’ulawal mestinya jatuh pada hari Sabtu 6 Juni 632. Namun banyak yang berpendapat Rasulullah wafat pada hari Senin, itu berarti tanggal 8 Juni 632. Perbedaan dua hari tidak dapat dijelaskan akibat terjadinya istikmal (penggenapan menjadi 30 hari) bulan Shafar. Mungkin yang terjadi adalah  ‘kelalaian’ masal dalam penentuan awal bulan akibat kesedihan ummat yang mendalam menghadapi Rasul yang dicintainya menderita sakit sejak bulan Shafar.

Terlepas dari “kelalaian” tersebut ada hal yang menarik tentang hari Senin 12 Rabi’ulawal tersebut. Apakah suatu kebetulan atau mu’jizat Rasulullah SAW, ternyata beberapa peristiwa penting jatuh pada hari Senin 12 Rabi’ulawal. Konsistensi hari dan tanggal membuktikan bahwa Rasulullah lahir, hijrah, dan wafat terjadi pada hari dan tanggal tersebut. Walaupun tidak banyak yang bersepakat, pengangkatan sebagai Nabi saat menerima wahyu pertama kali dan peristiwa Isra’ Mi’raj mungkin pula terjadi pada hari dan tanggal tersebut.

Bukti Ketaatan Makhluk pada Khaliqnya: ALAM PUN BERTHAWAF

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat,  23 Maret 1998)

Thawaf dalam makna asalnya berarti mengelilingi sesuatu. Dalam pengertian syariat, thawaf adalah salah satu bentuk ibadah dengan cara mengelilingi ka’bah tujuh kali. Dalam rangkaian ibadah haji, kedudukan thawaf sangat penting sekali. Dan selama berhaji sangat dianjurkan untuk memperbanyak thawaf sunnah (tathawu) karena keutamaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa setiap hari Allah menurunkan 120 rahmat kepada orang yang berhaji ke rumah Allah yang suci: 60 untuk yang berthawaf, 40 untuk yang shalat, dan 20 untuk yang menyaksikannya (hadits hasan riwayat Baihaqi).

Apakah makna dibalik thawaf? Di dalam Alquran dan hadits tidak dijelaskan makna berkeliling di sekitar ka’bah itu. Tetapi ayat-ayat Allah di alam semesta ini bisa membantu menjelaskan maknanya. Kalau kita perhatikan alam semesta secara mendalam, thawaf juga dilakukan oleh semua makhluk-Nya. Hal inilah yang akan diulas dalam tulisan ini bagaimana alam pun berthawaf sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya.

Ketaatan Makhluk

Pada awal penciptaan alam semesta, Allah mengambil “janji” langit dan bumi dalam bahasa-Nya yang diabadikan di dalam Alquran surat Fush-shilat:9-12.

Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada (Allah) yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu‑sekutu bagiNya? (Allah itulah) Rabb semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung‑gunung yang kokoh, memberkahinya, dan menentukan padanya kadar makanan‑makanan (penghuni-)nya dalam empat masa. (Itulah jawaban) bagi orang‑orang yang bertanya. Kemudian Dia menyempurnakan langit, (ketika) itu masih berupa kabut. Dia berkata kepada langit dan bumi, “Datanglah kalian dengan taat atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan taat”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap‑tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang‑bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik‑baiknya. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Untuk memahami “janji” langit dan bumi tersebut, perlu juga difahami proses evolusi alam semesta secara keseluruhan. Secara ringkas, kronologi evolusi alam semesta dengan dipandu isyarat di dalam Al-Qur-an (Q.S. 41:9-12 dan Q.S. 79:27-32) terdiri enam tahapan proses sejak penciptaan alam sampai hadirnya manusia. Masa pertama dimulai dengan ledakan besar (big bang) (Q.S. 21:30, langit dan bumi asalnya bersatu) sekitar 12-20 milyar tahun lalu. Langit (ruang alam semesta) kemudian mengembang (Q.S. 51:47). Materi yang mula-mula terbentuk adalah hidrogen yang menjadi bahan dasar bintang-bintang generasi pertama.

Masa yang ke dua adalah pembentukan bintang-bintang dengan bahan dasar dukhan (debu-debu dan gas antarbintang, Q. S. 41:11). Masa ke tiga dan ke empat dalam penciptaan alam semesta adalah proses penciptaan tata surya termasuk bumi. Proses pembentukan matahari sekitar 4,6 milyar tahun lalu dan mulai dipancarkannya cahaya dan angin matahari itulah masa ke tiga penciptaan alam semesta. Proto-bumi (‘bayi’ bumi) yang telah terbentuk terus berotasi yang menghasilkan fenomena siang dan malam di bumi. Masa pemadatan kulit bumi agar layak bagi hunian makhluk hidup adalah masa ke empat.

Hadirnya air dan atmosfer di bumi sebagai prasyarat kehidupan merupakan masa ke lima proses penciptaan alam. Atmosfer yang ada kini sebagian dihasilkan oleh proses-proses di bumi sendiri, sebagian lainnya berasal dari pecahan komet atau asteroid yang menumbuk bumi. Komet yang komposisi terbesarnya adalah es air (20% massanya) diduga kuat merupakan sumber air bagi bumi karena rasio Deutorium/Hidrogen (D/H) di komet hampir sama dengan rasio D/H pada air di bumi, sekitar 0.0002.

Lahirnya kehidupan di bumi yang dimulai dari makhluk bersel tunggal dan tumbuh-tumbuhan merupakan masa ke enam dalam proses penciptaan alam. Hadirnya tumbuhan dan proses fotosintesis sekitar 2 milyar tahun lalu menyebabkan atmosfer mulai terisi dengan oksigen bebas. Pada masa ke enam itu pula proses geologis yang menyebabkan pergeseran lempeng tektonik dan lahirnya rantai pegunungan di bumi terus berlanjut.

Semua proses alami itu yang seolah-olah berjalan dengan sendirinya, sebenarnya berjalan menurut ketentuan Allah. Tanpa tawar menawar, alam patuh mengikuti proses itu. Itu “janji” alam ketika Allah menciptakannya.

Benda-benda langit ditentukan urusannya masing-masing. Bulan mengelilingi bumi. Bumi dan planet-planet lainnya serta komet dan asteorid (planet kecil) mengelilingi matahari. Matahari dan bintang-bintang mengelilingi pusat galaksi. Semua tunduk pada aturan-Nya.

Demikian juga segala proses alami di bumi berjalan sesuai aturan-Nya. Bumi berotasi yang menghasilkan fenomena malam dan siang. Angin bertiup dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Air mengalir mencari daerah yang lebih rendah. Semuanya taat mengikuti ketentuan Allah sesuai janji pada saat penciptaannya.

Alam berthawaf

Thawafnya alam semesta adalah bentuk ketaatan yang paling nyata. Hal ini akan tampak jelas mulai dari proses pembentukan bintang dan planet-planet sampai pada skala galaksi.

Penelitian astronomi menunjukkan banyak bintang bermassa kecil (hampir massa matahari) masih dalam proses pembentukan. Bagian intinya membentuk embrio bintang yang dikelilingi piringan debu dan gas. Hasil pengamatan itu didukung model teoritik berdasarkan perhitungan fisika.

Menurut telaah teoritik, pembentukan bintang bermula dari kontraksi (pemadatan) debu dan gas (dukhan) secara lambat akibat gaya gravitasinya sendiri sambil berotasi. Gas dan debu berthawaf mengelilingi inti pemadatan yang akhirnya nanti akan menjadi bakal bintang.

Akibat rotasi itu, debu dan gas itu tidak semuanya memadat ke intinya, tetapi sebagian membentuk piringan di sekitar intinya yang juga terus berotasi. Embrio bintang dan piringan masih diselubungi oleh debu yang amat tebal sehingga tidak terlihat dari luar. Hanya pancaran sinar inframerah yang dapat diamati.

Dalam proses selanjutnya, embrio bintang berkembang menjadi bintang muda yang didalam intinya mulai terjadi reaksi nuklir. Bintang muda itu kemudian memancarkan partikel-partikel halusnya yang disebut angin bintang. Ini dimulai dari arah kutubnya selanjutnya ke arah ekuatornya. Dengan itu pula proses pemadatan berhenti dan selubung debunya mulai tersibak. Yang tersisa adalah piringan gas dan debu di sekitar bintang muda tersebut.

Sisa piringan gas dan debu itu disebut nebula proto-planet, karena di piringan itulah kemudian terbentuk planet-planet. Bintang (termasuk matahari) dan piringan debunya selanjutnya memasuki masa pembentukan planet-planetnya.

Salah satu teori menyebutkan bahwa nebula proto-planet mula-mula berdiameter sekitar 20 SA (SA = Satuan Astronomi, jarak bumi-matahari) ketika pemadatan berhenti, belum seluas tata surya kita sekarang (berdiameter lebih dari 50.000 SA). Kemudian nebula proto-planet melebar yang disertai dengan proses pendinginan.

Proses pendinginan nebula proto-planet menyebabkan terjadinya penggumpalan gas dan debu. Senyawa yang mula-mula berkondensasi adalah besi dan silikat. Di bagian luar tata nebula proto-planet yang temperaturnya lebih rendah, es air juga ikut berkondensasi. Teori yang kini dianggap kuat menyatakan bahwa planet-planet berasal dari penggumpalan itu yang disebut planetesimal.

Bumi dan planet-planet dekat matahari lainnya (Merkurius, Venus, dan Mars) hanya terbentuk dari materi padat yang terkondensasi, terutama dari senyawa besi dan silikat. Sedangkan Jupiter dan planet-planet raksasa lainnya terbentuk dari planetesimal besar, antara lain akibat turut terkondensasinya es air, sehingga mampu menangkap gas, terutama Hidrogen dan Helium. Planetesimal kecil yang tidak membentuk planet atau pecah akibat tumbukan sesamanya tersisa sebagai komet, asteroid, dan meteoroid.

Thawafnya dukhan pada penciptaan matahari dan anggotanya masih tampak pada rotasi matahari yang berperiode 27 hari dan peredaran planet-planet mengitari matahari.

Matahari dan dan bintang-bintang pun tidak diam di tempat. Semua anggota galaksi bima sakti, yang jumlahnya ratusan milyar bintang juga berthawaf mengitari pusat galaksi. Matahari dan anggota tata suryanya berthawaf mengitari pusat galaksi sekali dalam 200 juta tahun dengan kecepatan sekitar 200‑300 km per detik.

Bagaimana cara thawaf makhluk-makhluk lainnya di atas bumi? Tumbuhan dan binatang juga berthawaf mengitari poros bumi sekali dalam 24 jam. Hanya karena gerakannya dalam skala besar, kita tidak menyadarinya. Malah kita merasakannya seolah-olah benda-benda langit yang mengelilingi kita, yang tampak dalam proses terbit dan terbenamnya matahari, bulan, dan bintang-bintang.

Thawafnya Manusia

Secara jasmani, manusia merupakan bagian dari alam yang pada awal penciptaannya, telah berjanji akan taat kepada-Nya. Maka manusia pun turut dalam proses alam. Termasuk berthawaf bersama tumbuhan dan binatang mengitari poros bumi, walau kadang-kadang tidak menyadarinya.

Secara ruhani, pada awal penciptaan di alam rahim, diri manusia pun telah berjanji untuk taat mengakui Allah sebagai Rabb, Tuhan pencipta dan pemeliharanya.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak‑anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang‑orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. 7:172).

Pada hari perhitungan kelak, yang mesti dipertanggungjawabkan manusia bukanlah dimensi jasmaninya, tetapi dimensi ruhaninya. Karena jasmani manusia sebenarnya telah taat kepada ketentuan Allah. Ketika terpeleset, jasmani manusia akan jatuh tertarik gravitasi bumi. Ketika terkena wabah penyakit, jasmani manusia bisa rusak. Ketika mati, jasmani manusia pun akan hancur dalam proses pembusukan. Itulah contoh ketaatan jasmani manusia.

Secara ruhani manusia berpotensi untuk ingkar janji, karena adanya nafsu. Ketaatan berdasarkan pengakuan Allah sebagai penciptanya yang pernah dijanjikannya sering terlupakan.

Haji sebagai puncak ibadah mengingatkan akan janji awal manusia untuk taat, sebagai mana alam semesta memenuhi janjinya untuk taat kepada-Nya. Dalam ibadah haji, thawaf bisa mengingatkan jiwa manusia untuk taat kepada Allah sebagaimana alam pun taat pada penciptanya.

Tujuh kali mengelilingi ka’bah bisa bermakna proses yang terus menerus tiada henti sebagaimana thawafnya alam semesta. Di  dalam Alqur’an ungkapan ‘tujuh’  atau  ‘tujuh  puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al‑Baqarah:261 Allah menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Perumpamaan yang diberikan Allah seperti menanam sebutir benih menghasilkan tujuh tangkai berisi masing-masing seratus butir.

Demikian juga perumpamaan tak terbatasnya Kalimat Allah yang tak mungkin dapat dituliskan walaupun semua pohon jadi pena dan lautan jadi tintanya dan di tambah tujuh lautan lagi (Q.S. Luqman:27). Ungkapan tujuh langit pun bisa bermakna seluruh benda langit yang tak terhitung jumlahnya.

Bagi diri manusia, pelaksanaan thawaf tujuh kali merupakan simbol ketaatan dirinya seperti taatnya benda-benda langit berthawaf tiada henti. Tetapi, bila dilihat sebagai kelompok, manusia yang berthawaf silih berganti tiada henti akan tampak seperti miniatur anggota tata surya yang sedang mengitari matahari. Atau seperti bintang-bintang yang sedang mengitari pusat galaksi.

ISTIQAMAH

T. Djamaluddin (LAPAN)

(Dimuat di Republika — Hikmah, 20 April 2000)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada ketakutan bagi  mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS 46:13).

Fenomena fisika, bagian dari sunnatullah, bisa menjadi teladan yang baik bagi manusia. Contohnya laser, yang kini mulai banyak dikenal, mulai dari pertunjukan sinar laser sampai pointer mungil yang dijual di kaki lima. Laser (light amplification by stimulated emission of radiation) adalah penguatan cahaya dengan pancaran radiasi yang distimulasi. Di alam kita kenal maser (microwave amplification by stimulated emission of radiation), penguatan gelombang mikro dengan pancaran radiasi yang distimulasi, yang dipancarkan oleh awan antarbintang.

Garis kehidupan seorang Muslim idealnya ibarat mengikuti garis penjalaran sinar laser yang lurus tersebut. Titik awalnya adalah niat yang ikhlas dan titik sasarannya adalah mardlatillah, keridlaan Allah.  Proses di titik awal amat menentukan sampai tidaknya sinar mencapai sasaran yang dituju. Niat yang lemah bisa menyebabkan tidak sampainya pada tujuan. Sedikit saja hambatan yang dihadapi, sasaran tidak tercapai.

Pada laser atau maser, cahaya atau gelombang mikro itu diproses dan diperkuat sehingga dapat terpancar sangat kuat, lurus tidak menyebar, dan dapat menempuh jarak yang sangat jauh. Seperti itu pula hendaknya niat diproses dan diperkuat agar tetap lurus dalam bertindak dan mampu menembus hambatan-hambatan yang dihadapi.

Untuk mendapatkan penguatan tersebut, ada proses pemompaan energi pada titik awal tersebut. Pada perangkat laser, pemompaan energi dilakukan dengan penyinaran atau pemberian medan listrik. Pada fenomena maser dari awan antarbintang, pemompaan energi dilakukan oleh radiasi inframerah dari bintang-bintang di dekatnya..

Pada diri manusia “pemompaan energi” untuk penguatan niat dilakukan dengan tempaan iman dan doa yang terus menerus. Allah menyerukan, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS 3:139). Rasullullah SAW berpesan, “Doa itu senjatanya orang mu’min” (HR Hakim dan Abu Ya’la)

Jalan mencapai tujuan mardlatillah tentu tidak mulus. Ada saja hambatan dan godaan. Sedangkan manusia tidak luput dari kelalaian dan dosa. Kemalasan menyebabkan amal terhenti. Riya (pamer) dan bangga diri menghanguskan nilai amal. Penyelewengan menyeret kita keluar dari jalur yang lurus. Tetapi, Allah memberikan mekanisme untuk meluruskan kembali perjalanan kita: segera ingat Allah dan mohon ampunan (QS 3:135).

Hal yang terpenting adalah menjaga konsistensi diri, beristiqamah (QS 46:13), setelah memantapkan iman berbekal doa (QS 3:8) yang memperkuati niat. Istiqamah memang mudah diucapkan, tetapi berat melaksanakannya. Idealisme yang bergelora pada masa muda atau semasa mahasiswa, kerap tak bisa dipertahankan ketika berhadapan dengan realitas dalam perjuangan profesi sesungguhnya.

Tuntutan keluarga, silaunya iming-iming harta, dorongan mendapatkan dan mempertahankan jabatan, serta upaya meningkatkan status sosial tidak jarang menggoyah jiwa. Awalnya menggunakan pembenaran-pembenaran, selanjutnya hilang rasa malu.

Sebelum tersesat jauh, luruskan kembali perjalanan hidup kita. Memang beristiqamah terasa pahit secara lahiriyah, tetapi tentram secara batiniyah.

Melihat Kondisi Atmosfer Bumi pada Gerhana Bulan Total (16 Juli 2000)

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

Gerhana bulan total  terjadi pada Ahad malam, 16 Juli 2000. Proses gerhana akan tampak mulai pukul 18:57 sampai 22:54 WIB. Pada waktu itulah dilakukan salat gerhana bulan (khusuf). Di langit timur, bila cuaca cerah, bulan purnama yang bulat cemerlang bagian bawahnya sedikit demi sedikit akan menjadi gelap. Bayangan bumi akan menutupi bulan mulai dari sisi timurnya. Purnama akan gelap total selama 107 menit mulai pukul 20:02 sampai 21:49 WIB.

Pada saat gerhana total itulah kita bisa melihat kondisi atmosfer bumi. Bayangan gelap bumi, yang disebut umbra, menggambarkan bayangan bola bumi yang padat. Adanya atmofer bumi justru membiaskan cahaya matahari sehingga bayangan gelap umbra tidak selalu menjadi gelap total. Tergantung kandungan atmosfernya, umbra bisa berwarna oranye, merah, kelabu, atau hitam. Inilah yang menarik dari setiap gerhana bulan total.

Atmosfer mengandung air dalam bentuk awan, hujan, atau kabut. Selain itu juga kadang-kadang ada debu dari letusan gunung berapi, asap kebakaran hutan, atau debu meteor. Kandungan atmosfer ini berpengaruh pada gelap terangnya umbra. Baik dengan pengamatan mata telanjang maupun dengan alat bantu teleskop kecil atau binokuler, kita dapat menilai secara kasar kondisi atmosfer yang membiaskan cahaya ke arah umbra.

Danjon, seorang astronom Perancis telah membuat skala kecerlangan umbra pada gerhana bulan total. Gerhana yang sangat gelap yang dicirikan dengan hampir tidak tampaknya bulan diberi skala L=0. Skala L=1 untuk gerhana gelap dengan warna bulan kelabu atau kecoklatan. Kawah-kawah bulan sulit dikenali. Skala L=2 untuk gerhana yang berwarna merah. Bagian tengah umbra tampak gelap, bagian tepinya berwana merah cerah. Skala L=3 untuk gerhana kemerahan  dengan bagian tepi umbra berwarna kuning terang.  Dan terakhir skala L=4 untuk gerhana oranye dengan bagian tepi cemerlang kebiruan.

Gerhana bulan total dengan skala L=0 tampak setelah terjadinya letusan gunung berapi. Misalnya, saat gerhana bulan 16 Juni 1816 bulan tidak tampak sama sekali. Itu berkaitan dengan letusan gunung Tambora tahun 1815 yang memuntahkan 150 km3 debu. Letusan gunung Krakatau, Agustus 1883, yang memuntahkan 18 km3 debu  menyebabkan gerhana bulan total 4 Oktober 1884 sangat gelap dan berwarna kelabu. Demikian juga dengan gerhana 30 Desember 1963 yang berkaitan dengan letusan gunung Agung 17 Maret 1963. Sedangkan gerhana 30 Desember 1982 yang disebabkan debu letusan gunung El Chichon di Meksiko April 1982 masih bisa dikelompokkan dengan skala L=1.

Penelitian yang lebih rinci tentang penyebab bervariasinya penampakan gerhana bulan total memerlukan informasi waktu pengamatan dan posisi anomali bayangan umbra. Waktu pengamatan diperlukan untuk mengetahui lokasi tepi bayangan bumi, perbatasan antara malam dan siang, yaitu daerah-daerah yang mengalami saat maghrib pada saat itu. Atmosfer di atas daerah tersebut yang menyebabkan fenomena perubahan warna umbra. Sedangkan posisi anomali bayangan umbra bisa dikonversikan menjadi lintang daerah di permukaan bumi yang menjadi penyebabnya.

Bila pengamatan gerhana bulan total dilakukan secara fotografi atau dengan kamera CCD, ada teknik khusus untuk menganalisis kondisi atmosfer bumi. Citra gerhana bulan pada saat gerhana total perlu disubtraksi dengan citra bulan purnama sesaat sebelum atau sesudah gerhana untuk menghilangkan efek kawah-kawah bulan. Gradasi kegelapan umbra pada posisi jarak tertentu dari pusat umbra akan memberikan informasi lokasi debu-debu atmosfer yang membiaskan cahaya ke arah umbra. Bagi pengamat berpengalaman, gradasi kegelapan umbra bisa juga diperoleh dari sketsa pengamatan visual.

Jarak daripusat umbra (‘) Ketinggian atmosfer yang berpengaruh (km) Rentang daerah tepi bayangan bumi  (derajat)
49

30

20

10

15-30

7-15

5-11

2-9

46

64

106

360

Bayangan umbra yang gelap total sampai radius 30 menit busur (‘) dari pusat umbra (kira-kira selebar diameter bulan) menunjukkan adanya debu pekat yang menutupi atmosfer secara global, misalnya dari letusan gunung berapi. Bila peningkatan kegelapan hanya pada jarak sekitar 30’, berarti debu-debu tersebut hanya terkumpul pada ketinggian sekitar 7-15 km.

Pada tahun 1982 sebenarnya terjadi dua letusan gunung yang besar: Gunung El Chichon di Meksiko (29 Maret – 4 April) dan Gulunggung di Jawa Barat (5 April – 11 Desember). Debu letusan gunung El Chichon mencapai ketinggian 16,8 km kemudian memasuki stratosfer pada ketinggian 27-35 km. Pada tanggal 26 April 1982 diketahui debunya telah menyebar ke seluruh dunia. Gunung Galunggung debunya mencapai ketinggian 16,5 km, tetapi tidak mencapai stratosfer sehingga kecil kemungkinannya menyebar ke seluruh dunia.

Sketsa penampakan secara visual yang didukung dengan analisis citra gerhana bulan total 30 Desember 1982 menunjukkan adanya pola kegelapan yang khas pada umbra yang konsentrik terhadap pusat umbra pada jarak 30’-40’. Hal ini menunjukkan adanya debu yang cukup tebal di stratosfer yang telah menyebar ke seluruh dunia.

Tepi bayangan bumi pada saat gerhana bulan total 30 Desember 1982 tersebut sebenarnya melintasi Indonesia Barat. Tetapi posisi bulan yang memasuki umbra pada bagian utara, menyebabkan kondisi atmosfer Indonesia yang mungkin masih terkotori letusan Galunggung 1982 tersebut tidak tampak pada gerhana bulan saat itu. Jadi gelapnya gerhana bulan total 30 Desember 1982 sepenuhnya disebabkan oleh letusan gunung El Chichon.

Bagaimana kemungkinan penampakan gerhana bulan total 16 Juli 2000 ini? Tepi bayangan bumi pada saat gerhana bulan total melalui Asia Tengah, India, Lautan Hindia, dan pantai barat benua Amerika. Kondisi atmosfer di sekitar daerah itu yang akan tampak pada kondisi bayangan saat gerhana total. Pada awal totalitas sekitar pukul 20.02 WIB kondisi stratosfer (ketinggian 20-30 km) di atas India akan tergambarkan. Kemudian pada saat pertengahan totalitas sekitar pukul 20.56 WIB, kondisi troposfer global (ketinggian 2-11 km) di daerah tersebut yang akan tergambarkan. Dan pada akhir totalitas sekitar pukul 21.49 WIB, kondisi stratosfer (ketinggian 20-30 km) di atas perairan Amerika Tengah bagian barat yang tergambarkan. Bila kondisi atmosfernya relatif bersih, gerhana yang akan tampak akan termasuk dalam skala L=3 atau L=4.

Karena tidak ada letusan gunung berapi yang besar dalam tahun ini, terutama di sekitar daerah tepi bayangan bumi, diperkirakan gerhana bulan total 16 Juli 2000 akan masuk dalam skala L=3 atau L=4 tersebut. Itu berarti bulan tidak akan terlalu gelap dan bagian umbranya kemungkinan berwarna kemerahan atau kuning.

Pancaroba: Paling Panas di Indonesia

T.  Djamaluddin

Peneliti Matahari dan Antariksa LAPAN (Meneliti hubungan matahari-bumi, mantan Kepala Pusat Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN)

Masyarakat merasakan bulan April ini sangat panas. Apa yang terjadi? Fenomena itu dapat dijelaskan sebagai efek gabungan kondisi musiman, kondisi regional, dan dampak perubahan iklim lokal.

Pertama, kondisi musiman adalah musim pancaroba, peralihan arah angin di wilayah Indonesia. Pada saat matahari berada di belahan selatan (Desember – Februari), musim panas di belahan selatan (bertekanan rendah) dan musim dingin di belahan utara (bertekanan tinggi) menyebabkan angin bertiup dari belahan utara ke selatan. Angin bertiup dari arah Timur Laut dari Pasifik membawa uap air, mengarah ke Selatan – Tenggara menyebabkan musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Selain itu, angin dari belahan utara yang sedang musim dingin juga memberi efek pendinginan di Indonesia. Lalu Maret – Mei matahari beralih ke utara. Pola pemanasan berubah. Wilayah paling panas ada di sekitar khatulistiwa, di Indonesia. Angin cenderung berputar di sekitar wiliayah Indonesia. Tidak ada efek pendinginan dari wilayah lain. Ini berdampak bulan Maret-April menjadi bulan terpanas.

Mengapa bukan saat kemarau (Juni – Agustus) yang menjadi bulan terpanas? Pada saat itu matahari ada di belahan utara. Belahan utara panas bertekanan rendah, belahan selatan dingin bertekanan tinggi. Maka angin bertiup dari belahan selatan ke utara. Angin bertiup dari arah Tenggara dari Australia yang kering, menuju Utara – Timur Laut menyebabkan musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia. Tetapi dari segi suhu udara, angin dari belahan selatan yang musim dingin cenderung memberi efek pendinginan. Kadang pada musim kemarau kita merasakan angin yang dingin. Walau tidak sepanas Maret-April, nanti saat pancaroba dari kemarau ke penghujan September – Oktober juga menjadi bulan yang panas melebih saat kemarau.

Kedua, kondisi regional juga harus diperhatikan yang kadang memberi efek penguatan. Saat awal April 2010 ada efek gabungan El Nino di Pasifik, Dipole Mode di Lautan Hindia, dan siklus periodik MJO (Madden-Julian Oscillation) aktif yang bersifat menekan pembentukan awan di wilayah Indonesia. Efek gabungan itu cenderung mengurangi liputan awan di wilayah Indonesia. Akibatnya pada siang hari kita merasakan panas yang sangat terik.

Ketiga, dampak perubahan iklim lokal. Perubahan tataguna lahan dan aktivitas manusia sangat berdampak pada pemanasan kota. Ketika pepohonan banyak ditebang berubah menjadi bangunan dan pelataran berlapis semen atau aspal, maka permukaan bumi menyerap panas lebih efektif. Panas tersebut dipancar lagi ke atas sebagai gelombang panas inframerah. Sebagai fenomena sesaat, kita bisa merasakan perbedaan panas di wilayah yang masih banyak pohonnya dan wilayah yang tanpa atau sedikit pohonnya.

Pemanasan itu bukan hanya sesaat, ada proses lanjutannya. Panas itu tersimpan. Sebenarnya pancaran gelombang panas itu bermanfaat menghangatkan bumi saat matahari sudah terbenam. Tetapi karena bertambahnya gas karbondioksida (CO2) di udara perkotaan akibat kendaraan bermotor dan industri serta aktivitas manusia lainnya, maka lebih banyak panas yang ditahan. Karbon dioksida memang bersifat menyerap inframerah yang berarti menahan panas. Akibatnya kota semakin panas dan semakin berkurang tingkat kenyamanannya. Perubahan lokal di perkotaan ini lebih terasa daripada pemanasan global yang sifatnya gradual. Pemanasan global sedikit demi sedikit yang terasa dampaknya baru dalam puluhan – ratusan tahun. Sedangkan pemanasan kota terasa dari tahun ke tahun. Misalnya, awal tahun 1980-an kota Bandung pada pagi hari masih terasa sejuk, tetapi tahun 2000-an kita merasakan kota Bandung tidak sesejuk dulu.