Tahun 1996 (Saat Matahari Minimum) Terdingin pada Dekade 1990-an

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di KOMPAS, 4 Juli 1996)

Sebuah Koran memberitakan 600 orang mati kedinginan di Rusia pada musim dingin yang baru lalu. Sebab-sebab kematiannya tidak dirinci, tetapi semua mati beku. Diberitakan bahwa musim dingin 1995/1996 ini memang merupakan musim dingin terburuk selama lima tahun terakhir. (Catatan: Musim dingin 2009 — saat matahari minimum — pun diberitakan cukup ekstrem, dengan badai salju dan salju tebal di Eropa dan Amerika).

Berita itu mengingatkan pada hasil analisis kelompok peneliti di Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa LAPAN tentang hubungan aktivitas Matahari dan suhu atmosfer permukaan Bumi. Dengan meneliti hubungan suhu atmosfer permukaan (sampelnya Padang dan Jakarta) dengan aktivitas Matahari selama rentang waktu 1974 – 1989 ditunjukkan bukti adanya kaitan antara suhu atmosfer permukaan dengan aktivitas Matahari. Pada saat aktivitas Matahari minimum seperti 1995/1996 ini, suhu cenderung menurun. Selain faktor aktivitas Matahari, fenomena El Nino dan La Nina juga mempengaruhi suhu tersebut.

Siklus Aktivitas Matahari

Matahari adalah pusat tata surya yang dikelilingi sembilan planet, termasuk Bumi. Matahari juga sebenarnya adalah sebuah bintang yang terdekat dengan Bumi yang jaraknya hanya 150 juta km atau 8 menit cahaya (cahaya hanya perlu waktu 8 menit untuk menempuh jarak itu). Bintang terdekat ke dua adalah Proxima Centauri yang jaraknya 4,3 tahun cahaya.

Dibandingkan dengan bintang-bintang lainnya di alam semesta, Matahari tergolong bintang yang kecil dengan suhu permukaan sedang, sekitar 6000 derajat. Energinya berasal dari reaksi nuklir di intinya yang panasnya sekitar 20 juta derajat. Energi yang dihasilkan dipancarkan dalam berbagai panjamg gelombang: radio, inframerah (yang menghangatkan Bumi), cahaya tampak (yang menyebabkan siang menjadi terang), ultraviolet (yang bisa menyebabkan kulit terbakar bila berjemur lama), sinar-x, dan sinar gamma.

Sebagai bola gas panas, permukaan Matahari selalu bergolak. Kadang-kadang di permukaannya muncul ledakan besar yang disebut flare yang energinya setara dengan 10 juta ledakan bom atom. Di samping itu juga di permukaan Matahari kadang-kadang tampak adanya bintik-bintik hitam yang disebut bintik Matahari.

Flare dan bintik Matahari menjadi indikasi aktivitas Matahari. Dari hasil pengamatan sejak abad ke-16 diketahui bahwa aktivitas Matahari tidak konstan: ada masa aktif dan tenang. Siklusnya sekitar 10 – 11 tahun. Pada saat aktif banyak terjadi flare dan bintik Matahari. Masa aktif terakhir tercatat pada tahun 1979 dan 1989. Sedangkan masa tenang terakhir terjadi pada tahun 1976, 1986, dan tahun ini 1996.

Hasil pengamatan LAPAN menunjukkan bahwa tahun 1995/1996 ini aktivitas Matahari minimum. LAPAN sebagai lembaga penelitian kedirgantaraan selalu memantau aktivitas Matahari dan dampak-dampak yang mungkin terjadi di Bumi. Untuk mengamati bintik Matahari digunakan teleskop optik yang berada di SPMI (Stasiun Pengamat Matahari dan Ionosfer) Sumedang dan SPD (Stasiun Pengamat Dirgantara) Watukosek, Jawa Timur. Aktivitas flare dipantau dengan teleskop optik yang dilengkapi filter khusus di SPD Watukosek dan spektrograf radio Matahari di SPMI Sumedang. Spektrograf radio yang saat ini sudah terpasang terdiri dari dua parabola masing-masing berdiameter 14 dan 6,5 meter, bisa mendeteksi semburan gelombang radio dari Matahari pada rentang frekuensi 57 – 1800 MHz. Sayangnya, stasiun radio FM yang marak di wilayah Bandung dengan frekuensi sekitar 90 – 100 MHz cukup menggangu deteksi semburan radio dari Matahari pada rentang frekuensi tersebut dan terpaksa harus ditapis.

Dampaknya

Masa aktif Matahari bukan hanya menyebabkan banyaknya terjadinya flare, tetapi juga pancaran radiasinya menunjukkan peningkatan. Naik turunnya aktivitas Matahari sudah diketahui sejak lama sangat berpengaruh pada kehidupan manusia di Bumi.

Masa minimum Maunder yang terjadi sejak 1645 sampai 1715, dikenal sebagai masa aktivitas Matahari sangat tenang. Tujuh tahun diantaranya sama sekali tidak ditemukan bintik Matahari. Ini berkaitan dengan buruknya musim dingin di belahan Bumi utara yang dikenal sebagai “zaman es kecil”. Buruknya musim dingin tahun ini pun sangat mungkin berkaitan dengan aktivitas Matahari minimum yang diduga mencapai titik minimum pada bulan Mei 1996.

Aktivitas Matahari bukan hanya berkaitan dengan suhu di Bumi. Ledakan flare di Matahari juga berdampak pada komunikasi radio yang memanfaatkan pantulan ionosefer. Komunikasi radio mungkin terputus atau terganggu kerananya. Selain itu orbit satelit juga akan terganggu oleh peningkatan aktivitas Matahari.

Hasil analisis kami menunjukkan bahwa aktivitas Matahari sangat berpengaruh pada orbit satelit. Dengan menganalisis data elemen orbit satelit penginderaan jauh LANDSAT-4 dan LANDSAT-5 yang dipantau Pusat Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN Pekayon dan membandingkannya dengan data aktivitas Matahari ditunjukkan bahwa periode orbit satelit menjadi pendek pada saat ada peningkatan aktivitas Matahari. Pemendekan periode orbit ini bisa diartikan bahwa satelit jatuh ke orbit yang lebih rendah. Satelit-satelit orbit rendah memang sangat terpengaruh oleh perubahan kerapatan atmosfer Bumi yang berkaitan dengan aktivitas Matahari.

Pada masa Matahari aktif tahun 1988 – 1989 dilaporkan banyak gangguan di Bumi akibat meningkatnya aktivitas Matahari. Saat itu merupakan saat Matahari paling aktif ke dua (di bawah aktivitas 1957) selama delapan abad terakhir ini. Peningkatan aktivitas Matahari menyebabkan gangguan medan magnetik Bumi dan perubahan-perubahan di ionosfer. Pada masa itu dilaporkan para peneliti di kutub selatan kehilangan kontak radio selama empat hari berturut-turut. Beberapa pesawat terbang sedikit tersesat setelah terganggunya peralatan navigasi dan komunikasi radio dengan menara pengawas. Satelit yang memancarulangkan siaran radio Suara Amerika (Voice of America) juga terpaksa orbitnya harus dikoreksi setiap 20 menit.

Akibat lain peningkatan aktivitas Matahari adalah terganggunya pusat pembangkit tenaga listrik. Pada 13 Maret 1989 dilaporkan jaringan listrik di Quebec, Kanada, tiba-tiba mati. Ini bersamaan dengan perubahan medan magnetik bumi yang tiba-tiba akibat adanya flare besar. Ternyata peralatan di PLTA Quebec terganggu akibat badai magnetik itu. Gangguan serupa juga terjadi di PLTN Zion, Michigan, Amerika Serikat pada 3 April 1994. Badai magnetik telah melumpuhkan dua buah transformator di PLTN tersebut.

Para penggemar burung merpati pun mengeluh ketika terjadi badai magnetik yang disebabkan peningkatan aktivitas Matahari. Hampir 90 persen merpati tidak bisa mencapai sasarannya pada lomba terbang 280 km. Rupanya merpati menggunakan medan magnet Bumi sebagai pemandu arahnya.

1996 Terdingin?

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas Matahari minimum berpengaruh pada penurunan suhu di permukaan Bumi. Hasil analisis yang kami lakukan dengan menggunakan data suhu rata-rata Padang dan Jakarta 1974 – 1989 menunjukkan kecendrungan tersebut. Kecendrungan perubahan suhu pada dua sampel itu secara umum sama dengan perubahan suhu global yang dipantau satelit NOAA (Spencer, 1994).

Dengan memilah sampel bulan kering (Juli) dan bulan basah (November) ditunjukkan bahwa pada bulan-bulan kering suhu sangat dipengaruhi oleh aktivitas Matahari. Pada saat aktivitas Matahari minimum (1976 dan 1986) ternyata suhu pun cenderung menurun. Tetapi kecenderungan itu tidak terlalu tampak pada bulan-bulan basah. Saya menafsirkan, tidak tampaknya pengaruh aktivitas Matahari itu disebabkan faktor hujan lebih berpengaruh. Ini berbeda dengan musim kering yang sangat dipengaruhi oleh pancaran sinar Matahari.

Pada gambar ditunjukkan variasi suhu rata-rata atmosfer permukaan pada bulan Juli 1974 – 1989 di Jakarta dan Padang di bandingkan dengan siklus aktivitas Matahari yang ditunjukkan oleh variasi relatif bilangan sunspot (bintik matahari). Tampak bahwa pada 1975/1976 dan 1985/1986 suhu turun yang bersesuaian dengan aktivitas Matahari minimum. Dalam kurun waktu itu aktivitas Matahari minimum terjadi pada 1976 dan 1986, sedangkan aktivitas Matahari maksimum terjadi pada 1979 dan 1989.

Adanya El Nino (gejala atmosfer yang menyebabkan kekeringan di Indonesia dan cenderung meningkatkan suhu global) dan La Nina (gejala atmosfer yang menyebabkan banyaknya hujan di Indonesia dan cenderung menurunkan suhu global) turut mempengaruhi suhu di Indonesia. Pada saat Matahari minimum 1976 dan 1986 terjadi El Nino yang menyebabkan suhu agak menghangat sehingga tahun tersebut suhu tidak mencapai titik minimum. Peningkal tahun ini) di duga akan menjadi tahun yang paling sejuk selama dekade 1990-an. Berdasarkan itu pula dapat dipahami terjadinya musim dingin terburuk di Rusia 1995/1996 yang baru lalu. Bagi Indonesia itu berarti kemarau tahun ini mungkin menjadi kemarau paling sejuk selama dekade 1990-an.

Gerhana Bulan Sebagian (28 JULI 1999) Untuk Direnungkan

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di Pikiran Rakyat, 28 Juli 1999)

Sejenak kita lupakan hiruk pikuk politik nasional yang belum  mendingin. Malam ini, upayakan salat maghrib tepat waktu. Cukup bacaan Al-Quran yang pendek dalam shalat. Dzikir sesudah shalat pun diringkaskan. Sesudah itu akan disambung dengan bacaan panjang dari ayat-ayat Allah di alam semesta.

Setelah shalat sunnah ba’diyah maghrib lihatlah sejenak ke langit timur. Gerhana bulan telah berlangsung. Sisi kanan bawah mulai tergelapi oleh bayangan primer bumi (umbra). Memang gerhana bulan sebagian telah berlangsung sejak pukul 17:22 WIB dan akan berakhir 19:45 WIB.

Sesuai dengan sunnah Rasul, segeralah laksanakan salat gerhana. Bila dilaksanakan di masjid, khatib akan menyampaikan khutbahnya berkaitan dengan fenomena alam ini. Khutbahnya pun sebaiknya tidak perlu berpanjang-panjang, karena saat puncak gerhana segera tiba. Pukul 18:34 adalah saat puncak gerhana sebagian. Saat itu sekitar 40% diameter bulan akan tergelapi oleh bayangan bumi. Sambil merenungi fenomena gerhana bulan, sangat menarik juga merenungi fenomena langit lainnya.

Gerhana Bulan

Sepintas tidak ada yang menarik dari fenomena gerhana bulan tersebut. Tetapi inilah saatnya untuk merenungi ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Dari segi penampakan permukaan bulan,  fenomena gerhana bulan tidak jauh berbeda  dengan bulan purnama, karena memang gerhana bulan hanya terjadi saat purnama. Bila punya teleskop atau binokuler gunakanlah untuk melihat kawah-kawah bulan. Dengan menggunakan teleskop kawah-kawah bulan terlihat jelas.

Kawah-kawah tersebut terbentuk karena benturan batuan meteorit raksasa ketika permukaan bulan masih lembek. Tidak adanya proses geologi dan angin di bulan menyebabkan kawah-kawah tersebut terpelihara. Hal ini tidak terjadi di bumi. Bumi pernah mengalami hujan meteorit besar, tetapi kawah-kawahnya banyak yang telah hilang oleh proses geologis atau proses atmosferik seperti hujan dan angin.

Bukti-bukti astronomis dan geologi menunjukkan bahwa bulan diduga berasal dari bumi juga. Tidak adanya inti besi, kemiripan komposisinya dengan kerak bumi, dan bidang orbitnya yang tidak terlalu menyimpang dari bidang ekuator bumi memunculkan teori bahwa bulan terbentuk dari lontaran materi bumi ketika bumi yang masih lembek tertabrak asteroid. Pada masa awal pembentukan tata surya, tumbukan semacam itu tidak mustahil, karena ruang antar planet masih dipenuhi oleh benda-benda sisa pembentukan planet.

Kawah-kawah dan laut tanpa air (mare) menampakkan gambaran khas yang memunculkan berbagai legenda, sepertinya Nini Anteh di Jawa Barat. Setiap saat kita melihat wajah bulan yang sama. Mengapa demikian? Analisis fisis menunjukkan terjadinya sinkronisasi rotasi bulan dan orbitnya mengitari bumi. Akibat gaya pasang-surut bumi terhadap bulan (sejenis dengan gaya yang menyebabkan air laut pasang dan surut), rotasi bulan diperlambat hingga periodenya sama dengan periode orbitnya, yaitu 27,3 hari. Akibatnya, bulan akan selalu menampakkan wajah yang sama.

Karena bayangan bumi terpampang di permukaan bulan, informasi tentang bumi pun bisa dilihat dari bayangan gerhana tersebut. Memang tidak semua permukaan bumi dapat dilihat informasinya dari bayangan bumi tersebut. Tetapi minimal keadaan atmosfer di atas daerah yang sedang mengalami saat matahari terbenam atau terbit berpeluang tercermin dari bayangan gerhana tersebut.

Gerhana 28 Juli 1999 akan menampakkan keadaan atmosfer di atas Rusia. Saat ini bila di atmosfer atasnya menumpuk debu-debu meteor pada ketinggian sekitar 80 km, mungkin dari analisis fotometrik gerhana bulan nanti akan terlihat anomali densitas bayangannya.

Anomali densitas bayangan gerhana akan jelas tampak bila atmosfer bumi tertutup oleh debu letusan gunung berapi. Misalnya, ketika terjadi gerhana bulan total 30 Desember 1982, para pengamat gerhana melaporkan keadaan gerhana yang gelap. Anomali ini diduga berkaitan dengan letusan gunung berapi El Chichon di Amerika Tengah pada 1982 dan mungkin juga ditambah dengan debu letusan gunung Galunggung pada tahun itu.

Para pengamat gerhana mencatat, gerhana paling gelap selama tiga abad terakhir terjadi pada saat gerhana bulan total 16 Juni 1816. Saat itu diduga debu-debu letusan gunung Tambora yang meletus 1815 dan menyemburkan sekitar 150 milyar meter kubik debu masih tersisa di atmosfer atas.

Gerhana bulan bukan hanya memberikan informasi tentang atmosfer bumi, tetapi juga bisa memberikan informasi tentang gerhana matahari. Baik gerhana bulan maupun gerhana matahari sama-sama terjadi karena konfigurasi sistem matahari-bumi-bulan. Gerhana bulan biasanya diikuti atau mengikuti kejadian gerhana matahari.

Gerhana bulan penumbra 31 Januari 1999 lalu diikuti gerhana matahari cincin 16 Februari yang tampak di Indonesia sebagai gerhana matahari sebagian. Posisi orbit bulan terhadap bumi dan matahari bulan Juli dan Agustus ini juga menyebabkan terjadinya gerhana matahari total 11 Agustus 1999 yang melintasi Eropa, Timur Tengah, dan India. Sayangnya, gerhana matahari ini tidak terlihat dari Indonesia.

Fenomena Langit Lainnya

Posisi bulan pada malam 28 Juli 1999 berada di rasi Capricornus. Rasi lain di ekliptika (jalur lintasan Matahari dan benda-benda di tata surya) yang terlihat malam ini adalah Sagitarius dan Scorpio. Dua rasi ini menyeberangi galaksi Bimasakti yang tampak bagaikan sungai perak dengan jutaan bintang yang bisa teramati dengan mata biasa bila tidak ada cahaya lampu di sekitar kita.

Rasi Scorpio mudah dikenali karena bentuknya sesuai namanya, mirip ekor kalajengking. Di rasi Scorpio tersebut terdapat bintang raksasa merah yang besarnya ratusan kali matahari: bintang Antares yang berwarna merah. Selain itu di ekliptika juga tampak rasi Libra dan Virgo yang mengapit planet merah: Mars. Planet Mars yang berwarna kemerahan juga mudah dikenali. Planet inilah yang diduga oleh para pengamat dahulu mempunyai peradaban. Dengan menggunakan teleskop, tampak pada permukaan planet ini ada kanal-kanal yang ditafsirkan sebagai hasil teknologi mereka dalam mengalirkan air dari kutub Mars. Ternyata missi pesawat antariksa Viking pada 1976 tidak menemukan bukti itu.

Di sisi barat rasi Virgo terdapat rasi Leo yang dihiasi bintang Kejora yang sangat cemerlang. Bintang kejora ini sesungguhnya adalah planet Venus. Venus saat ini merupakan objek langit paling terang ke tiga setelah Matahari dan Bulan. Planet Venus ini dikenal juga sebagai saudara kembar bumi karena ukurannya yang mirip dengan bumi. Tetapi tidak mungkin makhluk hidup seperti di bumi berkembang di sana, sebab panasnya luar biasa dengan suhu sekitar 700 derajat, tujuh kali titik didih air. Suhu yang tinggi tersebut disebabkan oleh efek rumah kaca, yaitu panas dari cahaya matahari diserap oleh gas karbon dioksida yang banyak terdapat di atmosfer Venus sehingga tidak dapat terlepas ke angkasa.

Fenomena lain yang sangat menarik adalah galaksi Bimasakti. Galaksi Bimasakti dapat ditelusur dari Selatan yang ditandai dengan rasi Crux (Salib Selatan, yang bisa menjadi petunjuk arah Selatan bagi para penjelajah), ke arah atas bertemu dengan rasi Scorpio (kalajengking), dan diteruskan ke arah utara yang ditandai dengan rasi Cygnus (angsa).

Karena bintang-bintang di galaksi Bimasakti cukup redup, cahaya lampu-lampu di sekitar kita akan sangat mengganggu. Upayakan mencari lokasi pengamatan yang jauh dari lampu atau padamkan semua lampu di sekitar kita untuk menyaksikan jutaan bintang yang tampak membentuk seperti sungai perak. Oleh karenanya orang Jepang menyebutnya Gingga (sungai perak). Orang Barat membayangkannya seperti jalan bersusu, Milky Way.

Galaksi Bimasaksi hanyalah salah satu galaksi dari sekian banyak galaksi di alam semesta. Dengan menggunakan teleskop besar, akan dapat dilihat gugusan bintang dan gugusan galaksi yang luar biasa banyaknya. Semakin dalam menembus kedalaman langit, akan semakin terasa kecilnya bumi kita, apalagi diri manusianya.

Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa subhanak. Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau.

Patroli Langit: Mewaspadai Asteroid dan Komet Pengancam Bumi

T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan  Antariksa, LAPAN Bandung

(Dimuat di Republika, 16 Maret 1997)

Akhir Januari 1997, NASA (badan antariksa Amerika Serikat) mengumumkan ditemukannya dua anggota tata surya baru: sebuah asteroid (planet kecil) yang diberi kode 1997 AC11 dan sebuah komet yang diberi kode 1997 A1.

Asteroid 1997 AC11 adalah keluarga asteorid Aten yang orbitnya dekat dengan orbit bumi. Sedangkan komet 1997 A1 diperkirakan mencapai titik terdekat dengan bumi pada 6 Februari 1997 pada jarak sekitar 350 juta km (2,3 kali jarak bumi-matahari).

Penemuan itu dilaporkan oleh empat astronom pengamat tata surya dari JPL (Jet Propulsion Laboratory): Eleanor Helin, Steve Pravdo, David Rabinovitz, dan Ken Lawrence. Pengamatan yang mereka lakukan sebenarnya merupakan bagian dari program patroli langit, mencari asteroid dan komet yang mungkin akan mengancam bumi. Sistem pengamatan otomatik terkomputerisasi yang digunakan diberi nama sistem penjejak asteroid dekat bumi (The Near-Earth Asteroid Tracking – NEAT).

Komponen utama sistem NEAT yang berada di puncak Haleakala (Hawaii) itu terdiri atas sebuah teleskop berdiameter 98 cm yang dilengkapi dengan kamera CCD (kamera elektronik yang citranya diolah dengan komputer) yang sangat peka. Ukuran CCD-nya relatif sangat besar, 4096 x 4096 piksel, jauh lebih besar daripada CCD yang dimiliki kebanyakan observatorium saat ini.

Dengan sistem otomatik yang sangat peka dan mampu merekam medan langit yang luas, pengamatan itu sangat efektif mencari asteroid dan komet baru, terutama untuk mendeteksi kalau-kalau ada yang akan menghantam bumi. Selama bulan Januari 1997 saja berhasil teramati sekitar 700 asteroid. Sedangkan jumlah total objek tata surya yang berhasil diidentifikasi sejak pengoperasiannya pada akhir 1995 lebih dari 9000 objek, setengahnya merupakan objek baru.      Asteroid 1997 AC11 tergolong kelompok asteroid keluarga asteroid Aten yang jarang. Ini adalah asteroid ke-24 dalam keluarga Aten selama 21 tahun pencarian. Asteroid ini tampak sangat redup dengan magnitudo 21, seribu triliun kali lebih redup daripada bintang paling redup yang dapat terlihat mata telanjang. Diameternya diperkirakan sekitar 180 meter. Kemiringan bidang orbitnya terhadap bidang orbit bumi sekitar 31 derajat. Waktu orbitnya mengitari matahari lebih cepat daripada bumi, yaitu hanya 9,5 bulan.

Komet 1997 A1 juga sangat redup, bermagnitudo 19 (sepuluh triliun kali lebih redup dari pada bintang paling redup yang teramati mata telanjang) ketika ditemukan. Komet ini bukan komet periodik seperti komet Halley, karena orbitnya parabolik. Jadi hanya sekali ini komet ini melintas mendekati matahari kemudian menjauh lagi ke luar tata surya.

Asteroid Pengancam Bumi

Asteroid keluarga Aten, seperti asteroid 1997 AC11, perlu diwaspadai karena setengah sumbu panjang orbitnya dekat dengan bumi. Karena kesempatan untuk mendekati orbit bumi paling sering, asteroid keluarga ini mempunyai kemungkinan terbesar untuk menabrak bumi daripada keluarga asteroid lain di dekat bumi.

Selain keluarga asteroid Aten, asteroid yang orbitnya dekat bumi atau melintas orbit bumi adalah keluarga Apollo dan keluarga Amor. Keluarga asteroid Apollo orbitnya melintasi orbit bumi dengan setengah sumbu panjang orbitnya lebih jauh daripada orbit bumi. Sedangkan keluarga asteorid Amor juga melintasi orbit bumi dengan orbit yang lebih jauh dari pada asteroid Apollo. Jarak terdekat dengan matahari berada dekat bumi tetapi jarak terjauhnya berada di dekat orbit planet Mars.

Menurut perkiraan Eugene Shoemaker, asteroid yang orbitnya mendekati orbit bumi ditaksir ada sekitar 1000-2000 buah yang ukurannya lebih dari 500 meter. Setengahnya adalah keluarga asteroid Apollo, hampir setengahnya keluarga asteroid Amor, dan hanya beberapa yang termasuk keluarga asteroid Aten.

Asal usul asteroid dekat orbit bumi ini bisa berasal dari sabuk asteroid (kumpulan asteroid di antara orbit Mars dan Jupiter), tetapi bisa pula dari inti komet yang telah mati. Menurut perhitungan, kemungkinan tumbukan benda langit pada bumi sekitar setengahnya berasal dari asteorid dan setengahnya berasal dari komet. Karena itu kedua benda langit yang melintas dekat bumi itu tetap harus diwaspadai. Sejarah telah memberikan pelajaran betapa hebatnya dampak tumbukan asteroid dan komet pada bumi.

Asteroid Menabrak Bumi

Sebuah asteroid pernah menabrak Bumi dan jatuh di Semenanjung Yukatan di tepi teluk Meksiko 65 juta tahun lalu. Asteroid itu ditaksir berukuran sekitar 10 kilometer seberat setriliun ton. Ini menyebabkan terbentuknya kawah raksasa berdiameter 180 km (hampir seluas Jawa Barat), menyebabkan gelombang raksasa di laut Karibia, dan menghamburkan debu ke atmosfer. Asteroid langsung menembus bumi sehingga sisa-sisanya tidak tampak lagi.

Energi ledakannya setara dengan ledakan 5 miliar bom atom Hiroshima. Debu yang dihamburkan ke atmosfer ditaksir sekitar 100 triliun ton berdasarkan ketebalan endapan debu bercampur Iridium di seluruh dunia. Adanya logam Iridium yang jarang terdapat di Bumi, tetapi melimpah pada asteroid menjadi kunci pembuka tabir rahasia bahwa benda langit yang jatuh adalah asteorid.

Debu-debu yang dihamburkan ke atmosfer sedemikian tebalnya sehingga menghambat masuknya cahaya Matahari. Hilangnya pemanasan Matahari menyebabkan Bumi dilanda musim dingin panjang yang dikenal sebagai “musim dingin tumbukan” (impact winter). Inilah yang diduga penyebab musnahnya hampir setengah makhluk hidup di Bumi, termasuk Dinosaurus.

Komet Menabrak Bumi

Pagi 30 Juni 1908 terjadi ledakan besar di sekitar sungai Tunguska, Siberia Tengah, Rusia. Pukul 07:17 sebuah bola api raksasa meluncur dari langit sangat cepat. Nampaknya jauh lebih besar dari matahari tetapi lebih redup. Jejak di belakangnya tampak seperti ekor berwarna biru. Belum sempat mencapai bumi, pada ketinggian sekitar 8 km terjadilah ledakan dahsyat. Bumi terasa bergetar.

Saksi mata pada jarak 80 km dari pusat ledakan merasakan embusan angin panas dan terlempar dari kursinya. Suara ledakannya terdengar dari jarak 800 km (kira-kira jarak lurus Serang – Surabaya). Pepohonan di bawah titik ledakan terbakar dan sekitar 2000 km persegi hutan diratakan oleh hempasan gelombang kejut.

Bukti-bukti yang ada menyatakan bahwa terjadi ledakan hebat, gelombang kejutnya mampu merobohkan pepohonan pada areal yang luas, hutan di daerah pusat ledakan terbakar, tetapi tidak ada kawah yang terjadi di pusat ledakan itu. Bukti terbaru menunjukkan ditemukannya butiran-butiran intan halus tersebar di sekitar pusat ledakan. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa penyebab ledakan yang sangat mungkin adalah pecahan komet yang menabrak Bumi.

Komet sebagian besar terdiri dari es (campuran air, metana, dan amoniak) dan sedikit butiran batuan halus. Karena itu komet sering disebut sebagai tersusun dari es berdebu. Butiran batuan itu mungkin juga mengadung intan seperti yang dijumpai pada meteorit. Ketika komet menembus atmosfer Bumi, gesekan dengan udara menimbulkan panas dan terlihat seperti bola api raksasa. Es akan menguap. Uap dan debu akan tampak seperti ekor pada bola api itu. Pengereman oleh atmosfer bumi dan pelepasan energi oleh komet menyebabkan timbulnya ledakan hebat di atmosfer. Energi dari bola api itu mampu membakar hutan di bawahnya dan gelombang kejut ledakkannya mampu menumbangkan pepohonan pada area yang sangat luas. Sisa-sisa butiran intan pada inti komet tidak terbakar dan jatuh ke bumi.

Ditaksir komet itu berukuran 100 meter dengan berat sejuta ton dan bergerak dengan kecepatan 30 km/detik (108.000 km/jam). Diduga pecahan itu berasal dari komet Encke. Menurut perhitungan orbitnya, Bumi setiap tahun melintasi orbit komet Encke dua kali: sekitar 2 Juli dan sekitar 1 November. Pada saat perjumpaan sekitar 2 Juli, lintasan komet Encke berada di selatan Bumi dan komet datang dari arah Matahari. Itulah yang menyebabkan pecahan komet yang jatuh di Tunguska pada 30 Juni 1908 nampak berasal dari arah tenggara karena pengaruh rotasi Bumi dan tumbukan terjadi bukan pada malam hari.

Komet Swift-Tuttle

Kabar tentang kemungkinan komet Swift-Tuttle menabrak bumi bermula dari edaran IAU (International Astronomical Union) bernomor 5636, 15 Oktober 1992. Brian G. Marsden, pemimpin biro pusat telegram astronomi di Cambridge, Massachusetts, mengumumkan hasil perhitungannya bahwa komet Swift-Tuttle akan kembali lagi mencapai perihelion pada 11 Juli 2126 dengan ketidakpastian 15 hari. Adanya ketidakpastian itu karena selain gaya-gaya gravitasi, pergerakan komet juga dipengaruhi oleh gaya-gaya lainnya yang merupakan dinamika mikronya yang tidak diketahui dengan pasti.

Andaikan prakiraan Marsden hanya meleset kurang dari satu hari, seperti pada kehadiran Swift-Tuttle 1992, maka tidak perlu khawatir terjadi tumbukan. Komet Swift-Tuttle akan melintas orbit Bumi sebelum bumi sampai pada titik lintasan itu. Tetapi bila komet Swift-Tuttle mencapai perihelion pada batas rentang prakiraannya, 26 Juli 2126, hampir dipastikan komet itu akan bertemu bumi 19 hari kemudian. Pada tanggal 14 Agustus 2126 bumi tepat sampai pada titik persimpangan dengan orbit komet Swift-Tuttle.

Perjumpaan pada titik persimpangan itu, yang dikhawatirkan merupakan tabrakan yang sangat dahsyat yang akan membahayakan kehidupan di bumi. Tetapi, melihat rentang ketidakpastiannya yang besar itu, manusia bisa bernafas lega karena kecil kemungkinannya terjadinya tabrakan komet Swift-Tuttle dengan bumi.

Lagi pula, menurut perhitungan orbitnya, komet Swift-Tuttle sebenarnya tidak tepat memotong orbit bumi. Menurut perhitungan saya, komet hanya melintas dekat bumi pada jarak sekitar 1,8 juta km atau sekitar lima kali jarak bumi-bulan. Yang terjadi bukan tabrakan. Manusia di bumi pada saat itu mungkin akan menyaksikan pemandangan yang luar biasa. Komet dapat terlihat siang hari pada awal Agustus dan hujan meteor Perseid (fenomena seperti bintang berjatuhan di langit utara) yang luar biasa akan terlihat sepanjang malam.

Jadi, komet Swift-Tuttle sebenarnya tidak mengancam bumi. Bahaya dari langit yang sesunguhnya mungkin datang dari asteroid dan komet yang sama sekali belum pernah terdeteksi sehingga belum diketahui perilaku gerakan pada orbitnya. Dalam hal inilah pentingnya usulan para astronom untuk melakukan patroli langit dengan teleskop besar. Bila semua benda langit yang mungkin mengancam bumi berhasil diidentifikasikan, maka langkah-langkah antisipasi bisa disiapkan.